Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Umroh

Masjid Nabawi, Saat melaksanakan umroh tahun 2010 sebagai wujud rasa syukur atas rizki yang kami terima .

Presentasi Pendampingan implementasi Kurikulum 2013

Saat mempresentasikan Kurikulum 2013 dalam acara pendampingan implementasi Kurtilas.

IN 2014

Ketika mengikuti pelatihan Instruktur guru sejarah tingkat nasional di Cianjur tanggal 9 - 15 Juni 2014.

TTS Interaktif

Menggunakan Teka Teki Sejarah Interaktif sebagai media pembelajaran.

Bersama Sejarawan Nasional, Anhar Gonggong

Memperingati Hari Sejarah Nasional

Monday, September 6, 2021

politik etis



Politik Etis.

Politik Etis adalah suatu pemikiran yang menyebutkan bahwa pemerintah kolonial Belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan rakyat pribumi. Pemikiran tersebut sebagai kritik mengenai sistem politik tanam paksa Belanda. Politik tersebut dicetuskan oleh Pieter Brooshooft dan Van De venter yang membuka mata Pemerintah kolonial Belanda untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi di Indonesia.

 

Latar Belakang Politik Etis.

Pada permulaan abad 20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kekuasaannya memperoleh definisi kewilayahan baru dengan selesainya upaya-upaya penaklukan. Kebijakan kolonial Belanda untuk mengeksploitasi terhadap Indonesia mulai berkurang sebagai pembenaran utama bagi kekuasaan Belanda, dan di gantikan dengan pertanyaan-pertanyaan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia. kebijakan ini di namakan Politik Etis. Masa munculnya kebijakan ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang akan dapat memahami sejarah Indonesia pada awal abad 20 apabila tidak mengacu pada kebijakan. Namun Politik Etis hanya menampilkan banyak janji-janji dari pada penampilannya, dan fakta-fakta penting tantang eksploitasi dan penaklukan dalam kenyataan tidak mengalami perubahan.

 

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik dari kaum intelektual Belanda sendiri terhadap berbagai kebijakan pemerintah kolonial, diantaranya :

Sistem tanam paksa menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia.

Sistem ekonomi liberal tidak memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Belanda melakukan penekanan dan penindasan terhadap rakyat.

Rakyat kehilangan tanahnya.

Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan bangsa Belanda yang di lontarkan dalam novel Max Havelaar dan sebagai pengungkapan yang lainnya mulai menambahkan hasil. Semakin banyak yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Indonesia. selama zaman liberal (1870-1900) kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial yang standar hidupnya perlu di tingkatkan. Modal Belanda maupun Internasional mencari peluang-peluang baru bagi investasi dan eksploitasi bahan-bahan mentah, khususnya di daerah-daerah luar Jawa, terasa adanya kebutuhan tenaga kerja Indonesia dalam perusahaan-perusahaan modern. Oleh karena itulah, maka kepentingan-kepentingan perusahaan mendukung keterlibatan penjajah yang semakin intensif untuk mencapai ketenteraman, kesejahteraan, keadilan dan modernitas. Pihak yang beraliran kemanusiaan membenarkan apa yang dipikirkan kalangan pengusaha itu akan menguntungkan, dan lahirlah Politik Etis.

 

Pada tahun 1899 C Th. Van De venter, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia selama 1880-1897, menerbitkan sebuah artikel yang berjudul Een eereschuld (suatu hutang kehormatan) di dalam majalah berkala Belanda de Gids. Ia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas dari negeri Indonesia. Hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia. Pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina (1890-1948) mengumumkan satu penyelidikan tentang kesejahteraan masyarakat yang berada di Jawa, dan demikian politik etis secara resmi di sahkan. Isi pidato raja Belanda yaitu : “sebagai negeri Kristen, Nederland berkewajiban di kepulauan Hindia Belanda untuk lebih baik mengatur kedudukan legal pendudukan pribumi, memberikan pada dasar yang tegas kepada misi Kristen, serta meresapi keseluruhan tindak laku pemerintahan dengan kesadaran bahwa Nederland mempunyai kewajiban moral untuk memenuhinya terhadap penduduk di daerah itu. Berhubung dengan itu, kesejahteraan rakyat Jawa yang merosot memerlukan perhatian khusus. Kami meningkatkan diadakannya penelitian tentang sebab-sebabnya”.

 

 

 

Pada tahun 1902, Alexander  Idenburg menjadi Menteri Urusan Daerah-daerah Jajahan, maka Idenburg mempunyai lebih banyak kesempatan dari pada siapa saja untuk mempraktekkan pemikiran-pemikiran politik Etis. Pihak Belanda pun menyebutkan tiga prinsip yang di anggap dasar kebijakan baru tersebut :

edukasi,

imigrasi,

dan irigasi.

 

 Untuk melaksanakan proyek tersebut di perlukan adanya dana sehingga Politik Etis dapat berjalan. Akan tetapi semua usaha akan sia-sia tanpa pendidikan massa. Pendidikan dan emansipasi bangsa Indonesia secara berangsur-angsur itulah inti Politik Etis. Pendidikan Indonesia harus di arahkan dari ketidakmatangan yang di paksakan agar berdiri di atas kaki sendiri. Mereka harus di berikan lebih banyak tanggung jawab dalam administrasi oleh orang-orang pribumi. Banyak diantara penganut Politik Etis yakni bahwa Indonesia harus berkembang menjadi kebudayaan Barat. Pada tahap pertama golongan aristokrasi yang harus terkena pengaruhnya kebudayaan Barat. Usaha westernisasi penduduk asli kemudian dikenal sebagai asosiasi. Tujuannya ialah menjembatani Timur dan Barat, orang Indonesia dengan orang Belanda. Yang di jajah dengan yang menjajah. Bahwa timbul asimilasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur sosial dan politik yang sama dengan negeri Belanda. Sampai saat meninggalnya pada tahun 1915 De venter adalah salah satu pencetus politik etis yang terkenal, sebagai penasehat pemerintah dan anggota parlemen.

 

Isi Politik Etis.

Berikut ini terdapat tiga isi politik etis, yakni sebagai berikut:

Irigasi.

Irigasi adalah program pembangunan dan penyempurnaan sosial dan prasarana untuk kesejahteraan terutama dibidang pertanian dan perkebunan, serta perbaikan prasarana infrastruktur. Di sini masyarakat pribumi di beri pengetahuan teknologi dalam bidang pengairan yang lebih modern, untuk mendapatkan hasil pertanian yang lebih baik, tanpa menunggu lama seperti sebelumnya yang hanya mengandalkan musim hujan saja untuk menghasilkan pertanian yang baik, tetapi dengan adanya Irigasi yang di ajarkan oleh Belanda, masyarakat pribumi dapat bercocok tanam pada musim kemarau juga.

 

 

5 Dampak Positif Politik Etis Belanda Bagi Bangsa Indonesia - Hukamnas.comEdukasi (Pendidikan).

Edukasi (pendidikan) adalah program peningkatan mutu SDM dan pengurangan jumlah buta huruf yang implikasi baiknya untuk pemerintah Belanda, yaitu dengan pendirian sekolah-sekolah. Karena pelajar yang berkualitas dapat di jadikan pegawai oleh pemerintah Belanda. Itu salah satu tujuan Belanda melakukan Politik Etis untuk menggali potensi masyarakat pribumi.

 

Emigrasi (Transmigrasi).

Emigrasi (transmigrasi) adalah program pemerataan pendidikan Jawa dan Madura dengan dibuatnya pemukiman di Sumatra Utara dan Selatan dimana dibuka perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak sekali pengelola dan pegawainya, Akan tetapi kebijakan pertama dan kedua disalah gunakan untuk pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi, hanya pendidikan yang membawa dampak positif bagi Indonesia. selain untuk pemerataan penduduk, tujuan Belanda adalah membuka lahan pertanian yang baru, dengan cara memindahkan penduduk dari daerah padat Penduduk ke daerah yang penduduknya jarang, untuk membuka lahan pertanian baru.

 

Bahasa belanda di masukan sebagai pelajaran di beberapa Sekolah Kelas Satu dan sejumlah kursus di buka dengan maksud itu, akan tetapi bahasa Belanda tak kunjung menjadi bahasa rakyat. Orang Belanda sendiri tampaknya keberatan untuk memberikan bahasa dan kebudayaan Belanda, sebagian hanya untuk merusak adat istiadat Indonesia, akan tetapi Belanda sangat takut jika orang-orang Indonesia menguasai kebudayaan, pengetahuan, teknik, dan organisasi. Dengan itu Belanda mendirikan lembaga pendidikan untuk mengatasi menjamurnya pendidikan pesantren.

 

Tujuan Politik Etis.

Tujuan politik etis merupakan untuk meningkatkan tiga bidang yang digagas oleh para politik Belanda mengenai edukasi dengan menjalankan pendidikan, Irigasi dengan membangun sarana dan jaringan pengairan dan transmigrasi atau imigrasi dengan mengelola perpindahan penduduk. Politik etis yang dijalankan Belanda dengan memperbaiki bidang irigasi, pertanian, transmigrasi, dan pendidikan, sekilas memang kelihatan mulia. Tapi dibalik itu, tujuan program-program tersebut dimaksudkan untuk kepentingan Belanda itu sendiri.

 

Penyimpangan Politik Etis.

Berikut ini terdapat tiga penyimpangan politik etis, yakni sebagai berikut:

1. Irigasi.

Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

 

2. Edukasi (Pendidikan).

Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya. Politik pendidikan kolonial erat hubungan dengan politik mereka pada umumnya, sesuatu politik yang di dominasi oleh golongan-golongan yang berkuasa dan tidak di dorong oleh nilai-nilai etnis dengan maksud untuk membina kematangan  politik dan kemerdekaan tanah jajahan.

Berhubungan dengan sikap itu kita dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan praktis pendidikan yaitu:

Gradualisme yang luar biasa dalam menyediakan pendidikan bagi anak-anak Indonesia.

Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.

kontrol sentral yang kuat.

Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.

Prinsip koordinasi yang menyebabkan maka sekolah di Indonesia sama dengan di negeri Belanda.

Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi.

Pendirian sekolah oleh pemerintahan kolonial Belanda, bertujuan memecah belah pribumi Islam, sejak kanak-kanak. Dari bangunan sekolah dan kurikulum antara anak Indonesia dan bangsawan serta prioritas lainya di beda-bedakan. Sekaligus putra putri bangsawan Muslim dan putra putri yang Islam, namun mendapatkan prioritas  sekolah di sekolah Eropa. Dengan dicampurnya di sekolah Eropa, anak bangsawan dan sultan menjadi jauh dari pengaruh pembinaan ulama.

 

 

 

3. Migrasi (Transmigrasi).

Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak.

 

Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor atau pengawasnya. Demi memudahkan penguasaan etnis maka wilayah kota dibagi-bagi dalam berbagai sub area hunian, dapat dilihat di Jakarta antara lain adanya kampung Melayu, kampung Bali, kampung Jawa, dan lain-lainnya. Khusus untuk etnis Ambon mendapatkan area hunian yang terpisah dengan etnis lainya. Pemisahan ini disebabkan oleh orang Ambon banyak yang menjadi Belanda untuk menyebarkan agama Kristen sama halnya etnis Batak dan Manado.

 

Dampak Politik Etis Bagi Indonesia.

Berikut ini terdapat beberapa dampak politik etis bagi Indonesia, yakni sebagai berikut:

 

Pembangunan infrastruktur seperti pembangunan rel kereta api yang memperlancar perpindahan barang dan manusia.

Pembangunan infrastruktur pertanian dalam hal ini bendungan yang nantinya bermanfaat bagi pengairan.

Berdirinya sekolah-sekolah, seperti

Hollandsch Indlandsche School(HIS)

Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs (MULO)

Algemeene Middlebare School (AMS)

Kweek School (Sekolah Guru)

Technical Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik),

School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) sekolah kedokteran.

 

Adanya berbagai sekolah mengakibatkan munculnya kaum terpelajar atau cendekiawan yang nantinya menjadi pelopor Pergerakan Nasional seperti contoh Soetomo mahasiswa STOVIA mendirikan organisasi Budi Utomo.

 

Pelaksanaan Politik Etis.

Dampak yang di timbulkan oleh Politik Etis tentunya ada yang negatif dan positif namun yang perlu kita ketahui adalah bahwa hampir semua program dan tujuan awal dari Politik Etis banyak yang tak terlaksana dan mendapat hambatan. Namun satu program yang berdampak positif dengan sifat jangka panjang bagi bangsa Indonesia adalah bidang pendidikan yang akan mendatangkan golongan terpelajar dan terdidik yang dikemudian hari akan membuat pemerintahan Belanda menjadi terancam dengan munculnya Budi Utomo, Sarikat Islam dan berdirinya Volksraad. Adapun dampak-dampak yang terlihat nyata adalah dalam tiga bidang, antara lain:

 

Politik.

Desentralisasi kekuasaan atau otonomi bagi bangsa Indonesia, namun tetap saja terdapat masalah yaitu golongan penguasa tetap kuat dalam arti intervensi, karena perusahaan-perusahaan Belanda kalah saing dengan Jepang dan Amerika menjadikan sentralisasi berusaha diterapkan kembali.

 

Sosial.

Lahirnya golongan terpelajar, peningkatan jumlah melek huruf, perkembangan bidang pendidikan adalah dampak positifnya namun dampak negatifnya adalah kesenjangan antara golongan bangsawan dan bawah semakin terlihat jelas karena bangsawan kelas atas dapat bersekolah dengan baik dan langsung di pekerjakan di perusahaan-perusahaan Belanda.

 

Ekonomi.

Lahirnya sistem Kapitalisme modern, politik liberal dan pasar bebas yang menjadikan persaingan dan modal menjadi indikator utama dalam perdagangan. Sehingga yang lemah akan kalah dan tersingkirkan. Selain itu juga munculnya dan berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta dan asing di Indonesia seperti Shell.

 

Tokoh Intelektual Belanda di Politik Etis.

Berikut ini terdapat beberapa kaum intelektual belanda di politik etis, yakni sebagai berikut:

 

1. Van Kol.

Van Kol merupakan juru bicara golongan sosialis yang melancarkan kritik terhadap keadaan yang serba merosot di Indonesia karena terus-menerus terjadi politik drainase (pengisapan) kekayaan oleh Belanda dan tidak dibelanjakan di Indonesia.

 

 

2. Van Deventer.

Dalam tulisan di majalah De Gids tahun 1899 yang berjudul Een Eereschuld (Utang Kehormatan), Van Deventer menuliskan bahwa jutaan gulden yang diperoleh dari Indonesia sebagai utang kehormatan. Pembayaran utang tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan 3 hal (Trilogi Van Deventer) yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi.

 

3. De Waal.

Menurut De Waal, sejak VOC sampai zaman ekonomi liberal rakyat Indonesia berhak mendapatkan 528 juta gulden dari Belanda, bahkan apabila dihitung dengan bunganya menjadi 1585 juta gulden.

 

4. Baron van Hoevell.

Seorang pendeta Protestan yang meminta perbaikan nasib rakyat Indonesia dalam sidang parlemen.

 

 

 

Pemikiran-Pemikiran Politik Etis.

Politik Etis didasarkan pada pemikiran-pemikiran yang pada dasarnya baik, karena sifatnya berperikemanusiaan. Pemikiran dalam Politik Etis bertumpu pada pendapat bahwa orang-orang kulit putih diwajibkan melaksanakan tugas suci (mission sacre), yaitu memajukan peradaban penduduk pribumi yang masih sangat rendah. Tugas ini diwujudkan dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, dan menyebarkan agama kristiani. C. Th. Van Deventer mengemukakan pendiriannya dalam majalah De Gids (1899) dengan judul Hutang Kehormatan (een Ereschuld). Sebagai seorang tokoh etis, van Deventer tidak menyetujui pendirian kaum liberal yang hanya mau mencari keuntungan dan kekayaan diri sendiri.

Kemakmuran yang diperoleh Belanda merupakan jasa orang-orang Hindia Belanda. Sebagai bangsa beradab, seharusnya bangsa Belanda merasa berutang budi. Menurut van Deventer, utang budi tersebut perlu dibayar melalui tiga cara, yaitu irigasi, edukasi, dan migrasi. Ketiga cara tersebut selanjutnya dikenal dengan Trilogi van Deventer. Pendapat para pemikir etis mendapat tanggapan dari pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan ekonomi dari penduduk Indonesia. Hal ini berarti bahwa Belanda akan mengakui hak penduduk untuk ditingkatkan peradabannya.

Kegagalan Politik Etis.

Politik Etis yang dilaksanakan pada tahun 1900-1914, mulai menunjukkan kegagalan. Hal ini disebabkan faktor-faktor berikut ini.

Terjadinya pandangan-pandangan yang berbeda di kalangan Belanda, sehingga para pelaksana Politik Etis, seperti para gubernur jenderal mulai ragu-ragu dan tidak berani secara tegas dalam menjalankan politik kolonialnya atas Indonesia.

Timbulnya kaum cerdik pandai Indonesia yang menjadi motor pergerakan nasional Indonesia yang berhasil mempersatukan bangsa Indonesia sebagai satu kekuatan nasional untuk memperoleh kemerdekaan.

Timbulnya pergerakan nasional Indonesia sebagai wadah perjuangan dalam lingkup Indonesia sebagai kesatuan dan dengan cara-cara modern dalam berorganisasi. Jadi, tidak lagi bersifat kedaerahan dan hanya bergantung pada karisma seorang pemimpin.

Timbulnya Perang Dunia I, yang banyak mengubah kebijakan dunia, khususnya mengenai hubungan negara penjajah dan negara terjajah. Akibatnya, Belanda terpaksa mendirikan Dewan Rakyat (Volksraad).

Tidak semua usaha Belanda berhasil dalam melaksanakan Politik Etis. Misalnya, makin kuat mengalirnya penduduk dari luar Jawa ke Jawa guna memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, bertentangan dengan emigrasi yang sedang dilakukan pemerintah Belanda. Akibatnya, muncul kegelisahan sosial yang meletus dalam wujud pemberontakan petani yang terjadi di Jambi, Cimareme, dan Toli-toli.

Hakekat Politik Etis.

Suatu istilah dan konsep yang dipakai untuk mensejahterakan Bangsa jajahan adalah politik etis, istilah ini awalnya hanya sebuah kritikan-kritikan dari para kalangan liberal dan Sosial Demokrat terhadap politik kolonial yang di rasa tidak adil dan menghilangkan unsur-unsur humanistis, golongan Sosial Demokrat yang saat di wakili oleh van Kol, van Deventer dan Brooshooft adalah orang-orang yang ingin memberadabkan bangsa Indonesia. Yang menjadi stimulus dari politik etis adalah kritikan yang di buat oleh van Deventer dalam majalah De Gies yang intinya mengkritik pemerintahan kolonial dan menyarankan agar dilakukan politik kehormatan (hutang kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan oleh bangsa Indonesia terhadap negara Belanda yang keuntungan menjadi 5 kali lipat dari hutang yang mereka anggap di buat oleh bangsa Indonesia.

Yang kemudian di respon oleh Ratu Wilhemina dalam pengangkatannya sebagai Ratu baru Belanda pada tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan bahwa Bangsa Belanda mempunyai hutang moril dan perlu diberikan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Selain dua faktor ini juga terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan politik etis semakin gencar dilakukan yaitu perubahan politik di Belanda yaitu dengan berkuasanya kalangan liberal yang menginginkan dilakukanya sistem ekonomi bebas dan kapitalisme dan mengusahakan agar pendidikan mulai di tingkatkan di Indonesia. Adanya doktrin dari dua golongan yang berbeda semakin membuat kebijakan politik etis ini agar segera dilaksanakan yaitu :

Golongan Misionaris : 3 partai kristen yang mulai mengadakan pembagunan dalam bidang pendidikan yaitu partai Katolik, Partai Anti-Revolusioner dan Partai Kristen yang programnya adalah kewajiban bagi Belanda untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan oleh agama.

Golongan Konservatif : menjadi kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih tinggi derajatnya untuk memberadabkan orang-orang yang terbelakang.

Itulah dua doktrin yang berkembang pada saat itu karena bagi mereka tujuan terakhir politik kolonial seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukan eksploitasi kolonial melainkan pertanggungjawaban moral.

 


 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More