A. Kedatangan Sekutu Dan Belanda di Indonesia
Proklamasi kemerdekaan bukanlah titik akhir dari sebuah
perjuangan. Tantangan di depan mata terlihat jelas, yakni Belanda ternyata
masih ingin menguasai Indonesia. Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II dengan
memaksa Jepang menyerah merasa memiliki hak untuk menentukan nasib bangsa
Indonesia.
Pemerintah memang terbentuk, alat kelengkapan sebagai
sebuah negara yang berdiri juga sudah ada, misalnya presiden dan wakilnya,
parlemen, kementerian, dasar negara sampai alat negara (tentara), juga sudah
terbentuk. Namun, karena negara ini baru lahir, maka kekurangan masih ada
dimana-mana.
Kondisi perekonomian belum mapan sehingga inflasi sangat
membuat rakyat menderita. Saat itu, Indonesia belum mempunyai mata uang
sendiri, sedangkan peredaran mata uang Jepang semakin tidak terkendali. Mata
uang Jepang tidak bisa dilarang karena rakyat masih membutuhkan dan Indonesia
belum mempunyai mata uang sendiri. Saat itu,
mata
uang yang beredar di Indonesia ada tiga, yakni 1) mata uang rupiah Jepang, 2)
mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan 3) mata uang NICA.
Sementara itu, Belanda (NICA) terus menekan pemerintah
Indonesia sehingga Jakarta dirasakan tidak aman lagi. Kekacauan secara ekonomi
dan politik di Jakarta inilah yang menyebabkan pada 4 Januari 1946 ibu kota RI
yang ada di Jakarta pindah ke Yogyakarta.
Baru setelah 1 Oktober 1946, Indonesia mengeluarkan mata
uang resmi yang dikenal dengan nama uang ORI sehingga uang NICA dinyatakan
sebagai alat tukar yang tidak sah
Belanda, Australia, dan Amerika Serikat merupakan negara
yang membentuk koalisi dalam Perang Dunia II. Mereka saling melindungi. Untuk
itulah, tidak mengherankan jika setelah Jepang membuat Belanda bertekuk lutut,
tentara Belanda bukannya dikembalikan ke negara asal, tetapi mereka melarikan
diri ke Australia.
Ketika Jepang menyerah, maka Indonesia dinyatakan sebagai
vacuum of power atau kekosongan kekuasaan. Setelah Jepang kalah, maka tentara
Belanda yang melarikan diri ke Australia kembali ke Indonesia untuk berusaha
menguasai lagi. Karena Indonesia sudah menyatakan dirinya merdeka, maka terjadi
benturan antara mempertahankan kemerdekaan dengan keinginan untuk menguasai
lagi.
Sekutu masuk ke Indonesia melalui beberapa pintu, terutama
daerah yang merupakan pusat pemerintahan pendudukan Jepang seperti Jakarta,
Semarang, dan Surabaya. Setelah Perang Dunia II selesai, terjadi perundingan
antara Belanda dengan Inggris yang menghasilkan Civil Affairs Agreement.
Isi dari perundingan itu adalah tentang pengaturan
penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada pihak Belanda, terutama
daerah Sumatra, sebagai daerah di bawah pengawasan. SEAC (South East Asia
Command). Dalam perundingan itu, diatur langkah-langkah sebagai berikut. a.
Tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. b. Setelah keadaan normal, pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih
tanggung jawab koloni dari pihak Inggris yang mewakili Sekutu.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945,
pemerintah Belanda mendesak kepada Inggris agar segera mengesahkan perjanjian
itu. Akhirnya, perjanjian disahkan pada 24 Agutus 1945. Berdasarkan Perjanjian
Postdam, Civil Affairs Agreement diperluas, yakni Inggris bertanggung jawab
untuk seluruh Indonesia, termasuk daerah yang berada di bawah pengawasan SWPAC
(South West Pasific Areas Command).
Untuk melaksanakan Perjanjian Postdam, maka SWPAC yang
dipimpin Lord Louis Mountbatten di Singapura segera mengatur pendaratan Sekutu
di Indonesia. Kemudian, pada 16 September 1945, wakil Mountbatten, yakni
Laksamana Muda W.R. Patterson, mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Di
dalam rombongan W.R. Patterson ikut serta Van Der Plass, seorang Belanda yang
mewakili H.J. Van Mook (pemimpin NICA).
Kemudian, Lord Louis Mountbatten membentuk pasukan komando
khusus yang diberi nama AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah
komando Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Tugas AFNEI sebagi berikut, 1) menerima penyerahan
kekuasaan Jepang tanpa syarat; 2) membebaskan tawanan perang; 3) melucuti dan
mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan ke negerinya; 4) menciptakan
ketertiban, keamanan, perdamaian untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah
sipil; 5) mengumpulkan keterangan tentang penjahat perang untuk kemudian
diadili sesuai hukum yang berlaku.
Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI juga mendarat di
Jakarta pada 29 September 1945. Kedatangan Sekutu tentunya tidak menyenangkan
bagi bangsa Indonesia, karena ternyata NICA (Netherland Indies Civil
Administration) ikut di dalamnya karena ingin menjajah Indonesia kembali. Untuk
menjalankan tugasnya, AFNEI menyadari harus berkerja sama dengan pemerintah RI.
Untuk itulah, pada 1 Oktober 1945, Letnan Jenderal Sir Philip Christison secara
de facto mengakui tentang keberadaan negara Indonesia. Namun, pengakuan ini
sering dilanggar karena adanya berbagai pertempuran. AFNEI menyadari harus
berkerja sama dengan pemerintah RI. Untuk itulah, pada 1 Oktober 1945, Letnan Jenderal Sir Philip Christison
secara de facto mengakui tentang keberadaan negara Indonesia. Namun, pengakuan
ini sering dilanggar karena adanya berbagai pertempuran.
B. Rencana Pemuda dan Tentara Dalam Mempertahankan Proklamasi
Setelah AFNEI diboncengi NICA yang ingin menguasai lagi
Indonesia, di berbagai daerah terjadi pertempuran. Masalah semakin rumit ketika
Jepang juga tidak secara sukarela melepaskan Indonesia untuk merdeka
sepenuhnya. Bagaimana para pejuang menghadapi Jepang dan Sekutu (NICA)? Berikut
paparannya.
1.
Pertempuran Lima
Hari di Semarang Melawan Jepang
Setelah berita proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada
17 Agustus 1945, akhirnya berita bahwa Indonesia merdeka sudah masuk ke telinga
warga Semarang. Hal tersebut membuat para pemuda Semarang semakin berani untuk
melucuti tentara Jepang yang sebelumnya sudah kalah dalam Perang Dunia II.
Namun, pada 14 Oktober 1945, Mayor Kido menolak untuk dilucuti senjatanya
sehingga suasana semakin mencekam.
Penolakan tersebut membuat warga Semarang marah. Mereka
menjadikan Rumah Sakit Purusara menjadi markas besar warga Semarang saat itu.
Pada tanggal yang sama, yaitu 14 Oktober 1945, tepatnya pukul 06.30 WIB, warga
Semarang mendapat perintah untuk menghadang semua kendaraan tentara Jepang yang
lewat di sekitar Rumah Sakit Purusara.
Para pemuda berhasil menghadang salah satu kendaraan Jepang
milik Kempetai dan melucuti senjatanya. Sore harinya, para pemuda mencari
tentara Jepang yang berada di sekitar Semarang untuk dipenjarakan di Bulu.
Amarah warga Semarang semakin besar ketika dalam upaya pemindahan tawanan
Jepang ke penjara Bulu ada beberapa tentara Jepang yang meloloskan diri dan
bergabung dengan pasukan Kidobutai di Jatingaleh untuk minta perlindungan.
Oleh karena itu, tanpa menunggu perintah, para pemuda
segera menyerang dan melakukan perebutan senjata terhadap tentara Jepang.
Terjadilah pertempuran sengit antara pemuda Semarang melawan tentara Jepang.
Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Melihat kondisinya yang semakin terdesak, Jepang mulai
melakukan balasan secara mendadak dengan cara menyerang dan melucuti delapan
polisi yang sedang ditugaskan untuk menjaga sumber air minum di Candi, Desa
Wungkal. Selanjutnya, kedelapan polisi tersebut dibawa ke markas Kidobutai di
Jatingaleh untuk diperiksa sambil disiksa.
Setelah kejadian tersebut, terdengar desas-desus bahwa
tentara Jepang telah meracuni sumber air minum warga Semarang di Candi Desa
Wungkal. Menjelang malam, Rumah Sakit Purusara meminta dr. Kariadi untuk memeriksa
dan mengecek sumber air minum warga Semarang karena terdengar kabar bahwa
sumber mata air tersebut sudah diracuni tentara Jepang.
Tanpa rasa takut, demi menyelamatkan ribuan warga semarang,
dr. Kariadi berniat akan langsung memeriksa kebenaran berita tersebut, padahal
waktu itu Jepang gencar melakukan serangan. dr. Kariadi pun pergi ke Candi.
Namun, sebelum sampai di lokasi, tepatnya di Jalan Pandanaran, rombongan dr.
Kariadi dihadang oleh pasukan Jepang dan dr. Kariadi ditembak secara keji oleh tentara
Jepang. Berita kematian dr. Kariadi membuat amarah warga Semarang semakin
besar, hingga akhirnya para pemuda
Semarang melakukan beberapa serangan kepada tentara Jepang.
Tanggal 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan 3.000
tentara Jepangnya untuk melakukan agresi ke pusat Kota Semarang. Dengan penuh
semangat, para pemuda Semarang terus mempertahankan daerahnya masing-masing.
Jepang secara diam diam melakukan berbagai penyerangan di kampung-kampung
kecil. Para pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya di
Magelang. Tokoh Jepang ini ditahan para pemuda sehingga semakin meningkatkan
kemarahan tentara Jepang.
Tanggal 17 Oktober 1945 pula, disepakati gencatan senjata
yang diadakan di Candi Baru.
Sekalipun dalam perundingan gencatan senjata sudah disepakati, ternyata tentara
Jepang masih melanjutkan pertempuran. Pada 18 Oktober 1945 (hari kelima),
Jepang berhasil mematahkan serangan para pemuda Semarang. Pada hari itu juga telah datang utusan pemerintah pusat
di Jakarta untuk melakukan perundingan dengan Jepang.
Utusan tersebut adalah Kasman Singodimejo dan Sartono.
Hadir di pihak Jepang di antaranya Jenderal Nakamura. Kemudian, diadakan
perundingan untuk mengatur gencatan senjata. Nakamura mengancam, jika sampai 19
Oktober 1945, pukul 10.00, para pemuda Semarang tidak menyerahkan senjata, maka
Kota Semarang akan diluluhlantakkan dengan cara dibom. Akhirnya, Wongsonegoro,
Gubernur Jawa Tengah saat itu, terpaksa menyetujui dengan membubuhkan tanda
tangan pada perjanjian itu.
Pada 19 Oktober 1945 pagi hari, pemuda Semarang belum
tampak menyerahkan senjata kepada Jepang. Sementara itu, tentara Jepang sudah
menyiapkan mesiu untuk menghancurkan Kota Semarang.
Tiba-tiba, pukul 07.45 terdengar kabar bahwa Sekutu telah
mendarat di Pelabuhan Tanjung Mas
Semarang dengan tujuan melucuti senjata Jepang. Dengan datangnya Sekutu, maka pertempuran antara pejuang Semarang dengan
tentara Jepang berakhir.
2.
Pertempuran Kotabaru di Yogyakarta Melawan Jepang
Perlawanan dimulai dengan perebutan senjata dan perkantoran
yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan di Yogyakarta. Para pemuda, BKR, dan Peta
terus melakukan tukar pendapat untuk melakukan perebutan kekuasaan terhadap
Jepang. Beberapa tokoh pemuda Peta tersebut antara lain Sudarto, Syaifudin,
Marsudi, Umar Slamet, Sunjoyo, dan Soeharto. Komandan penyerbuan dipimpin oleh
Umar Slamet yang sebelumnya merupakan pimpinan TKR.
Beberapa kantor dan jawatan telah berhasil dikuasai oleh
pemuda dan rakyat Yogyakarta. Beberapa pabrik dan perusahaan yang berhasil
direbut misalnya Jawatan Kehutanan, Pabrik Gula Tanjungtirto, Medari, Rewulu,
Gondanglipuro, Sewugalur, dan Pabrik Salakan. Pada 27 September 1945, Komite
Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa seluruh kekuasaan
pemerintah telah berada di tangan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan itu, pimpinan dan kantor-kantor penting
harus berada di tangan orang
Indonesia. Kepala daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang, yang disebut
Cokan, harus meninggalkan kantornya di Jalan Malioboro. Termasuk juga para
petinggi Jepang yang masih berada di Yogyakarta dan melakukan kegiatan
pertahanan di markas Tentara Inti Jepang (Kidobutai). Di dalam markas ini
terdapat gudang senjata dan terletak di sebelah timur Stadion Kridosono kini
digunakan sebagai Asrama Komando Resort Militer (Korem) 072 Pamungkas.
Sebelum menyerbu kawasan Kotabaru, kelompok-kelompok pemuda
dari Kampung Pathuk, Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan mengadakan pertemuan
pada 5 Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sejumlah rencana untuk menguasai
markas Jepang. Pertama, para pemuda menunggu berita mengenai hasil perundingan
dengan Jepang. Kedua, melucuti senjata Jepang dengan cara damai. Ketiga,
menyerbu Kidobutai kalau perundingan gagal.
Untuk penyerbuan, mereka berbagi tugas, mulai dari rencana
penyerbuan, pengadaan persenjataan, persiapan pemuda yang akan melakukan
serangan, hingga pimpinan penyerbuan dipegang masing-masing oleh satu orang.
Setelah rencana dimatangkan, para pemuda segera menjalankan tugasnya hari itu
juga. Untuk mencegah bantuan kepada Jepang yang datang dari luar, sambungan
kawat telepon rumah para pembesar dan markas Jepang diputus, perjalanan kereta
api diawasi, dan bila perlu dihentikan di perbatasan kota.
Kelompok Pathuk memutus jaringan telepon dan aliran listrik
(lewat gardu di sebelah timur Hotel Garuda) ke Kotabaru. Kelompok Pathuk juga
mendapat informasi bahwa di salah satu menara Kantor Pos Besar terdapat 28
senjata beserta pelurunya. Dengan bantuan pejuang yang ada di Kantor Pos yang
membuatkan duplikat kunci serta bantuan para sopir, kelompok Pathuk berhasil
mengambil senjata tersebut.
Akhirnya, pada 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil
direbut dan kemudian dijadikan sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia Daerah.
Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung
(sekarang
Istana Negara). Satu hari setelah perebutan Gedung Cokan Kantai, para pejuang
Yogyakarta ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru.
Untuk itu, pada 6 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak Indonesia
dengan Jepang.
Perundingan itu diadakan di dalam markas Osha Butai di
Kotabaru. Hadir dari pihak Indonesia antara lain Mohammad Saleh (KNI) dengan
didampingi Oemar Djoy, Soendjojo, R.P. Sudarsono, dan Bardosono atas nama BKR.
Dari pihak Jepang diwakili antara lain oleh Butaico Mayor Otsuka, Kempetai
Sasaki, serta Kapten Ito (Kiambuco). Sementara itu, sejak sore hari banyak
rakyat dan pemuda yang hadir di sekitar markas Kotabaru.
Dalam perundingan itu, utusan Indonesia mendesak agar
Jepang secara sukarela menyerahkan senjata dan kekuasaannya. Mayor Otsuka dan
tentara Jepang tetap bertahan. Mayor Otsuka kemudian menyatakan bahwa untuk
menyerahkan senjata harus menunggu perintah dari Jenderal Nakamura di Magelang.
Untuk itu, Jepang mengusulkan agar perundingan dilanjutkan esok hari sekitar
pukul 10.00 WIB. Perundingan itu menemui jalan buntu. Dentuman granat kemudian
terdengar pada pukul 20.00 WIB, memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal
Rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Bahkan di
kampung- kampung pada malam itu dilakukan persiapan pengerahan massa pemuda
dengan suara siap-siap secara estafet.
Dalam waktu singkat telah berkumpul banyak pemuda dan terus
bergerak menuju Kotabaru. Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai
kesatuan, antara lain TKR, Polisi, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) yang sudah
bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru.
Rakyat dan Pemuda dengan senjata seperti parang dan bambu runcing
sudah siap, tinggal menunggu komando. Selain itu, ada kekuatan inti yang
menggunakan senjata api, yaitu pasukan Polisi yang dipimpin oleh Oni
Satroatmojo dan pasukan TKR di bawah komando Soeharto. Sebagai bagian dari
strategi penyerbuan, para pemuda telah memutuskan sambungan telepon, kemudian
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7
Oktober 1945, terdengar lagi dentuman granat, menandakan aliran listrik
pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan.
Para pemuda segera menyerbu markas itu dan dimulailah
pertempuran di Kotabaru. Dengan demikian, terjadilah pertempuran antara rakyat,
pemuda, dan kesatuan di Yogyakarta melawan tentara Jepang.
Mendengar bahwa rakyat melancarkan serangan di Kotabaru,
maka Butaico Pingit segera menghubungi
TKR dan menyatakan menyerah dengan syarat anak buahnya tidak disiksa. Hal ini
diterima baik oleh TKR. Kemudian, TKR minta agar Butaico Pingit dapat
memengaruhi Butaico Kotabaru agar menyerah. Ternyata, Butaico Kotabaru menolak
untuk menyerah. Akibatnya, serangan para pejuang Indonesia semakin
ditingkatkan.
Jepang yang mulai kewalahan kemudian mengadakan kontak
kepada pihak para pejuang Indonesia untuk berdamai. Para pejuang Indonesia
boleh memasuki markas. Setelah pintu itu dibuka, para pemuda pejuang pun
memasukinya. Ternyata, di tempat
itu
telah disambut tembakan gencar senapan mesin yang sudah disiapkan tentara
Jepang sehingga banyak pejuang kita gugur.
Dalam Penyerbuan Kotabaru tersebut, sebanyak 21 pejuang
gugur dan sekitar 32 orang mengalami luka-luka. Sedangkan dari pihak tentara
Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang luka-luka.
Mereka yang gugur adalah 1) Sareh, 2) Sadjiyono, 3) Sabirin, 4) Soenaryo, 5)
Soeroto, 6)
Soepadi, 7) Soehodo, 8) Soehartono, 9) Trimo, 10). Mohammad Wardani,
11)
Atmosukarto, 12) Ahmad Djazuli, 13) Achmad Zakir, 14) Abu Bakar Ali, 15)
Djoemadi, 16) Djuhar Nurhadi, 17) Faridan M. Noto, 18) Hadi Darsono, 19) I Dewa
Nyoman Oka, 20) Oemoem Kalipan, dan 21) Bagong Ngadikan.
Akhirnya, pada 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas
Jepang (Butaico) Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan pejuang Yogyakarta.
Setelah Butaico Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P.
Sudarsono kemudian memimpin pelucutan senjata Kaigun di Maguwo. Dengan
berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta di
bawah kekuasaan Republik Indonesia.
3.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Melawan Sekutu Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda
Surabaya berhasil memperoleh senjata dari tentara Jepang yang dilucuti setelah
Jepang menyerah kepada Sekutu. Para pemuda Surabaya sudah terorganisasi
sehingga mereka sudah siap menghadapi segala ancaman yang datang dari manapun.
Pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 Sekutu yang
berkekuatan sekitar 5.000 tentara mendarat di Surabaya di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Setibanya di Surabaya, mereka segera masuk ke dalam
kota dan mendirikan pos pertahanan di delapan
tempat.
Pemerintah dan rakyat Indonesia awalnya menyambut
kedatangan tentara Sekutu tersebut dengan tangan terbuka. Ketika tentara Sekutu
ingin segera melucuti semua persenjataan yang telah dikuasai rakyat, Sekutu
memperoleh tentangan keras dari pemimpin Indonesia di Surabaya sehingga akhirnya
Sekutu mengalah.
Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara
pimpinan Indonesia dengan Brigadir Mallaby, yang isinya antara lain sebagai
berikut. a. Senjata-senjatanya yang dilucuti hanya senjata tentara Jepang. b.
Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan
keamanan dan perdamaian. c. Setelah semua senjata tentara Jepang dilucuti,
mereka akan diangkut melalui laut.
Meskipun kesepakatan baru saja tercapai, Sekutu justru
mengingkarinya. Pada malam hari, 26 Oktober 1945, Sekutu menyerang Penjara
Kalisosok. Tentara Sekutu membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda
beserta beberapa tentara Belanda yang ditawan pasukan Indonesia.
Pada 27 Oktober 1945, pukul 11.00, sebuah pesawat Dakota
melintas dari Jakarta. Atas perintah Mayjend. Hawthorn, pesawat itu menyebarkan
pamflet yang berisi perintah penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia
kepada tentara Sekutu. Dalam waktu 2 kali 24 jam, seluruh senjata harus sudah
diserahkan dan bagi yang masih membawa senjata melewati batas waktu itu akan
ditembak di tempat. Hal
ini
jelas bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya yang telah disetujui
Mallaby.
Dikabarkan Mallaby sempat terkejut dengan adanya pamflet
tersebut, tetapi ia tetap mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta dan segera
memerintahkan pasukannya untuk melucuti senjata rakyat Surabaya. Rakyat
Surabaya menilai pihak Inggris telah melanggar perjanjian. Akhirnya, pimpinan
militer di Surabaya memberikan perintah untuk menyerbu seluruh pos pertahanan
Inggris.
Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin (NU)
Nahdlatul Ulama dan Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia adalah Perang Sabil sehingga menjadi suatu kewajiban yang melekat
pada semua muslim. Para kiai dan santri kemudian mulai bergerak dari pesantren
pesantren di Jawa Timur menuju ke Surabaya.
Serangan total dilakukan pada 28 Oktober 1945 pukul 04.30.
Delapan pos pertahanan Sekutu diserbu sekitar 30.000 rakyat bersenjata api dan
ditambah sekitar
100.000 rakyat bersenjata tajam. Setelah digempur secara total, tentara
Sekutu yang tidak siap bertempur mengibarkan bendera putih dan memohon untuk
berunding.
Dari pertempuran yang berlangsung pada 28-29 Oktober 1945,
Inggris mencatat 18 perwira dan 374 tentara Sekutu tewas, luka-luka, dan
hilang. Sementara di pihak Indonesia, sekitar 6.000 orang gugur, luka-luka, dan
hilang. Kapten R.C Smith menulis, Mallaby saat itu menyadari apabila petempuran
dilanjutkan mereka akan disapu bersih. Dalam posisi yang terdesak, Inggris
menghubungi pimpinan Indonesia di Jakarta. Mereka sadar, tidak ada jalan lain
selain meminta bantuan pimpinan Indonesia di Jakarta untuk menyelamatkan nyawa
ribuan tentara Inggris yang sudah terkepung.
Sore hari, 29 Oktober 1945, Presiden Sukarno, Wakil
Presiden Moh. Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya
dengan menumpang pesawat militer Inggris. Hari itu juga, Presiden bertemu
dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang tertuang dalam
Armistice Agreement regarding the Surabaya-incident: a provisional agreement
between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadie Mallaby,
Concluded on the 29 October 1945.
Mengenai hal lain dirundingkan dengan Mayjend. Hawthorn,
yang datang ke Surabaya pada 30 Oktober 1945. Berikut beberapa hasil
kesepakatan yang diperoleh pada tanggal 30 Oktober 1945 antara pemimpin
Indonesia dan pemimpin pasukan Sekutu di Indonesia. a. Pamflet yang
ditandatangani Mayjend. Hawthorn dinyatakan tidak berlaku. b. Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dan polisi diakui oleh Sekutu. c. Seluruh Kota Surabaya tidak
dijaga lagi oleh Sekutu, kecuali kamp-kamp tawanan dijaga tentara Sekutu bersama
TKR. d. Untuk sementara waktu, Tanjung Perak dijaga bersama TKR, polisi, dan
tentara Sekutu untuk menyelesaikan tugas menerima obat- obatan untuk tawanan
perang.
Hasil perundingan untuk menyelamatkan pasukan Mallaby dari
kekalahan total dipertegas oleh menteri penerangan sebagai berikut. a.
Pembentukan suatu Kontak Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI di Surabaya bersama-sama tentara Inggris.
b. Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang ditentukan kedudukan
masing-masing oleh Kontak Biro. c.
Daerah Darmo, daerah kamp interniran
orang-orang Eropa dijaga oleh sekutu. Hubungan
antara daerah Darmo dan pelabuhan Tanjung Perak diamankan untuk mempercepat
proses pemindahan tawanan. d. Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan
kepada masing-masing pihak.
Pukul 17.00, tanggal 30 Oktober 1945, seluruh anggota
Kontak Biro pergi bersama-sama menuju satu lokasi pertempuran. Tempat terakhir
ini adalah Gedung Bank Internasional di Jembatan
Merah. Gedung ini masih diduduki pasukan Inggris dan pemuda-pemuda masih
mengepungnya. Setibanya di lokasi pertempuran,
pemuda pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby menyerah.
Mallaby tidak bisa menerima tuntutan itu. Setelah penolakan
tersebut, terjadi insiden baku tembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby,
Komadan Brigade 49, di Surabaya. Inggris menyalahkan pihak Indonesia yang telah
melanggar gencatan senjata dan membunuh Mallaby.
Dari berbagai kesaksian mantan perwira Inggris di tempat
kejadian, ternyata yang memulai tembakan adalah pihak Inggris, sesuai kesaksian
Mayor Gopal tahun 1974. Penyebab tewasnya Mallaby sendiri masih menjadi
misteri. Ada yang mengatakan tertusuk bayonet dan bambu runcing pemuda. Namun,
berdasarkan surat dari Kapten Smith kepada Parrot tahun 1973-1974, kemungkinan
besar Mallaby terbunuh karena ledakan granat yang dilempar pengawalnya sendiri.
Setelah tewasnya Mallaby, baik Letnan Jenderal Christison,
panglima AFNEI, atau pun Mayor Jenderal Mansergh menyatakan, pihak Indonesia
telah melanggar gencatan senjata dan secara licik membunuh Brigjend. Mallaby.
Dengan tuduhan tersebut, Inggris memperoleh alasan untuk memenuhi perjanjiannya
dengan Belanda, yaitu membersihkan kekuatan bersenjata Indonesia.
Pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban pihak Indonesia.
Pada 31 Oktober 1945, Letnan Jenderal Christison memperingatkan kepada rakyat
Surabaya untuk menyerah. Apabila tidak, mereka akan dihancurkan. Rakyat
Surabaya tidak mau memenuhi tuntutan tersebut. Kontak Biro Indonesia pun
mengumumkan bahwa kematian Mallaby merupakan suatu kecelakaan.
Letjen Sir Philip Christison yang marah besar mendengar
kabar kematian Brigjend. Mallaby mengerahkan 24.000 pasukan tambahan untuk
menguasai Surabaya. Secara diam-diam, Sekutu memperkuat posisinya. Tanggal 1
November 1945, pukul 08.00, Laksamana Muda Patterson dengan Kapal Perang HMS
Sussex tiba di Surabaya. Sejumlah 1.500 pasukan didaratkan dengan Kapal Carron
dan Cavallier.
Tanggal 3 November 1945, menyusul pula Mayor Jendral E.C.
Manseergh, Panglima Divisi ke-5 Infanteri India, yang tiba di Surabaya dengan
membawa 24.000 pasukan, lengkap dengan panser, satu divisi artileri dilindungi
dari Tanjung Perak dan Ujung oleh satu cruiser dan empat destroyer dengan
meriam jarak jauh yang lengkap, ditambah 21 sherman tank dan meriam yang
dilindungi 24 pesawat terbang jenis Mosquito (pemburu) dan Thunderbolts
(pelempar bom).
Pesawat-pesawat ini berpangkalan di kapal-kapal perusak
yang mengadakan straffing serta menjatuhkan bom-bom di Surabaya. Kekuatan laut
yang dikerahkan oleh Inggris terdiri dari jenis kapal LST destroyer. Kapal itu
dibawah komando Naval Commander Force 64 yang dipimpin oleh Captain R.C.S.
Carwood. Beberapa buah
kapal
ini sudah beroperasi sejak kedatangan Inggris pada 25 Oktober 1945. Masih
banyak lagi kekuatan Inggris dari laut, udara, dan darat untuk menyerbu
Surabaya pada 10 November 1945.
Kemudian, pada 7 November 1945, Mayor Jendral E.C. Mansergh
menulis surat kepada Gubernur Suryo yang isinya menuduh gubernur tidak mampu
menguasai keadaan. Akibatnya, seluruh kota dikuasai oleh perampok. Mereka
dianggap menghalangi tugas Sekutu. Untuk itu, Sekutu mengancam akan menduduki
Kota Surabaya serta memanggil Gubernur Suryo untuk menghadap.
Dalam surat jawabannya, tertanggal 9 November 1945,
Gubernur Suryo membantah semua tuduhan Mayor Jendral E.C. Mansergh. Gubernur
Suryo mengutus Residen Sudirman dan Roeslan Abdulgani untuk menyampaikan surat
balasan tersebut. Pada hari yang sama, pukul 14.00, Mayor Jendral E.C. Mansergh
menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. Surat yang pertama berupa ultimatum
yang ditujukan kepada “All Indonesians of Surabaya” lengkap dengan
“Instructions”. Surat yang kedua merupakan perincian dari ultimatum tersebut.
Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui
pesawat udara pada 9 November 1945 pukul 14.00 yakni, “Seluruh pimpinan
Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio
Surabaya harus melapor ke Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00. Mereka
harus berbaris satu per satu membawa segala jenis senjata yang mereka miliki.
Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat
pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia harus datang dengan tangan di atas
kepala mereka, dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan
menyerah tanpa syarat. Bagi pemuda-
pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris dan membawa
bendera putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 pagi tanggal 10
November 1945. Apabila tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan seluruh
kekuatan darat, laut, dan udara untuk menghancurkan Surabaya.”
Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya mengadakan
pertemuan. Mereka melaporkan kepada presiden, tetapi hanya diterima oleh
Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo. Menteri luar negeri menyerahkan keputusan
kepada rakyat Surabaya. Secara resmi pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo melalui
radio, menyatakan menolak ultimatum Inggris.
Tanggal 10 November 1945, pukul 06.00, setelah habisnya
waktu ultimatum, Inggris mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat,
laut, dan udara. Pemboman secara brutal pada hari pertama telah menimbulkan
korban yang sangat besar. Di pasar Turi, ratusan orang tewas dan luka-luka.
Inggris juga berhasil menguasai garis pertama pertahanan rakyat Surabaya.
Rakyat Surabaya tidak tinggal diam. Mereka melakukan
perlawanan atas serangan tersebut. Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga
minggu telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban,
sebagian besar adalah warga sipil.
Selain itu, diperkirakan 150.000 orang terpaksa
meninggalkan Kota Surabaya yang hampir hancur total terkena serangan Sekutu.
Sementara di pihak Inggris tercatat 1.500 tentara Inggris tewas, hilang, dan
luka-luka.
Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu.
Seluruh kota telah jatuh ke tangan Sekutu. Pihak Inggris menduga bahwa
perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari. Namun, para
tokoh masyarakat, seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di
masyarakat, terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya
sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta
kiai-kiai pondok Jawa seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, serta
kiai-kiai pesantren lainnya juga mengerahkan santri santri mereka dan
masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak
begitu patuh kepada pemerintahan, tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada
para kiai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke
hari, hingga dari minggu ke minggu.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara
spontan dan tidak terkoordinasi makin hari makin teratur. Pertempuran skala
besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu sebelum seluruh Kota Surabaya
akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris tanggal 28 November 1945.
Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak
Indonesia. Akan tetapi, perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela
berkorban demi mempertahankan kemerdekaan mereka meskipun harus dibayar dengan
nyawa. Sebagai penghormatan atas jasa para pahlawan yang berperang dengan gigih
melawan Sekutu di Surabaya, Sukarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari
Pahlawan.
4.
Pertempuran Palagan
Ambarawa
Melawan Sekutu Pertempuran Ambarawa terjadi pada 29
November 1945 dan berakhir pada 15 Desember 1945. Pada 20 Oktober 1945, pasukan
Sekutu di bawah komando Brigadir Jenderal Bethell mendarat di Semarang untuk
melucuti senjata pasukan Jepang dan membebaskan tahanan perang yang masih
ditahan di kamp-kamp konsentrasi di Jawa Tengah.
Awalnya, pasukan disambut di daerah itu. Gubernur Jawa
Tengah Wongsonegoro setuju untuk memberi mereka makanan dan kebutuhan lainnya
sebagai imbalan janji Sekutu untuk menghormati kedaulatan dan kemerdekaan
Indonesia. Ternyata, mereka diboncengi oleh NICA.
Pada 26 Oktober 1945, pecah insiden di Magelang yang
berkembang menjadi pertempuran antara TKR dengan tentara Sekutu. Insiden itu
berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno dengan Brigadir Jenderal Bethell
di Magelang pada 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan
senjata dan tercapai kata sepakat berikut ini.
a.
Pihak Sekutu tetap menempatkan
pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus tawanan
perang Jepang dan interniran Sekutu. b. Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka
bagi lalu lintas Indonesia-Sekutu. c. Sekutu tidak mengakui aktifitas NICA dan
badan-badan yang berada di bawah NICA.
Ternyata, Sekutu ingkar janji. Pada 20 November 1945, di
Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto
melawan tentara Sekutu. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu yang berada di
Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
Ketika pasukan
Sekutu dan NICA tiba di Ambarawa, mereka membebaskan sekitar
28.000
tahanan Belanda termasuk wanita dan anak-anak dari kamp konsentrasi di
dalamnya. Mereka mempersenjatai kembali para tahanan interniran Belanda untuk
memperkuat pasukan mereka melawan TKR.
Tanggal 22 November 1945, pertempuran terjadi di dalam kota
dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman di kampung-kampung sekitar Ambarawa.
Karena di dukung oleh tank dan pesawat tempur, Sekutu terus bergerak ke
Magelang.
Di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel Sarbini, pemimpin
Resimen Magelang, didukung oleh pasukan gabungan dari Ambarawa dan Surakarta
yang dipimpin oleh Oni Sastrodihardjo, tentara Republik dapat mengepung dan
hendak menghancurkan pasukan Sekutu. Menghindar dari ancaman besar seperti itu,
Sekutu mundur dari Magelang dan kembali ke Ambarawa. Mereka mendirikan benteng
di dua desa di dekat kota. Tempat mereka kemudian diserang oleh pasukan
Indonesia.
Tanggal 26 November 1945, komandan sektor itu, Letnan
Kolonel Isdiman, tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan misi karena meninggal
dalam serangan udara Sekutu yang diserang peluru senapan mesin Mustang.
Gugurnya Letnan Kolonel Isdiman seolah membakar semangat juang pasukan TKR di
Palagan Ambarawa.
Kolonel Sudirman, Panglima Divisi 5 Banyumas, yang
kehilangan salah satu perwira terbaiknya, memutuskan untuk mengambil alih
kepemimpinan pertempuran itu sendiri. Dia mengoordinasikan komandan sektor
untuk memperketat pengepungan. Kehadiran Sudirman ini semakin menambah semangat
tempur TKR dan para pejuang yang sedang bertempur di Ambarawa.
Tanggal 12 Desember 1945, Sudirman mengoordinasikan
bawahannya untuk mengusir Sekutu dari Ambarawa dengan segala cara. Saat itu, ia
menggunakan teknik yang disebut Supit Urang (menjepit dari dua sisi), yang
berasal dari kisah perang Bharata Yudha. Taktik ini segera diterapkan sehingga
musuh mulai terjepit dan situasi pertempuran semakin menguntungkan pasukan TKR.
Selama empat hari, pertempuran berlangsung terus-menerus
sehingga pasukan Sekutu benar-benar terputus dari markas mereka di Semarang. Tentara-tentara Indonesia
yang didukung oleh orang-orang sipil yang direkrut bertempur dengan sengit
melawan pasukan Sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris, NICA, dan para
tahanan Jepang yang dipersenjatai kembali.
Angkatan Udara Kerajaan Inggris secara intensif
membombardir Ungaran untuk membuka jalan ke Semarang yang kemudian dipegang
oleh pasukan Indonesia dan memberondong Ambarawa dari udara berulang kali.
Sekutu juga melancarkan serangan udara ke Solo dan Yogyakarta yang bertujuan
untuk menghancurkan stasiun radio lokal tempat semangat juang dipertahankan.
Tanggal 15 Desember 1945, pertempuran yang dimulai oleh
pasukan Sekutu berakhir dengan sebuah bencana. Ambarawa menjadi lautan api
ketika pasukan Sekutu membakar rumah-rumah lokal sebelum mereka mundur ke
Semarang. Dalam pertempuran itu, pasukan TKR mengalami kemenangan karena bisa
memukul mundur Sekutu dari Ambarawa menuju Semarang. Kolonel Sudirman masih
dalam pakaian seragamnya mengambil air wudhu dan kemudian bersimpuh salat sujud
syukur. Tidak banyak yang tahu bahwa orang yang bersujud syukur itu baru saja
menyelesaikan tugasnya
mengukuhkan
akar kemerdekaan bangsanya. Tidak banyak pula yang mengetahui bahwa pria yang
bersimpuh itu pada konferensi besar TKR tanggal 12 November 1945 terpilih
menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia yang masih sangat
muda.
Pada 15 Desember 1974, hari ketika Sekutu diusir dari
Ambarawa, Presiden Suharto meresmikan Monumen Nasional Ambarawa Battlefield untuk
memperingati peristiwa heroik. Kemenangan pertempuran itu kini diabadikan
dengan berdirinya Monumen Ambarawa dan diperingati sebagai Hari Tentara Juang Kartika.
5.
Pertempuran Medan Area Melawan Sekutu
Pertempuran Medan Area diawali ketika pada 9 November 1945,
pasukan Sekutu memasuki Kota Medan di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D
Kelly diikuti pasukan NICA yang ingin menguasai kembali Indonesia. Mereka
menyatakan kepada pemerintah Indonesia akan melaksanakan tugas kemanusiaan
dengan mengevakuasi tawanan dari beberapa kamp di luar Kota Medan.
Teuku Muhammad Hasan, Gubernur Wilayah Sumatra, menerima
kedatangan pasukan Sekutu untuk alasan kemanusian, karena niat kedatangan
tentara Inggris dan NICA adalah untuk membebaskan tawanan perang yang terdapat
di kamp-kamp tahanan perang di Rantau Prapat, Pematang Siantar, dan Berastagi
untuk dikumpulkan di Medan.
Pemerintah RI di Sumatra Utara memperkenankan mereka
menempati beberapa hotel di Medan seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel
Astoria, dan lain sebagainya karena semata-mata menghormati tugas mereka.
Sebagian dari mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa, dan beberapa tempat
lainnya dengan memasang tenda-tenda di lapangan.
Sehari setelah merapat di
Medan, tim dari RAPWI (Relief of Allied Prisoner of War and Internes)
melakukan pembebasan terhadap tawanan di penjara-penjara yang ada di Medan atas
persetujuan Gubernur Moh. Hassan. Dengah dalih menjaga keamanan, para bekas
tawanan diaktifkan kembali dan dipersenjatai. Ternyata, kelompok itu langsung
mejadi batalion KNIL (het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger). Dengan
kekuatan itu, terjadi perubahan sikap dari bekas tawanan itu. Mereka bersikap
congkak karena merasa sebagai pemenang perang. Sikap ini menimbulkan beberapa
insiden yang dilakukan oleh para pemuda.
Insiden pertama terjadi di Jl. Bali Medan tanggal 13
Oktober 1945. Insiden berawal dari seorang penghuni hotel yang menginjak injak
lencana merah putih yang dipakai oleh seorang warga sekitar. Kejadian tersebut
menimbulkan kemarahan para pemuda yang berujung pada penyerangan dan perusakan
hotel tersebut.
Sebelum kejadian dalam insiden pertama tanggal 10 Oktober
1945, pemerintah Sumatra Timur membentuk TKR yang dipimpin Achmad Tahir dan
terdiri atas unsur bekas Heiho dan Giyugun (di Jawa bernama Peta). Selain TKR,
terbentuk pula badan perjuangan yang bernama Pemuda Republik Indonesia Sumatra
Timur. Panggilan ini mendapat sambutan luar biasa dari para pemuda.
Pada 18 Oktober 1945, Brigadir Jenderal T.E.D Kelly
berusaha melemahkan gerakan rakyat Medan dengan menyampaikan ultimatum agar
pemuda menyerahkan senjata kepada Sekutu. Sekutu mulai melakukan pembersihan di
berbagai wilayah kota Medan. Sekutu juga mulai melakukan aksi-aksi terornya
sehingga muncul permusuhan di
kalangan
pemuda. Patroli diadakan Inggris karena mereka merasa tidak aman dan pemerintah
Indonesia tidak memberikan jaminan keamanan. Meningkatnya korban di pihak
Inggris di beberapa insiden membuat mereka memperkuat kedudukannya dan
menentukan sendiri secara sepihak batas kekuasaannya.
Pada 1 Desember 1945, Sekutu memperkuat dan menegaskan
kedudukannya dengan memasang patok-patok di sudut kota. Pemasangan patok-patok
tersebut disertai dengan pemasangan papan yang bertuliskan Fixed Boundaries
Medan Area (Batas Resmi Wilayah Medan). Tentara Sekutu kemudian melakukan
pembersihan terhadap orang- orang Indonesia yang berada di wilayah Medan Area.
Sekutu juga mendesak agar pemerintahan Indonesia yang ada
di Medan segera keluar dari wilayah tersebut. Tindakan Sekutu tersebut mendapat
balasan dari rakyat Medan dengan perlawanan bersenjata. Pada 10 Desember 1945,
pasukan Sekutu melakukan serangan terhadap kedudukan TKR di Trepes. Para
pejuang menculik seorang perwira Inggris dan menghancurkan beberapa truk.
Dengan adanya peristiwa itu Brigadir Jenderal T.E.D Kelly
pada 13 Desember 1945 mengeluarkan ultimatum kedua. Bangsa Indonesia dilarang
untuk membawa senjata di dalam daerah Medan atau 8,5 kilometer sekitar Medan.
Bagi yang membantah akan di tembak mati. Setelah keluarnya ultimatum kedua,
tentara Sekutu dengan aktif melakukan razia dan sering mendapatkan serangan
balik dari pemuda Indonesia. Saling serang ini mengakibatkan kondisi Medan
menjadi tidak kondusif.
Pertempuran setelah ancaman kedua berlanjut sampai April
1946 dan mengakibatkan kerusakan parah. Akhirnya, kantor gubernur, markas divisi
TKR, serta kantor wali kota, dipindahkan ke Pematang Siantar. Dengan demikian,
Sekutu menguasai Kota Medan.
Karena serangan yang tidak terkordinasi, maka pada 10
Agustus 1946 di Tebing Tinggi seluruh pemuda di bawah Napindo dari PNI,
Pesindo, Barisan Merah dari PKI, Hizbullah dari Masyumi, dan Pemuda Parkindo
membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.). Kapten Nip
Karim dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum. Di bawah
komando inilah mereka meneruskan perjuangan di Medan Area.
6.
Pertempuran Bandung Lautan Api Melawan Sekutu
Latar belakang Peristiwa Bandung Lautan Api berawal dari
peristiwa ketika pasukan Sekutu mendarat di Bandung. Pasukan Inggris bagian
dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada 17 Oktober 1945. Para pejuang
Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjata dan kekuasaan dari tangan
Jepang. Pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut Pangkalan
Udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel (ACW) -
sekarang Pindad.
Seperti halnya di kota-kota besar lain, di Bandung pasukan
Sekutu dan NICA melakukan teror terhadap rakyat sehingga terjadi
pertempuran-pertempuran. Menjelang November 1945, pasukan NICA semakin
merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan kedatangan pasukan Sekutu untuk
mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.
Tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan
Indonesia melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di wilayah
Bandung bagian Utara. Hotel Homann dan Hotel Preanger
yang digunakan Sekutu sebagai markas
juga
tak luput dari serangan. Menanggapi serangan ini, tiga hari kemudian, MacDonald
menyampaikan ultimatum pertama kepada Gubernur Jawa Barat.
Ultimatum ini berisi perintah agar Bandung Utara
dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk dari pasukan bersenjata dengan
alasan untuk menjaga keamanan. Sekutu menuntut agar Bandung bagian utara
dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat- lambatnya tanggal 29 November 1945.
Sejak saat itu sering terjadi insiden antara pasukan Sekutu
dengan pejuang. Masyarakat Indonesia yang mendengar ultimatum ini tidak
mengindahkannya. Sehingga pecah pertempuran antara Sekutu dan pejuang Bandung
pada 6 Desember 1945.
Tanggal 23 Maret 1946, Sekutu kembali mengulang
ultimatumnya. Sekutu memerintahkan agar TRI (Tentara Republik Indonesia) segera
meninggalkan Kota Bandung. TRI diperintahkan untuk mundur sejauh 11 kilometer
dari pusat kota paling lambat pada tengah malam tanggal 24 Maret 1946.
Mendengar ultimatum tersebut, pemerintah Indonesia di
Jakarta lalu menginstrusikan agar TRI mengosongkan Kota Bandung demi keamanan
rakyat. Akan tetapi, perintah ini berlainan dengan yang diberikan dari markas
TRI di Yogyakarta. Dari Yogyakarta, keluar instruksi agar tetap bertahan di
Bandung. Sekutu membagi Bandung dalam dua sektor, yakni Bandung Utara dan
Bandung Selatan. Sekutu meminta orang-orang Indonesia untuk meninggalkan
Bandung Utara.
Para pejuang Bandung memilih membakar Bandung dan
meninggalkannya dengan alasan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA
Belanda memakai Kota Bandung sebagai markas strategi militer mereka dalam
Perang Kemerdekaan Indonesia. Operasi pembakaran Bandung ini disebut sebagai
operasi “Bumi Hangus”.
Keputusan untuk membumihanguskan Kota Bandung diambil lewat
musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) yang dilakukan di depan
seluruh kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III memutuskan dan
memerintahkan untuk segera mengevakuasi seluruh penduduk Bandung dan
membumihanguskan semua bangunan yang ada di kota tersebut.
Keputusan pada musyawarah tersebut dipertanyakan oleh
sejumlah petinggi militer Indonesia karena dianggap tidak berupaya
mempertahankan Kota Bandung hingga titik darah penghabisan. Nasution memiliki
alasan yang kuat. Jumlah pasukan RI tidak seimbang dengan kekuatan militer
Sekutu. Jika TRI mempertahankan Bandung dengan melawan Sekutu, lambat laun Bandung
tetap akan diduduki. Dari segi persenjataan dan jumlah personel, Inggris bukan
lawan yang seimbang bagi TRI meskipun dibantu pejuang atau laskar.
Saat itu, TRI Bandung hanya memiliki 100 pucuk senjata,
kebanyakan memakai bambu runcing dan senjata tajam lainnya. Sedangkan Inggris
memiliki 12.000 pasukan yang bersenjata lengkap dan modern. Belum lagi dibantu
pasukan bayaran Gurkha dan NICA. Nasution tidak mau mengorbankan empat divisi
yang ada. Dengan membakar kota Bandung, Sekutu akan menerima puing-puing,
mereka akan sulit membangun markas, dan pergerakannya pun akan melambat. Pada
saat itu, empat divisi yang ada masih tetap utuh dan mereka akan ditempatkan di kantung-kantung gerilya di dalam kota
untuk tindakan perlawanan selanjutnya. Hasil musyawarah itu lalu diumumkan
kepada rakyat.
Kebakaran hebat justru muncul dari rumah-rumah warga yang
sengaja dibakar, baik oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang sukarela
membakar rumahnya sebelum berangkat mengungsi. Rumah-rumah warga yang dibakar
membentang dari Jalan Buah Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih,
Cigereleng, Jalan Sudirman, serta Jalan Kopo. Kobaran api terbesar ada di
daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang (Oto
Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain.
Peristiwa pembakaran ini menjadikan Bandung lautan api
dikenang hingga kini. Mars Halo-halo Bandung sekarang menjadi lagu wajib
nasional. Monumen untuk mengenang peristiwa itu didirikan di Lapangan Tegalega
7.
Pertempuran Margarana di Bali Melawan Belanda
Pertempuran Margarana atau dikenal dengan Puputan Margarana
terjadi di sebelah utara Tabanan, Bali. Pertempuran ini sebenarnya dipicu oleh
hasil Perundingan Linggajati. Salah satu klausul dari hasil perundingan itu
adalah bahwa pengakuan secara de facto atas wilayah kekuasaan Indonesia hanya
meliputi Jawa, 220 Madura, dan Sumatra. Selanjutnya, Belanda harus meninggalkan
wilayah de facto itu paling lambat 1 Januari 1949.
Jika menelaah klausul tersebut, maka Bali tidak menjadi
bagian dari Indonesia. Tidak masuknya Bali sebagai satu kesatuan wilayah
Indonesia menimbulkan perlawanan rakyat Bali. Tanggal 2 dan 3 Maret 1946,
Belanda mendarat di Pulau Bali dengan membawa
2.000
tentara. Pada saat yang sama, Letkol. I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen
Sunda Kecil (saat ini Nusa Tenggara), sedang berada di Yogyakarta untuk
melakukan konsultasi kepada Markas Besar TRI.
Saat itu, Belanda ingin menjadikan Bali bergabung dengan
Negara Indonesia Timur (NIT) yang sudah dibuatnya. Belanda membujuk Letkol. I
Gusti Ngurah Rai agar Bali bergabung dengan NIT dan mengangkatnya menjadi
Kepala Divisi Sunda Kecil. Ajakan Belanda tersebut ditolak Letkol. I Gusti
Ngurah Rai yang lebih memilih tanah airnya, Indonesia. Letkol. I Gusti Ngurah
Rai lebih suka melawan Belanda daripada menjadi pengkhianat Bangsa.
Kemudian, Letkol. I Gusti Ngurah Rai selaku Komandan
Resimen Sunda Kecil memerintahkan pasukannya yang bernama Ciung Wanara untuk
melucuti polisi NICA yang menduduki Kota Tabanan. Pada 18 November 1946,
pasukan Ciung Wanara dapat menduduki detasemen polisi NICA di Tabanan dan
merebut puluhan senjata lengkap dengan artilerinya (senjata berat).
Peristiwa ini memicu kemarahan pasukan Belanda. Pada 20
November 1946, Belanda mengerahkan seluruh pasukannya di Bali dan Lombok. Tidak
hanya itu, Belanda Juga meminta bantuan pasukan dan pesawat pengebom dari
Makassar untuk menghadapi Letkol. I Gusti Ngurah Rai. Pada hari yang sama,
pukul 09.00- 10.00 WIT, Belanda mengepung Margarana sebagai basis pasukan
Ngurah Rai.
Perang di Margarana ini juga dikenal sebagai perang
puputan, yakni perang yang dilakukan sampai titik darah penghabisan. Setelah
bertempur dengan kekuatan militer yang tidak seimbang, Letkol. I Gusti Ngurah
Rai dan anak buahnya yang berjumlah 96 gugur dan di pihak Belanda 400 orang
tewas.
Gugurnya Letkol. I Gusti Ngurah Rai telah melicinkan jalan
usaha Belanda untuk membentuk apa yang dinamakan Negara Indonesia Timur. Untuk
mengenang peristiwa
itu,
kini di lokasi kejadian dibangun Tugu Pahlawan Pujaan Bangsa dan setiap tanggal
20 November juga diperingati sebagai hari Puputan Margarana.
8.
Peristiwa Westerling Di Makassar
Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi Selatan (Makassar),
membentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI) dan Manai Shopian ditunjuk
sebagai ketuanya. Organisasi ini bertugas menampung aspirasi masyarakat
Makassar, termasuk diantaranya menentang Belanda (NICA) membentuk Negara
Indonesia Timur (NIT).
Tanggal 5 Desember 1946, Belanda mengirimkan pasukan ke
Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling.
Ketika mendarat di Makassar, Westerling membawa 120 orang pasukan khusus
(pasukan berkemampuan istimewa). Misi utama Westerling adalah menumpas
pemberontakan para pejuang dari Makassar yang menentang pembentukan Negara
Indonesia Timur (NIT).
Westerling adalah orang Belanda kelahiran Turki. Westerling
dilahirkan dari keluarga campuran Belanda dan Yunani. Ayahnya, Paul Westerling,
adalah keturunan Belanda, sedangkan ibunya keturunan Yunani. Westerling lahir
tanggal 31 Agustus 1919 di Istanbul, ibu kota Turki, dengan nama Raymond Paul
Pierre Westerling.
Di dinas militer, temannya memanggil dengan julukan Turk,
de Turk, atau Turco. Karena kekejamannya di Sulawesi Selatan, dia mendapat
julukan The Master Killer. Dia sengaja membangun citra kejam sehingga terkesan
menakutkan di mata masyarakat. Sebagai contoh, jika pejuang Republik
tertangkap, biasanya Westerling menyuruh pejuang itu berlari
sekencang-kencangnya lalu menembaknya dari jarak 20-30 meter. Para pejuang itu
mati tertembak tepat di kepala.
Para pemuda seperti Robert Wolter Monginsidi, Rivai, dan Paersi yang tergabung dalam organisasi
PPNI mengangkat senjata melakukan perlawanan. Mereka berhasil merebut
tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA. Selanjutnya, Wolter Monginsidi dan
kawan-kawan membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS)
dengan tujuan mengerakkan rakyat melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Untuk menumpas gerakan yang dipelopori Wolter Monginsidi
dan beberapa pejuang wanita seperti Emmy Sailan yang rela meninggal untuk
mengusir Belanda, Westerling menerapkan metode Gestapo. Metode ini biasa
diterapkan polisi rahasia Jerman yang terkenal kejam pada zaman Adolf Hitler.
Pada masa Nazi berkuasa di Jerman
para polisi rahasia menangkap dan membantai orang-orang yang mereka curigai
sebagai musuh. Pada zaman pendudukan Jepang, dikenal dengan nama Kempetai
(polisi rahasia Jepang).
Belanda melakukan tindakan brutal itu sejak tanggal 7
sampai 25 Desember 1946. Akibatnya, dalam waktu kurang dari satu bulan, sekitar
40.000 ribu orang warga sipil dibunuh oleh pasukan Westerling. Hasil penelitian
dari Angkatan Darat tahun 1951, korban keganasan Westerling sekitar 1.700
orang.
Monginsidi juga tertangkap oleh pasukan Belanda pada 28
Februari 1947, tetapi ia dapat melarikan diri pada 27 Oktober 1947. Tidak lama
kemudian, Monginsidi tertangkap kembali dan kali ini dia dihukum mati dengan
cara ditembak oleh regu tembak pada 5 September 1949. Untuk mengenang
kepahlawanan Monginsidi, pemerintah memindahkan makamnya ke Taman Makam
Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
C. Kenegarawanan Sultan Hamengku Buwono
IX
Menjelang akhir tahun 1945, keamanan Kota Jakarta semakin
memburuk. Tentara Belanda semakin beringas dan aksi-aksi teror yang dilakukan
semakin meningkat. Pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priok pada 30
Desember 1945 menambah gentingnya keadaan. Sementara itu, tentara Jepang belum
semuanya pergi dari Indonesia.
Tentara Belanda terus memburu para pimpinan RI. Perdana
Menteri Sutan Syahrir hampir tewas ketika mobilnya diberondong peluru. Sukarno
dan Hatta sampai berpindah- pindah tempat untuk menghindari kejaran tentara
Belanda. Kekacauan semakin bertambah dengan adanya konflik politik yang terjadi
antartokoh dalam negeri sendiri.
Sultan Hamengkubuwono IX kemudian menawarkan agar ibu kota
RI pindah ke Yogyakarta. Tawaran itu dikirimkan lewat kurir pada 2 Januari
1946. Ternyata, tawaran itu disambut baik oleh pemerintah di Jakarta, mengingat
situasi keamanan yang makin memburuk. Pada 3 Januari 1946, sidang kabinet
memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta
ke Yogyakarta. Akhirnya, presiden dan wakil presiden pada 4 Januari 1946 pindah
ke Yogyakarta dan ibu kota Republik Indonesia turut pindah ke Yogyakarta.
Perpindahan ke Yogyakarta digunakan dengan menggunakan
kereta api yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa), karena jadwal
perjalanannya di luar jadwal yang ada. Waktu menunjukkan pukul 18.00 ketika
kereta mulai bergerak. Lokomotif dan gerbong (yang kini tersimpan di museum
transportasi Taman Mini Indonesia Indah) meninggalkan Jakarta, berangkat dengan
diam-diam, hanya bercahayakan temaram bulan.
Di Stasiun Tugu Yogyakarta, banyak orang menyambut
kedatangan presiden dan wakil presiden beserta para ibu. Sultan Hamengkubuwono
IX dan Paku Alam langsung naik ke gerbong dan menyalami para pemimpin.
Selanjutnya, para pemimpin RI diantar dengan mobil. Sukarno satu mobil dengan
Sultan Hamengkubuwono IX, Moh. Hatta dengan Paku Alam, sedangkan Fatmawati
Sukarno dan Rahmi Hatta juga satu mobil. Setibanya para pemimpin RI di
Yogyakarta, roda pemerintahan langsung dijalankan karena kondisi keamanan saat
itu relatif lebih aman daripada daerah lain.
D. Perjanjian Linggajati
Terpilihnya Sutan Syahrir sebagai perdana menteri menandakan
berlakunya sistem Kabinet Parlementer yang bermaksud untuk menjadikan Republik
Indonesia memiliki kedudukan yang kuat. Hal ini disebabkan pemerintahannya
dipimpin oleh seorang tokoh pejuang demokrasi dan bebas dari fasisme. Walaupun
cara kepemimpinan melalui diplomasi banyak mendapatkan pertentangan dari tokoh revolusi lainnya, tetapi perundingan
menjadi salah satu cara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mendapat
pengakuan dari negara-negara lainnya di dunia.
Pemerintah Inggris yang ditunjuk sebagai penanggung jawab
untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia segera menyelesaikan
tugasnya. Pemerintah Inggris menugaskan Sir Archibald Clark Kerr, sedangkan
pihak Belanda mengutus H.J. Van Mook.
Pada 14 sampai 25 April 1946, perwakilan Inggris mengundang
Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hoogwe Veluwe. Namun sayang,
perundingan itu berakhir gagal karena tidak menghasilkan apa-apa. Sebab,
Belanda tidak mau mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya. Pemerintahan
Belanda hanya mau mengakui kedaulatan Indonesia atas Pulau Jawa dan Madura.
Sehubungan dengan gagalnya perundingan di Hoogwe
Veluwe, kemudian disepakati untuk dilaksanakannya Perjanjian Linggajati
di daerah Jawa Barat.
Masalah-masalah yang terus-menerus terjadi antara negara
Indonesia dengan Belanda menjadi sebuah alasan terjadinya Perjanjian Linggajati.
Masalah ini terjadi karena negara Belanda belum mau mengakui apabila negara
Indonesia telah merdeka dan baru saja dideklarasikan. Para pemimpin atau tokoh
negara menyadari bahwa mengakhiri permasalahan dengan peperangan hanya akan
mengakibatkan dan menelan korban jiwa dari kedua belah pihak, yaitu dari negara
Indonesia dan negara Belanda.
Oleh sebab itu, negara Inggris berusaha sebisanya untuk
mempertemukan negara Indonesia dengan negara Belanda di sebuah meja perundingan
untuk membuat atau membentuk sebuah kesepakatan yang sangat jelas. Akhirnya,
perjanjian yang memiliki banyak sejarah antara negara Indonesia dan negara
Belanda ini 227 terlaksana dan berakhir di daerah Linggajati, Cirebon, sekitar
tanggal 10 November 1946.
Lokasi Linggajati ini berada di lereng Gunung Ciremai yang
mempunyai suasana yang sejuk dan pemandangan yang indah. Selain itu, Residen
Cirebon Hamdani maupun Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja kebetulan berasal
dari Partai Sosialis, sehingga keamanan dari perjanjian ini terjamin. Selain
itu, Linggajati dipilih sebagai tempat dilaksanakannya perundingan karena
terletak di tengah-tengah Jakarta dan Yogyakarta - pada saat ibu kota negara
dipindahkan ke Yogyakarta.
Pemerintah Belanda diwakili oleh Komisi Jenderal dan
Pemerintah Republik Indonesia pada saat itu diwakili oleh Delegasi Indonesia
atas dasar keinginan yang ikhlas. Keduanya hendak menentukan hubungan yang baik
pada kedua bangsa, yaitu antara Belanda dan Indonesia.
Perundingan ini dilaksanakan pada 10 November 1946.
Delegasi Indonesia terdiri dari Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mr. Susanto
Tirtoprojo, dan dr. A.K. Gani. Sedangkan delegasi Belanda antara lain Prof.
Willem Schermerhorn, F. de Boer, H.J. Van Mook, dan Max van Poll. Bertindak
sebagai moderator atau penengah adalah Lord Killearn dari Inggris.
Perjanjian ini ditandatangani pada 25 Maret 1947 dalam
sebuah upacara kenegaraan yang diselenggarakan di Istana Rijswijk atau yang
sekarang disebut Istana Negara. Isi dari
perjanjian Linggajati adalah sebagai berikut. a). Belanda mengakui secara de
facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi wilayah
Sumatra, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah itu selambat-lambatnya
tanggal 1 Januari 1949. b). Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama
dengan membentuk negara serikat dengan nama Republik Indonesia. Oposisi
mengkritik Sukarno-Hatta karena menganggap perundingan itu merugikan Indonesia.
Serikat (RIS). Pembentukan RIS akan segera dilaksanakan sebelum tanggal 1 Januari 1949. c). Republik Indonesia Serikat
dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda.
Butir-butir perjanjian ini jika dilihat secara sepintas
merupakan sebuah kerugian, karena wilayah Indonesia hanya Sumatra, Jawa, dan
Madura. Hal ini berbeda jauh dengan
hasil sidang PPKI yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia mencakup delapan
provinsi. Namun, jika ditelaah lebih jauh lagi, isi perjanjian ini merupakan
keunggulan kita secara politik, karena dengan adanya perundingan ini berarti
nama Republik Indonesia sudah tercatat dalam hukum perjanjian internasional dan
tidak akan bisa dihapus lagi.
Setelah Perjanjian Linggajati, beberapa negara telah
memberikan pengakuan terhadap kekuasaan RI, misalnya Inggris, Amerika Serikat,
Mesir, Afganistan, Myanmar, Saudi Arabia, India, dan Pakistan. Perjanjian Linggajati
mengandung prinsip-prinsip pokok yang harus disetujui oleh kedua belah pihak.
E. Konferensi Malino Dan BFO
Dalam situasi politik yang tidak pasti, Belanda melakukan
tekanan politik dan militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan
menyelenggarakan Konferensi Malino yang bertujuan untuk membentuk negara-negara
federal di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada
Belanda. Di samping itu, di Pangkal Pinang diselenggarakan juga konferensi
untuk golongan minoritas. Konferensi Malino diselengarakan pada 15-26 Juli
1946. Sedangkan Konferensi Pangkal Pinang diselenggarakan pada 1 Oktober 1946.
Diharapkan, daerah-daerah ini akan mendukung Belanda untuk pembentukan negara
federasi.
Setelah perjanjian Linggajati, Van Mook mengambil inisiatif
untuk mendirikan pemerintahan federal sementara sebagai pengganti Hindia
Belanda. Sedangkan pada kenyataannya, pendirian negara federal itu tidak ada
bedanya dengan negara Hindia Belanda. Untuk itulah, negara-negara federal
mengadakan rapat di Bandung pada bulan Mei sampai Juli 1948.
Konferensi
Bandung itu dihadiri empat negara federal bentukan Belanda, yakni
1)
Negara Indonesia Timur, 2) Negara Sumatra Timur, 3) Negara Pasundan, dan 4)
Negara Madura. Konferensi juga dihadiri daerah-daerah otonom seperti Bangka,
Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
Riau, dan Jawa Tengah. Sebagai ketuanya adalah Mr. Bahriun dari Negara Sumatra
Timur.
Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor Federal Overleg
(BFO), yaitu suatu pertemuan untuk musyawarah federal. Pegambil inisiatif BFO
itu adalah Ida Agung Gde Agung, Perdana Menteri Negara Indonesia Timur. Juga
R.T. Adil Puradiredja, Perdana Menteri Negara Pasudan. BFO dimaksudkan untuk
mencari solusi terbaik dari konflik politik antara RI dengan Belanda yang
nantinya juga berpengaruh kepada negara-negara bagian. Pertemuan Bandung juga
dirancang untuk menjadikan pemerintahan peralihan yang lebih baik daripada
pemerintahan federal sementara buatan Van Mook.
F. Agresi Militer Belanda I
Agresi Militer Belanda I disebabkan Belanda yang tidak
menerima hasil Perundingan Linggajati yang telah disepakati bersama pada 25
Maret 1947. Belanda menafsirkan isi dari Perjanjian Linggajati berdasarkan
pidato Ratu Wihelmina pada 7 Desember 1942 yang intinya menginginkan bangsa
Indonesia menjadi anggota
Commonwealth
(negara persemakmuran) dan akan dibentuk menjadi negara federasi, kemudian
Belanda yang akan mengatur hubungan luar negeri bangsa Indonesia.
Di tengah-tengah upaya mencari kesepakatan dalam
pelaksanaan isi Persetujuan Linggajati, Belanda terus melakukan tindakan yang
bertentangan dengan isi Persetujuan Linggajati. Di samping mensponsori
pembentukan pemerintahan federasi, Belanda juga terus memasukkan kekuatan
tentaranya. Pada 27 Mei 1947, Belanda mengirim ultimatum yang isinya sebagai
berikut. a). Pembentukan pemerintahan federal sementara (pemerintahan darurat).
b). Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri. c). Dewan Urusan Luar Negeri
bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa. d). Pembentukan
pasukan keamanan dan ketertiban bersama. Pembentukan pasukan gabungan ini
termasuk juga di wilayah RI.
Pada prinsipnya, Perdana Menteri Syahrir (yang kabinetnya
jatuh pada Juni 1947) dapat menerima beberapa usulan, tetapi menolak mengenai
pembentukan pasukan keamanan bersama di wilayah RI. Tanggal 3 Juli 1947
dibentuk kabinet baru di bawah Amir Syarifudin yang kebijakannya juga menolak
pembentukan pasukan keamanan bersama di wilayah RI.
Pada 15 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Dr.
H.J. Van Mook menyampaikan pidato radio bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan
Perjanjian Linggajati. Selain itu, Van Mook juga mengultimatum bangsa Indonesia
agar menarik pasukannya untuk mundur dari garis batas demarkasi sejauh 10 kilometer.
Pada saat itu, jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih
dari 100.000 orang dengan persenjataan yang modern termasuk persenjataan berat
(artileri) yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Kemudian, Belanda melancarkan serangan kepada Indonesia pada 21 Juli 1947.
Tujuan utama Agresi Militer Belanda I ialah sebagai
berikut. a). Bidang politik: bertujuan untuk mengepung wilayah ibu kota
Republik Indonesia dan menghilangkan secara de facto Republik Indonesia dengan
menghapus RI dari peta. b). Bidang ekonomi: merebut daerah-daerah perkebunan
yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. c).
Bidang militer: menghapus TNI/TKR sebagai ujung tombak pertahanan bangsa,
dengan begitu Indonesia akan lemah dan mudah dikendalikan.
Untuk mengelabui dunia internasional, Belanda menamakan
agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil (Politionele Acties) dan menyatakan
tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Konferensi pers pada malam 20 Juli
1947 di istana tempat Gubernur Jenderal H.J. Van Mook mengumumkan kepada
wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama.
Serangan di beberapa daerah seperti di Jawa Timur bahkan
telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli 1947 malam sehingga
dalam bukunya, J.A. Moor menulis Agresi Militer Belanda 231 I dimulai tanggal
20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh
Republik Indonesia di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu
Sumatra Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Timur, sasaran mereka
adalah daerah perkebunan
tembakau.
Di Jawa Tengah, mereka menguasai seluruh pantai utara dan di Jawa Timur,
sasaran utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik
gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan
kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Raymond
Westerling yang saat itu berpangkat
Kapten dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar.
Pasukan KST merupakan pengembangan dari pasukan DST,
pasukan yang melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan (Pembantaian Westerling)
dan ditugaskan kembali untuk melancarkan agresi militer di Pulau Jawa dan di
wilayah Sumatra Barat. Dalam agresi tersebut, Belanda berhasil menaklukan
daerah-daerah penting Republik Indonesia seperti kota, pelabuhan, perkebunan,
dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota VT-CLA milik Patnaik dari
Singapura dengan simbol Palang Merah di
badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura sumbangan Palang Merah
Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda
Udara Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh, dan
Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.
Pasukan TNI belum siap menghadang serangan yang datang
secara tiba-tiba itu. Serangan tersebut mengakibatkan pasukan TNI
terpencar-pencar. Dalam keadaan seperti itu, pasukan TNI berusaha untuk
membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI kemudian melancarkan taktik perang
gerilya. Dengan taktik ini, ruang gerak pasukan Belanda berhasil dibatasi.
Gerakan pasukan Belanda hanya berada di kota besar dan jalan raya, sedangkan di
luar kota, kekuasaan berada di tangan pasukan TNI. Tanggal 30 Juli 1947,
pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah
Indonesia dengan Belanda dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Permintaan
itu diterima baik dan dimasukkan agenda dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan
penghentian permusuhan kedua belah pihak dan mulai berlaku sejak tanggal 4
Agustus 1947. Sementara itu, untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata,
Dewan Keamanan PBB membentuk komisi Konsuler dengan angota-anggotanya yang
terdiri dari para Konsul Jenderal yang berada di wilayah Indonesia. Komisi
Konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan
beranggotakan Konsul Jenderal Cina, Belgia, Perancis, Inggris, dan Australia.
Tanggal 3 Agustus 1947, Belanda menerima resolusi Dewan
Keamanan PBB dan memerintahkan kepada Van Mook untuk menghentikan
tembak-menembak. Pelaksanaannya dimulai pada malam hari pada 4 Agustus 1947.
Kemudian, pada 14 Agustus 1947, dibuka sidang Dewan Keamanan
PBB. Sutan Syahrir hadir dari Indonesia. Dalam pidatonya di DK PBB,
Syahrir menegaskan bahwa untuk mengakhiri berbagai pelanggaran dan penghentian
pertempuran, perlu dibentuk komisi pengawas.
Pada 25 Agustus 1947, DK PBB menerima usul Amerika Serikat
tentang pembentukan suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik)
atau yang lebih dikenal Komisi Tiga Negara (KTN). Belanda menunjuk Belgia
sebagai anggota, sedangkan Indonesia memilih Australia. Kemudian, antara
Indonesia dan Belanda memilih negara pihak ketiga, yakni Amerika Serikat.
Akhirnya, terbentuk Komisi Tiga
Negara tanggal 18 September 1947. Australia
dipimpin oleh Richard Kirby, Belgia dipimpin oleh Paul van Zeelland, dan
Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Graham.
G. Pembentukan Komisi Tiga Negara
Pada 25 Agustus 1947, Dewan Keamanan membentuk suatu komite
yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini
awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa
Baik Untuk Indonesia) dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) karena
beranggotakan tiga negara, yaitu
Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda, dan
Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C.
Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland, dan Amerika Serikat menunjuk Dr.
Frank Graham.
Dalam pertemuannya di Sydney, 20 Oktober 1947, KTN
memutuskan untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda
dengan cara damai. Pada 27 Oktober 1947, para anggota KTN telah tiba di
Indonesia untuk memulai pekerjaannya, yang nantinya akan menghasilkan
Perjanjian Renville.
H. Perjanjian Renvile
Komisi Tiga Negara (KTN) tiba di Indonesia pada 27 Oktober
1947 dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Indonesia dan
Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu
pihak. Oleh karena itu, Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan
di geladak Kapal USS Renville.
Perundingan Renville dilaksanakan pada 8 Desember 1947 di
atas Kapal Renville yang tengah berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perjanjian dihadiri oleh beberapa tokoh penting berikut. a). Delegasi Indonesia diwakili oleh Amir
Syarifudin (ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus
Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan
Nasrun. b). Delegasi Belanda diwakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. c). PBB
sebagai mediator diwakili oleh Frank Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan
Richard Kirby.
Perjanjian ini menghasilkan saran-saran KTN dengan pokok
pokoknya, yaitu pemberhentian tembak-menembak di sepanjang Garis Van Mook serta
perjanjian peletakan senjata dan pembentukan daerah kosong militer.
Berikut adalah isi dari Perjanjian Renville. a). Belanda
hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia. b). Disetujuinya sebuah Garis Demarkasi Van Mook yang
memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. c). TNI harus
ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa
Barat dan Jawa Timur.
Pada akhirnya, Perjanjian Renville ditandatangani pada 17
Januari 1948 dan disusul intruksi untuk menghentikan aksi tembak menembak pada
19 Januari 1948. Selain itu, masih ada enam pokok prinsip tambahan untuk
perundingan guna mencapai penyelesaian politik yang meliputi hal-hal berikut.
a). Belanda tetap memegang
kedaulatan
atas seluruh wilayah Indonesia sampai dibentuknya Republik Indonesia Serikat
(RIS). b). Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara. c). RIS sederajat dengan Belanda dan menjadi bagian dari Uni
Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua uni tersebut. d). Republik
Indonesia merupakan bagian dari RIS. e). Akan
diadakan penentuan pendapat rakyat (plebisit) di Jawa, Madura, dan Sumatra
untuk menentukan apakah rakyat akan bergabung dengan RI atau RIS. f). Dalam
waktu 6 bulan sampai satu tahun akan diadakan pemilu untuk membentuk Dewan
Konstitusi RIS.
Sebagai konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville,
maka wilayah RI semakin sempit karena diterimanya Garis Demarkasi Van Mook,
yakni wilayah Republik Indonesia hanya meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa
Timur.
Dampak lainnya adalah anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah kantong yang dikuasai
Belanda harus ditarik masuk ke wilayah RI, misalnya di Jawa Barat ada sekitar
35.000 tentara Divisi Siliwangi sehingga pada 1 Februari 1948, Divisi Siliwangi
hijrah menuju wilayah RI di Jawa tengah dan ada yang ditempatkan di Surakarta.
Di samping itu, ada sekitar 6.000 tentara dari Jawa Timur harus masuk ke
wilayah RI.
Isi Perjanjian
Renville mendapat tentangan dari masyarakat sehingga muncul mosi tidak percaya
terhadap Kabinet Amir Syarifuddin pada 23 Januari 1948. Akhirnya, Amir
menyerahkan kembali mandatnya sebagai perdana menteri kepada presiden. Dengan
demikian, keputusan Renville menimbulkan masalah baru, yaitu pembentukan
pemerintahan peralihan.
I.
Agresi Militer Belanda II
Seperti halnya ketika
diadakan Perjanjian Linggajati antara Indonesia dengan Belanda yang dikhianati Belanda dengan melancarkan
Agresi Militer Belanda I, ketika diadakan Perjanjian Renville, Belanda juga mengkhianatinya. Perjanjian Renville
yang diadakan pada Januari 1948 di atas
Kapal USS Renville di Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta, menyepakati suatu gencatan senjata di sepanjang Garis Van Mook (suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda
walaupun dalam kenyataannya masih
tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik di dalamnya).
Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan.
Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak
adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Indonesia melalui Hatta -
wakil presiden merangkap perdana menteri menggantikan Amir Syarifuddin - tetap
tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya
mencari cara menjatuhkan wibawa Indonesia.
Saat ketegangan semakin memuncak, Indonesia dan Belanda
mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan terhadap pihak
lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan Renville. Akhirnya, menjelang
tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Mahkota Belanda, Dr.
Beel, mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville.
Sementara itu, keadaan dalam negeri sudah sangat tegang
terkait dengan oposisi yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (PKI dan
sekutunya) terhadap politik yang
dijalankan
oleh Kabinet Hatta. Oposisi ini meningkat setelah seorang tokoh komunis
kawakan, Musso, yang memimpin pemberontakan PKI tahun 1926, kembali ke
Indonesia dari Uni Soviet.
Musso sejak mudanya memang selalu bersikap radikal dan
dialah yang mendorong PKI untuk memberontak pada tahun 1926. Oposisi terhadap
Kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono, pemimpin Pesindo (Pemuda
Sosialis Indonesia), mengumumkan pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun, 18
September 1948.
Untuk mengajak rakyat agar bersatu melawan pemberontakan PKI Madiun 1948 yang mencoba menohok dari
belakang sementara Republik Indonesia menghadapi Belanda, Sukarno dengan nada
tinggi mengatakan, “Pada saat yang genting ini kita mengalami cobaan yang besar
untuk menentukan nasib kita sendiri. Silakan pilih di antara dua, yaitu ikut
Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka
atau ikut Sukarno-Hatta yang akan memimpin Negara RI yang merdeka, tidak
dijajah oleh negara apa pun juga!”
TNI bertindak cepat. Kolonel Sungkono segera mengerahkan
brigade operasi di bawah komando Mayor Jonosewojo. Tentara Indonesia melakukan
pukulan balasan terhadap PKI Madiun dengan bantuan dari batalion-batalion
Mudjajin, Sabirin Muhtar, Sabaruddin, dan Sunaryadi. Gubernur Militer Gatot
Subroto juga mengerahkan Brigade Sadikin Siliwangi dari arah Barat. Batalion
batalion yang dikerahkan adalah Achmad Wiranatakusumah, Umar, Daeng, Nasuhi,
Kusno Utomo, Sambas, Kosasih, dan Kemal Idris.
Dalam tempo sepuluh hari saja pasukan TNI telah merebut
Madiun. Akhirnya, pemberontakan PKI Madiun dapat dipadamkan TNI dan
pemimpinnya, Musso, ditembak mati pada 31 Oktober 1948.
Sebelum pasukan-pasukan Republik dapat beristirahat setelah
beroperasi terus- menerus melawan PKI Madiun, Belanda menyerang lagi. Dini
hari, 19 Desember 1948, pesawat terbang Belanda membombardir Maguwo (sekarang
Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu
mengawali Agresi Militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan
pasukan udara.
Setelah mengetahui Belanda menyerang, Sultan Hamengkubuwono
IX kemudian pergi ke Gedung Negara (sekarang Gedung Agung, Istana Negara
Yogyakarta) untuk bertemu dengan Presiden Sukarno dan beberapa menteri seperti
Juanda, Ali Sastroamijoyo, Rh. Kusnan, serta Laksamana Udara Suryadarma,
sedangkan Wakil Presiden-Perdana Menteri Moh. Hatta tidak ada.
Ternyata, saat itu Hatta sedang berada di Kaliurang untuk
menghadiri pertemuan dengan perwakilan Australia, Critchley, anggota Komisi
Tiga Negara. Karena kabinet akan segera mengadakan sidang darurat, sementara
perdana menteri tidak ada, maka Sultan Hamengkubuwono IX menyanggupi untuk
menjemput Hatta di Kaliurang.
Sementara itu, pesawat terbang Belanda menjatuhkan granat,
bom, dan tembakan mitraliur ke Benteng Vredenburg yang terletak di depan Gedung
Negara. Sultan Hamengkubuwono IX langsung menuju mobilnya. Namun, sebelum
sampai meninggalkan halaman Gedung Negara, Sultan Hamengkubuwono IX bertemu
dengan Sutan Syahrir, mantan perdana menteri yang juga akan menjemput Hatta ke
Kaliurang.
Bersama Syahrir, Sultan Hamengkubuwono IX menuju Kaliurang.
Di tengah jalan, Sultan Hamengkubuwono IX berpapasan dengan mobil milik Hatta
yang menuju ke Gedung Negara. Dengan cepat, Sultan Hamengkubuwono IX memutar
kemudinya untuk kembali ke Gedung Negara. Namun, karena pesawat terbang Belanda
membabi buta memuntahkan bom, Sultan Hamengkubuwono IX memutuskan untuk
meninggalkan jalan raya dan memasuki jalan desa yang lebih terlindung dengan
jalan yang berliku-liku untuk menghindari serangan pesawat tempur Belanda.
Sesampai di Gedung Negara, ternyata sidang darurat sudah
selesai sehingga Sultan Hamengku buwono IX sebagai Menteri Negara Koordinator
Keamanan tidak sempat mengikuti sidang darurat yang sangat penting.
Semula memang sudah ada rencana bahwa presiden dan wakil
presiden serta para pemimpin lainnya akan diterbangkan ke India. Rencana lain
adalah mengungsikan presiden ke Baturaden, di lereng Gunung Slamet, Jawa
Tengah. Ternyata, dalam suasana genting itu pemerintah RI menghasilkan
keputusan darurat seperti berikut.
a.
Melalui
radiogram, pemerintah RI mem berikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara
untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Juga memberikan
perintah kepada Mr. A.A. Maramis
yang sedang di India bahwa apabila Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal
melaksanakan kewajiban pemerintah pusat, maka A.A.
Maramis diberi wewenang untuk membentuk pemerintahan di India.
b.
Presiden dan wakil presiden RI
tetap tinggal di dalam kota - dengan risiko ditangkap Belanda - agar dekat
dengan KTN (saat itu berada di Kaliurang).
c.
Pimpinan TNI menyingkir ke luar
kota dan melancarkan perang gerilya dengan membentuk wilayah pertahanan (sistem
wehkreise) di Jawa dan Sumatra.
Setelah menguasai Yogyakarta, pasukan Belanda menawan
presiden dan sejumlah pejabat negara. Sukarno, Sutan Syahrir, serta Agus Salim
ditawan dan diterbangkan ke Brastagi. Sedangkan Hatta, Mr. Roem, Ali
Sastroamijoyo, Suryadarma, dan Assat ditawan di Bangka. Tidak beberapa lama,
Sukarno kemudian dipindahkan ke Bangka. Sementara itu, Jenderal Sudirman
memimpin TNI melancarkan perang gerilya di kawasan luar kota.
Sore harinya, pukul 17.00, Komandan Pasukan Belanda Kolonel
Van Langen yang menjadi penguasa militer di Yogyakarta datang ke keraton.
Kedatangannya itu untuk memberitahukan bahwa Sultan Hamengkubuwono IX boleh
bergerak ke mana- mana secara leluasa
asalkan tidak melawati garis merah yang tertera di peta.
Setelah dilihat, ternyata garis merah tersebut mengelilingi
seluruh wilayah keraton. Itu artinya, Sultan HB
IX tidak boleh keluar dan bergerak dengan bebas. Jadi, Sultan
Hamengkubuwono IX dikenakan status tahanan rumah oleh Belanda.
Aksi/Agresi Militer Belanda II ternyata menarik perhatian
PBB karena Belanda secara terang-terangan tidak mengikuti lagi Perjanjian
Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan kepada PBB. Pada 24
Januari 1949, Dewan Keamanan membuat resolusi agar RI dan Belanda segera
menghentikan permusuhan dan membebaskan presiden RI serta pemimpin politik lain
yang ditawan Belanda.
Amerika Serikat mulai mengubah pandangannya terhadap
Indonesia karena dengan tegas telah menumpas pemberontakan PKI di Madiun
sehingga mulai melakukan tekanan dan ancaman menghentikan bantuan kepada
Belanda yang diberikan dalam
rangka
Marshall Palan (di Eropa). Adanya tekanan politik dan militer - dengan makin
besarnya kemampuan TNI untuk melaksanakan perang gerilya - itulah akhirnya
Belanda menerima perintah Dewan 241 Keamanan PBB untuk menghentikan agresinya
dan memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.
J. Gerilya Panglima Besar Sudirman
Apabila para pemimpin pemerintahan seperti Presiden
Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan beberapa menteri ditangkap Belanda,
atas perintah Presiden Sukarno, Panglima Besar Sudirman yang saat itu berusia
30 Tahun meninggalkan Kota Yogyakarta untuk bergerilya.
Sudirman, dalam sebuah diskusi kecil dengan Sukarno,
mengajak Sukarno untuk meninggalkan Gedung Agung sebelum ditangkap Belanda dan
bergerilya bersama di hutan. Namun, ajakan Sudirman tersebut ditolak oleh
Sukarno dengan alasan jika Sukarno ikut bergerilya, maka Belanda akan dengan
mudah menembak mati Sukarno. Sebaliknya, jika Sukarno tetap tinggal dan ditangkap Belanda, Sukarno dapat
berdiplomasi dan masih bisa memimpin rakyat. Sukarno memerintahkan Sudirman
untuk masuk ke desa dan hutan untuk perang gerilya 100 persen.
Akhirnya, Jenderal Sudirman yang dalam keadaan kondisi
badan tidak sehat karena sakit paru-paru memimpin perang gerilya. Sudirman dan
rombongan melakukan perjalanan mulai dari Yogyakarta ke Gunungkidul dengan
melewati beberapa kecamatan menuju Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo,
Trenggalek, dan Kediri. Karena dalam perang gerilya tersebut menggunakan
kekuatan fisik yang prima, sementara Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit,
maka selama dalam perjalanan Sudirman harus ditandu atau dipapah oleh anak
buahnya untuk masuk hutan, naik gunung, turun jurang, dan keluar masuk dari
desa satu ke desa yang lain. Sudirman memberikan contoh sebagaimana pesan
Sukarno untuk tidak akan pernah menyerah dalam usaha mempertahankan tegaknya
panji-panji NKRI.
Dalam perjalanan perang gerilyanya, setelah sampai Kediri,
Sudirman lalu memutar melawati Trenggalek dan terus melakukan perjalanan sampai
akhirnya di Sobo dengan tetap waspada karena Belanda menyebar tentaranya untuk
memburu Sudirman dan anak buahnya untuk ditangkap dalam keadaan hidup atau
mati. Jenderal Sudirman dan anak buahnya yang setia sungguh heroik karena menempuh
perjalanan kurang lebih
1.000 km dengan
perbekalan seadanya.
Waktu bergerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita,
lapar, dahaga, kepanasan, kedinginan, ancaman Belanda, dan menahan rasa sakit
pada paru-parunya. Meski demikian, Sudirman tidak lagi memikirkan harta, jiwa,
dan raganya untuk tegaknya kedaulatan bangsa dan negara.
K. Berdirinya PDRI
Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II, sebelum
pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel van Langen sampai ke Gedung Agung,
Sukarno beserta para pemimpin negara melakukan rapat yang antara lain
memutuskan agar presiden membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang
saat itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat.
Sukarno juga mengirim mandat serupa kepada Mr. A.A. Maramis
dan Dr. Sudarsono yang berada di New Delhi, India, apabila pembentukan
pemerintah darurat di Bukittinggi mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin
Prawiranegara berhasil mendeklarasikan berdirinya Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di Kabupaten Lima Puluh
Kota pada 19 Desember 1948.
PDRI ternyata aktif menjalankan pemeritahannya dan
pemerintahan di Yogyakarta untuk
sementara tidak aktif. Peranan PDRI antara lain sebagai berikut. a). PDRI dapat sebagai mandataris kekuasaan
pemerintah RI dan berperan sebagai pemerintah pusat. b). PDRI berperan sebagai
kunci dalam mengatur arus informasi sehingga mata rantai komunikasi tidak
terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Radiogram mengenai masih
berdirinya PDRI dikirim kepada ketua Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru,
oleh Radio Rimba Raya yang berada di Aceh Tengah. c). PDRI berhasil menjalin hubungan dan membagi tugas dengan
perwakilan RI di India. Dari India inilah informasi-informasi tentang
keberadaan dan perjuangan bangsa (misalnya serangan 1 Maret 1949) dan negara RI
dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia. Maka, terbukalah mata dunia
mengenai keadaan RI yang sesungguhnya.
Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat kepada Presiden
RI di Yogyakarta pada 13 Juli 1949. Dengan demikian, PDRI yang bekerja selama
delapan bulan telah berhasil menggantikan pemerintahan RI meskipun dalam
beberapa hal harus dikonsultasikan dengan para pemimpin RI yang sedang dalam
pembuangan.
L. Serangan 1 Maret 1949
Setelah para pemimpin bangsa ditangkap dan Jenderal
Sudirman menyingkir ke hutan dan desa untuk perang gerilya 100 persen, Belanda
mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia tinggal nama. Republik Indonesia sudah
tidak ada, yang ada hanya para pengacau keamanan. Sebagai reaksi, Sultan
Hamengkubuwono IX ingin melakukan Counter Opinion agar aktivitas Republik
Indonesia dapat didengar oleh Dewan Keamanan PBB
yang akan bersidang pada 1 Maret 1949. Informasi bahwa DK PBB akan
bersidang didengar dari siaran radio berita luar negeri.
Kemudian, lewat kurir, Sultan Hamengkubuwono IX berkirim
surat kepada Jenderal Sudirman tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap
Belanda. Dalam surat balasannya, karena Sudirman jauh dari Yogyakarta, untuk
penyerangan agar dibahas bersama Komandan TNI setempat, yakni Letkol. Suharto
selaku komandan wehkreise III.
Wehkreise adalah lingkungan pertahanan atau pertahanan
daerah yang mengadaptasi dari strategi militer yang dilakukan tentara Jerman
pada Perang Dunia II. Sistem ini dipakai sejak dari pertahanan pulau sampai
daerah-daerah. Masing-masing komandan diberi kebebasan seluas-luasnya untuk
menggelar dan mengembangkan perlawanan terhadap tentara Belanda. Wilayah
wehkreise adalah satu keresidenan yang di dalamnya terhimpun kekuatan militer,
politik, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan.
Letkol. Suharto datang menghadap ke keraton dan berganti
baju dengan baju abdi dalem layaknya rakyat yang sedang meghadap raja. Dalam
pertemuan dengan Letkol. Suharto untuk membahas penyerangan, Sultan berpesan
agar silakan menyerang dari
berbagai
arah, tetapi jangan menyerang dari arah selatan karena di selatan ada keraton
yang akan menjadi sasaran mortir dan merusak keraton.
Akhirnya, strategi pengepungan disepakati untuk dibagi
menjadi enam sektor, yakni keraton bagian barat, keraton bagian timur, barat
Jalan Malioboro, timur Jalan Malioboro, barat Stasiun Tugu ke utara, dan timur
Stasiun Tugu ke utara. Penyerangan terhadap Belanda dijadwalkan tanggal 1 Maret
1949 dini hari.
Tanggal 1 Maret 1949, sekitar pukul 06.00 WIB, sewaktu
sirine berbunyi sebagaimana berakhirnya jam malam yang dibuat Belanda, serangan
umum dilancarkan dari berbagai arah. Letkol. Suharto memimpin langsung
penyerangan dan berjalan dengan sukses. Selama enam jam (mulai dari pukul 06.00
sampai dengan pukul 12.00), Yogyakarta dapat diduduki TNI. Setelah mendatangkan
bantuan tentara dari Gombong dan Magelang, Belanda baru bisa memukul mundur
para pejuang.
Keberhasilan gerilya kota adalah berkat bantuan Sultan
Hamengkubuwono IX yang melindungi para gerilyawan di dalam keraton, termasuk
perbekalan uang ratusan gulden dan sebagainya. Keteguhan hati untuk berpihak
kepada rakyat terlihat ketika terjadi perdebatan antara Sultan Hamengkubuwono
IX dengan Jenderal Meyer, Komandan pasukan Belanda.
Sultan Hamengkubuwono IX dituduh melindungi gerilyawan dan
Belanda ingin mengejarnya ke dalam keraton. Namun, Sultan Hamengkubuwono IX
menjawab dengan memakai bahasa Belanda yang fasih, “Kalau Tuan-tuan ingin
menyerang keraton, maka silakan Tuan lakukan. Tetapi sebelum itu, Tuan harus
melangkahi mayat saya dulu.” Karena kewibawaan Sultan, akhirnya Jenderal Meyer
tidak mencari lagi gerilyawan di dalam keraton.
Bagi masyarakat Indonesia, kejadian Serangan Umum 1 Maret
1949 memberikan teladan bagaimana kuatnya perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Di samping itu, dampak internasionalnya adalah meyakinkan dunia
bahwa Indonesia masih ada dan masih punya kekuatan. Oleh karena itu, DK PBB
mencarikan jalan terbaik untuk mengatasi persengketaan lewat perundingan.
M. Kedermawanan Sultan Hamengku Buwono II Dalam Revolusi Fisik (1946-1950)
Setelah kepindahan para pemimpin di Jakarta ke Yogyakarta,
Sultan Hamengku Buwono IX sebagai tuan rumah melayani tamunya dengan
sebaik-baiknya. Semula Muhammad Hatta dan keluarga menginap di Puro Pakualaman
sambil menunggu selesainya perbaikan rumah yang disiapkan di Jalan Reksobayan
No. 4 Yogyakarta. Sukarno dan keluarga juga sementara tinggal di Puro
Pakualaman sambil menunggu membersihkan rumah Gubernur Belanda yang kemudian
dikenal dengan Gedung Negara atau sekarang bernama Gedung Agung.
Gedung Agung juga berfungsi sebagai kantor pusat
pemerintahan Republik di Yogyakarta, karena di gedung inilah biasanya dilakukan
pertemuan antara Presiden, Wakil Presiden, para menteri, dan pimpinan militer.
Setibanya para pemimpin Republik Indonesia di Yogyakarta, tiap-tiap kementerian
dan jawatan-jawatan berturut-turut ikut hijrah ke Yogyakarta.
Gedung Negara setelah ditinggalkan Jepang tidak terdapat
peralatan rumah tangga di dalamnya. Oleh karena itu, Keraton Yogyakarta
memberikan berbagai peralatan
bahkan
keraton memberikan 1.440 pucuk senjata api kepada pasukan Republik Indonesia.
Selain senjata api, Keraton Yogyakarta juga menyumbangkan senjata-senjata tajam
seperti tombak. Sukarno menceritakan bahwa saat itu pemerintahan Republik
Indonesia bekerja seadanya sehingga tidak mirip dengan pemerintahan selayaknya.
Sukarno berujar “Kami tidak mempunyai apa-apa, tidak ada
mesin ketik, alat kantor, pesawat terbang, dan kami juga tidak mempunyai uang.”
Melihat kondisi pemerintahan yang memprihatinkan itulah kemudian Sultan
menyumbangkan beberapa uang gulden milik keraton sekaligus uang pribadinya
untuk biaya operasional pemerintah Republik Indonesia. Menurut Rahendra Koeman,
seorang menteri yang menjabat bidang perburuhan dan sosial dalam kabinet Hatta,
pemberian bantuan uang Belanda (gulden) dalam jumlah sangat besar yang disimpan
di keraton kepada pejabat dan pegawai- pegawai pemerintah pusat adalah agar
tidak menyeberang kepada pihak Belanda karena tergiur uang Belanda.
Sebelum para pemimpin bangsa bertolak dari Bangka
(pengasingan) menuju Yogyakarta mereka berkumpul dalam sebuah pertemuan. Dalam
perbincangan itu, tiba- tiba Sukarno dan Moh. Hatta berbicara dengan nada yang
menunjukkan kesedihan karena pemerintah republik tidak punya ongkos dan biaya
operasional untuk menggerakkan roda pemerintahan jika kembali ke Yogyakarta dan
kemudian dilanjutkan di Jakarta.
Para tokoh yang ada di sana seperti H. Agus Salim, Komisaris Besar Polisi Sumarto, Mr. Assaat, Mr. Gafar
Pringgodigdo, dr. Halim, dr. Darmasetiawan, RH. Koesnan, dan lainnya telah
memberikan saran, tetapi tidak ada keputusan yang disepakati. Sultan berbicara
di hadapan para pemimpin republik itu untuk menyumbangkan dana dalam bentuk
cheque Javache Bank (sekarang Bank Indonesia) sebesar f 6.000.000 (6 juta
gulden) untuk membantu kepulangan para pemimpin Republik dan memulai
menggerakkan roda pemerintahan.
Dengan uang sebanyak itu, Indonesia kala itu dapat
memperbaiki pelayanan rakyat dalam bidang kesehatan, pendidikan, militer,
sampai pada penggajian pejabat dan pegawai negara. Tahun 1949, negara
diibaratkan sebagai bayi yang belum punya pendapatan, sedangkan negara
membutuhkan uang untuk pemerintahan minimal untuk gaji pegawai dan pimpinan Republik.
Sukarno menerima selembar kertas cheque tersebut dengan
wajah terharu dan menyambutnya dengan kata singkat dengan suara rendah: “Terima
kasih” sambil mengulurkan tangannya kepada Sultan. Dua anak manusia dan dua
putra bangsa terbesar saling berjabat tangan. Oleh karena merasa terharu dengan
kebaikan Sultan, tanpa canggung Sukarno langsung merangkul Sultan.
Suasana ruangan menjadi hening dan haru. Air mata tidak
terbendung dari semua yang hadir. Oleh karena Sukarno sangat terkesan dan
merasa begitu pentingnya Yogyakarta dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan, Sukarno sebelum kembali ke Jakarta, menuliskan pesan, “Djogjakarta
mendjadi termasjhur oleh karena djiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus djiwa
kemerdekaan itu!
N. Perjanjian Roem Royen
Serangan 1 Maret 1949 yang dilancarkan TNI ternyata telah
membuka mata dunia bahwa Indonesia masih ada dan propaganda yang selama ini
diberitakan Belanda ternyata
tidak
benar. Walaupun didesak oleh dunia internasional, Belanda masih saja tidak menaati
resolusi DK PBB tanggal 24 Januari 1949 (Indonesia dan Belanda segera
menghentikan permusuhan dan membebaskan presiden RI dan pemimpin politik yang
ditawan Belanda). Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas, jika
Belanda tetap membandel, maka bantuan ekonomi akan dihentikan. Dengan adanya
ancaman seperti itu, akhirnya Belanda melunak.
Tanggal 14 April 1949, atas inisiasi komisi PBB, diadakan
perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Mrele Cochran, anggota komisi dari AS.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh
H.J. Van Royen. Dalam perundingan itu, RI tetap menuntut tidak melakukan
perundingan jika tidak ada kesepakatan pengembalian pemerintahan RI ke
Yogyakarta. Sebaliknya, Belanda menuntut agar Indonesia menyetujui tentang
perintah penghentian perang gerilya yang dilakukan TNI.
Perundingan menjadi sangat alot sehingga Amerika mendesak
Indonesia agar melanjutkan perundingan. Jika tetap pada pendirian, maka Amerika tidak memberikan bantuan dalam bentuk
apa pun. Akhirnya, perundingan dilanjutkan pada 1 Mei 1949 dan 7 Mei 1949
dengan menghasilkan kesepakatan Roem-Royen yang isinya sebagai berikut.
a.
Pihak
Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata
untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan ikut serta dalam Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada
Negara Indonesia Serikat tanpa syarat.
b.
Pihak Belanda menyetujui adanya
pengembalian RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan militer
dan membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga tidak akan mendirikan dan
mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember 1948
serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.
Kemudian, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di
Sumatra memerintahkan Sultan Hamengkubuwono IX untuk mengambil alih
pemerintahan di Yogyakarta dari pihak Belanda. Setelah pemerintahan kembali ke
Yogyakarta, pada 13 Juli 1949 diselenggarakan Sidang Kabinet RI yang pertama.
Dalam sidang itu, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil
Presiden Moh. Hatta. Sidang itu juga memutuskan untuk mengangkat Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan merangkap ketua koordinator
pertahanan.
M. Peristiwa Yogya Kembali
Sebagai konsekuensi atas perjanjian Roem-Royen pada 18 Juni
1949, Menteri Koordinator Keamanan Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan perintah
kepada PDRI untuk menghentikan tembak-menembak. Ini dimaksudkan agar daerah
Yogyakarta disiapkan untuk mengosongkan tentara Belanda. Pada 29 Juni 1949,
pasukan Belanda berangsur-angsur meninggalkan Yogyakarta. Begitu juga pasukan TNI
berangsur-angsur masuk ke Kota Yogyakarta. Peristiwa 248 keluarnya tentara
Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta inilah yang dikenal sebagai Peristiwa
Yogya Kembali.
Pada 6 Juli 1949, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh.
Hatta bertolak dari Pangkalpinang (pengasingan) menuju Yogyakarta disertai oleh
pemimpin-pemimpin Republik yang diasingkan di Bangka. Ada tiga kelompok
pimpinan RI yang ditunggu
untuk
kembali ke Yogyakarta, yakni: a). Kelompok pimpinan Republik Indonesia yang
diasingkan di Bangka. b). Kelompok PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin
Parwiranegara. c). Kelompok angkatan perang yang melakukan gerilya pimpinan
Jenderal Sudirman.
Setibanya di Gedung Negara, Sukarno memberikan sambutan, “…
Kembalinya pemerintahan RI ke Yogyakarta adalah nyata bahwa perjuangan
kemerdekaan Indonesia harus dilanjutkan. Dua faktor utama yang memungkinkan
kembalinya pemerintahan RI ke Yogya adalah pertama, kekuatan dan keuletan
rakyat, kedua bantuan dunia internasional.”
Dengan demikian menjadi kenyataan bahwa pemerintahan RI
telah kembali. Wakil-wakil dari UNCI (United Nations Commission for Indonesia)
dan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) turut serta menerima kedatangan
pemimpin- pemimpin RI di Yogyakarta. Sementara itu, wakil ketua BFO (negara-negara
bagian) menemui presiden dan wakil presiden untuk membicarakan rencana
Konferensi Antar- Indonesia dan sekaligus menyampaikan undangan untuk hadir
dalam konferensi itu.
Tanggal 10 Juli 1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba
di ibu kota RI Yogyakarta. Sudirman datang ke Alun-alun Utara Keraton
Yogyakarta dengan pasukannya setelah memimpin gerilya. Sudirman dijemput
Letkol. Suharto di bagian selatan kota Yogyakarta. Sudirman dipikul dengan
tandu karena menderita sakit paru- paru dan sukar untuk berjalan.
Tandu diletakkan pelan-pelan dan keluarlah Sudirman dengan
pelan tetapi berdiri tegak walaupun berjalan dibantu tongkat. Panglima Besar
menggunakan pakaian Jawa, baju lurik, kain kehitam-hitaman, ikat kepala wulung,
serta berjas panjang dan terselip keris pusaka di bagian muka sabuk.
Setibanya di Alun-alun Utara, Sudirman melakukan parade dan
disambut Sukarno dengan hangat. Keduanya berpelukan erat sebagai tanda
kerinduan masing-masing. Ketika melakukan parade, para komandan satu per satu
mendapat tepukan pada bahu dari
panglima besar dan para komandan itu tidak dapat menahan perasaannya melihat
wajah panglimanya dan menitikkan air mata karena haru.
Selesai melakukan parade, Sudirman bersalaman dengan
Syafruddin Parwiranegara yang berpakaian hitam dan memakai peci hitam yang baru
tiba pada hari itu, Minggu, 10 Juli 1949. Lengkaplah sudah semua pimpinan
negara di Yogyakarta, baik yang dari Bangka, dari Pemerintah Darurat RI di
Sumatera, maupun Pimpinan Angkatan Perang. Jalan yang akan ditempuh kini dapat
dibicarakan bersama.
Strategi perang Jenderal Sudirman kemudian dikenal sebagai
“Perang Gerilya”. Strategi perang ini kemudian ditulis dalam sebuah buku oleh A.H. Nasution dengan judul Pokok-pokok
Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang Akan
Datang. Ternyata buku ini dijadikan acuan atau panduan tentara Vietnam di bawah pimpinan Jenderal Nguyen Giap dan
berhasil mengalahkan tentara Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Hingga kini,
buku A.H. Nasution tersebut menjadi
bacaan wajib bagi Taruna Akademi Militer Amerika.
O.
Konferensi Antar Indonesia
Belanda tidak berhasil membentuk negara-negara bagian dari
suatu negara federal BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg). Namun, di antara
pemimpin BFO banyak yang sadar dan melakukan pendekatan untuk bersatu kembali
dalam upaya pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Mereka sadar bila
ternyata hanya dijadikan alat dan boneka bagi kekuasaan Belanda. Oleh karena
itu, perlu dibentuk semacam front untuk menghadapi Belanda.
Kabinet Hatta melakukan perjuangan diplomasi, yaitu masalah
internal terlebih dahulu. Hatta beberapa kali mengadakan Konferensi
Antar-Indonesia untuk menghadapi usaha Van Mook dengan negara bonekanya.
Ternyata, hasil Konferensi Antar-Indonesia itu berhasil dengan baik. Walaupun
untuk sementara pihak RI menyetujui terbentuknya negara RIS, tetapi bukan
berarti pemerintah RIS tunduk kepada pemerintah Belanda.
Pada bulan Juli dan Agustus
1949 diadakan Konferensi Antar Indonesia. Dalam konferensi itu diperlihatkan
bahwa politik devide et impera Belanda untuk memisahkan daerah-daerah di luar
wilayah RI mengalami kegagalan. Hasil Konferensi Antar- Indonesia yang diselenggarakan
di Yogyakarta itu antara lain sebagai berikut. a). Negara Indonesia serikat
disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi
dan federalisme. b). RIS akan dikepalai oleh seorang presiden dengan dibantu
oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. c). RIS akan
menerima penyerahan kedaulatan, baik dari RI maupun Belanda. d). Angkatan
perang RIS adalah Angkatan Perang Nasional dan presiden RIS adalah Panglima
Tertinggi Angkatan Darat. e).
Pembentukan angkatan perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia
sendiri. Kesepakatan ini mempunyai arti penting karena akan dijadikan bekal dalam menghadapi perundingan-perundingan selanjutnya dengan
Belanda. Pada 1 Agustus 1949, Indonesia
dan Belanda sepakat menghentikan tembak-menembak. Kesepakatan itu berlaku
efektif mulai 11 Agustus 1949 untuk seluruh Jawa, sedangkan untuk wilayah
Sumatra dilaksanakan pada 15 Agustus 1949. Keberhasilan dari
kesepakatan-kesepakatan inilah yang
memungkinkan terselenggaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag, Belanda dari bulan Agustus sampai November 1949.
P.
Konferensi Meja Bundar (KMB)
Walaupun perjanjian Roem-Royen dapat mengembalikan para
pemimpin dari pengasingan, kembalinya pemerintahan darurat dari Sumatra dan
Panglima Besar Sudirman sudah kembali berkumpul di Yogyakata, tetapi
masalah-masalah antara Indonesia dengan Belanda belum semuanya tuntas. Untuk
itulah perlu dieselenggarakan sebuah pertemuan yang bertujuan untuk
menyelesaikan masalah di antara dua negara itu. Oleh karena itu, pada 23
Agustus sampai 2 November 1949 diselenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den
Haag.
Indonesia diwakili oleh Drs. Moh. Hatta (sebagai ketua),
Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Soepomo, Mr. Ali Sastroamidjoyo, Ir. Juanda, Kolonel
T.B. Simatupang, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Dr. J.
Leimena, dan Mr. Abdul Karim Pringodigdo. Sementara dari BFO (Bijeenkomst voor
Federal Overleg) adalah Sultan Pontianak Hamid II. Delegasi dari Belanda
diketuai Mr. Van Maarseveen, sedangkan UNCI oleh Chritcjley.
Tujuan diadakan KMB adalah
1) menyelesaikan sengketa antara Indonesia
dengan Belanda dan 2) untuk mencapai kesepakatan antara para peserta
tentang tata cara penyerahan yang penuh dan tanpa syarat kepada negara
Indonesia Serikat, sesuai dengan ketentuan Perjanjian Renville.
Masalah-masalah antara Indonesia dengan Belanda yang sulit
untuk dipecahkan dalam KMB adalah sebagai berikut. a. Soal Uni
Indonesia-Belanda. Pihak Indonesia menghendaki agar sifatnya hanya kerja sama
yang bebas tanpa adanya organisasi permanen. Sedangkan Belanda menghendaki ada
ikatan secara permanen dengan bentuk kerja sama yang lebih luas. b. Masalah
utang Hindia Belanda. Pihak Indonesia hanya mengakui utang-utang Hindia Belanda
sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sedangkan pihak Belanda menghendaki
agar Indonesia mengambil alih semua utang Hindia Belanda sampai penyerahan
kedaulatan dan biaya perang kolonial melawan TNI.
Setelah melalui perdebatan yang keras, pada 2 November
1949, KMB dapat diakhiri. Hasil-hasil keputusannya antara lain sebagai berikut.
a. Belanda mengakui keberadaan negara RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai
negara yang merdeka dan berdaulat - RIS terdiri dari RI dan 15 negara bagian
yang pernah dibentuk Belanda. b. Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun
kemudian setelah pengakuan kedaulatan.
c.
Corak pemerintahan RIS akan diatur
dengan konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung.
d. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang bersifat lebih longgar berdasarkan
kerja sama secara sukarela dan sederajat. Uni Indonesia-Belanda ini disepakati
oleh Ratu Belanda. e. RIS harus membayar utang-utang Hindia Belanda sampai
waktu pengakuan kedaulatan. f. RIS akan mengembalikan hak milik Belanda dan
memberikan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
Beberapa klausul keputusan itu merugikan Indonesia,
misalnya utang-utang Hindia Belanda yang harus ditanggung RIS sebesar 4,3
miliar gulden. Utang itu antara lain untuk pembelian senjata sebagai alat
membunuh TNI dan rakyat serta menghancurkan infrastruktur yang ada di
Indonesia, tetapi yang harus membayar Indonesia sendiri.
Klausul yang merugikan Indonesia lainnya adalah soal
penundaan penyelesaian Irian Barat yang merupakan akal- Belanda agar tetap
menguasai wilayah Indonesia. Untuk menyelesaikan persoalan ini perlu waktu yang
berliku-liku dan panjang. Walaupun ada beberapa klausul yang merugikan, tetapi
Indonesia menerima klausul itu karena KMB memberi kesempatan kepada Indonesia
untuk membangun negeri sendiri.
Q.
Pembentukan Republik Indonesia Serikat
Isi perjanjian
KMB diterima KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat - semacam parlemennya Indonesia) melalui sidangnya pada 6
Desember 1949. Kemudian, pada 14 Desember 1949, diadakan pertemuan di Jalan
Pegangsaan Timur No. 56 (rumah Sukarno). Pertemuan ini dihadiri oleh
wakil-wakil pemerintah RI serta pemerintah negara bagian dan daerah untuk
membahas konstitusi RIS. Pertemuan itu memutuskan bahwa UUD 1945 menjadi
konstitusi RIS.
Negara RIS yang berbentuk federasi itu meliputi seluruh
Indonesia dan RI menjadi salah satu bagiannya. Sebenarnya bagi RI, pembentukan
RIS sangat merugikan, tetapi mengingat sebagai strategi para pemimpin agar
Belanda segera mengakui kedaulatan Indonesia walaupun dalam bentuk RIS, tetap
diterima.
Dalam konstitusi RIS juga ditentukan bahwa ada presiden dan
perdana menteri (pemimpin menteri-menteri) secara bersama-sama sebagai
pemerintah. Kemudian, dibentuk lembaga perwakilan yang terdiri dari dua kamar,
yakni Senat dan DPR. Senat merupakan perwakilan negara bagian yang
masing-masing diwakili dua orang, sedangkan DPR beranggotakan 150 orang yang
merupakan wakil wakil seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan konstitusi, negara berbentuk federal dan
meliputi seluruh daerah Indonesia,
yaitu: a. Negara Bagian. 1) Negara RI menurut status quo seperti dalam
Persetujuan Renville. 2) Negara Indonesia Timur. 3) Negara Pasundan (Jawa
Barat). 4) Negara Jawa Timur. 5) Negara Madura. 6) Negara Sumatera Timur. 7) Negara Sumatera Selatan. b.
Satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri: Jawa Tengah, Bangka,
Belitung, Riau, Daerah Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara, dan Kalimantan Timur. 255 c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan negara-negara bagian.
Tanggal 16 Desember 1949, Sukarno dipilih sebagai Presiden
RIS dan dilantik pada 17 Agustus 1949 di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Moh.
Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri dan pada 20 Desember 1949, Kabinet Hatta
dilantik. Dengan terbentuknya pemerintahan, maka terbentuklah pemerintahan RIS.
Sudah diketahui bahwa RIS beranggotakan RI dan negara
negara federasi. Setelah Sukarno
diangkat menjadi presiden RIS, maka presiden RI mengalami kekosongan jabatan.
Untuk itu ketua KNIP, Mr. Assaat, ditunjuk sebagai pejabat presiden RI dan
dilantik pada 27 Desember 1949. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi
apabila sewaktu-waktu RIS bubar, RI tetap ada.