Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Umroh

Masjid Nabawi, Saat melaksanakan umroh tahun 2010 sebagai wujud rasa syukur atas rizki yang kami terima .

Presentasi Pendampingan implementasi Kurikulum 2013

Saat mempresentasikan Kurikulum 2013 dalam acara pendampingan implementasi Kurtilas.

IN 2014

Ketika mengikuti pelatihan Instruktur guru sejarah tingkat nasional di Cianjur tanggal 9 - 15 Juni 2014.

TTS Interaktif

Menggunakan Teka Teki Sejarah Interaktif sebagai media pembelajaran.

Bersama Sejarawan Nasional, Anhar Gonggong

Memperingati Hari Sejarah Nasional

Saturday, September 14, 2019

Mengenang Peristiwa Rengasdengkok



Kronologi Peristiwa Rengasdengklok

Pada tanggal 14 Agustus 1945, Kaisar Hiro Hito mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika Serikat. Berita kekalahan Jepang dengan cepat didengar oleh bangsa Indonesia, terutama oleh para pemuda yang bekerja di kantor berita Jepang, Domei.
Soekarno, Hatta, dan Radjiman yang baru kembali dari Dalat dalam rangkamemenuhi undangan Marsekal Muda Terauchi (Panglima Jepang yang membawahi kawasan Asia Tenggara) belum mengetahui berita tersebut.
Para pemuda yang telah mengetahui info tersebut mendesak Soekarno dan Hatta unutk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa bentukan Jepang.
Akan tetapi, Soekarno dan Hatta ingin mendapat kepastian terlebih dahulu apakah benar Jepang benar-benar telah menyerah. Soekarno dan Hatta masih memiliki keinginan untuk membicarakan segala sesuatu mengenai  pelaksanaan proklamasi dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Soekarno-Hatta Diculik dalam Peristiwa Rengasdengklok

Tempat penculikan Soekarno
Tempat Soekarno diculik (testagx.blogspot.com)
Adanya perbedaan pandangan antara golongan muda dengan Soekarno-Hatta membuat mereka para golongan muda untuk menculik mereka berdua. Akhirnya Soekarno-Hatta diculik dan dibawa ke rengasdengklok.
Keputusan untuk menculik kedua tokoh tersebut diambil dalam rapat tanggal 16 Agustus 1945 dini hari ayng dihadiri oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dr, Mawardi dari barisan Pelopor dan Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta Syu. Tugas penculikan diberikan kepada Singgih.
Dalam pelaksanaannya, Singgih dibantu oleh Cudanco Latief Hendriningrat berupa perlengkapan militer. Soekarno –Hatta dijemput oleh sekelompok pemuda dan kemudian dibawa ke Rengasdengklok karena daerah tersebut dianggap aman.
Kedua tokoh tersebut berada di Rengasdengklok seharian penuh. Para kelompok pemuda mendesak Sokarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa adanya keterkaitan dengan Jepang.

Negosiasi dan Kesepakatan Peristiwa Rengasdengklok

Ketidakadaan Soekarno di Jakarta tercium oleh Ahmad Soebardjo sehingga dia mencari informasi letak keberadaan Soekarno. Setelah mengetahui bahwa Soekarno diculik oleh kelompok pemuda, ia mencoba untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Akhirnya tercapai kesepakatan antara Ahmad Soebardjo yang mewakili dari kalangan tua dan Wikana dari kalangan pemuda bahwa proklamasi kemerdekaan harus diadakan di Jakarta.
Sebagai syarat dan jaminannya, Soebardjo meminta para pemuda agar segera memulangkan Soekarno-Hatta ke Jakarta dan Ahmad Soebardjo menjanjikan kepada mereka bahwa proklamasi akan segera dikumandangkan tanpa keterlibatan Jepang.
Akhirnya bersama Jusuf Kunto dan Soebardjo dengan didampingi Sudiro berangkat ke Rengasdengklok unutk menjemput Soekarno-Hatta.

Proses Persiapan Proklamasi Kemerdekaan

Rombongan Soekarno-Hatta kembali dari Rengasdengklok ke Jakarta pada tanggala 16 Agustus 1945 sekitar pukul 23.00 WIB. Mereka sempat singgah ke rumah masing-masing sebelum menuju ke rumah Laksamana Maeda
Rumah Laksamana Maeda berada di Jalan Imam Bonjol No. 1 Menteng, Jakarta Pusat yang sekarang dijadikan Museum Proklamasi.
Kemudian, Soekarno-Hatta dengan didampingi Laksamana Maeda menemui Somubuco Mayor Jenderal Nishimura untuk mengetahui sikap Jepang tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dalam pertemuan itu tidak tercapai kata sepakat antara Soekarno-Hatta dan Nishimura. Soekarno-Hatta menekankan bahwa Marsekal Terauchi telah mneyerahkan sepenuhnya pelaksanaan kemerdekaan kepada PPKI.
Akan tetapi Nishimura mengatakan bahwa setelah menyerahnya Jepang, mereka mendapatkan perintah untuk menjaga status quo. Artinya, proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak boleh dilakukan.
Dari pertemuan itu, akhirnya mereka merasa yakin bahwa tidak ada gunannya lagi membicarakan masalah kemerdekaan dengan pihak Jepang.
Kemudian, mereka kembali ke rumah Laksamana Maeda yang dinilai relatif lebih aman dari campur tangan angkatan bersenjata Jepang pada saat itu. Kedudukan Laksamana Maeda sebagai kepala kantor penghubung angkatan laut di daerah kekuasaan angkatan darat harus dihormati.
Tidak lama setelah itu, anggota PPKI dan tokoh-tokoh pemuda mendatangi rumah Laksamana Maeda. Kemudian Soekarno dan Hatta dengan ditemani Ahmad Soebardjo menuju ruang makan untuk merumuskan naskah proklamasi.

Kejadian Sebelum Proklamasi Indonesia Dikumandangkan

Peristiwa Rengasdengklok
foto Soekarno-Hatta (titiknol.co.id)
Setelah rumusan teks proklamasi selesai disusun, Soekarno memberikan saran agar semua orang yang hadir pada saat itu bersama-sama menandatangani naskah tersebut selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Saran itu diperkuat oleh Moh. Hatta dengan mengambil contoh Declaration of Indepence Amerika Serikat.
Namun usul itu ditentang oleh para golongan pemuda. Mereka tidak setuju kalau naskah itu ditandatangani oleh tokoh-tokoh tua yang dianggap sebagai “budak-budak Jepang”.
Hal itu memunculkan ketegangan. Sukarni kemudian mengusulkan agar naskah itu ditandatangani oleh Soekarno-Hatta saja selaku wakil bangsa Indonesia.
Usul itu secara aklamsi disetujui oleh semua yang hadir. Setelah itu, Soekarno menyerahkan konsep naskah proklamasi kepada Sayuti Melik untuk diketik. Naskah itu akhirnya ditandatangani oleh Soekarno-Hatta.
Setelah naskah proklamasi siap, kemudian dirundingkan bagaimana cara naskah tersebut disebarluaskan. Sukarni mengusulkan Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) untuk digunakan mengumpulkan masyarakat Jakarta untuk mendengarkan proklamasi.
Namun, Lapangan Ikada dikhawatirkan cukup rawan dan akan menimbulkan bentrokan dengan pihak Jepang. Oleh karena itu Soekarno mengusulkan agar pembacaan naskah proklamasi diselenggarakan di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (sekarang telah dibongkar dan dijadikan gedung pola dan monumen proklamasi).
Usul itu disetujui dan pertemuan pun selesai. Mereka semua meninggalkan rumah Laksamana Maeda pukul 04.30. Namun sebelum pulang, Moh. Hatta berpesan kepada para pemuda yang bekerja di Domei, terutama B.M. Diah, agar memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia.
Para pemuda tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka berkumpul untuk membagi tugas dalam kelompok untuk menyelenggarakan pembacaan naskah proklamasi.
Salah satu kelompok dibawah pimpinan Sukarni mengadakan rapat rahasia membicarakan bagaimana caranya untuk menyiarkan berita proklamasi dan pengerahan massa unutk mendengarkan pembacaan teks proklamasi.

Pembacaan Teks Proklamasi

teks proklamasi
teks proklamasi (satujam.com)
Pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, para pemuda banyak yang datang menuju ke Lapangan Ikada. Mereka mengira teks proklamasi akan dibacakan disana. Pihak Jepang yang mengetahui kedatangan para pemuda itu kemudian berusaha untuk menghalang-halangi.
Namun setelah mendapatdari beberapa pemuda yang mengetahui tentang pembacaan teks proklamasi, mereka semua pun menuju ke Jalan Pegangsaan Timur.
Akhirnya, pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB, dihadapan massa yang mendhadiri acara, Soekarno didampingi Hatta membacakan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Setelah itu disusul dengan pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat. Secara spontan dan tanpa dipimpin, massa mengiringinya dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Penyebaran Berita Proklamasi Kemerdekaan

Peristiwa Rengasdengklok
pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia (id.wikipedia.org)
Peristiwa rengasdengklok berhasil menginisiasi terjadinya proklamasi Indonesia segera setelah Jepang menyerah.  Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, hal yang perlu selanjutnya dilakukan adalah menyebarkan informasi tersebut seluas-luasnya.
Sesaat setelah proklamasi dikumandangkan, kabarnya telah sampai kepada kepala bagian radio dari kantor berita Domei. Melalui kabar dari Sjahrudin, seorang wartawan Domei, Joesoef Ronodipu memerintahkan seorang markonis (petugas telekomunikasi kapal) untuk segera menyiarkan sebanyak 3 kali berturut-turut.
Berkat sebuah taktik yang mereka lakukan, kabar tentang proklamasi kemeredekaan Indonesia berhasil tersiar . Akan tetapi, baru dua kali berita itu tersiar, pihak Jepang yang mendengar penyiaran itu menjadi marah dan memerintahkan agar siaran dihentikan.
Meskipun demikian, Palenewer selaku kepala bagian Radio Domei tetap memerintahkan bawahannya untuk menyiarkan berita gembira tersebut.
Sehingga setiap setengah jam sampai pukul 16.00 siaran tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia tersiar terus menerus.
Akibat penyiaran itu, pimpinan militer Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita tersebut sebagai suatu kekeliruan. Setelah itu pada tanggal 20 Agustus 1945, pihak Jepang menyegel pemancar radio itu dan para pegawainya dilarang masuk.


Masa Demokrasi Liberal Indonesia 1950-1959


Masa Demokrasi Liberal Indonesia 1950-1959

Pada Masa Demokrasi Liberal, banyak partai politik ikut serta dalam perebutan Parlemen Indonesia. Hal ini yang menjadi faktor keributan politik pada era ini. 

Pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Indonesia berusaha mencari sistem pemerintahan yang dirasakan sesuai dengan kehidupan berbangsa Indonesia. Pada saat itu baik sebelum atau sesudah kemerdekaan, terdapat usul mengenai sistem negara yang dipergunakan, anatara lain:
 Federasi, Monarki, Republik-Parlementer, dan Republik-Presidensil.
Pada bulan Oktober 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X bulan Oktober 1945, yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuknya MPR/DPR melakukan tugas legisltif. Dengan demikian KNIP dari lembaga pembantu presiden menjadi lembaga yang sederajat dengan lembaga kepresidenan.
Kemudian KNIP yang dipimpin Sutan Sjahrir berhasil mendorong Pemerintah yaitu, Wakil Presiden Hatta untuk mengeluarkan Maklumat Pemerintah 13 Novermber 1945 tentang pendirian partai-partai politik dan Maklumat Pemerintah 14 Novermber 1945 tentang pemberlakuan Kabinet Parlementer. Dengan maklumat tersebut Indonesia menjalankan sistem parlementer dalam menjalankan pemerintahan. Presiden hanya sebagai kepala negara dan simbol, sedangkan urusan pemerintahan diserahkan kepada perdana menteri. Sjahrir terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama.

Demokrasi Liberal
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat dan masa ini disebut Masa Demokrasi Liberal. Indonesia sendiri pada tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga bernafaskan liberal.
Secara umum, demokrasi liberal adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian perwakilan atau representatif. Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong untuk lahirnya banyak partai-partai politik dengan ragam ideologi dan tujuan politik.
Demokrasi Liberal sendiri berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya bahwa UUDS 1950 dengan sisten Demokrasi Liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan kehidupan politik bangsa Indonesia yang majemuk.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden mengenai pembubaran Dewan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.

Pelaksanaan Pemerintahan
Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen).  Dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;



1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur yang terdiri dari tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
  • Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
  • Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
  • Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
  • Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
  • Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Kabinet Natsit memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan Benteng  yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
  • Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
  • Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
  • Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
  • Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini.
Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun anggaran yang digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
  • Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
  • Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
  • Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
  • Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
  • Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
  • Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro dari PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman-Soewirjo.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
  1. Menjamin keamanan dan ketentraman
  2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
  3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
  4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
  5. Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.
Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan ketentraman negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian mengalami sandungan setelah parlemen mendengar bahwa kabinet ini menjalin kerja sama dengan blok barat, yaitu Amerika Serikat.
Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer dan kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama Kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.

Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
  1. Program dalam negeri
    1. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante, DPR, dan DPRD 
    2. Meningkatkan kemakmuran rakyat, 
    3. Meningkatkan pendidikan rakyat, dan 
    4. Pemulihan stabilitas keamanan negara
  2. Program luar negeri: 
    1. Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
    2. Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta 
    3. Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas negara, dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan gerakan sparatis yang progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi gelombang ketidakpuasan di daerah yang memperparah kondisi politik nasional.
Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan
Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet ke-empat yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini mendapatkan dukungan banyak partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr. Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR).
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:
  1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
  2. Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
  3. Pembebasan Irian Barat secepatnya
  4. Pelaksanaan politik bebas-aktif
  5. Peninjauan kembali persetujuan KMB.
  6. Penyelesaian pertikaian politik.
Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:
  • Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September 1955
  • Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti :
  • Berkurangnya ketegangan dunia
  • Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras di negaranya.
  • Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam usaha penyatuan Irian Barat di PBB
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.
Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :
  • Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha  swasta nasional 
  • Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing
Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.
Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya  pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
  1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
  2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
  3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
  4. Perjuangan pengembalian Irian Barat
  5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam menjalankan fungsinya, seperti:
  1. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih Dewan Konstituante.
  2. Membubarkan Uni Indonesia-Belanda
  3. Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat
  4. Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang terlibat korupsi
Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu, PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi.
Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru kurang memberikan dukungan kepada kabinet.

Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI, NU, dan Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya membentuk kabinet.
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut:
  1. Perjuangan pengembalian Irian Barat
  2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
  3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
  4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
  5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
  6. Pembatalan KMB
  7. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
  8. Melaksanakan keputusan KAA.
Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini berhasil melakukan pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.

Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dikenal dengan istilah Zaket Kabinet karena harus berisi unsur ahli dan golongan intelektual dan tidak adanya unsur partai politik di dalamnya.

Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:
  • Membentuk Dewan Nasional
  • Normalisasi keadaan RI
  • Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
  • Perjuangan pengembalian Irian Jaya
  • Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini sebagai langkah awal demokrasi terpimpin.
Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957.
Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957.
Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta.
Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil yang sebelumnya hanya 9 mil.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939(TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.
Kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di Parlemen menyebabkan sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak memiliki pijakan hukum yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut politik. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut;
  1. Pembubaran Konstituante.
  2. Berlakunya kembali UUD 1945.
  3. Tidak berlakunya UUDS 1950.
  4. Pembentukan MPRS dan DPAS.
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak berlaku lagi di Indonesia dan mulainya sistem Presidensil dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.






                                                                                                                 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More