Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Umroh

Masjid Nabawi, Saat melaksanakan umroh tahun 2010 sebagai wujud rasa syukur atas rizki yang kami terima .

Presentasi Pendampingan implementasi Kurikulum 2013

Saat mempresentasikan Kurikulum 2013 dalam acara pendampingan implementasi Kurtilas.

IN 2014

Ketika mengikuti pelatihan Instruktur guru sejarah tingkat nasional di Cianjur tanggal 9 - 15 Juni 2014.

TTS Interaktif

Menggunakan Teka Teki Sejarah Interaktif sebagai media pembelajaran.

Bersama Sejarawan Nasional, Anhar Gonggong

Memperingati Hari Sejarah Nasional

Thursday, August 29, 2013

Nasionalisme Jepang



 a.     Masa Keshogunan Sejak pemerintahan Shogun Tokugawa (pada abad ke-17), Jepang melakukan politik isolasi (artinya menarik diri dari pengaruh asing–Barat). Politik isolasi ini mulai dijalankan oleh Iyeyashu Tokugawa (1639) dan diteruskan oleh para penggantinya. Tujuan politik isolasi untuk menjamin tetap tegaknya pemerintahan Shogun dan mencegah masuknya pengaruh asing (Barat). Selama Jepang menutup diri, dunia Barat terus melaju pesat dengan industri dan teknologinya. Untuk itu bangsa-bangsa Barat membutuhkan daerah pasaran hasil industri. Amerika Serikat, merupakan salah satu bangsa Barat yang ingin masuk ke Jepang untuk membuka hubungan dagang.

Pada tahun 1846, Amerika Serikat mengirimkan utusannya ke Jepang di bawah pimpinan Laksamana Biddle, tetapi ditolak oleh Shogun. Pada tahun 1853, mengirimkan lagi utusannya lengkap dengan kapal perangnya di bawah pimpinan Matthew Commodore Perry. Perry menghadap Shogun dan meminta agar Jepang mau membuka kota-kota pelabuhannya untuk perdagangan internasional. Pemerintah Jepang minta waktu untuk memikirkan permintaan Amerika Serikat. Perry beserta rombongan kembali ke Amerika. Pada tahun 1854, rombongan Perry lengkap de-ngan tujuh kapal perangnya mendarat lagi di Yedo, dan berhasil memaksa Shogun Iyesada (1853–1858) untuk menandatangani Perjanjian Kanagawa (31 Maret 1854) yang isinya kota pelabuhan Shimoda dan Hokodate dibuka untuk perdagangan asing. Dengan demikian, runtuhlah politik isolasi Jepang sehingga negara tersebut terbuka untuk bangsa asing. Sejak saat itu, Jepang menyadari akan ketinggalannya dengan bangsa-bangsa Barat. Yang menjadi sasaran kemarahan rakyat Jepang ialah pemerintahan Shogun. Yoshinobu dipaksa turun takhta dan menyerahkan kekuasaannya kepada Kaisar Mutsuhito (Kaisar Meiji) pada tanggal 8 Sep-tember 1867. Secara resmi Kaisar Meiji memerintah Jepang dari tanggal 25 Januari 1868 sampai dengan 30 Juli 1912. b.  Nasionalisme Jepang Terbukanya Jepang bagi bangsa asing yang disusul dengan runtuh-nya kekuasan Shogun dan tampilnya Kaisar Meiji (Meiji Tenno), menandai bangkitnya nasionalisme Jepang. Pada tanggal 6 April 1868, Meiji Tenno memproklamasikan Charter Outh (Sumpah Setia) menuju Jepang baru yang terdiri atas lima pasal, seperti berikut. 1)     Akan dibentuk parlemen.
 2)     Seluruh bangsa harus bersatu untuk mencapai kesejahateraan.
 3)     Adat istiadat yang kolot dan yang menghalangi kemajuan Jepang harus dihapuskan.
 4)     Semua jabatan terbuka untuk siapa saja.
 5)     Mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin untuk pemba-ngunan bangsa dan negara.
 Untuk mencapai cita-cita tersebut maka Meiji Tenno melaksanakan pembaharuan (restorasi). Itulah sebabnya Kaisar Meiji kemudian dikenal dengan Meiji Restorasi. Restorasi yang dilakukan meliputi segala bidang, yakni politik, ekonomi, pendidikan dan militer.
Ito Hirobumi (kemudian dikenal Bapak Konstitusi Jepang) pada tahun 1889 berhasil disusun konstitusi Jepang.
 

1)    Bidang Politik Langkah pertama yang diambil oleh Meiji Tenno ialah memin-dahkan           ibu kota dari Kyoto ke Yedo yang kemudian diganti menjadi Tokyo (yang berarti ibu                     kota timur). Selanjutnya, diciptakan bendera kebangsaan Jepang Hinomoru dan dan                   lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Shintoisme dikukuhkan sebagai agama                               nasional.              
 Jabatan shogun dan daimyo dihapuskan (1868) dan samurai dibubarkan. Para                            daimyo kemudian diangkat menjadi pegawai negeri, sedangkan para samurai                            dijadikan tentara nasional. Di bawah pimpinan 




2) Bidang Ekonomi Pembangunan di bi-dang ekonomi, meliputi bi-dang pertanian, perindus-trian, dan perdagangan, namun yang paling berhasil di bidang perindustrian dan perdagangan. Perdagangan
 
Jepang maju pesat berkat dumping policy. Di bidang industri muncul golongan baru yang disebut Zaibatsu yang terdiri atas keluarga Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, dan Jassuda.
 
3)  Bidang pendidikan
 
Sistem pendidikan di Jepang meniru sistem pendidikan Barat. Dasar moral yang diajarkan di semua sekolah ialah Shintoisme dan Budhisme. Pada tahun 1871, dibentuklah Departemen Pendidikan. Selanjutnya pada tahun 1872 dikeluarkan Undang-Undang Pendidikan yang mewajibkan belajar untuk anak-anak umur 6–14 dan bebas uang sekolah. Sistem pendidikannya semimiliter.
 
4)    Bidang Militer 
Dalam pembaharuan angkatan perang yang mempunyai peranan besar ialah keluarga Choshu dan Satsuma. Keluarga Choshu menangani pembaharuan Angkatan Darat dengan mencontoh Prusia (Jerman), sedangan keluarga Satsuma menangani pembaharaun Angkatan Laut dengan mencontoh Inggris. Bersamaan dengan modernisasi angkatan perang ini dihidupkan kembali ajaran bushido sebagai jiwa kemiliteran.
 
c.  Jepang Muncul sebagai Negara Imperialis
 
Restorasi telah berhasil mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara Jepang. Jepang menjadi negara maju, modern, dan sejajar dengan negara-negara Barat. Hal ini kemudian menimbulkan ambisi untuk melakukan imperialisme seperi negara-negara Barat. Faktor-faktor yang mendorong :


       1)     Adanya pertambahan penduduk yang cepat. 
2)     Adanya perkembangan industri yang begitu pesat, butuh daerah pasaran dan bahan mentah.

3)     Adanya pembatasan migran Jepang yang dilakukan oleh negara-negara Barat.

4)     Pengaruh ajaran Shinto tentang Hakko I Chi-u (dunia sebagai keluarga), di mana Jepang terpanggil untuk memimpin bangsa-bangsa di dunia (Asia-Pasifik).

Ambisi imperialisme Jepang menyebabkan Jepang terlibat dalam peperangan. Untungnya, dalam setiap peperangan Jepang selalu men-dapatkan kemenenangan. Perang Cina–Jepang I (1894–1895) dimenangkan oleh Jepang dan diakhiri dengan Perjanjian Shimonoseki (1895). Hasilnya, Jepang memperoleh Kepulauan Pescadores dan Taiwan. Perang Rusia–Jepang (1904–1905) dimenangkan oleh pihak Jepang dan diakhiri dengan Perjanjian Portsmouth (1905). Hasilnya Jepang menda-patkan Shakalin Selatan dan menggantikan posisi Rusia di Manchuria. Kemenangan Jepang ini memberikan pengaruh yang besar bagi tum-buhnya nasionalisme di negara-negara Asia dan Afrika.


Dalam Perang Dunia I, Jepang juga ikut terlibat perang dan memihak kepada Sekutu. Jepang berhasil menyapu pasukan-pasukan Jerman di Cina ataupun di Pasifik. Itulah sebabnya setelah perang berakhir dengan kekalahan di pihak Jerman, Jepang memperoleh daerah bekas jajahan Jerman, seperti Shantung (di Cina), Kepulauan Marshal, Mariana, dan Caroline (di Pasifik). Dengan demikian, sampai dengan berakhirnya Perang Dunia I, Jepang telah berhasil menguasai banyak daerah. Jepang telah muncul menjadi negara besar (the great powers).

Wednesday, August 28, 2013

Kondisi Ekonomi dan Sosial Masyarakat Pada Awal Era Reformasi


Kondisi Ekonomi dan Sosial Masyarakat Pada Awal Era Reformasi

Era keterbukaan dan demokratisasi di era reformasi ternyata tidak diikuti suasana tenang, aman, dan tentram dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Apabila dalam kehidupan politik tejadi konflik vertikal, maka dalam kehidupan masyarakat bawah terjadi konflik horizontal. Konflik ditandai dengan pertentangan antarkelompok etnis di berbagai daerah. Kasus paling menonjol, yaitu bentrokan antaretnik di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Konflik tersebut sangat kompleks dan dilatarbelakangi masalah-masalah sosial ekonomi, dan agama.
Konflik antarkelompok etnis dan agama di masa krisis ini telah menambah penderitaan warga. Krisis ekonomi telah diperburuk dengan krisis hubungan sosial antara kelompok masyarakat. Sejak konflik terjadi pada 1997, tercatat sejumlah 1.247.449 orang pengungsi Indonesia di negerinya sendiri. Kamp-kamp pengungsi tersebar di berbagai daerah dan memperlihatkan bahwa penderitaan warga bertambah parah akibat kejadian tersebut. Dari dua puluh daerah tempat pengungsian, Provinsi Maluku merupakan daerah paling banyak menampung pengungsi dari daerahnya sendiri. Tercatat 300.000 orang pengungsi di Maluku dan 125.5000 orang pengungsi di Maluku Utara.
Di tempat tersebut, mereka, mengalami penderitaan yang berat karena serba kekurangan fasilitas sanitasi, bahan makanan serta, sarana tempat tinggal. Buruknya lingkungan menyebabkan munculnya berbagai penyakit, seperti demam, tifus, penyakit kulit, diare, dan kekurangan gizi. Adapun anak-anak usia sekolah tidak mendapat kesempatan mendapat pendidikan formal. Sulit dibayangkan bagaimana nasib masa depan anak-anak pengungsi tersebut ketika masa keciInya tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan. Pemerintahan, di era reformasi yang sedang krisis ini tampaknya tidak memiliki cukup dana untuk mengatasi sejuta lebih pengungsi warganya.
Kemiskinan dan kesengsaraan warga pada era krisis telah mendorong mereka melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak krisis pada 1997 terjadi 14 kali penjarahan perkebuhan oleh warga, terutama di Jawa Timur. Mereka menjarah perkebunan kayu jati, kakau yang siap panen, kopi, dan kelapa sawit. Warga juga melakukan pendudukan lahan perkebunan yang dianggap merupakan hasil jarahan para pengusaha di era Orde Baru.
Pada Juli 1998 terjadi pendudukan lahan petemakan di Tapos, Bogor, Jawa Barat yang dimiliki mantan Presiden Soeharto. Demikianjuga pendudukan lahan di Lampung pada Agustus 1998 tejadi pengkaplingan 1.400 hektar lahan yang dimiliki putra sulung Presiden Soeharto. Pendudukan tersebut berakhir setelah aparat keamanan turun tangan.
 Penjarahan tambak udang mengindi-kasikan adanya kekerasan warga serta kesenjangan ekonomi antara industri modem dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat bawah. Warga merasa tersisih dan tidak mendapat apa-apa dari lahan yang dulu mereka miliki setelah berubah menjadi tambak udang. Tambak tersebut dikelola secara modem dan mendatangkan keuntungan besar bagi pengusaha, sementara masyarakat sekitar tidak dilibatkan dalam kegiatan tersebut.  Kenyataan yang terjadi kemudian adalah munculnya keluarga-keluarga miskin yang kurang gizi.
.
Krisis ekonomi berdampak pada masalah pendidikan. Semasa krisis, banyak orangtua yang tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Antara 1997- 2002, hampir 5 persen anak usia sekolah dari semua tingkat mengalami putus sekolah. Penyebabnya, antara lain semakin mahalnya biaya pendidikan sehingga banyak orangtua yang tidak mampu lagi membiayai pendidikan anak-anaknya.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan serta kesulitan pembiayaan sekolah, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan berupa program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program ini bertujuan untuk:
a.    memulihkan kecukupan pangan,
b.    menciptakan kesempatan kerja,
c.     memulihkan pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan
d.    memulihkan kegiatan ekonomi rakyat.
Program yang diluncurkan pada, 1998 tersebut didanai dari APBN serta pinjaman luar negeri. Program ini telah dirasakan manfaatnya oleh rakyat miskin yang menjadi sasaran program ini. MisaInya, masyarakat dilibatkan dalam program budidaya ayam. buras, tambak udang, beasiswa serta dana bantuan operasional bagi sekolah-dasar dan menengah serta bidang kesehatan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tidak semua program mencapai sasarannya. Penyebabnya, korupsi dalam bentuk kesalahan prosedur, penyelewengan, dan kesalahan administrasi.
Pada tanggal 9 April 2009 dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih calon legislatif angota DPR, DPD, dan DPRD yang diikuti oleh 38 partai politik. Penetapan hasil Pemilu yang diperoleh 38 partai peserta pemilu nasional itu dibacakan oleh Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary pada Sabtu malam 9 Mei 2009. Jumlah suara sah 104.099.785 (60,78%), suara tidak sah 17.488.581 (10,21%) dan yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 49.677.076 (29.01%). Jadi total suara tidak sah dan yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 67.165.657 atau 39,26% dari jumlah  pemilih

terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) yakni 171.265.442 pemilih. Belum lagi ditambah puluhan juta pemilih yang terpaksa Golput karena tidak terdaftar dalam DPT. Jumlah suara sah yaitu 104.099.785, lebih rendah dibandingkan dengan pemilu legislatif 2004. Pada pemilu 5 April 2004, jumlah suara sah yaitu 113.462.414. Berdasarkan perhitungan suara sah itu, KPU telah mensahkan perolehan suara parpol untuk DPR periode 2009-2014 dari 33 provinsi dengan 77 daerah pemilihan (dapil).
Partai Demokrat meraih suara terbanyak (pemenang) dengan meraih suara nasional 21.703.137 (20,85%) dan memperoleh 148 kursi DPR atau 26,43% dari keseluruhan kursi parlemen yang berjumlah 560 kursi. Disusul Partai Golkar 15.037.757 suara (14,45%) dan mendapatkan 108 kursi DPR (19,29%), PDI Perjuangan 14.600.091 (14,03%) suara dan 93 kursi (16,61%), PKS 8.206.955 (7,88) suara dan 59 kursi (10,54%), PAN 6.254.580 (6,01%) suara dan 42 kursi (7,50%), PPP 5.533.214 (5,32%) suara dan 39 kursi (6,96%), PKB 5.146.122 (4,94%) suara dan 26 kursi (4,64%), Gerindra 4.646.406 (4,46%) suara dan 30 kursi (5,36%), dan Hanura 3.922.870 (3,77%) suara dan 15 kursi (2,68%). Hanya sembilan Parpol tersebut yang lolos parliamentary threshold 2,5%.


Penghitungan suara dari hasil pemilu legislatif ini juga terlibat beberapa lembaga survei seperti LSI (Lembaga Survei Indonesia), LSN (Lembaga Survei Nasional), dan Cirus yang melakukan penghitungan cepat (quick count). Hasil quick count dari beberapa lembaga survei tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penghitungan suara yang diselenggarakan oleh KPU. Dengan disahkannya hasil perolehan kursi dan suara nasional, itu partai politik akan memastikan langkah koalisinya menuju pemilihan presiden. Sesuai ketententuan partai atau gabungan partai yang memperoleh 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional, berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Pendaftaran Capres-Cawapres dimulai 11 Mei sampai 16 Mei 2009.
Setelah saling menjajagi persamaan visi dan misi setiap partai politik yang lolos ke Senayan untuk berkoalisi dalam pemerintahan, akhirnya terdapat tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berkompetisi dalam pemilihan langsung presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2009. Ketiga pasangan tersebut adalah pasangan Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra (Mega-Pro) dengan nomor urut 1, pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat dan Boediono mantan Gubernur BI (SBY-Berbudi) dengan nomor urut 2, serta pasangan Jusuf Kalla dari Partai Golkar dan Wiranto dari Partai Hanura (JK-Win), dengan nomor urut 3.

Perkembangan Politik setelah 21 Mei 1998


Perkembangan Politik setelah 21 Mei 1998

Jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 sebagai tanda jatuhnya pemerintahan Orde Baru menandai era baru dalam kehidupan politik di Indonesia. Setelah 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto harus rela menyerahkan tahtanya kepada wakilnya, B.J. Habibie, Kehidupan politik pertama yang paling menonjol pada pemerintahan B.J. Habibie adalah diselenggarakannya Pemilu pada 7 Juni 1999. Untuk pertama kalinya, bangsa Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu secara demokratis setelah tahun 1955. Pemilu tersebut diikuti oleh 44 partai politik yang memenuhi syarat untuk ikut serta dari sekitar 1421 parpol yang mendaftar.
          Pemilu tersebut dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarnoputri, anak sulung mantan Presiden Soekarno, dengan jumlah suara. 33,73 persen suara atau memperoleh 153 kursi di parlemen; diikuti oleh Golongan Karya (Golkar dengan 22,43 persen suara atau 120 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 12,60 persen suara atau 51 kursi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 10,70 persen suara atau 58 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 7,11 persen suara atau 34 kursi dan partai-partai baru lainnya. Dengan demikian, untuk pertama kalinya sejak pemilu pertama Orde Baru pada 1971, Golkar mengalami kekalahan.
.
Banyaknya partai pada masa reformasi ternyata tidak diikuti dengan terjadinya ketenteraman dalam kehidupan politik bangsa. Konflik terjadi, bukan hanya antar-partai, melainkan juga dalam tubuh partai itu sendiri. Golkar, PPP, dan PDIP pun tidak luput dari konflik dalam tubuhnya sendiri. Demikian juga partai baru yang mengklaim diri sebagai partai reformis mengalami hal yang sama seperti terjadi dalam tubuh PKB, PAN, PDIP dan lain-lain.
Kehidupan parpol yang semakin marak tersebut ditandai pula dengan masuknya para pensiunan militer ke dalam tubuh parpol. Fenomena tersebut sebenarnya sudah dimulai pada masa Orde Baru. Pada Mei 1991, misalnya, sejumlah 40 orang purnawirawan ABRI masuk menjadi anggota PDI pimpinan Suryadi. Pada masa reformasi, jumlah pensiunan ABRI yang masuk parpol semakin banyak. Fenomena seperti ini dilihat oleh pengamat Indonesia, Prof. William Liddle, dari Ohio State University, merupakan salah satu kelemahan politisi sipil Indonesia dalam menegakkan supremasi sipil. Fenomena seperti ini bisa memberi peluang kepada militer untuk tampil sebagai power behind the throne, atau “kekuatan di belakang singgasana”, yang merupakan ancaman bagi tegaknya demokrasi.
Anggota DPR yang tidur ketika sedang berlangsung sidang DPR.
          Harapan rakyat terhadap wakil-wakilnya yang telah mereka pilih dalam Pemilu 1999 dan sudah duduk sebagai anggota DPR agar mereka membawa aspirasi masyarakat ternyata masih merupakan impian yang panjang. Harapan rakyat agar anggota DPR lebih banyak berperan dan berpihak pada mereka, ternyata tidak terwujud. DPR hasil Pemilu 1999 ini memang dianggap lebih baik dibandingkan dengan anggota DPR pada masa Orde Baru. Pada masa reformasi ini sejumlah undang-undang yang sifatnya reformis telah dikeluarkan. Namun prestasi mereka tidak seperti yang diharapkan rakyat. Bahkan, menurut beberapa poling, citra anggota DPR mengalami penurunan yang sangat tajam selama 2000-2002.
Kehidupan politik yang menonjol di Era Reformasi ini ditandai pula dengan penegakan hukum yang tidak berjalan, baik pada masa pemerintahan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, maupun Megawati Soekamoputri. Pada pemerintahan ketiga presiden tersebut, KKN tetap berjalan, bahkan beberapa pengamat politik mengatakan bahwa tingkat korupsi di Era Reformasi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan era sebelumnya. Ketiga presiden tersebut dianggap tidak mampu menyeret para penguasa yang menyalahgunakan wewenangnya (KKN) serta para pengusaha besar (konglomerat) yang menerima kucuran dana dari pemerintah dan tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang jumlahnya trilyunan rupiah yang dikucurkan oleh Presiden Soeharto kepada para bankir tetap merupakan masalah yang terkatung-katung. Di era reformasi ini, banyak bankir yang menyalahgunakan bantuan BLBI tetap bebas dari jeratan hukum.
          Berbagai ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah di Era Reformasi terlihat dari maraknya demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan mahasiswa, buruh, dan organisasi profesi. Dalam pelaksanaan demonstrasi di hampir semua kota di Indonesia, para demonstran yang mengaku diri reformis dan demokrat tersebut mendapat dukungan dari masyarakat. Akan tetapi, setelah beberapa demonstrasi tersebut didanai oleh kelompok tertentu dan para pengikutnya ialah orang-orang bayaran, maka simpati masyarakat mulai berubah. Mereka mulai bosan dengan berbagai aksi demo yang dalam pelaksanaannya sering kali mengganggu aktivitas kelompok masyarakat lainnya.  Misalnya,  banyak pedagang di pasar yang  tidak


bisa berjualan akibat jalanan macet yang disebabkan aksi demo. Banyak pula pengguna angkutan kota yang marah karena sopir angkot melakukan mogok kerja. Sebagian masyarakat yang mulai bosan dengan aksi-aksi demo tersebut mulai bernostalgia dengan suasana "damai" pada masa Orde Baru.
Kehidupan politik pada masa reformasi ditandai dengan aksi-aksi demo yang terjadi hampir setiap hari dengan berbagai tuntutan. Tuntutan yang mereka lakukan bervariasi dari masalah tuntutan mundumya pejabat tertentu, penurunan harga, pemberantasan KKN, aksi keprihatinan sampai turunnya presiden yang berkuasa.
         Pada awal 2003, setelah Presiden Megawati Soekarnoputri berusaha menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan telepon, yang berakibat pada kenaikan ketiga komponen barang tersebut, para mahasiswa segera turun ke jalan menuntut pembatalan kenaikan tarif tersebut. Setelah pemerintah memenuhi tuntutan mereka, tuntutan segera bergeser dari penurunan harga menjadi penurunan presiden yang sedang berkuasa. Kelompok yang dijadikan sasaran demo, sering kali membalasnya dengan aksi demo tandingan. Caranya, dengan menyewa kelompok masyarakat yang menganggur untuk membawa spanduk atau poster sesuai dengan yang ditulis oleh pemasok dana.   

Keadaan seperti ini tentu saja merupakan hal yang berlawanan dengan kondisi masyarakat madani (civil society) seperti yang dicita-citakan kaum reformis pada awal reformasi 1997/1998.
Era keterbukaan pada zaman reformasi ini ditandai pula dengan gerakan disintegrasi oleh beberapa daerah, seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur. Daerah-­daerah tersebut merasa tidak puas dengan pemerintah pusat yang mengalokasikan anggaran pembangunan tidak sebesar sumbangan daerah tersebut terhadap pemerintah pusat. Tokoh-tokoh di daerah merasa bahwa kekayaan alam mereka telah lama dieksploitasi oleh pemerintah pusat, sedangkan sebagian besar rakyatnya tetap miskin. Untuk itu, mereka menuntut melepaskan diri dari pemerintah pusat, otonomi khusus, bahkan merdeka dari RI.
          Provinsi Timor Timur sebagai daerah bekas jajahan Portugal yang oleh pemerintah Orde Baru dijadikan sebagai provinsi ke 27 berhasil melepaskan diri dari RI dan membentuk negara tersendiri. Lepasnya provinsi tersebut terjadi pada masa pemerintahah Presiden B.J. Habibie melalui jajak pendapat pada 30 Agustus 1999. Hasil jajak pendapat yang disponsori oleh Unamet, sebuah badan PBB untuk Timor Timur, diperoleh 78,5 persen suara menyatakan ingin merdeka. Kelompok yang pro RI merasa kecewa dan melakukan pemberontakan sehingga menimbulkan kerusakan.


Setelah itu, Timtim berada di bawah pengawasan pasukan multinasional PBB (Interfet) serta penguasaan PBB sampai terpilihnya Xanana Gusmao, tokoh Fretilin yang pernah ditawan RI di Jakarta, terpilih sebagai presiden, dan  20 Mei 2002 dinyatakan sebagai hari Kemerdekaan Timor Lorosae.


        Berbeda dengan sikap terhadap Timor Timur, sikap pemerintah di era reformasi terhadap Irian Jaya (Papua) dan Aceh, ditunjukkan dengan cara memberikan otonomi. khusus pada dua daerah tersebut. Di samping itu, dunia intemasional sangat mendukung RI untuk tetap mempertahankan kedua daerah yang kaya dengan somber daya alam tersebut. Provinsi Irian Jaya diberi nama Papua serta otonomi khusus pada Oktober 2001, melalui persetujuan DPR atas RUU Otonomi Khusus bagi provinsi tersebut. Dengan demikian,  sebagian aspirasi warga setempat dapat direspon oleh pemerintah pusat, walaupun setelah itu masih terjadi gerakan pemisahan diri serta  pembunu-
han terhadap Theys H. Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua pada 11 November 2001 yang dilakukan oleh beberapa oknum TNI dari Satgas Tribuana X.
Tuntutan merdeka bagi Aceh telah menimbukan banyak korban, baik pada pihak tentara RI, tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun warga sipil serta rusaknya sarana dan prasarana seperti sekolah dan kantor pemerintahan yang dirusak oleh GAM. Tuntutan tersebut sebenarnya sudah lama dilakukan sejak pemerintahan Orde Baru. Presiden B.J.Habibie pada 26 Maret 1999, pernah mengakui adanya operasi militer Orde Baru yang banyak memakan korban jiwa dan meminta maaf kepada seluruh warga Aceh. Permintaan maaf tersebut segera diikuti dengan tuntutan referendum oleh GAM untuk melepaskan diri dari RI.


Pada 9 Agustus 2001 Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani UU Nomor 18 tentang otonomi daerah tersebut. Melalui diplomasi internasional, akhirnya RI dan GAM mencapai kesepakatan damai pada 9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss atas sponsor Henry Dunant Center (HDC) .
Ketidakpuasan terhadap Pemerintah Pusat tidak hanya berasal dari tiga daerah tersebut, melainkan juga dari daerah lainnya terutama daerah yang selama pemerintahan Orde Baru merasa dieksploitasi. Daerah-daerah di Kalimantan, misalnya, sebagai penghasil kayu dan minyak bumi merasa tidak memperoleh imbalan yang memadai dari pemerintah pusat. Di daerah yang kaya tersebut ternyata kehidupan sosial ekonomi warganya tetap buruk. Tuntutan yang mereka ajukan kepada pemerintah pusat, yaitu desentralisasi atau otonomi daerah. Dalam otonomi tersebut, daerah merasa berhak mengelola sumber daya alamnya sendiri dan digunakan untuk pembangunan daerah setempat. Semangat otonomi juga diikuti dengan semangat pemekaran daerah kabupaten. Sampai September 2002,,terdapat 287 kabupaten dan 88 kota baru di Indonesia. Dilihat dari segi ekonomi, pembentukan kabupaten yang terjadi pada masa krisis tersebut merupakan pemborosan sebab jumlah biaya yang diperlukan untuk itu cukup besar.
          Perkembangan politik di Era Reformasi juga ditandai dengan teror bom. Sejak Juli 1997 sampai Oktober 2002, terjadi lebih dari 60 kali ledakan bom di berbagai daerah. Ledakan-ledakan tersebut terjadi di pusat keramaian, seperti mall, gedung pemerintah, rumah ibadah, serta tempat hiburan. Ledakan tersebut telah menimbulkan kerusakan pada sasaran ledakan serta sejumlah korban jiwa. Ledakan paling besar terjadi pada 12 Oktober 2002 di daerah wisata Jalan Legian, Kuta, Bali, yang menewaskan lebih dari 180 orang korban jiwa terutama turis Australia serta lebih dari 130 orang luka-luka. Kerugian yang ditimbulkan oleh teror tersebut tidak terhitung juml

terutama kerugian dalam aspek ketenangan dan rasa aman yang sangat didambakan masyarakat sejak runtuhnya Orde Baru.
Ledakan bom yang terjadi di Bali dan beberapa daerah lainnya telah menimbulkan kerugian materi yang besar. Sektor pariwisata yang menjadi andalan pemerintah untuk mengatasi krisis ini mengalami kehancuran, serta devisa yang diperoleh dari sektor ini mengalami penurunan yang sangat tajam. Citra Bali sebagai salah satu tujuan wisata internasional paling aman telah pupus. Beberapa negara telah melarang warganya untuk tidak bepergian ke Bali dan daerah wisata lainnya di Indonesia. Citra Indonesia di mata internasional semakin buruk akibat teror bom tersebut.

Masa Pemerintahan Reformasi


Masa Pemerintahan Reformasi

         Prof. DR. Ing. B.J. Habibie selaku presiden kemudian membentuk pemerintahan yang dikenal sebagai Kabinet Reformasi Pembangunan. Dalam kabinet ini formasi para menteri berasal dari wakil berbagai kalangan, seperti dari kalangan LSM, partai politik, dan lain-lain. Kabinet baru ini mempunyai kewajiban untuk melakukan berbagai langkah perubahan khususnya dalam mengatasi krisis di segala bidang. Situasi tersebut mengharuskan pemerintahan reformasi untuk mengkaji ulang ketetapan dan langkah-langkah pembangunan nasional selama ini.

Untuk itu, diperlukan koreksi terhadap wacana pembangunan Orde Baru sebagai dasar pijakan dan sasaran reformasi.
         Dalam kurun waktu setahun, pemerintahan B.J. Habibie telah mengadakan sejumlah langkah pembaharuan dibidang politik dan ekonomi. Upaya-upaya pembaharuan (reformasi) tersebut antara lain menyangkut beberapa hal penting, yaitu :
1.        kebebasan pers;
2.        pelepasan para narapidana politik;
3.        kebebasan mendirikan partai politik;
4.        penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR November 1998, dan Pemilu 7 Juni 1999;
5.        program rekapitalisasi perbankan dan restrukturisasi perekonomian nasional;
6.        pemisahan Kepolisian dari TNI;
Pada masa pemerintahan Habibie, diselenggarakan Pemilihan Umum pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti 48 partai politik. Pemilu ini menghasilkan beberapa partai besar, seperti PDI-Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, PAN, PK, dan PBB. Pada bulan Oktober 1999, dilaksanakan Sidang Umum MPR yang diikuti 700 orang dengan komposisi 500 anggota berasal dari DPR dan 200 anggota dari seleksi Utusan Daerah dan utusan Golongan. Penyusunan anggota MPR ini menghasilkan 11 fraksi. Pada sidang ini terpilih Amin Rais (PAN) sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung (Golkar) sebagai Ketua DPR. Akhir dari Sidang Umum itu adalah pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam pemilihan presiden muncul tokoh PBNU yang terkenal dan juga sebagai deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yaitu KH. Abdurahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur, terpilih sebagai Presiden RI ke-4. Gus Dur merupakan calon presiden yang diusulkan oleh kelompok “Poros Tengah” yang dimotori oleh Amin Rais. Terpilih sebagai wakil presiden yaitu Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI-Perjuangan). Pelantikan KH. Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 1999, sedangkan pelantikan Wakil Presiden RI dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 1999.


         Pada masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid (lahir di Jombang, Jatim, 4 Agustus 1940) membentuk kabinet yang kemudian diberi nama Kabinet Persatuan Nasional. Komposisi kabinet ini merupakan gabungan dari para tokoh profesional dan para tokoh partai pendukung pemerintahan koalisi. Pada masa awal pemerintahannya, masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional menyambut baik pengangkatan Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI serta menaruh harapan besar terhadap terciptanya stabilitas nasional di berbagai bidang kehidupan. Tetapi pada bulan-bulan berikutnya kinerja pemerintahan Gus Dur mendapat banyak sorotan dari berbagai fihak baik di dalam maupun di luar negeri. Hal tersebut di sebabkan oleh perilaku Gus Dur itu sendiri di antaranya : terlalu seringnya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial dan inkonsisten sehingga membingungkan masyarakat, sering mengganti para menterinya, sering melakukan lawatan-lawatan ke luar negeri yang dianggap menjadi kontra-produktif dan telah menghabiskan biaya ratusan milyar rupiah dikala kas negara sedang defisit (separuh dari masa pemerintahannya, Gus Dur telah mengunjungi 73 negara). Gus Dur pun dianggap “terlibat” pada kasus Buloggate dan Bruneigate.
         Menjelang masa akhir pemerintahan Gus Dur, suhu politik Indonesia semakin panas yang ditandai semakin panasnya perseteruan antara pihak legislatif (DPR) dengan pihak eksekutif (presiden). Antara kedua lembaga tinggi negara tersebut sama-sama saling menyalahkan pihak lawannya dan membenarkan pendapatnya masing-masing. Dalam perkembangannya, DPR dalam sidang plenonya pernah mengeluarkan Memorandum I dan II sebagai bentuk peringatan terhadap presiden. Memorandum tersebut selanjutnya akan disampaikan kepada MPR untuk segera diselenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
         Menanggapi sikap DPR yang terus-menerus menekan presiden, Gus Dur berkali-kali mengeluarkan pernyataan yang intinya akan mengeluarkan dekrit dalam keadaan bahaya. Gus Dur memandang bahwa para politisi yang duduk di DPR selalu berupaya untuk menjatuhkan presiden. Perseteruan antara kedua lembaga tinggi negara tersebut semakin memanas dengan keluarnya Keppres pemberhentian Kapolri Jenderal Suroyo Bimantoro, yang selanjutnya mengangkat Wakapolri Irjen Polisi Chaerudin Ismail sebagai PJS Kapolri. Tindakan presiden tersebut mengundang kecaman dari mayoritas kalangan DPR/MPR yang menganggap bahwa tindakan presiden tersebut melanggar konstitusi atau ketetapan MPR yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus melalui persetujuan DPR, meskipun pengangkatan dan pemberhentian Kapolri adalah hak prerogatif presiden.
         Sebagai reaksi dari tindakan presiden tersebut, MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna pada tanggal 20 Juli 2001 untuk membahas beberapa tindakan presiden yang dianggap inkonstitusional. Puncaknya, pada tanggal 22 Juli 2001 pukul 01.10 dini hari, Presiden Abdrahman Wahid mengeluarkan Dekritnya yang dibacakan oleh Juru Bicara Kepresidenan Yahya C. Staquf. Dekrit tersebut menimbulkan reaksi cepat dari MPR dengan dimajukannya Sidang Istimewa pada tanggal 23 Juli 2001 yang rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 1 Agustus 2001.

         Dalam Sidang Istimewa MPR tersebut (yang tidak dihadiri oleh presiden), anggota sidang mencabut mandat Abdurahman Wahid sebagai Presiden RI karena dianggap telah melanggar konstitusi. Keputusan untuk mencabut mandat presiden juga didukung oleh Fraksi TNI.
Dalam sidang selanjutnya, MPR memilih Megawati Soekarno Puteri (lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947) sebagai Presiden yang ke lima RI melalui pemungutan suara (voting) secara tertutup. Sedangkan Hamzah Haz (Ketua Umum PPP) terpilih sebagai wakil presiden. Masa pemerintahan Megawati (Kabinet Gotomg Royong) ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.

         MPR periode 1999-2004 mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 sehingga memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada pemilu presiden tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (lahir di Pacitan, Jatim, 9 September 1949) meraih suara terbanyak (60,9 persen suara pemilih) dan terpilih sebagai presiden. SBY kemudian dicatat sebagai presiden terpilih pertama pilihan rakyat dan tampil sebagai presiden Indonesia keenam setelah dilantik pada 20 Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia unggul dari pasangan Presiden Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi pada pemilu 2004.

Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru


Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru

         Krisis moneter yang semula hanya terbatas pada kalangan menengah ke atas ini dampaknya mulai dirasakan oleh masyarakat bawah, terutama dengan tingginya harga-harga kebutuhan pokok mengingat persediaan dan distribusi yang timpang. Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah Orde Baru, masyarakat mengalami kekalutan yang luar biasa dengan memborong barang apa saja yang bisa dibeli untuk persediaan kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif sejarah Indonesia, masa-masa kekalutan sosial dan politik akibat krisis moneter ini hanya dapat dibandingkan dengan periode 1944-1946, masa akhir pendudukan Jepang dan masa awal revolusi Indonesia, dan masa peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru. Ciri-ciri yang menonjol dari fenomena sejarah seperti itu adalah masyarakat dilanda ketidakpastian, rumor dan desas-desus menyebar, tingkat inflasi tinggi, di mana-mana rakyat antri beli beras, antri beli minyak, dan antri kebutuhan pokok lainnya.
          Kekalutan sosial itu dalam derajat tertentu bisa ditolelir kalau saja pemerintah arif menangani krisis ekonomi yang sedang terjadi. Dalam suasana krisis yang sudah melanda hampir di semua lapisan masyarakat, pada awal bulan Mei 1998, pemerintah justru menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Tidak pelak lagi kenaikan harga BBM diikuti oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Di sinilah sumber dari krisis politik dan krisis kepercayaan kepada pemerintah bermula.


         Mahasiswa mulai kehilangan kesabarannya. Dengan mengulang peran-peran yang telah dimainkan oleh para mahasiswa sebelumnya, seperti gerakan mahasiswa tahun 1966, 1974, dan 1978, mahasiswa yang mengklaim dirinya sebagai “Angkatan 1998” itu mulai berdemonstrasi dengan turun ke jalan-jalan. Mereka menuntut mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan yang telah berkuasa lebih dari tiga puluh tahun dan menuntut segera dilaksanakannya reformasi di segala bidang. Aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa itu ditangani oleh aparat keamanan dengan sikap dan cara yang berbeda-beda.

         Pada masa-masa awal aksi demonstrasi mahasiswa acapkali bentrok dengan aparat keamanan, seperti nampak dalam kasus demonstrasi di Medan, Padang, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Surabaya. Namun kasus demonstrasi yang sangat serius adalah terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, Jakarta. Dalam aksi demonstrasi itu tidak hanya ditandai dengan adanya bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan, tetapi juga telah terjadi aksi penembakan yang menyebabkan meninggalnya empat orang mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulyana, Herry Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan, serta puluhan lainnya luka-luka.
Keempat mahasiswa yang meninggal tersebut kemudian dianugrahi sebagai Pahlawan Reformasi.Sebagaimana layaknya sebuah bensin, maka kasus di Trisakti itu telah menyulut api kemarahan para mahasiswa di kota-kota penting lainnya di Jawa. Bahkan di Jakarta sendiri, pada kesokan harinya terjadi aksi kerusuhan dan penjarahan sosial dalam bentuk vandalisme  yang sulit dikendalikan oleh aparat keamanan sekalipun. Tidak puas terhadap sikap dan kebijakan dari pemerintah, ribuan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia akhirnya melakukan aksi “pendudukan” terhadap Gedung DPR/MPR. Mereka tetap menuntut pencabutan mandat MPR terhadap Presiden Soeharto dan segera dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR.
         Karena merasa sudah tidak mendapat kepercayaan lagi dari berbagai pihak,  pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan “pengunduran dirinya” (lengser keprabon) dari jabatan kepresidenan di depan Mahkamah Agung. Sebagai penggantinya adalah Prof. DR. Ing. B.J. Habibie yang pada waktu itu menjabat sebagai wakil presiden. Maka sejak saat itulah pemerintahan Orde Baru berakhir dan digantikan oleh pemerintahan yang dinamakan Pemerintahan Reformasi.

Latar-Belakang Munculnya Krisis di Indonesia


Latar-Belakang Munculnya Krisis di Indonesia

         Krisis moneter yang gejalanya mulai menguat pada bulan Juli 1997 di Indonesia dan dampaknya masih dirasakan sampai sekarang di segala bidang, membawa implikasi-implikasi politik yang sangat penting. Krisis itu sebagian telah memicu pula krisis-krisis yang lain sehingga menjadi krisis yang multidimensional, di antaranya adalah kepercayaan kepada pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan yang absah mulai digugat dan dipertanyakan. Gugatan yang semula disuarakan oleh mahasiswa dari balik pagar kampus itu, dalam perkembangan selanjutnya mendapat dukungan dari banyak pihak.
         Dari sebuah krisis moneter yang tak kunjung tertangani oleh pemerintah dan tuntutan mahasiswa yang disokong oleh kelompok-kelompok kepentingan lainnya dalam masyarakat, akhirnya membawa pada sebuah gejolak politik yang sangat serius. Gejolak politik itu ditandai oleh adanya kerusuhan dan penjarahan sosial di satu sisi, dan turunnya Soeharto sebagai Presiden RI kedua, yang telah berkuasa selama 32 tahun, di sisi lain. Krisis moneter dan gejolak politik itu pada gilirannya membawa pada sebuah kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak sehat dengan sistem dan struktur kehidupan yang selama itu dibangun. Dan untuk menyehatkan kembali sistem dan struktur kehidupan yang sudah rapuh itu perlu diadakan reformasi di segala bidang.
         Berikut di bawah ini adalah beberapa bidang kehidupan yang merupakan faktor penyebab dari krisis yang melanda Indonesia.

a.     Di Bidang Ekonomi
         Keberhasilan pembangunan yang telah dicapai selama tiga puluh dua tahun Orde Baru telah mengalami kemerosotan yang memprihatinkan, hal ini diakibatkan oleh munculnya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, dan berlanjut menjadi krisis ekonomi yang lebih luas. Landasan ekonomi yang dianggap kuat, ternyata tidak berdaya menghadapi gejolak keuangan eksternal serta kesulitan-kesulitan makro dan mikro ekonomi. Hal ini disebabkan oleh penyelenggaraan perekonomian nasional yang kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 UUD 1945 dan cenderung menunjukkan corak yang monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan prioritas khusus yang berdampak timbulnya kesenjangan sosial. Kelemahan fundamental itu juga disebabkan pengabaian perekonomian kerakyatan yang sesungguhnya bersandar pada basis sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai unggulan komparatif dan kompetitif.
         Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati, mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak kompetitif. Sebagai akibatnya, krisis moneter yang melanda Indonesia tidak dapat diatasi secara baik sehingga memerlukan kerja keras untuk bangkit kembali.
         Rentannya ekonomi Indonesia dipicu oleh jatuhnya nilai tukar rupiah sampai ke tingkat terendah. Pemerintah tidak segera mengambil langkah yang kongkrit dan jelas untuk mengatasi krisis kurs tersebut.
         Pembangunan industri tidak berbasis kepada masyarakat atau potensi unggulan daerah, tidak ada keterkaitan antara industri besar, menengah, dan kecil yang serasi, serta juga struktur industri yang lemah dalam hubungan industri hulu dan hilir. Disamping itu sebagian besar lahan pertanian yang subur telah berubah fungsi menjadi lahan industri sehingga dari kondisi semula swasembada beras telah berubah menjadi pengimpor beras.

         Sistem perbankan yang tidak mandiri karena intervensi pemerintah terhadap Bank Sentral yang terlalu kuat melemahkan ekonomi nasional. Hubungan yang erat antara penguasa dengan pemilik bank-bank swasta telah menyebabkan pemberian fasilitas yang tidak terbuka yang merugikan masyarakat dan negara. Di samping itu, ketidakhati-hatian dan kecurangan dunia perbankan dalam mengelola dana, memperparah kondisi ekonomi.

b.     Di Bidang Politik
         Tatanan kehidupan politik yang dibangun selama tiga puluh dua tahun diakui telah menghasilkan stabilitas politik dan keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental corak paternalistik dan kultur neo-feodalistiknya mengakibatkan proses partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik nasional tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup di bawah kontrol lembaga kepresidenan mengakibatkan krisis struktural dan sistemik sehingga tidak mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan sosial secara proporsional dan optimal. Terjadinya praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa lalau adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan ketertutupan kekuasaan.
         Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis. Keadaan ini menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
         Pengembangan kualitas sumber daya manusia dan sikap mental serta kaderisasi pemimpin bangsa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralistik dan neo-feodalistik mendorong mengalirnya sumber daya manusia yang berkualitas ke pusat sehingga kurang memberi kesempatan pengembangan sumber daya manusia di daerah. Akibatnya terjadi kaderisasi dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek akseptabilitas dan legitimasi.

c.     Di Bidang Hukum
         Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya praktek-prakek korupsi, kolusi dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
         Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses pengadilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses pengadilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau fihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.


d.     Di Bidang Agama dan Sosial-Budaya
         Pada masa Orde Baru, pembangunan ekonomi telah berhasil mengurangi penduduk miskin dan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat. Tetapi akibat munculnya krisis ekonomi yang melanda bangsa kita, telah membalikkan situasi tersebut, dan mengakibatkan bertambahnya penduduk miskin dan jumlah penganggur akibat pemutusan hubungan kerja. penduduk miskin dan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat.
         Pada masa Orde Baru, pembangunan ekonomi telah berhasil mengurangi angka pengangguan. Tetapi


akibat munculnya krisis ekonomi yang melanda bangsa kita, telah membalikkan situasi tersebut, dan mengakibatkan bertambahnya penduduk miskin dan jumlah penganggur akibat pemutusan hubungan kerja.
         Kondisi kehidupan sosial-ekonomi rakyat makin memprihatinkan, harga sembilan bahan pokok dan obat-obatan tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat. Taraf hidup rakyat menurun dengan tajam, kualitas hasil didik tidak memberikan harapan, dan jumlah peserta didik yang putus sekolah makin meningkat.
         Jati diri bangsa yang disiplin, jujur, beretos kerja tinggi serta berakhlak mulia belum dapat diwujudkan bahkan cenderung menurun. Aksi-aksi brutal oleh sebagian masyarakat berupa penjarahan dan perampokan serta perilaku dan tindakan yang tidak terpuji lainnya yang melanggar hukum serta  agama yang terjadi akhir-akhir ini, sungguh-sungguh bertentangan dengan akhlak mulia dan budi pekerti luhur yang bersumber dari norma-norma dan ajaran agama, serta nilai-nilai budaya bangsa. Krisis ekonomi dewasa ini bahkan makin menghilangkan semangat dan optimisme bahwa bangsa Indonesia bisa memecahkan masalah dengan kekuatan sendiri.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More