SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA
I. MASA PENJAJAHAN
1. HINDIA BELANDA
Reglement op beleid der regering van nederlandsch indie merupakan peraturan dasar ketatanegaraan Pemerintah Hindia Belanda,
dalam peraturan ini tidak mengenal desentralisasi. Menurut reglement ini,
Hindia Belanda diperintah secara sentralistik, tetapi pada pemerintahan yang
sentralistik ini dijalankan pula dekonsentrasi.
Dekosentrasi adalah tugas
pemerintah yang dilimpahkan dari aparatur pemerintah pusat kepada
pejabat-pejabat pusat yang lebih rendah tingkatannya secara hierarkhis dari
masin-masing lingkungan wilayah jabatan tertentu yang disebut daerah
administratif.
Daerah
Administratif menurut reglement ini adalah Gewest (kemudian
disebut residentie) yang masing-masing selanjutnya dibagi dalam afdeling, district dan onderdistrict.
Susunan Pemerintah Hindia Belanda yangs sentralistik berlangsung sampai
permulaan abad XX.
Timbulnya
perkembangan baru yang bermula dari suara-suara kalangan penduduk Eropa Timur
Asing dan Elit Indonesia yang menyerukan agar pemerintahan disusun secara
modern. Di kalangan Bangsa Belanda sendiri timbul gerakan ethishce
politiek yang kesemuanya itu mendorong pemerintahan Kerajaan Belanda
pada Tahun 1903 mengeluarkan Undang-Undang Tentang Desentralisasi.
Ciri-ciri pokok desentralisasi menurut Undang-undang ini adalah:
a. Kemungkinan pembentukan suatu daerah dengan keuangan sendiri yang
perumusannya dilakukan oleh sebuah dewan
b. Bagi daerah yang memenuhi syarat dikeluarkan ordantie pembentukannya
diikuti dukungan sejumlah uang dari kas Negara yang diserahkan kepada daerah
tersebut serta dibentuk dewan pengurusnya yang bersangkutan
c. Ketua dewan setempat dipegang oleh pejabat pusat yang menjadi kepala Gewest yang
bersangkutan. Untuk daerahadministrative yang lain ditunjuk dalam
peraturan perundang-undangan pembentukan, pada umumnya dipegang oleh pejabat
pusat yang menjadi kepala daerah administrative
d. Anggota dewan setempat sebagian diangkat, sebagian duduk karena jabatannya
dalam pemerintahan dan sebagian dipilih, kecuali dewan kota, sejak 1917
semuanya dipilih. Masa jabatan dewan daerah sampai tahun 1925 ditentukan 6
tahun dan 4 tahun sesudahnya.
e. Dewan setempat mempunyai wewenang menetapkan peraturan setempat sepanjang
belum diatur dalam perundang-undangan pusat
f. Pengawasan terhadap daerah baik berupa kewajiban daerah untuk meminta
pengesahan terlebih dahulu bagi keputusannya maupun hak menunda atau
membatalkan keputusan daerah ada pada gubernur jenderal Hindia Belanda.
Penyelenggaraan
desentralisasi seperti tersebut di atas setelah Perang Dunia I dianggap kurang
memuaskan. Masyarakat menuntut diberikan wewenang lebih luas dalam bidang
pemerintahan. Perkembangan dalam dan luar negeri mendorong pemerintah
Belanda memenuhi tuntutan, misalnya pada 1917 dibuka kemungkinan
pembentukan volksraad. Selanjutnya tahun 1922 dijalankan pembaruan
pemerintahan yang memungkinkan penyelenggaraan desentralisasi dan
dekonsentrasi. Ciri-ciri pokok desentralisasi berdasarkan Undang-Undang
Tahun 1922 adalah sebagai berikut:
a. Kemungkinan provinsi otonom dengan wilayah dan kekuasaan yang lebih luas
dari gewest, terbagi dalam regentshapdan stadgemeente yang
juga otonom
b. Otonomi daerah itu dan tugasnya untuk membantu melaksanakan peraturan
perundangan pusat
c. Susunan Pemerintah Daerah umumnya terdiri dari 3 organ, yaitu Raad (dewan), College yang
menjalankan pemerintahan sehari-hari dan kepala daerah (gubernur, residen,
bupati)
d. Kepala daerah yang merupakan pejabat pusat sebagai kepala daerah administrative sekaligus
sebagai organ daerah yaitu ketua raad dan ketua college dari
daerah yang bersangkutan
e. Pengawasan terhadap daerah dilakukan oleh gubernur jenderal, daerah-daerah
provinsi oleh college porivinsi yang bersangkutan. Kepala daerah sebagai pejabat pusat menjalankan pengawasan terhadap
pelaksanaan otonomi dalam daerahnya
Pembentukan
daerah otonom sejak tahun 1903 dilakukan di daerah yang langsung dikuasainya.
Disamping daerah otonom seperti yang disebut di atas masih ada lagi daerah
otonom lainnya yaitu persekutuan adat asli Indonesia, misalnya: Desa, Huta,
Kuria, marga atau nagari.
Disamping
pemerintahan langsung (terhadap daerah yang dikuasai) ada pemerintahan tidak
langsung terhadap kerajaan-kerajaan asli Indonesia dengan cara diikat dengan
kontrak-kontrak politik. Dalam kontrak, Belanda mengakui tetap berdirinya
kerajaan-kerajaan tersebut dan haknya menyelenggarakan pemerintahan rumah
tangganya sendiri. Ada kontrak jangka panjang, misal dengan kesunanan Surakarta
dan kontrak jangka pendek memuat pernyataan kerajaan asli Indonesia mengakui
kekuasaan Belanda dan berjanji akan mentaati segenap peraturan yang akan
ditetapkan Belanda.
2. MASA PENDUDUKAN JEPANG
Pada 9 Maret
1942 pemerintahan Hindia Belanda menyerah kepada pihak Jepang, selanjutnya
Jepang memberlakukan pemerintahan militer di daerah-daerah yang telah
didudukinya. Bekas wilayah Hindia Belanda dibagi dalam 3 daerah
pemerintahan, yaitu:
a. Pemerintahan militer angkatan darat berkedudukan di Jakarta untuk Jawa dan
Madura
b. Pemerintahan militer angkatan darat berkedudukan di Bukittinggi untuk
Sumatera
c. Pemerintahan militer angkatan laut berkedudukan di Makasar untuk daerah
Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat
Pemerintah
terdiri dari gunsireikan (panglima Besar Tentara
Jepang), gunseikan (pembesar pemerintah bala tentara Jepang).
Selanjutnya semua badan pemerintahan dengan kekuasaannya, hukum dan
undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda untuk sementara diakui asalkan
tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang.
Provinsi pada masa Hindia Belanda
tidak dilanjutkan, sebutan daerah pemerintahan termasuk kepala pemerintahannya
diganti dengan nama dalam bahasa Jepang. Syuu untuk
keresidenan, ken untuk kabupaten, si untuk
pemerintahan kota. Wewenang dewan dan college dijalankan oleh
kepala pemerintahan (kentyoo, sityoo). Pada masa jepang menganut
pemerintahan tunggal dan sentralistik
II. MASA REVOLUSI FISIK DI WILAYAH REPUBLIK INDONESIA (1945 – 1949)
a. UU No. 1 Tahun 1945
Sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945
menetapkan antara lain bahwa untuk sementara wilayah Indonesia dibagi dalam 8
provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur, yaitu Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.
Provinsi dibagi dalam keresidenan yang dikepalai oleh seorang residen. Gubernur
dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah (KND).
Sidang PPKI tanggal 23 Agustus 1945
menetapkan beberapa keputusan tentang Komite nasional, yaitu:
1. Komite Nasional dibentuk di seluruh Indonesia dengan pusatnya
adalah di Jakarta;
2. Komite Nasional adalah penjelmaan kebulatan tujuan dan cita-cita
Bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan berdasar kedaulatan rakyat;
3. Usaha-usaha komite Nasional, yaitu:
· Menyatakan kemauan rakyat;
· Mempersatukan rakyat;
· Membantu menenteramkan rakyat;
· Membantu pemimpin dalam menyelenggarakan cita-cita bangsa.
4. Komite Nasional Pusat memimpin dan memberi petunjuk kepada
Komite nasional di daerah, bila perlu didirikan komite nasional di pusat daerah
di tiap-tiap provinsi
5. Komite Nasional di Pusat, di Pusat daerah dan di daerah dipimpin
oleh seorang ketua dan beberapa anggota pengurus yang bertanggung jawab kepada
komite nasional.
Maklumat Wakil Presiden No. X Tanggal
16 Oktober 1945 menetapkan Komite Nasional Pusat (KNP) melaksanakan tugas
legislatif sebelum MPR dan DPR dibentuk. Kemudian untuk mengatur pemerintahan
di daerah keluarlah UU No. 1 Tahun 1945 Tanggal 23 November 1945, yang
diantaranya memuat:
· Penjelasan Pasal 1
Komite Nasional Daerah (KND) diadakan
di tingkat keresidenan, kota dan kabupaten. Pada tingkat lainnya tidak perlu
diadakan/dilanjutkan. Bila ada daerah yang menghendaki KND, dapat mengusulkan
kepada Menteri dalam negeri. Peraturan ini tidak berlaku bagi daerah Yogyakarta
dan Surakarta yang belum jelas gambarannya.
· Penjelasan Pasal 2
KND berubah sifatnya menjadi badan
perwakilan rakyat daerah (BPRD) diketuai oleh kepala daerah. Akan tetapi Kepala
daerah bukan anggota BPRD sehingga tidak mempunyai hak suara. Jumlah anggota
BPRD sebanyak-banyaknya 100 orang untuk keresidenan dan 60 orang untuk
kabupaten. Wewenang BPRD, diantaranya:
1) Mengadakan peraturan-peraturan untuk kepentingan daerahnya
(otonom)
2) Tugas Pembantuan (medebewind) dan selfgoverment
3) Membuat peraturan pelaksanaan UU umum dengan ketentuan harus
disyahkan lebih dahulu oleh pemerintah atasan (wewenang diantara otonomi
dan selfgoverment)
· Penjelasan Pasal 3
KND (yang sudah berubah sifatnya dari
KND lama) memilih sekurang-kurangnya 5 orang untuk duduk di badan eksekutif
(BE). Jumlah BE menjadi 6 orang termasuk kepala daerah untuk memutuskan sesuatu
bila terjadi yang setuju dan tidak setuju jumlahnya sama.
· Penjelasan Pasal 4
Ketua KND lama menjadi wakil Ketua
Badan Legislatif dan wakil ketua BE
· Penjelasan Pasal 5
Pemerintah daerah menanggung biaya
KND, bila ada kekurangan pusat menambah
· Penjelasan pasal 6
UU no 1 tahun 1945 disetujui oleh
pemerintah pada tanggal 23 November 1945, perubahan di daerah-daerah harus
selesai dalam waktu 14 hari.
Sesuai dengan keadaan di Jawa dan
Sumatera, KND dibentuk melalui maklumat Gubernur Sumatera No. 8/M.G.S, yang
isinya meniru UU No. 1 Tahun 1945 yang menyatakan KND dibentuk di provinsi,
keresidenan, kota otonom dan daerah-daerah lainnya yang dianggap perlu. KND ini
menjadi DPRD yang mengatur rumah tangganya sendiri. Seperti di Jawa, DPRD
membentuk BE sebanyak 5 orang dan kerjanya sama dengan Pasal 3 UU No. 1 Tahun
1945. Akan tetapi di Sumatera, Kepala Daerah menjadi ketua merangkap anggota
ari BE dan Badan Yudikatif (DPRD), sehingga mempunyai hak suara. Ketua KND lama
diangkat menjadi Wakil Ketua DPRD dan BE. Di Provinsi Sumatera dibentuk sebuah
DPRD dengan nama Dewan Perwakilan Sumatera yang beranggota 100 orang sebagai
wakil dari keresidenan-keresidenan dengan perbandingan 100 ribu penduduk
memperoleh seorang wakil. Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi,
yaitu:
a. Sub Provinsi Sumatera Selatan, meliputi Keresidenan Bangka
Belitung, Bengkulu, Lampung dan Palembang;
b. Sub Provinsi Sumatera tengah, meliputi Keresidenan Jambi, Riau
dan Sumatera Barat;
c. Sub Provinsi Sumatera Utara, meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera
Timur dan Tapanuli.
Daerah Yogyakarta ada 2 kerajaan,
yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Kedudukan Kesultanan Yogyakarta
dengan Pemerintah Hindia Belanda (HB) diikat dalam perjanjian (kontrak) politik
jangka panjang. Kedudukan Pakualaman diikat dengan perjanjian politik jangka
pendek. Pada tanggal 19 Agustus 1945, Presiden Republik Indonesia (RI)
menerbitkan piagam kedudukan yang disampaikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan
Sri Paku Alam VIII yang menyatakan bahwa keduanya menjadi kepala daerah
masing-masing sebagai bagian dari Wilayah RI. Dalam proses selanjutnya kedua
daerah bergabung menjadi satu Daerah Istimewa Yogyakarta, dan memiliki 1 Badan
Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD).
Kesunanan Surakarta dan mangkunegaran
pada waktu Pemerintahan HB juga terikat kontrak politik jangka panjang dan
jangka pendek. Setelah kemerdekaan dan diterbitkan Piagam Presiden RI yang
menyatakan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Mangkunegaran VIII menjadi kepala
daerah masing-masing dan dibentuk KND, dan atas usul Badan Pekerja Harian di
wilayah ini dibentuk pemerintahan directorium. Terjadi pro dan
kontra, pihak mangkunegaran tidak menyetujui pemerintahan bentuk tersebut.
Pemerintahan tidak berjalan lancar, Kabupaten Karanganyar, diikuti Boyolali,
Klaten dan Sragen melepaskan diri dari Mangkunegaran. Akhirnya pada tanggal 15
Juli 1946, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 16/S.D. yang
menyatakan, antara lain: Sebelum bentuk pemerintahan daerah kesunanan dan
mangkunegaran ditetapkan dengan UU, untuk sementara kedua daerah tersebut
dipandang sebagai satu keresidenan Surakarta.
Pendeklarasian Keresidenan Surakarta
dan mangkunegaran segera dimulai dengan membentuk DPRD di Keresidenan Kabupaten
dan Kota Surakarta. Walaupun pada awalnya pemerintahan Keresidenan Surakarta
mendapat banyak hambatan dari pihak kesunanan, tetapi tetap berjalan. Oleh
karenanya Ex Kesunanan Surakarta tidak menjadi Daerah Istimewa seperti
Yogyakarta.
b. UU NO. 22 Tahun 1948
Keluarnya UU No. 22 Tahun 1948
disambut gembira oleh daerah-daerah, karena ada dasar yang lebih sempurna untuk
perkembangan Pemerintahan Daerah berdasarkan kedaulatan rakyat. Berhubung
kesibukan menghadapi pemberontakan PKI dan Agresi Militer Belanda (AMB) II,
Pemerintah RI belum sempat melaksanakan UU No. 22 tahun 1948. Seperti:
a. RUU tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogykarta (DIY) yang
tinggal ditandatangani presiden gagal karena AMB II.
b. Penyusunan daerah-daerah otonomi di Sumatera Tengah terhenti
karena AMB II.
Setelah AMB II, Pemerintah Darurat di
Sumatera mulai melaksanakan UU no. 22 Tahun 1948 dengan membentuk provinsi dan
kabupaten otonom, melaksanakan bimbingan dan pengawasan terhadap daerah otonom,
penyerahan sumber keuangan daerah dan pengaturan keuangan daerah. Pembagian
daerah otonom menurut UU ini dapat dibedakan ke dalam 2 jenis dan 3 tingkatan,
yaitu:
a. Jenis daerah otonomi biasa, terdiri dari tingkat provinsi,
tingkat kabupaten, kota besar, daerah istimewa setingkat kabupaten dan tingkat
desa atau kota kecil;
b. Jenis daerah otonomi istimewa, terdiri dari tingkat daerah
istimewa setingkat provinsi, tingkat kabupaten, kota besar, tingkat desa dan
kota kecil
Kekuasaan pemerintah daerah, setiap
daerah mempunyai 2 kekuasaan yaitu Kekuasaan Otonom danMedebewind.
Otonomi adalah Hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
Sedangkan Medebewindadalah hak menjalankan peraturan-peraturan dari
pemerintah pusat atau daerah tingkat atasannya berdasarkan perintah pihak
atasan tersebut. Kewajiban yang diserahkan kepada daerah menurut UU ini
adalah:
1. Penyerahan Penuh, artinya meliputi azasnya (prinsip-prinsip),
caranya menjalankan kewajiban/pekerjaan yang diserahkan itu diberikan semuanya
kepada daerah (hak otonomi)
2. Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai
caranya menjalankan pekerjaan saja, prinsip-prinsipnya ditentukan oleh
Pemerintah Pusat sendiri (hak medebewind)
Dalam menjalankan kekuasaannya,
daerah diawasi oleh instansi di atasnya. Pengawasan tersebut berupa:
1. Pengawasan Preventif, yaitu hak memberikan pengesahan terhadap
daerah sebelum dijalankan
2. Pengawasan Refresif, yaitu hak menunda/membatalkan kepala daerah
atau peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umumn
aturan pemerintah pusat/daerah yang lebih tinggi.
Sumber Keuangan daerah berasal dari:
Pajak daerah termasuk retribusi, hasil perusahaan daerah, pajak negara yang
disewakan kepada daerah, lain-lain (pinjaman, subsidi/sokongan, hasil
penjualan/penyewaan barang milik daerah, derma: warisan/wakaf dari penduduk,
hasil undian). Dengan adanya sumber keuangan ini, tidak ada lagi
penutupan/penggalangan dari pemerintah pusat.
Aparatur pemerintah daerah
terdiri dari DPRD dan DPD yang mempunyai ketuanya sendiri-sendiri, ketua DPRD
dipilih oleh dan daripada anggota DPRD. Ketua DPD adalah kepala daerah, tidak
merangkap sebagai ketua DPRD. Jumlah anggota DPRD ditentukan dalam UU
pembentukan daerah yang bersangkutan, karena tiap daerah jumlah penduduknya
berbeda-beda. Anggota DPRD tidak boleh merangkap jabatan, misal:
Presiden/wapres, menteri, ketua dan anggota BPK, kepala daerah, anggota DPD
dari daerah yang setingkat lebih atas, pegawai yang bertanggung jawab tentang
keuangan daerah, kepala jawatan atau sekretaris daerah. Wewenang DPRD menurut
UU ini diantaranya adalah:
1. Mengatur dan mengurus Rumah Tangga daerahnya
2. Menjalankan peraturan yang diperintahkan pihak atasan
3. Membuat peraturan daerah dalam rangka otonomi atau medebewind
4. Menetapkan anggaran belanja dan pendapatan
5. Memilih para anggota DPD, membuat pedoman cara kerjanya dan
meminta pertanggungjawabannya
6. Mengajukan calon kepala daerah kepada instansi yang berwenang
mengangkat.
Anggota DPD dipilih oleh dan dari
Anggota DPRD dengan dasar perwakilan berimbang menurut partai yang duduk di
DPRD. DPD bertanggung jawab kepada DPRD, DPRD berhak memberhentikan anggota DPD
yang dipilihnya. Jumlah anggota DPD ditentukan pula dalam UU pembentukannya.
Wewenang utama DPD adalah menjalankan pemerintahan sehari-hari dan mewakili
daerahnya di muka/di luar pengadilan.
III. Masa Revolusi Fisik di Wilayah Kekuasaan Belanda
A. Di Indonesia Bagian Barat
September 1945, tentara sekutu yang
diwakili Tentara Inggris datang ke Indonesia untuk mengurus pemindahan Tentara
Jepang dan mengembalikan tawanan perang sekutu. Kedatangan mereka diikuti oleh
Pemerintahan HB, lengkap dengan kekuatan milternya. Setelah Tentara Inggris
meninggalkan Indonesia, Pemerintahan HB dapat memegang kekuasaan di
Wilayah Indonesia Bagian Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Barat dan
Sunda Kecil dan beberapa kota di Jawa dan Sumatera. Pemerintah HB bermaksud
berkuasa kembali di Indonesia, tetapi menghadapi kenyataan bahwa di Indonesia
telah berdiri Negara RI. Konflik kepentingan ini diselesaikan melalui
perundingan dan ditandatangani Perjanjian Linggarjati pada Tanggal 25 Maret
1947. Dalam perjanjian ini disetujui bahwa Pemerintah Indonesia dan Belanda
akan bersama-sama mengusahakan terbentuknya Negara Indonesia Serikat yang
terdiri dari Negara RI, Negara Borneo dan Negara Timur Besar.
Pembentukan RIS pada dasarnya bukan
tujuan, hanya sebagai siasat untuk mendapatkan waktu persiapan menyusun
kekuatan. Setelah kekuasaan milternya dianggap cukup, Belanda melancarkan AMB
I, yaitu melebarkan wilayah dari kota-kota yang didudukinya di Jawa dan
Sumatera, Pada tanggal 21 Juli 1947. Untuk mengamankan konsolidasinya, Belanda
mengadakan lagi perjanjian dengan RI, yaitu perjanjian Renville pada Tanggal 17
Januari 1948. Menghadapi usaha-usaha Belanda ini, Pemerintah RI berusaha
memperkokoh pemerintahannya dengan mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1948
Tentang Pemerintahan Daerah.
Pada Tanggal 19 Februari 1948,
Belanda melancarkan AMB II sebagai langkah terakhir untuk menguasai seluruh
Indonesia. Sebelum Presiden dan wakil Presiden ditangkap, beliau telah
memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran (Mr. Sjafrudin Prawiranegara) yang
sedang berada di Sumatera untuk membentuk Pemerintah Darurat RI di Sumatera.
Pada Tanggal 22 Desember 1948 Pemerintah Darurat RI terbentuk dan mulailah
babak Perang Gerilya melawan Belanda. Berkat perlawanan Indonesia dan
reaksi-reaksi Luar negeri yang mengutuk AMB, memaksa Belanda berunding lagi
dengan Pemerintah RI, melalui Perjanjian Roem Royen pada Tanggal 7 Mei 1949.
Presiden dan Wapres serta menteri-menteri RI yang ditawan dibebaskan, kemudian
Pemerintahan Darurat RI mengembalikan mandatnya ke Presiden RI di Yogyakarta
pada tanggal 4 Agustus 1949. Kemudian terjadi lagi perundingan yang bernama
Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda yang menghasilkan persetujuan
tentang Pembentukan suatu Negara Republik Indonesia Serikat. Hal ini merupakan
awal pengakuan negara penjajah Belanda kepada Indonesia.
B. Di Indonesia Bagian Timur
Pasukan Inggris meninggalkan
Indonesia Bagian Timur pada Tanggal 1 Juli 1946 dari Pelabuhan Makasar.
Pemerintah HB segera berdiri, selanjutnya dibentuk daerah otonom yang meliputi
Kalimantan dan Indonesia Bagian Timur, di bawah Komisaris yang memegang
kekuasaan Gubernur. Pemerintah Daerah di Indonesia Bagian Timur terdiri dari:
1. Daerah Kalimantan, meliputi 9 daerah otonom
2. Daerah Sulawesi, meliputi 11 daerah otonom
3. Daerah Maluku, meliputi 3 daerah otonom
Usaha Belanda untuk tetap
mempertahankan pengaruhnya dengan mempelopori pembentukan Negara Indonesia
Serikat, yaitu dengan membentuk Negara Indonesia Timur pada Tanggal 24 Desember
1946
IV. Masa Republik Indonesia Serikat (1949 -1950)
A. Hindia Belanda
Setelah Pemerintah HB kembali di
Indonesia, mencari siasat supaya tetap mempertahankan kekuasaannya, pucuk
pimpinan Pemerintah HB, yaitu H.J. Van Mook, mencetuskan gagasan tentang pembentukan
Negara Serikat/federal. Diawali dengan Konferensi Malino di Sulawesi pada
Tanggal 15 -25 Juli 1946, dihadiri oleh wakil-wakil daerah yang telah dikuasai
kembali oleh Belanda, dilanjutkan dengan Konferensi Pangkalpinang di Pulau
Bangka pada Tanggal 1-12 Oktober 1946. Seterusnya Konferensi Denpasar di Pulau
Bali pada Tanggal 2-24 Desember 1946 memastikan terbentuknya Negara Indonesia
Serikat, yaitu ditandai oleh lahirnya Negara Indonesia Timur yang meliputi
pulau-pulau Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku. Kemudian dilanjutkan pembentukan
Negara-negara bagian:
1. Negara Sumatera Timur
2. Negara Madura
3. Negara Pasundan
4. Negara Sumatera Selatan
Selain Negara-negara bagian tersebut
dibentuk pula suatu daerah yang karena kondisinya belum disebut sebagai negara
bagian tetapi hak-haknya sama dengan negara bagian, yaitu:
1. Dayak Besar
2. Kalimantan Tenggara
3. Bangka
4. Belitung
5. Riau
|
6. Daerah Banjar
7. Kalimantan Timur
8. Daerah Istimewa
Kalimantan Barat
9. Jawa Tengah
|
Setelah Perjanjian Roem Rojen, RI
hasil Proklamasi 1945 terpaksa ikut serta dalam pembentukan Negara Indonesia
Serikat dan hadir dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Peserta KMB adalah
Delegasi Kerajaan Belanda, Delegasi RI Proklamasi 1945 dan Delegasi BFO (Bijeenkomstroor
Federal Overleg). BFO adalah wakil segenap negara bagian dan satuan
kenegaraan ciptaan Pemerintah HB.
B. Daerah Otonom dalam RIS
Menurut pasal 2 Konsitusi RIS, negara
federal ini disusun atas 7 Negara Bagian dan 9 satuan kenegaraan yang tegak
berdiri. Irian Barat tidak masuk ke dalam RIS karena masih merupakan sengketa
antara Belanda dan Indonesia yang menurut rencana akan diselesaikan dalam
jangka 1 (satu) tahun. Ada juga beberapa wilayah yang tidak merupakan negara
bagian RIS, yaitu distrik Federal Jakarta, Kota Waringin, Padang dan Sabang.
Pemerintahan atas daerah ini dilakukan oleh alat perlengkapan federal. Secara
garis besar yang membentuk Negara RIS adalah:
1. Negara Republik
Indonesia (hasil Proklamasi 1945)
2. Negara Indonesia
Timur
3. Negara Sumatera
Timur
4. Negara Madura
5. Negara Pasundan
6. Negara Sumatera
Selatan
7. Negara Jawa Timur
8. Satuan Kenegaraan
Dayak Besar
|
9. Satuan Kenegaraan
Kalimantan Tenggara
10. Satuan Kenegaraan
Bangka
11. Satuan Kenegaraan
Belitung
12. Satuan Kenegaraan
Riau
13. Satuan Kenegaraan
Kalimantan Timur
14. Satuan
Kenegaraan Daerah Banjar
15. Satuan Kenegaraan
DI Kalimantan Barat
16. Satuan Kenegaraan
Jawa Tengah
|
C. Keruntuhan Sistem Federal
Negara RIS tidak pernah berakar pada
sanubari rakyat, sebagian besar rakyat Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh
menginginkan suatu negara federal, melainkan negara kesatuan seperti Konstitusi
Proklamasi (UUD 1945). Berdasarkan atas desakan rakyat, Pemerintah Negara Jawa
Timur memisahkan diri dari RIS dan bergabung ke RI, kemudian disusul
berturut-turut Pemerintah Negara Pasundan, Pemerintah Negara Sumatera Selatan,
Pemerintahan DI Kalimantan Barat. Kemudian untuk memungkinkan pembukaan suatu
negara bagian, ditetapkan UU darurat No. 11 Tahun 1950 tentang cara perusahaan
susunan kenegaraan dari RIS. Berdasarkan UU ini, satuan-satuan kenegaraan dari
RIS yang menginginkan keluar dari RIS dibubarkan oleh Presiden RIS dan
wilayahnya digabung dengan Negara Bagian RI Proklamasi 1945. Sejak Maret 1950,
berturut-turut dibubarkan daerah-daerah bagian:
1. Jawa Tengah
2. Jawa Timur
3. Madura
4. Padang
|
5. Sabang
6. Pasundan
7. Sumatera Selatan
8. Kalimantan Timur
|
9. Banjar
10. Dayak Besar
11. Kalimantan Tenggara
12. Kota Waringin
|
13. Bangka
14. Belitung
15. Riau
|
Tinggal 2 (dua) negara bagian yang
belum bergabung ke dalam RI Proklamasi 1945 yaitu: Negara Indonesia Timur dan
Negara Sumatera Timur, mereka memberikan mandat kepada RIS untuk berunding
dengan RI untuk membentuk negara kesatuan. Pada tanggal 19 Mei 1950 antara
Pemerintah RIS dan Pemerintah RI mencapai persetujuan untuk membentuk negara
kesatuan dengan merubah konsitusi RIS dimana pasal-pasal yang mengenai bentuk
federasi dihapuskan. Akhirnya keluarlah UU RIS no. 7 Tahun 1950 tentang
perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara Tahun 1950 atau dikenal dengan
UUDS 1950.
Pada hari Ulang Tahun RI ke 5
Tanggal 17 Agustus 1950, berdirilah Negara Kesatuan RI hasil peleburan dari
Negara RI, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur.
V. Masa Desentralisasi dalam NKRI (1950-1959/Dekrit Presiden)
A. Pembentukan Provinsi dan Daerah Istimewa setingkat provinsi
Setelah pengakuan kedaulatan dan
kembali ke Negara Kesatuan, Pemerintah RI dapat mencurahkan kembali perhatian
untuk melaksanakan pembentukan daerah-daerah otonomi dalam rangka
desentralisasi sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1948. Langkah pertama yang
dilakukan adalah pembentukan propinsi, selanjutnya berturut-turut dibentuk:
1. Propinsi Jawa Timur, meliputi: Keresidenan-keresidenan Besuki,
Bojonegoro, Kediri, Madiun, Madura, Malang dan Surabaya;
2. Propinsi Jawa Tengah, meliputi: Keresidenan-keresidenan
Banyumas, Kedu, Pati, Pekalongan, Semarang dan Surakarta;
3. Propinsi Jawa Barat, meliputi: Keresidenan-keresidenan Banten, Bogor,
Jakarta, Priangan dan Cirebon;
4. Propinsi Sumatera Selatan, meliputi: Keresidenan-keresidenan
Bangka, Belitung, Bengkulu, Lampung dan Palembang;
5. Propinsi Sumatera Tengah, meliputi: Keresidenan-keresidenan
Jambi, Riau dan Sumatera Barat;
6. Propinsi Sumatera Utara, meliputi: Keresidenan-keresidenan Aceh,
Sumatera Timur dan Tapanuli.
Tiap-tiap propinsi memiliki DPRD
sebanyak 75 orang sedang Dewan Pemerintahan (DP) sebanyak 5 orang, dengan masa
jabatan ditetapkan sampai 15 Juli 1955. Jumlah anggota DPRD ditetapkan atas
dasar setiap 240.000 penduduk mendapat seorang wakil. Pemerintahan Keresidenan
dihapuskan, para residen diperbantukan di propinsi. Daerah Yogyakarta dibentuk
menjadi Daerah Istimewa setingkat propinsi, meliputi: daerah Kesultanan
Yogyakarta dan Pakualaman. Jumlah anggota DPRD ditetapkan 40 orang, sedang DPD
sebanyak 5 orang. Ada 15 macam urusan yang diserahkan oleh pemerintah
pusat untuk menjadi urusan urusan rumah tangga daerah, antara lain:
Urusan Umum; Urusan Pemerintahan Umum;
Urusan Agraria; Urusan pengairan, jalan dan gedung; Urusan Perikanan, Pertanian
dan koperasi; Urusan kehewanan; Urusan kerajinan, pedagangan dalam negeri dan
perindustrian; Urusan perburuhan; Urusan sosial; Urusan pembagian; Urusan
penerangan; Urusan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan; Urusan kesehatan;
Urusan lalu lintas dan angkutan bermotor; Urusan perusahaan.
B. Pembentukan Kabupaten, Kota Besar, Kota Kecil
Langkah lebih lanjut setelah
pembentukan propinsi adalah pembentukan kabupaten, kota besar dan kota kecil
yang masing-masing mendapat hak otonom menurut urusan yang kurang lebih sama
setiap daerah yaitu 15 urusan.
C. PP Nomor 39 Tahun 1950
Sebagai peraturan pelaksana dari UU
No. 22 Tahun 1948, dalam PP No. 39 Tahun 1950 untuk Pembentukan aparatur
daerah. Peraturan ini dimungkinkan untuk segera dibentuk pemerintah daerah di
tingkat propinsi, Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil dalam kerangka NKRI.
Pemerintah Daerah (Pemda) yang dibentuk adalah DPRD Sementara (DPRD-S) dan DPD
Sementara (DPD-S). Dengan adanya mosi dari anggota DPR-S untuk mencabut PP No
39 Tahun 1950 karena dianggap kurang demokratis dan banyak kekurangannya, serta
telah berlangsungnya Pemilu pada September 1955 maka PP No 39 Tahun 1950
dibekukan dan keluarlah UU No 14 Tahun 1956. Dalam hal ini DPR-S meletakan
jabatan bersama-sama pada tanggal 1 Juli 1956. UU No. 14 Tahun 1956 merupakan
UU peralihan sampai ditetapkannya UU No. 1 Tahun 1957 oleh DPR hasil Pemilu
1955.
D. UU Nomor 1 Tahun 1957
UU ini disebut juga UU tentang
Pokok-Pokok Pemerintah Daerah 1956. Adapun Ketentuan-ketentuan pokok di
dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Sistem Otonomi Riil, sebagai suatu sistem ketatanegaraan dalam
penyelenggaraan desentralisasi berdasarkan keadaan dan fakta-fakta yang nyata
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah-daerah atau pusat.
Tidak digariskan secara tegas yang mana menjadi urusan Rumah tangga masing-masing
daerah dan manakah menjadi urusan pusat. Hanya sebagai patokan ditetapkan bahwa
menurut peraturan perundang-undangan ditugaskan sendiri oleh pusat kepada
dirinya sendiri untuk diatur dan diurus. Urusan pusat yang tidak diatur secara
tegas dalam peraturan perndangan yang tertulis dimasukan ke dalam
pengertian Kepentingan Umum atau kepentingan Nasional.
Selain dari apa yang dipegang sendiri oleh pusat dan yang termasuk kepentingan
umum itu merupakan urusan dan kepentingan rumah tangga daerah.
2. Pembagian daerah, pasal 2 ayat 1 menetapkan: bahwa RI dibagi
dalam daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya.
Istilah daerah merupakan istilah teknis yang berarti suatu
organisasi yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk pengertian teritorium
dipakai istilah wilayah. Daerah dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu: Daerah Swatantra dan daerah Istimewa (daerah swapraja). Kedua daerah ini
terletak pada kedudukan kepala daerahnya saja. Daerah juga dibedakan dalam 3
tingkatan, yaitu:
a. Daerah Tingkat I, termasuk Kotapraja Jakarta
b. Daerah Tingkat II, termasuk Kotapraja
c. Daerah Tingkat III
Kota praja walaupun
tergolong daerah tingkat II, tidak dapat dibagi ke dalam daerah tingkat II,
kecuali Jakarta Raya. Daerah Tingkat I adalah propinsi, tingkat II adalah
kabupaten, tingkat III namanya dapat diberikan di dalam peraturan pembentukan.
Pembentukan suatu daerah dan perubahan wilayahnya ditentukan dengan UU.
3. Hubungan Kekuasaan antara daerah dengan pusat. Pasal terpenting
yang mendukungnya dalam pasal 31, 32, 33 dan 38.
a. Pasal 31 ayat 1, setiap daerah berhak mengatur dan mengurus
segala urusan rumah tangganya.
b. Pasal 31 ayat 2, sebagai kekuatan pangkal, setiap daerah dalam
peraturan pembentukannya telah ditetapkan urusan-urusan yang diatur dan diurus
oleh daerah tersebut.
c. Pasal 31 ayat 3 dan 4, setiap saat dengan memperhatikan
kemampuan suatu daerah, kekuasaan pangkal dapat ditambah dengan urusan-urusan
lain oleh pemerintah pusat atau daerah atasannya.
d. Pasal 32 dan 33, kepada sesuatu daerah otonom pemerintah pusat
atau daerah atasannya dapat diberikan tugas pembantuan (medebewind).
e. Pasal 38 ayat 2, suatu daerah tidak boleh mengatur pokok-pokok
dan hal yang telah diatur dalam peraturan perundangan pemerintah pusat atau
daerah yang tingkanya lebih tinggi.
f. Pasal 38 ayat 3, peraturan daerah dengan sendirinya tidak
berlaku bila pokok-pokok yang diaturnya sudah diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
4. Adanya otonomi daerah di daerah-daerah tidak boleh mengakibatkan
rusaknya hubungan negara dalam negara kesatuan. Oleh karena itu pemerintah
pusat mempunyai hak untuk menjaga supaya hal tersebut tidak terjadi. Dalam UU
ini menetapkan ada 4 macam hak, yaitu:
a. Hak
pengawasan : Preventif
dan Refresif
b. Hak
Angket
: untuk menyelidiki pelaksanaan otonomi dan medebewind
c. Hak
Sangsi
: Apabila daerah melalaikan mengurus rumah tangganya sendiri,
pemerintah pusat berhak menetapkan
suatu cara untuk mengurus daerah itu.
d. Hak
Yudisil
: untuk mengadili sengketa
5. Organisasi Pemerintah Daerah
Alat perlengkapan pemerintah daerah
menurut UU ini terdiri dari DPRD dan DPD, kepala daerah adalah ketua merangkap
anggota DPD. Anggota DPRD dipilih oleh rakyat untuk masa 4 tahun, menurut UU
pemilihan daerah, jumlah anggota DPRD suatu daerah ditetapkan dalam UU
pembentukan daerah dengan batasan sebagai berikut:
a. Daerah Tingkat I minimal 35 orang, maksimal 75 orang
b. Kotapraja Jakarta Raya dan Daerah Istimewa Yogyakarta maksimal
50 orang
c. Daerah Tingkat II minimal 15 orang, maksimal 35 orang
d. Daerah Tingkat III minimal 10 orang, maksimal 15 orang
Anggota DPD dipilih oleh dan dari
anggota DPRD atas dasar perwakilan dan perimbangan. Ketua dan wakil ketua tidak
boleh menjadi anggota DPD, berhenti dari DPRD berarti berhenti dari DPD
VI. Masa Setelah
Dekrit Presiden/Orde Lama (1959-1966)
A. Kembali Ke UUD 1945
Pada Tanggal 26 Maret 1956
dibentuklah kabinet hasil koalisi 28 partai, dengan diantaranya yaitu
partai-partai besar, seperti: PNI, Masyumi, Nu dan PKI. Berbagai partai ini
yang masing-masing membawa misi pendirian dan kepentingan sendiri. Oleh karena
itu, mengakibatkan banyak masalah negara pokok tidak dapat diselesaikan secara
memuaskan. Sebagai akibat dari itu, dalam masyarakat timbul perasaan tidak puas
terhadap pemerintah. Ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah memuncak,
pada tanggal 15 februari 1958, tokoh-tokoh di Sumatera Tengah mengumumkan
pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Di Sumatera
Utara terjadi pemberontakan, demikian pula di Sulawesi. Konstituante yang telah
bersidang selama 2 tahun, belum juga dapat menyelesaikan Undang-undang yang
baru, konflik kepentingan antar partai politik berlangsung terus. Anjuran
pemerintah untuk menetapkan Konstitusi RI diambil saja oleh Konstituante.
Akhirnya pada Tanggal 5 Juli 1959 keluarlah Dekrit Presiden kembali ke UUD
1945.
Setelah berlakunya UUD 1945, dibentuk
MPRS dan DPAS, DPR dipilih oleh rakyat pada Tahun 1955 berjalan terus dan
menjalankan fungsinya sesuai dengan UUD 1945 ditambah anggota DPD terdiri dari
wakil golongan politik dan golongan fungsional, kemudian dinamakan DPR-GR
(Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), serta harus bersedia melaksanakan
Manipol-usdek (Manifesto politik, UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, ekonomi terpimpin, kepribadian). Hal ini dinyatakan pada Tanggal 17
Agustus 1945.
B. UU No. 18 tahun
1965
Melalui perundingan yang cukup
panjang dalam DPR-GR akhirnya pada Tanggal
1
September 1965 diundangkan dan mulai berlaku UU No. 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan perundangan tentang
pemerintah daerah sebelumnya. Namun dalam Pasal 29 Ayat 1, masih menetapkan
segala peraturan pelaksanaan yang ditetapkan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1957
dan semua peraturan desentralisasi yang terdahulu tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan isi dan maksud UU no. 18 Yahun 1965. Dalam UU ini
diantaranya diatur:
1. Pembagian Daerah
a. Provinsi dan atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat I
b. Kabupaten dan atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II
c. Kecamatan dan atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III
d. Daerah Swatantra Tingkat I, DI Yogyakarta, DI Aceh menjadi
Provinsi
e. Daerah Khusus Jakarta Raya menjadi Kota Raya.
2. Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah
a. Pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD
b. Kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan di daerah
sehari-hari dibantu Wakil Kepala daerah dan Badan Pemerintahan Harian.
3. Kepala Daerah
a. Kepala Daerah diangkat Oleh:
· Presiden bagi DT I
· Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atas persetujuan Presiden bagi
DT II
· Kepal DT I atas persetujuan Mendagri bagi DT III yang ada dalam
DT I
b. Pencalonan
· Calon Kepala DT I minimal 2 orang dan calon maksimal 4 orang,
diajukan oleh DPRD yang bersangkutan. Bila calon tidak memenuhi syarat untuk
diangkat maka DPRD yang bersangkutan diminta oleh Mendagri atas nama Presiden
untuk mengajukan pencalonan ke 2 dengan disertai alasan penolakan. Apabila
pencalonan ke-2 juga tidak memenuhi syarat maka Presiden mengangkat kepala
daerah dari luar pencalonan.
· Calon Kepala DT II minimal 2 orang dan calon maksimal 4 orang
diajukan oleh DPRD yang bersangkutan. Apabila calon tidak memenuhi syarat untuk
diangkat DPRD yang bersangutan diminta oleh Mendagri untuk mengajukan
pencalonan ke-2 disertai alasan penolakan. Apabila pencalonan ke-2 juga tidak
memenuhi syarat, Presiden mengangkat kepala daerah dari luar pencalonan
c. Persyaratan
· Memenuhi syarat untuk diangkat sebagai pejabat negara sesuai
dengan aturan kepegawaian
· Persyaratan lain:
o Berjiwa Proklamasi dan tidak pernah memusuhi revolusi Indonesia
o Menyetujui Manipol-Usdek dan aktif melaksanakannya.
o Tidak sedang dicabut hak memilih dan dipilihnya.
4. Wakil Kepala Daerah
Bagi DT I, Waka diangkat dengan
minimal 2 calon maksimal 4 calon oleh presiden. Bagi DT II oleh Mendagri dengan
persetujuan Presiden. Bagi DT III oleh Kepala DT I dengan persetujuan Mendagri.
Persyaratan untuk diangkat kepala daerah berlaku pula untuk pengangkatan Waka.
5. DPRD
a. TK I jumlah anggota minimal 45 orang maksimal 75 orang (200.000
penduduk = 1 wakil)
b. TK II jumlah anggota minimal 25 orang maksimal 40 orang (10.000
penduduk = 1 wakil)
c. TK III jumlah anggota minimal 15 orang maksimal 25 orang (2000
penduduk = 1 wakil)
6. Kekuasaan, Tugas dan Kewajiban Pemerintah Daerah
Azas
|
Dekosentrasi
|
Desentralisasi
|
Tugas Perbantuan
|
Wilayah
(bersifat
Administrasi)
|
Provinsi
Kabupaten/Kotamadya
Kecamatan
Kelurahan/Desa
|
DT
I
DT
II
Kecamatan
Desa
|
DT
I
DT
II
Kecamatan
Desa/Kelurahan
|
Pemrintah
Daerah
|
Instansi
Vertikal Provinsi
Kabupaten/Kota
Madya
Kecamatan
Keluarahan/Desa
|
Dinas
Dinas
Kecamatan
Kelurahan/Desa
|
Dinas
Dinas
Kecamatan
Kelurahan/Desa
|
VII. Masa Orde Baru (1966-1997)
Pada saat ini lahir UU No. 5 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan pertimbangan sebagai
berikut:
· UU No. 18 Tahun 1965 tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman
· UUD 1945
· Sejauh mungkin ada penyeragaman pemerintah daerah sesuai dengan
sifat negara kesatuan
· Wilayah negara dibagi menjadi daerah besar dan daerah kecil yang
bersifat otonomi maupun administratif
· Adanya hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.
· Penyelenggaraan Pemerintah daerah didasarkan pada azas
desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan
Dalam UU ini juga terdapat
pengertian-pengertian tentang pemerintahan, yaitu:
a. Pemerintah Pusat atau pemerintahan adalah perangkat NKRI yang
terdiri dari presiden beserta pembantu-pembantunya.
b. Pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD
c. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari
pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah
tangganya
d. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur urusan rumah tangganya sendiri
e. Tugas Pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam
melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh
pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya
f. Daerah otonom disebut daerah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam ikatan NKRI
g. Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah (kepala
wilayah atau instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di
daerah
h. Wilayah administratif disebut wilayah adalah lingkungan kerja
perangkat pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan umum di daerah
i. Instansi vertikal adalah perangkat dari departemen-departemen
atau lembaga-lembaga bukan departemen yang mempunyai lingkungan kerja di
wilayah bersangkutan.
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan,
wilayah NKRI dibagi dalam daerah otonomi dan wilayah administrastif.
a. Daerah Otonom
· Dalam Rangka azas desentralisasi dibentuk dan disusun DT I dan
DT II
· Perkembangan dan pengembangan otonomi didasarkan pada kondisi
Poleksosbudhankam
· Pengaturan Daerah otonom ada dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 10 ayat (1), (2), Pasal 11, Pasal 12
b. Wilayah Administrasi
· Pada hakekatnya adalah pemerintah pusat yang diberikan
azas dekosentrasi.
· Dibentuk Provinsi, Kabupaten, kecamatan dan kelurahan
Apabila melihat hal ini maka kepala
daerah TK I adalah penguasa tunggal, karena Gubernur berdasarkan tugas dari
pusat atau pemegang hak dekosentrasi dan kepala daerah DT I merupakan pemegang
hak otonomi.
VIII. Masa Transisi (1997-sekarang)
a. UU. No. 22 tahun 1999
Latar belakang, Memperhatikan
pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang menganut prinsip
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang
lebih merupakan kewajiban daripada hak dan situasi masyarakat setelah reformasi
yang menginginkan adanya desentralisasi kekuasaan pemerintah hasil reformasi
1997 lahirlah UU No.22 Tahun 1999. Demi terpenuhinya gejolak masyarakat itu,
dalam UU ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah
kota didasarkan pada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas,
nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi luas adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan
semua pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lainnya yang akan ditetapakan dengan peraturan permerintah.
Otonomi nyata adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang
tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, berkembang
di daerah.
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
Prinsip-prinsip Otonomi daerah dalam UU ini:
1. Penyelenggaraan Otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas dan
bertanggung jawab
3. Pelaksanaan otonomi daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan
otonomi daerah provinsi merupakan otonomi terbatas
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah otonom, sehingga dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak lagi ada
wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh
pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan industri, kawasan
kehutanan, kawasan pertambangan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan
semacam itu berlaku ketentuan peraturan daerah otonom
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan
fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas
maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7. Pelaksanaan asas dekosentrasi diletakan pada daerah provinsi
dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa
yang disertai dengan pembiayaan, saran dan prasarana, serta sumber dan manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
Pembagian daerah, dengan
pokok-pokoknya sebagai berikut:
1. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip
pembagian kewenangan berdasarkan asas dekosentrasi dan desentralisasi dalam
rangka NKRI
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan desentralisasi dan dekosentrasi
adalah daerah provinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota. Daerah yang dibentuk
dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan
kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
3. Pembagian daerah di luar daerah provinsi dibagi habis ke dalam
daerah otonom. Dengan demikian wilayah administrasi yang berada dalam daerah
kabupaten dan daerah kota dapat dijadikan daerah otonom atau dihapus
4. Kecamatan yang menurut UU No. 5 Tahun 1974 sebagai daerah
administrasi dalam rangka dekosentrasi, menurut UU ini kedudukannya diubah
menjadi perangkat daerah kabupaten atau daerah kota.
Prinsip Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah, adalah:
1. Digunakannya asas desentraslisasi, dekosentrasi, dan tugas
pembantuan
2. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang
dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota
3. Asas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah provinsi,
daerah kabupaten, daerah kota dan desa.
Susunan Pemerintah Daerah dan Hak
DPRD meliputi DPRD dan Pemerintah Daerah. DPRD dipisahkan dari Pemda
dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan Meningkatkan
pertanggungjawaban pemda kepada rakyat. Oleh karena itu, hak-hak DPRD cukup
luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi
kebijakan daerah dan melakukan fungsi pengawasan
Kepala Daerah merupakan
pimpinan pemerintahan sekaligus pimpinan daerah dan pengayoman masyarakat
sehingga kepala daerah harus mampu berpikir, bertindak dan bersikap dengan
lebih mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat umum.
Pertanggungjawaban kepala daerah:
1. Gubernur sebagai kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD
2. Gubernur sebagai wakil pemerintah bertanggung jawab kepada
presiden
3. Bupati/Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabuapaten/Kota
dan berkewajiban memberikan laporan kepada presiden melalui Mendagri dalam
rangka pembinaan dan pengawasan
Kepegawaian, kebijakan
kepegawaian diarahkan pada kebijakan yang mendorong pengembangan otonomi daerah
sehingga kepegawaian di daerah yang dilaksanakan oleh daerah otonomi sesuai
dengan kebutuhannya, baik pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan mutasi
maupun pemberhentian sesuai dengan peraturan perundangan mutasi antar daerah
kabupaten dan daerah kota dalam daerah provinsi yang diatur oleh gubernur.
Mutasi antar daerah provinsi dan/atau antar daerah kabupaten dan daerah kota
didasarkan pada kesepakatan daerah otonom tersebut
Keuangan Daerah:
1. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan
sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem
pemerintahan daerah
2. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah kewenangan keuangan
yang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenagan daerah
Pemerintahan Desa:
1. Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang
bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat
2. Penyelenggaraan pemerintah desa merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala desa bertanggung jawab pada BPD
dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada bupati.
3. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun
hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat
dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu kepala desa mempunyai
wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling
menguntungkan
4. Sebagai perwujudan demokrasi, di desa dibentuk BPD atau sebutan
lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan, yang
berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan
peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa, dan keputusan kepala desa
5. Di desa dibentuk lembaga masyarakat desa lainnya sesuai dengan
kebutuhan desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra pemerintah desa dalam rangka
pemberdayaan masyarakat desa
6. Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan
pemerintah dan pemerintah daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan
pihak ketiga dan pinjaman desa
7. Berdasarkan hak asal-usul desa yang bersangkutan, kepala desa
mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara sengketa dari para warganya
8. Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada
masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk kelurahan sebagai unit
pemerintahan kelurahan yang berada di dalam daerah kabupaten dan/atau daerah
kota.
b. UU No.32 Tahun 2004
Latar belakang, tidak lama
setelah UU No. 22 Tahun 1999 dilaksanakan, ternyata banyak kasus
penyelenggaraan otonomi daerah yang tidak sesuai dengan tujuan reformasi yang
mendambakan perbaikan. Banyak daerah-daerah otonom menggunakan otonomi daerah
untuk membuat raja-raja kecil di daerah sehingga semangat otonomi menjadi kebablasan.
Otonomi seluas-luasnya, yaitu daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam UU ini. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan sendiri untuk memberi pelayanan, peningkatan
peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Otonomi nyata, suatu prinsip
untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang,
dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah.
Otonomi bertanggung jawab, adalah otonomi
yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan rakayat yang merupakan bagian utama dari
tujan nasional.
Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus, Pembentukan
daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana pendidikan
politik di tingkat lokal. Penetapan kawasan khusus di daerah otonom untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan
untuk kepentingan nasional/berskala nasional. Pemerintah wajib mengikutsertakan
pemerintah daerah dalam pembentukan daerah khusus.
Pembagian Urusan Pemerintah:
1. Urusan Pemerintah Pusat: Politik Luar Negeri, pertahanan dan
keamanan, Moneter, Yustisi, dan agama dan bagian tertentu urusan pemerintah
lainnya yang berskala nasional.
2. Urusan yang bersifat Concurrent, yaitu
urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat
dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah. Kriteria
urusan concurrent yaitu:
a. Eksternalitas, yaitu pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Dampak lokal menjadi urusan
kabupaten/kota, regional menjadi urusan provinsi nasional menjadi kewenangan
pemerintah.
b. Akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani
suatu bagian urusan adalah perangkat pemerintah yang lebih langsung/dekat
dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut.
c. Efesiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan peralatan)
untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai
dalam penyelenggaraan bagaian urusan.
d. Keserasian hubungan, yaitu pengelolaan bagian urusan pemerintah
dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda bersifat saling berhubungan
(interkoneksi), saling tergantung (interdependensi), dan saling mendukung
sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan
Pemerintahan Daerah, adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga
pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah
kepala pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis dipilih oleh rakyat
secara langsung berdasarkan UU No.22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Perangkat Daerah, adalah pembantu
kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terdiri dari:
a. Sekretariat: unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan
koordinasi
b. Lembaga Teknis daerah: Unsur pendukung tugas kepala daerah dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik
c. Lembaga Dinas Daerah: unsur pelaksana urusan daerah
Keuangan Daerah,
Gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Hak daerah untuk mendapatkan
sumber keuangan, berupa:
a. Kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan
urusan pemerintah yang diserahkan
b. Kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi
daerah
c. Mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang
berada di daerah dan Dana perimbangan lainnya
d. Mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber
pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan.
Peraturan daerah dan Peraturan kepala
daerah, Penyelenggara pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas,
wewenang, kewajiban dan tanggung jawabnya serta kuasa peraturan perundangan
yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan melalui
Perda dan Peraturan Kepala Daerah. Perda dibuat bersama antara pemerintah
daerah dan DPRD.
Kepegawaian Daerah, suatu sistem dan
prosedur yang diatur dalam perundangan sekurang-kurangnya meliputi perencanaan,
persyaratan, pengangkatan, penempatan, pendidikan dan pelatihan, penggajian,
pemberhentian, pensiun, pembinaan, kedudukan, hak, kewajiban, tanggung jawab,
larangan, sanksi dan penghargaan yang merupakan subsistem dari sistem
kepegawaian nasional.
Pembinaan dan pengawasan, Pembinaan atas
penyelenggaraan pemerintah daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah
dan atau gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapai
tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar
pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.
Desa atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaiman dimaksud dalam UUD 1945.
Sebagai wahana demokrasi di desa dibentuk BPD atau sebutan lainnya yang
sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan. Kepala desa pada dasarnya
bertanggung jawab kepada rakyat yang dalam tata cara dan prosedur
pertanggungjawabannya disampaikan kepada bupati atau walikota melalui camat.
Kepada BPD, kepala desa wajib memberikan keterangan laporan
pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok
pertanggungjawabannya. Akan tetapi, rakyat melalui BPD bisa menanyakan dan/atau
meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal lain yang berjalan dengan
pertanggungjawaban yang dimaksud.
DAFTAR REFERENSI
Amsari, Moh. Ernan Arno, 2001, Bahan
Diskusi: Otonomi Daerah dan Demokratisasi, Bandung: RR Inc.
Gie, The Liang, 1993, Pertumbuhan
Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid I dan II,
Yogyakarta: Liberty Offset.
Masykur, Nur Rif’ah (peny.),
2001, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, Depok: PT. Permata
Artistika Kreasi.
Sujamto, 1993, Cakrawala
Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar Grafika.
----------, 1988, Daerah Istimewa
dalam Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara.
Suwignjo, 1986, Administrasi
Pembangunan Desa dan Sumber-Sumber Pendapatan Desa, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Syafrudin, Ateng, 2006, Kapita
Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi dalam Pembangunan Daerah,
Yogyakarta: Citra Media