Kembalinya Belanda bersama Sekutu
. Latar belakang
Sesuai dengan
perjanjian
Wina pada tahun
1942, bahwa
negara-negara
sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini
diduduki
Jepang pada pemilik koloninya masing-masing
bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menjelang akhir
perang, tahun
1945,
sebagian wilayah
Indonesia telah
dikuasai oleh tentara
sekutu.
Satuan tentara
Australia telah
mendaratkan pasukannya di
Makasar dan
Banjarmasin, sedangkan
Balikpapan telah diduduki oleh
Australia sebelum
Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara
Pulau Morotai dan
Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh
satuan tentara
Australia dan
Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal
Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan
Asia Barat Daya (
South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara
Australia bertanggung
jawab terhadap
Kalimantan dan
Indonesia bagian Timur,
Amerika Serikat
menguasai
Filipina dan tentara
Inggris dalam bentuk komando
SEAC (
South
East Asia Command) bertanggung jawab atas
India,
Burma,
Srilanka,
Malaya,
Sumatra,
Jawa
dan Indocina. SEAC dengan panglima
Lord
Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di
Asia Tenggara bertugas melucuti bala
tentera
Jepang dan mengurus pengembalian tawanan
perang dan tawanan warga sipil sekutu (
Recovered Allied Prisoners of War and
Internees/RAPWI).
Mendaratnya Belanda diwakili NICA
Berdasarkan
Civil Affairs Agreement, pada
23 Agustus 1945
Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh.
15 September 1945, tentara Inggris selaku
wakil Sekutu tiba di
Jakarta, dengan
didampingi
Dr. Charles van der
Plas, wakil Belanda pada
Sekutu.
Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi
NICA
(Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda)
yang dipimpin oleh
Dr. Hubertus J van
Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato
siaran radio
Ratu Wilhelmina
tahun
1942 (
statkundige concepti atau
konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara
dengan
Soekarno yang dianggapnya telah bekerja
sama dengan
Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu
menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di
antara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan
Ratu Belanda.
Pertempuran
melawan Sekutu dan NICA
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan
NICA
ke Indonesia, yang saat itu baru
menyatakan
kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
- Peristiwa 10
November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
- Palagan Ambarawa,
di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
- Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman,
meliputi Jawa Tengah
dan Jawa Timur
- Bandung Lautan
Api, di daerah Bandung dan
sekitarnya.
Ibukota pindah ke Yogyakarta
Karena situasi keamanan ibukota
Jakarta (
Batavia saat itu) yang makin memburuk, maka
pada tanggal
4 Januari 1946,
Soekarno dan
Hatta
dengan menggunakan kereta api, pindah ke
Yogyakarta sekaligus pula memindahkan
ibukota. Meninggalkan
Sjahrir dan kelompok yang pro-negosiasi
dengan
Belanda di
Jakarta.
Pemindahan ke
Yogyakarta dilakukan
dengan menggunakan
kereta api, yang
disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa
rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian yang terdiri dari
gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal
perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang ada, karena kereta
dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden,
dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istimewa, yang disediakan
oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.
1946
Perubahan sistem pemerintahan
Pernyataan
van Mook untuk tidak berunding dengan
Soekarno adalah salah satu faktor yang
memicu perubahan sistem pemerintahan dari
presidensiil
menjadi
parlementer.
Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari
sebelum kedatangan
Sekutu,
tanggal
14 November 1945,
Soekarno sebagai kepala
pemerintahan
republik diganti oleh
Sutan Sjahrir yang seorang
sosialis dianggap sebagai figur yang tepat
untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai
sosialis di
Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia
(dari
sistem Presidensiil
menjadi
sistem Parlementer)
memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan
Inggris dan
Belanda,
Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang
moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan
Jepang.
Diplomasi Syahrir
Ketika Syahrir mengumumkan
kabinetnya,
15 November 1945,
Letnan
Gubernur Jendral
van Mook mengirim kawat kepada Menteri
Urusan Tanah Jajahan (
Minister of Overseas Territories, Overzeese
Gebiedsdelen),
J.H.A. Logemann,
yang berkantor di
Den Haag: "
Mereka
sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas
jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio
BBC
tanggal
28 November 1945,
"
Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak
akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan
Sjahrir". Tanggal
6 Maret 1946
kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah
persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem
pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum
perubahan pemerintahan itu,
Den Haag mengumumkan
dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya
Sjahrir mengumumkan pada tanggal
4 Desember 1945
bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan
Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal
10 Februari 1946,
pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang politiknya dan
menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi kuasa.
Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari
daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk
menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana.
Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara
demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan
disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan.
Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama
dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (
partner)
dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia
dalam organisasi
PBB.
Pada bulan April dan Mei
1946, Sjahrir mengepalai
delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di
Hoge
Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah
berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu
Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja
sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu
kompromi yaitu: "
mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara
federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan
de facto
Republik atas bagian
Jawa dan
Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan
Sekutu. Karena
Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat
ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal
17 Juni 1946,
Sjahrir mengirimkan
surat rahasia
kepada
van Mook, menganjurkan bahwa mungkin
perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir
yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook
mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia;
ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia
menyetujui federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai
negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting.
Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali
sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini.
Tanggal
17 Juni 1946,
sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat itu
dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal
24 Juni 1946,
van Mook mengirim kawat ke
Den Haag: "
menurut sumber-sumber
yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh
Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah
yang akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu yang sama, surat kabar
Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima
pengakuan
de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.
Penculikan terhadap PM Sjahrir
Tanggal
27 Juni 1946,
dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW, Wakil Presiden
Hatta
menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama
Yogyakarta, dihadiri oleh
Soekarno dan sebagian besar pucuk pimpinan
politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada
Sjahrir, akan tetapi menurut sebuah
analisis, publisitas luas yang diberikan Hatta terhadap surat itu, menyebabkan
kudeta dan penculikan terhadap Sjahrir.
Pada malam itu terjadi
peristiwa
penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, yang sudah terlanjur
dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Sjahrir
diculik di
Surakarta, ketika ia berhenti dalam
perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras, kota dekat
Solo,
di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan
pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal
28 Juni 1946,
Ir Soekarno berpidato di radio
Yogyakarta. Ia mengumumkan, "
Berhubung
dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan negara dan perjuangan
kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet
dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946,
untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah". Selama
sebulan lebih,
Soekarno mempertahankan kekuasaan yang luas
yang dipegangnya. Tanggal
3 Juli 1946,
Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun
baru tanggal
14 Agustus 1946,
Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet.
Kembali menjadi PM
Tanggal
2 Oktober 1946,
Sjahrir kembali menjadi
Perdana Menteri, Sjahrir kemudian
berkomentar, "
Kedudukan saya di kabinet ketiga
diperlemah dibandingkan dengan kabinet kedua
dan pertama.
Dalam kabinet ketiga
saya harus berkompromi dengan Partai
Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya harus
memasukkan orang seperti Gani dan Maramis
lewat Soekarno; saya harus menanyakan pendapatnya
dengan siapa saya membentuk kabinet."
Konferensi
Malino - Terbentuknya "negara" baru
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia,
keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur
Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di
Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta
organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian;
Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
1946-1947
Peristiwa Westerling
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan
ribuan rakyat sipil di
Sulawesi Selatan
yang dilakukan oleh pasukan Belanda
Depot Speciale Troepen pimpinan
Westerling. Peristiwa ini terjadi pada
Desember
1946-Februari
1947
selama operasi militer
Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan
dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke
Jawa
dan membantu
Van Mook dalam perundingan baru dengan
wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan
Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus
Inggris,
Lord Killearn. Bertempat di bukit
Linggarjati dekat
Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat
-terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal
15 November 1946
yang pokok pokoknya sebagai berikut :
- Belanda mengakui secara de
facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de
facto paling lambat 1 Januari 1949,
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam
membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik
Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik
Indonesia
- Republik Indonesia
Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu
Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini
Kalimantan dan Timur
Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang
terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen
lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda
bersama dengan
Belanda,
Suriname dan Curasao. Hal ini akan
memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan
dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri
sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan
ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke
Jakarta, dan
Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal
15 November 1946,
di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi
Perundingan
Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang
memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan
dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang,
S M Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah
seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47
anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam
sidang tersebut membahas apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh
Pemerintah Republik dan Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak
Kepergian S M Kartosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa
Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung
pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui partai
Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan
PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah Linggarjati tersebut,
sedang pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP
yang anti Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung
Tomo) meminta kepada S M Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak
menembaki satuan-satuan Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang
kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah
RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani pada
tanggal 25 Maret 1947, *28 ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur,
dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember
1946
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani
di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur
perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda
merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia 29 Dengan seringnya pecah
kekacauan, maka pada prakteknya perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk
dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda
berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa,
memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara
baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti
ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari
Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara
Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik
secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang
dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk
menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun
menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu
pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari
pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak
mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan
perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda
memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak
dan karet).
Agresi Militer I
Pada tanggal
27 Mei 1947,
Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang
harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
- Membentuk pemerintahan ad
interim bersama;
- Mengeluarkan uang bersama
dan mendirikan lembaga devisa bersama;
- Republik Indonesia harus
mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
- Menyelenggarakan keamanan
dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan
bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
- Menyelenggarakan penilikan
bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri
Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui
kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama.
Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus
"mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian".
Pada tanggal
20 Juli 1947
tengah malam (tepatnya
21 Juli 1947)
mulailah pihak
Belanda melancarkan '
aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali
dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di
tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk
menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki
Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan
wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan
perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan,
instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah
Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian
Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947
dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri,
karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan
konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak
mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka
hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini
menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang
Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu
pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang
menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring
Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Naiknya
Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
Setelah terjadinya
Agresi Militer
Belanda I pada bulan Juli, pengganti
Sjahrir adalah
Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat
sebagai
Menteri
Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet
anggota
PSII yang dulu untuk duduk dalam
Kabinetnya.
Termasuk menawarkan kepada
S.M. Kartosoewirjo
untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan
kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada
Soekarno dan
Amir Syarifudin,
dia
menolak kursi menteri karena "
ia belum terlibat dalam PSII dan masih
merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo
menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada
Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh
keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat
menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan
berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan
Belanda. Di samping itu
Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik
Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau
dilihat dari sepak terjang
Amir Syarifudin selama manggung di
percaturan politik nasional dengan menjadi
Perdana Menteri merangkap Menteri
Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa
Amir Syarifudin ingin membawa politik
Indonesia ke arah
Komunis.
1948
Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan
Australia dan
India,
mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal
1 Agustus 1947,
dan segera setelah itu mendirikan suatu
Komisi
Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan
Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal
17 Januari 1948
berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata
menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak
yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone
demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda
dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan
apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik
atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan
tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik
selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas
lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil
Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten
tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan
wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda
menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak
"menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan
sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati,
melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan
Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus
berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan
Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan
persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap
langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.
Runtuhnya
Kabinet Amir dan naiknya Hatta sebagai Perdana Menteri
Dari adanya
Agresi Militer I
dengan hasil diadakannya
Perjanjian Renville
menyebabkan jatuhnya
Kabinet Amir.
Seluruh anggota yang tergabung dalam
kabinetnya
yang terdiri dari anggota
PNI dan
Masyumi meletakkan jabatan ketika
Perjanjian Renville
ditandatangani, disusul kemudian
Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai
Perdana Menteri pada tanggal
23 Januari 1948.
Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet
baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi
buyar ketika
Soekarno berpaling ke arah lain dengan
menunjuk
Hatta untuk memimpin suatu
'kabinet presidentil' darurat (1948-1949),
dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada
Soekarno sebagai
Presiden.
Dengan terpilihnya
Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk
dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang
PNI,
Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak
berpartai.
Amir dan
kelompoknya dari
sayap kiri kini menjadi pihak
oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai
oposisi tersebut membuat para pengikut
Sjahrir mempertegas perpecahan mereka
dengan pengikut-pengikut
Amir dengan
membentuk partai tersendiri yaitu
Partai
Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus
memberikan dukungannya kepada pemerintah
Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam
bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan
kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak
asing. Hanya empat hari sesudah
Perjanjian Renville
ditandatangani, pada tanggal
23 Januari 1948,
Amir Syarifudin dan seluruh
kabinetnya
berhenti.
Kabinet baru
dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal
29 Januari 1948.
Hatta menjadi
Perdana Menteri sekaligus tetap memangku
jabatan sebagai
Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi
Amir dibanding dengan
Sjahrir sesudah
Perundingan
Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah
Amir berhenti, di awal Februari 1948,
Hatta
membawa
Amir dan
beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi
Provinsi.
Amir diharapkan menjelaskan
Perjanjian Renville.
Pada rapat raksasa di
Bukittinggi,
Sumatra Barat, di kota kelahiran Hatta -
dan
rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan-
Hatta
berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat
sekali.
Kemudian
Amir naik
mimbar, dan seperti diuraikan
Hatta kemudian: "
Dia
tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus
dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya,
khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar,
hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "
Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang
sudah tidak berarti".
Sjahrir juga diundang
ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari
Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim
-kader lama Sjahrir- "
Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum".
Menurut kata-kata saksi lain, "
Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah
Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "
Dia hanya mengangkat
tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian
juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "
Pidatonya pendek".
Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam
yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville
tidak lebih baik daripada
perundingan di
Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar
perdamaian, dan
Indonesia menuduh
Belanda mendirikan
blokade dengan maksud memaksanya menyerah.
Bulan Juli
1948,
Komisi
Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan
persetujuan itu, melaporkan bahwa
Indonesia mengeluh akan gencatan senjata
yang berulang-ulang.
1948-1949
Agresi Militer II
Agresi Militer II terjadi pada
19 Desember 1948
yang diawali dengan serangan terhadap
Yogyakarta,
ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan
Soekarno,
Mohammad Hatta,
Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya
Pemerintah
Darurat Republik Indonesia di
Sumatra yang dipimpin oleh
Sjafruddin
Prawiranegara.
Perjanjian Roem Royen
Akibat dari
Agresi Militer
tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda,
terutama dari pihak
Amerika Serikat
yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada
Belanda, akhirnya dengan terpaksa
Belanda bersedia untuk kembali berunding
dengan RI. Pada tanggal
7 Mei 1949,
Republik Indonesia
dan
Belanda menyepakati
Perjanjian Roem
Royen.
Serangan
Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
Serangan yang dilaksanakan pada tanggal
1 Maret 1949
terhadap kota
Yogyakarta secara
secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi
militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk
pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima Besar
Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia
internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup
kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam
perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama
untuk mematahkan moral
pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia
internasional bahwa
Tentara
Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan
perlawanan.
Soeharto pada waktu itu sebagai komandan
brigade
X/
Wehrkreis
III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah
Yogyakarta.
Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara
gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang
berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil
membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya.
Serangan itu menyadarkan
Belanda bila mereka
tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota
yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang
secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh
seorang pemimpin yang andal seperti
Slamet Riyadi.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah
Republik Indonesia
dan
Belanda yang dilaksanakan di
Den Haag,
Belanda dari
23 Agustus hingga
2 November 1949.
Yang menghasilkan kesepakatan:
Penyerahan
kedaulatan oleh Belanda
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada
27 Desember 1949,
selang empat tahun setelah
proklamasi
kemerdekaan RI pada
17 Agustus 1945.
Pengakuan ini dilakukan ketika
soevereiniteitsoverdracht (penyerahan
kedaulatan) ditandatangani di
Istana
Dam,
Amsterdam. Di
Belanda selama ini juga ada kekhawatiran
bahwa mengakui
Indonesia merdeka
pada tahun
1945 sama saja mengakui tindakan
politionele
acties (
Aksi Polisionil)
pada
1945-
1949
adalah
ilegal.