Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Friday, July 22, 2016

Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar

Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar

Kronologi Setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945―sebagai suatu bangsa dan negara yang baru―ternyata Belanda belum dapat menerimanya. Mereka beranggapan bahwa proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan itu bersifat sepihak, tanpa ada negosiasi dan sepengetahuan dari wilayah lainnya terutama pihak Jepang sendiri (pengakuan resmi). Maka itu, van Mook kemudian menyebutnya sebagai kemerdekaan yang ilegal. Karena ilegal, Belanda dan sekutu merasa sah untuk mengambil alih (kembali) pemerintahan yang ditinggalkannya saat dikalahkan Jepang tahun 1942. Jalan pertama yang dilakukannya adalah menempati kembali pusat pemerintahan dahulunya di Jakarta. Sehingga pusat pemerintahan Indonesia yang awalnya berada di Jakarta dipindahkan ke Yogyakarta tahun 1946 dengan alasan keamanan.
Selama tahun 1946 juga, revolusi kemerdekaan di berbagai wilayah mulai meletus. Rasa nasionalis untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangi melalui teks proklamasi mulai tumbuh di mana-mana. Hal inilah yang akhirnya membuat Belanda kian terdesak. Di lain sisi, pada tahun ini pula, sekutu berangsur-angsur menyerahkan sepenuhnya Indonesia kepada Belanda termasuk persoalan pembentukan Republik Indonesia Serikat. Akhirnya karena pergolakan kian hari kian besar, van Mook memutuskan untuk mengadakan perundingan dengan wakil Indonesia pada tahun 1947 di Linggarjati, dalam hal ini Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir. Dalam perundingan itu disepakati bahwa Belanda secara de facto mengakui negara Republik Indonesia atas Sumatera, Jawa, dan Madura. Tujuan pengakuan ini untuk meredam terdengarnya persoalan ini ke telinga PBB. Namun pada kenyataannya, persoalan ini pun terdengar juga oleh PBB, dewan keamanan PBB mulai memojokkan Belanda karena bertindak aragon (melakukan agresi militer setelah melakukan perjanjian Linggarjati) terhadap negara yang telah menyatakan diri merdeka, apalagi negara ini sudah mendapatkan pengakuan resmi dari Mesir. Maka dari itu, Belanda kemudian menghentikan agresi militernya dengan sekaligus mengikat perjanjian Renvilee tahun 1948.
Namun lagi-lagi Belanda ingkar dengan perjanjian itu, mereka memutuskan untuk menyerang pusat pemerintahan Indonesia di Yogyakarta pada akhir tahun 1948. Akibat dari perbuatan ini, seluruh dunia kembali mengecam Belanda karena belum juga menunjukkan iktikad baik dalam memecahkan permasalah kemerdekaan Indonesia. Akhirnya pada Mei 1949, Belanda bersedia mengadakan perudingan Roem-Roeyen sebagai usaha meredam diri dari hujatan dunia. Di dalam perundingan itu, Belanda berjanji akan mengadakan konferensi Meja Bundar (KMB) dalam proses menuju kemerdekaan negara Republik Indonesia. Akhirnya tepat pada tanggal 23 Agustus 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia (Serikat) dalam perjanjian KMB di Den Haag. Penandatangan pengakuan kedaulatan dan penyerahan kekuasaan akan diselenggarakan kemudian di Istana Gambir (Merdeka), Jakarta, pada tanggal 27 Desember 1949. Prosesi Upacara Pengakuan Kedaulatan dan Penyerahan Kekuasaan Belanda Kepada Indonesia.
Bagaimana  prosesi detik-detik “mangkatnya Belanda dari bumi pertiwi ini”. Tentu saja mangkat di sini adalah pengakuan kedaulatan dan penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Indonesia sehingga Belanda sudah tidak punya hak dan kedudukan apa pun (lagi) terhadap Indonesia. Prosesi ini sebagaimana dikatakan sebelumnya diadakan pada tanggal 27 Desember 1949 di Gedung Istana Gambir (Merdeka), Jakarta. Sebagai ketua dari delegasi Belanda adalah A.H.J. Lovink yang memang saat itu ditunjuk sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, sedangkan dari pihak Indonesia sendiri diwakili oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Penunjukan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil dari Indonesia mempunyai alasan kuat. Karena memang selain Sultan paham bahasa Belanda, dia juga dianggap tokoh yang mempunyai kedudukan dan berperan penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai tahun 1949. Acara prosesi pengakuan kedaulatan dan penyerahan kekuasaan kepada Indonesia dibuka dengan sebuah pidato singkat dari A.H.J. Lovink.
Dalam pidato itu ia menyampaikan pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia dan berharap Indonesia tetap menjalin kerjasama dengan Belanda walaupun telah menjadi negara yang merdeka. Setelah itu barulah diikuti dengan penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dan ucapan terima kasih. Penandatangan naskah pengakuan kedaulatan Indonesia dari pihak Belanda yang diwakili A.H.J. Lovink. Tampak Raja Saudi Arabia, King Abdul Aziz datang menyaksikan peristiwa penandatanganan naskah tersebut.
Setelah prosesi penandatangan naskah pengakuan kedaulatan Indonesia selesai, ada kejadian menarik di dalam gedung tersebut, yaitu tatkala Ratu Belanda, Juliana, melakukan panggilan langsung (direct call) dari Amsterdam untuk mengucapkan selamat kepada Indonesia. Dengan didukung perangkat pengeras suara (speaker, toa), Ratu Juliana berbicara seakan-akan hadir di dalam gedung tersebut. Suaranya terdengar membahana dan membuat suasana di dalam gedung berubah menjadi hening, kidmat, dan khusyuk. Apalagi ditambah dengan protokolernya yang mengharuskan seluruh orang yang ada di dalam ruangan tersebut berdiri selama mendengarkan suara Ratu Juliana. Benar-benar kejadian yang aneh, ternyata dengan suara seorang ratu saja, orang Belanda bisa sedemikian rupa memperlakukannya. Bagaimana dengan di Indonesia? Jangan sampailah.
Saat para hadirin di suruh berdiri selama mendengarkan Ratu Juliana berbicara dengan hanya menghadirkan suara. Suara Ratu Juliana diperdengarkan melalui pengeras suara (speaker). Setelah selesai mendengarkan Ratu Juliana berbicara melalui panggilan langsung dari Amsterdam. A.H.J. Lovink langsung mengomandoi delegasinya untuk keluar dari gedung guna mengikuti upacara penurunan bendera triwarna Belanda di luar gedung Istana Gambir (Merdeka). Dalam upacara itu banyak rakyat Indonesia yang menyaksikan. Kemudian dilanjutkan dengan penaikan sang saka bendera merah putih di atas Gedung Istana Gambir (Merdeka). Sejak peristwa inilah Gedung Istana Gambir berubah nama menjadi Gedung Istana Merdeka. Karena sesaat setelah penaikan bendera merah putih, banyak orang yang berteriak “Merdeka."
Bendera triwarna Belanda diturunkan. Bendera dwiwarna Indonesia dinaikan. Dengan berakhirnya upacara penurunan bendera triwarna Belanda di Gedung Istana Merdeka, maka berakhir pula kekuasaan Belanda di Indonesia yang konon telah bertahan selama 350 tahun. Bagi A.H.J. Lovink sendiri, ia adalah orang terakhir yang melambaikan salam perpisahan itu untuk seluruh rakyat Indonesia                                        

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More