Pemerintahan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin
A. Pengertian Integrasi dan Integrasi nasional
Bangsa Indonesia yang sekarang tegak
berdiri ini pernah diuji oleh masyarakat atau sekelompok orang yang ingin
merusak tatanan integrasi nasional. Dalam Kamus Bahasa Indonesia integrasi
adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Integrasi bisa
juga diartikan penyatuan bangsa atau suku yang berbeda di masyarakat menjadi
satu kesatuan yang utuh untuk menjadi suatu bangsa.
Integrasi akan semakin kukuh apabila
tercapai dua hal yaitu pertama, sebagian masyarakat bersepakat mengenai
batas-batas teritorial negara sebagai suatu wilayah politik. Kedua, sebagian
besar masyarakat bersepakat mengenai struktur pemerintahan serta aturan- aturan
proses politik, ekonomi, sosial, yang berlaku di masyarakat.
Sedangkan apabila diteropong dengan
kewilayahan muncul istilah integrasi nasional atau integrasi bangsa. Kata
bangsa (nation) merupakan sekelompok
manusia yang sifatnya heterogen (majemuk) tetapi mereka sebenarnya memiliki
kehendak yang sama dengan menempati daerah tertentu secara permanen.
Untuk itulah integrasi bangsa dapat
diartikan usaha atau proses untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam suatu
negara berdasarkan bahasa, sejarah, adat istiadat dengan tujuan yang sama yang
hendak dicapai suatu bangsa.
B. Pengertian Disintegrasi Nasional
Disintegrasi dapat mengancam suatu
masyarakat yang sudah mengalami proses integrasi seperti Indonesia karena
Indonesia terdiri dari banyak perbedaan suku, agama, budaya, adat istiadat,
ras, dan lain sebagainya. Faktor yang mengancam integrasi bangsa adalah sikap yang
tidak sesuai dengan masyarakat yang majemuk dan heterogen. Misalnya sikap
etnosentrisme, sikap primordialisme, dan sikap fanatisme yang berlebihan.
Bagaimana caranya jika bangsa mengalami disintegrasi nasional? Langkah utama
yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah reintegrasi.
Reintegrasi bangsa adalah proses
pembentukan integrasi kembali agar sesuai dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan
kesepakatan bersama pada suatu bangsa. Reintegrasi bangsa adalah salah satu
cara untuk menyelesaikan atau memecahkan konflik pada bangsa yang mengalami
konflik di antara anggota masyarakatnya.
C.
Disintegrasi Pada masa Revolusi Fisik
1.
Pemberontakan PKI
Madiun 1948
Pemberontakan PKI Madiun terjadi di
Kabupaten Madiun Jawa Timur. Pemberontakan ini dipimpin oleh Musso. Dia
merupakan tokoh Partai Komunis Indonesia yang pernah belajar di Uni Soviet
untuk mendalami ideologi Komunis. Musso ingin mendirikan Republik Soviet Indonesia.
Selain Musso pemberontakan ini juga melibatkan tokoh nasional mantan perdana
menteri, Amir Syarifuddin.
a. Latar Belakang
Perjanjian Renville yang digadang-gadang
bangsa Indonesia akan memecahkan kebutuhan persoalan antara Indonesia dengan
Belanda ternyata berakhir dengan bayak kekecewaan di pihak orang-orang
Indonesia. Wilayah Indonesia yang semula hanya meliputi Jawa, Sumatera, dan
Madura sebagai hasil perjanjian Linggarjati, kini setelah ada putusan
perjanjian Renville bukan semakin besar malah semakin sempit. Wilayah itu
semakin sempit karena adanya garis van Mook. Untuk itulah pasukan TNI yang
berada di belakang garis demarkasi van Mook terpaksa meninggalkan daerah
tersebut. Pada 17 Januari 1948 ribuan pasukan TNI dari divisi Siliwangi hijrah ke
Surakarta dan Yogyakarta dengan memendam perasaan kecewa.
Memang perjanjian Renville menguntungkan
Belanda dari segi politik maupun ekonomi. Wilayah kekuasaan Belanda menjadi
semakin luas serta sumber-sumber ekonomi juga semakin mudah didapat. Karena
Indonesia begitu terjepit maka Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri yang
memimpin perjanjian Renville mendapat tekanan yang luar biasa sehingga dijatuhi
mosi tidak percaya pada 23 Januari 1948. Akibatnya Amir Syarifuddin terpaksa
turun dari jabatannya sebagai perdana menteri dan digantikan oleh Moh. Hatta.
Amir Syarifuddin yang jatuh itu kemudian
menjadi oposisi kabinet Hatta. Ia kemudian mendirikan Front Demokrasi Rakyat
(FDR). Organisasi ini merupakan gabungan dari PSI, Pesindo, Partai Buruh,
SOBSI, Barisan Tani Indonesia, dan PKI. Benturan kepentingan antara Kabinet
Hatta dan Amir terjadi sejak Kabinet Hatta mempunyai program Rera
(Reorganisasi dan rasionalisasi). Salah satu yang menjadi target Rera adalah
rasionalisasi tentara yakni tentara yang sedikit tetapi bermutu. Tentara yang
semula berjumlah 463.000 diperas menjadi 90.000. Akibatnya banyak Tentara yang
sebagian besar orang-orang komunis itu menganggur sehingga mereka mendesak
kepada kabinet Hatta untuk tidak melanjutkan program Rera.
Tentara-tentara yang menganggur dan
kecewa itu kemudian memilih bergabung dengan FDR karena merasa FDR membela
nasibnya. Tentu saja kesempatan ini digunakan oleh FDR untuk menghantam kabinet
Hatta. Kritikan terhadap kabinet Hatta program Rasionalisasi terdengar nyaring.
Ribuan prajurit merasa kecewa dengan program rasionalisasi itu.
Pada 10 Agustus 1948 Musso kembali ke
Indonesia. Dia sebenarnya tokoh PKI yang pada tahun 1926 melakukan
pemberontakan kepada pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi karena pemberontakan
itu gagal dia melarikan diri ke Uni Soviet. Kedatangan Musso disambut baik oleh
Amir Syarifuddin sehingga mereka membentuk organisasi Politbiro pada tanggal 1
September 1948. Dalam organisasi itu ketuanya Musso sedangkan Amir Syarifuddin
menempati jabatan sekretariat pertahanan dan tokoh-tokoh lain yang terlibat
dalam organisasi itu misalnya DN. Aidit, Lukman dan Nyoto.
b. Proses pemberontakan
Situasi politik dalam negeri memanas
karena terjadi pemogokan buruh dimana-mana karena memang diorganisir oleh PKI.
Anggota serikat buruh, pemuda dan rakyat dihasut dan digerakkan untuk menentang
pemerintah yang sah. Kekacauan diawali di kota Solo dimana tentara dan
orang-orang bersenjata di bawah kendali FDR terjadi konflik pada 13- 16
Sepetember 1948. Salah satu tokoh yang anti FDR, dr Muwardi diculik dan
ditemukan sudah terbunuh sehingga membuat suasana menjadi mencekam. Untuk
itulah kemudian kabinet Hatta mengumumkan negara dalam kondisi bahaya.
Pada 19 September 1848 FDR bersama PKI
di bawah pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin mengumumkan berdirinya Negara
Republik Soviet Indonesia. Dengan mengerahkan ribuan anggota satuan TNI yang
memihak komunis yang merupakan korban dari program rasionalisasi kabinet Hatta.
Mereka kemudian menduduki Madiun dan membasmi tokoh-tokoh setempat yang tidak
tunduk dan sepaham dengan PKI.
c. Penumpasan Pemberontakan
Pada saat itu Jenderal Sudirman sedang
sakit keras sehingga Komando diserahkan kepada Kolonel AH. Nasution yang menjabat sebagai Panglima Markas Besar Komando
Jawa. Nasution segera menggerakan divisi cadangan pasukan Siliwangi dan
kesatuan yang ada di jawa Timur untuk menumpas
pemberontakan.
Dalam waktu satu hari saja TNI berhasil
dapat memukul mundur PKI/ FDR. Di bawah komando Kolonel Gatot Subroto yang
memimpin divisi Siliwangi, pada 30 September
1948 PKI berhasil ditumpas. Kota
Madiun dan sekitarnya dapat dibebaskan dari para pemberontak. Musso akhirnya
tertembak mati dalam pelariannya pada 31 Oktober 1948 di Samandang, Ponorogo
Jawa Timur. Amir Syarifuddin ditangkap dan ditempak mati di Purwodadi pada
tanggal 29 November 1948.
2. DI/ TTI (Darul Islam/ Tentara Islam
Indonesia)
Pemberontakan DI/TTII merupakan
pemberontakan yang bukan ingin merebut kekuasaan dan mengganti ideologi seperti
halnya PKI tetapi pemberontakan yang berupaya ingin memisahkan diri dari NKRI.
Mereka ingin mendirikan sendiri negara di bawah bendera Negara Islam Indonesia.
Penggagasnya adalah Kartosuwiryo seorang tokoh Partai Sarikat Islam Indonesia
(PSII).
Pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo
memproklamasikan berdirinya DI/TII di Jawa Barat, yang kemudian muncul DI/ TII di
berbagai daerah di Indonesia. Daerah- daerah tempat munculnya DI/ TII itu
adalah di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah, Di Sulawesi Selatan
dipimpin Kahar Muzakar, di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh, dan di Kalimantan
Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar.
a.
DI/ TII di Jawa Barat
1.
Latar belakang pemberontakan
Sebenarnya Kartosuwiryo sudah ada
benih-benih mendirikan Negara Islam pada zaman Jepang. Saat itu dia sudah
membentuk pasukan Hisbullah dan Sabillilah
sebagai pusat propaganda untuk mendirikan Negara Islam. Setelah adanya
agresi Belanda I Kartosuwiryo dan pasukannya ikut melawan Kolonial Belanda
tetapi ketika terjadi perjanjian Renville Kartosuwiryo dan pasukannya menolak
ikut hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kartosuwiryo dan pasukannya yang
berjumlah sekitar 400.0000 pasukan tetap tinggal di Jawa Barat.
2. Proses pemberontakan
Setelah terjadi Agresi Belanda II di
Yogyakarta yang mengakibatkan Ibukota jatuh ke tangan Kolonial Belanda
Kartosuwiryo menganggap bahwa RI sudah habis. untuk itu dia segera memperkuat
tentaranya di Jawa Barat karena menganggap Jawa Barat masuk dalam wilayahnya.
Bahkan ketika pasukan divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat dari Jawa Tengah
terjadi kekuatan fisik di antara kedua pasukan itu pada tanggal 25 Januari 1949
karena Kartosuwiryo menganggap pasukan Siliwangi sebagai pasukan liar yang
masuk daerah wilayahnya.
3. Penumpasan pemberontakan
Sebelum menggelar operasi militer,
sebenarnya pemerintah yang sah sudah membujuk agar Kartosuwiryo segera sadar
akan kekeliruannya melalui M. Nazir sebagai kepala kabinet. Saat itu M. Nazir
menjabat juga sebagai kepala pusat Masyumi sehingga ada ikatan emosional dengan
Kartosuwiryo. Tetapi Kartosuwiryo bersikukuh mau berunding jika pemerintah RI
mengakui keberadaan Negara Islam Indonesia. Untuk itulah akhirnya pemerintah
memberlakukan operasi militer. Pasukan divisi Siliwangi ditugaskan untuk
menumpas Kartosuwiryo. Dengan strategi perang pagar betis akhirnya DI/ TII
Kartosuwiryo dapat didesak. Pada tanggal 4 Juni 1962 Kartosuwiryo dapat
ditangkap di Gunung Geber, Majalaya, Jawa barat oleh pasukan divisi Siliwangi.
Pada 5 September 1962 Kartosuwiryo dihukum mati.
b. DI/ TII Jawa Tengah
1.
Latar belakang pemberontakan
DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir
Fatah. Dia adalah komandan laskar Hisbullah di Talangan dan Mojokerto. Mereka
kecewa dan tidak sepakat dengan hasil perjanjian Renville yang harus memaksa
laskar-laskar dan tentara RI untuk hijrah ke Yogyakarta.
2.
Proses Pemberontakan
Pada Agustus 1948 Amir Fatah membawa
anak buahnya yang terdiri dari 3 kompi pasukan Hisbullah ke Pekalongan yang
saat itu sudah ditinggalkan tentara hijrah ke Yogyakarta. Dia kemudian
membentuk pasukan bersenjata Mujahidin sebagai upaya membentuk kekuatan.
Karena sepaham dengan Kartosuwiryo maka
Amir Fatah ditunjuk Kartosuwiryo memimpin Darul Islam di Jawa Tengah. Pada 23
Agustus 1949 Amir Fatah memproklamasikan berdirinya Negara Islam Jawa Tengah
sebagai Negara Islam pimpinan Kartosuwiryo. Untuk mengawali gerakannya pasukan
Amir Fatah menyerang pos-pos TNI termasuk juga pos TNI di Pekalongan.
3.
Penumpasan Pemberontakan
Di bawah komando Letnan Kolonel Sarbini
pada tahun 1950 TNI membentuk Gerakan Banteng Negara (GBN). Operasi ini
berhasil memisahkan DI Jawa Tengah dan DI Jawa Barat sehingga pada 22 Desember
1950 Amir Fatah dapat ditangkap.
c. DI/ TII Aceh
1. Latar belakang pemberontakan
Pada awal Agustus 1949 Syarifuddin
Prawiranegara sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Hatta ditempatkan di
Aceh untuk memimpin perjuangan apabila perundingan KMB gagal. Tampa persetujuan
dan konsultasi dengan pemerintah pusat Syarifuddin Prawiranegara menjadikan
Aceh sebagai provinsi yang terlepas dari provinsi Sumatera Utara. Saat itu Daud
Beureuh diangkat sebagai gubernurnya.
Ketika tahun 1950 Indonesia menjadi
negara yang berdaulat pemerintah mulai melakukan penyederhanaan dalam
administrasi pemerintahan yaitu menurunkan status Aceh dari sebuah provinsi
menjadi daerah keresidenan di bawah provinsi Sumatera lagi. Tentu saja langkah
pemerintah ini membuat Daud Baureuh dan pengikutnya kecewa karena kekuasaannya
hilang kembali.
2. Proses pemberontakan
Setelah Daud Beureuh tidak menjadi
gubernur, kemudian dia menghimpun kekuatan untuk menentang pemerintah. Agar
pemberontakan mendapat pengakuan dan legitimasi rakyat, dia membuat sentimen
agama sebagai basis perjuangan yaitu mendirikan Negara Islam. Untuk memuluskan
jalannya dia menjalin komunikasi dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Pada tanggal 21 September 1953 Daud
Beureuh memproklamasikan DI/ TII di Aceh di bawah kekuasaan Kartosuwiryo.
Setelah itu kemudian mereka menguasai kota-kota di Aceh dan melakukan
propaganda kepada rakyat Aceh agar tidak mendukung pemerintahan sah Republik
Indonesia.
3. Penumpasan pemberontakan
Komando Daerah Militer Aceh Letnan
Kolonel Samaun menggunakan operasi militer dengan cara menerima para
pemberontak yang ingin menghentikan konflik tetapi akan menghancurkan bagi
tentara Aceh yang melakukan perlawanan terhadap RI. Sementara itu banyak
pemimpin Aceh yang bersedia berdamai lagi, tetapi Daud Baureuh menolaknya untuk
melakukan perundingan.
Pada 17 Desember 1962 diadakan
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang digagas Pangdam Kolonel Yasin. Secara
bertahap DI/ TII di Aceh akhirnya dapat diselesaikan dan Aceh kembali aman.
Sedangkan Daud Beureuh kembali ke masyarakat sehingga keamanan Aceh
sepenuhnya aman kembali.
d. DI/ TII Sulawesi Selatan
1. Latar Belakang pemberontakan
Pada masa perang kemerdekaan banyak
laskar-laskar dari Sulawesi Selatan yang ikut bertempur menghadapi tentara
Kolonial Belanda. Setelah RI menerima kedaulatan penuh, perang tidak terjadi
lagi. Para laskar-laskar kemudian bergabung membentuk kesatuan yang bernama
Gerilya Sulawesi Selatan (GSS).
Para laskar itu meminta agar GSS
semuanya dijadikan TNI atau APRIS di bawah satu divisi yang dipimpin oleh Kahar
Muzakkar sebagai panglimanya. Tuntutan itu kemudian ditolak oleh pemerintah
pusat karena GSS anggotanya banyak yang tidak memenuhi syarat sebagai tentara
profesional. Pemerintah memberi solusi bagi yang memenuhi syarat yang masuk
TNI, sedangkan yang tidak akan dimasukkan sebagai tentara cadangan. keputusan
pemerintah itu kemudian membuat Kahar Muzakkar dan laskarnya menjadi kecewa
terhadap pemerintah.
2. Proses pemberontakan
Pada 16 Agustus 1951 karena tuntutan
Kahar Muzakkar tidak dipenuhi pemerintah maka dia mengajak anak buahnya masuk
hutan dengan membawa senjata. Selanjutnya dua tahun berikutnya pada 7 Agustus
1953 dia memproklamasikan bahwa daerah Sulawesi Selatan bagian dari wilayah
Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo dan pasukannya berganti nama menjadi Tentara
Islam Indonesia (TII).
3. Penumpasan pemberontakan
Setelah proklamasi itu kemudian pemerintah melakukan
operasi militer di Sulawesi Selatan. Kahar Muzakkar sulit ditangkap karena
bersembunyi di hutan- hutan dan gunung-gunung. Baru pada tanggal 3 Februari
1965 Kahar Muzakkar dapat ditembak dalam sebuah operasi militer yang
dilancarkan TNI.
3. APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)
1. Latar belakang pemberontakan
Pemberontakan APRA ini sebenarnya
pemberontakan yang dilakukan bekas tentara KNIL yang dikomandoi oleh Raymond
Westerling. Tujuannya mempertahankan berdirinya negara Pasundan dan APRA
sebagai pasukan yang resmi.
Teror ini dilakukan karena menjelang
1950 keinginan anggota RIS untuk kembali ke bentuk NKRI semakin menguat. Hal
itu dibuktikan satu persatu negara-negara bagian bergabung kembali ke NKRI.
Tentu saja ini dianggap sebagai suatu ancaman bagi Kolonial Belanda karena
menginginkan Indonesia terpecah belah melalui negara bagian- bagian yang
tergabung dalam RIS. Menggunakan kata Ratu Adil agar mendapat simpati dari
rakyat karena bagi masyarakat kata Ratu Adil artinya akan membawa pencerahan ke
masa depan.
2. Proses pemberontakan
Pada 23 Januari 1950 Westerling
menggerakkan pasukan APRA yang sebagian besar dari KNIL berkekuatan 500 pasukan
untuk menyerang kota Bandung. Setiap orang yang ada di jalan baik itu rakyat
maupun TNI ditembaki dengan membabi buta. Mereka menyerang markas divisi
Siliwangi dan menembaki semua prajurit yang ada. Ada 79 pasukan APRIS dari
divisi Siliwangi yang gugur selebihnya hanya 3 yang selamat.
Selain di Bandung APRA merencanakan
serangan di Jakarta. Gerakan APRA di Jakarta akan dibantu Sultan Hamid II yang
akan dilaksanakan pada tangga 24 Januari 1950. Tujuannya menyerang gedung
tempat kabinet bersidang. Rencana mereka juga akan membunuh menteri kabinet
seperti menteri pertahanan Sultan Hamengku Buwono
IX. Akhirnya rencana mereka gagal karena tercium aparat inteligen.
3. Penumpasan pemberontakan
Upaya perundingan untuk menghentikan
operasi militer APRA gagal sehingga diadakan operasi militer untuk menumpas
APRA. Tentara APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) mendapat
dukungan penduduk Bandung sehingga dapat dengan cepat mengusir APRA dari
Bandung. Selanjutnya operasi militer dilanjutkan di Jakarta sehingga pada
tanggal 4 April 1950 Sultan Hamid II dapat ditangkap. Raimond Westeling dapat
melarikan diri menggunakan pesawat Catalina ke luar negeri pada 2 Februari
1950.
4.
Pemberontakan Andi Aziz
1.
Latar belakang pemberontakan
Pemberontakan Andi Aziz berlangsung di
Makassar yang dipimpin oleh Andi Aziz. Dia merupakan mantan perwira KNIL yang
tergabung dalam APRIS. Dia juga mantan ajudan presiden Negara Indonesia Timur (NIT).
Pada tahun 1950 kondisi di Makassar
memang tidak kondusif karena banyak rakyat yang menginginkan kembali menuju
NKRI. Mereka sering melakukan demonstrasi kepada negara federal agar kembali ke
pangkuan RI. Keadaan semakin parah karena masyarakat yang setuju negara federal
juga melakukan demonstrasi.
Di tengah situasi yang kacau, tersebar
isu bahwa APRIS akan mendatangkan pasukan sebesar 900 orang ke Makassar untuk
mengamankan keadaan. Pasukan ini segera akan berlabuh di pelabuhan Makassar.
Tentu saja berita ini sangat mengkhawatirkan eksistensi mantan pasukan KNIL
yang ada di Makassar. Mereka kemudian bergabung dengan Kapten Andi Aziz dengan
menamakan pasukan bebas.
2.
Proses pemberontakan
Pada 5 April 1950 pasukan Andi Aziz yang
dibantu pasukan KNIL menyerang markas APRIS di Makassar. Mereka berhasil
menguasai markas APRIS dan juga kota Makassar.
3.
Jalannya penumpasan
Pada 8 April 1950 pemerintah pusat
mengultimatum agar pasukan Andi Aziz menyerah dan mempertanggungjawabkan
perbuatannya dalam waktu 2 x 24 jam. Akhirnya Andi Aziz bersedia datang ke
Jakarta pada 15 April 1950 setelah didesak oleh presiden NIT, Sukawati. Setelah
sampai di Jakarta dia ditangkap dan diadili sebagai pemberontak. Sementara itu
pasukan sisa-sisa Andi Aziz diserang oleh TNI sebagai upaya penumpasan.
5.
Pemberontakan Republik Maluku
Selatan (RMS)
1.
Latar belakang pemberontakan
Pemberontakan RMS dipimpin oleh Dr.
Christian Robert Steven Soumokil, mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur
(NIT). Pemberontakan ini menolak bergabung dengan NKRI dan membentuk negara
sendiri yang lepas dari NKRI. Pemberontakan ini juga dimotori para mantan KNIL
yang dilatarbelakangi statusnya yang terancam setelah hasil KMB (Konferensi
Meja Bundar). Rakyat dihasut agar tidak kembali ke NKRI dan menolak kedatangan
tentara APRIS/ TNI dari Jawa dan Maluku.
2.
Proses pemberontakan
Pada 25 April 1950 Soumokil
memproklamasikan berdirinya RMS dan menetapkan Kota Ambon sebagai ibukota RMS.
Proklamasi itu ternyata mendapat sambutan hangat dari orang-orang Maluku yang pro-Belanda
dan para mantan anggota KNIL yang sudah terkena hasutan. Rakyat yang menolak
ajakan mereka dan mendukung NKRI ditangkap dan
dipenjarakan.
3.
Penumpasan pemberontakan
Awalnya pemerintah meminta dengan jalan
damai dengan mengirimkan dr. Leimena untuk menghentikan langkah Soumokil. Upaya
pemerintah itu ditolak oleh Soumokil bahkan dia meminta perhatian dunia
internasional dengan Amerika, Belanda dan komisi PBB di Indonesia.
Akhirnya pemerintah melakukan operasi
militer dengan komando Kolonel Kawilarang yang menjabat sebagai panglima
tentara dari teritorium Indonesia Timur. Pada 14 Juli 1950 Kolonel Kawilarang
menumpas gerakan separatis tersebut. Pada pertempuran itu Letkol Slamet Riyadi
gugur tetapi pada 28 September 1950 pasukan APRIS dapat menguasai kembali Kota
Ambon. Banyak tokoh RMS melarikan diri ke pulau Seram dan selama beberapa tahun
kelompok ini melakukan teror.
D. Disintegrasi Pada Masa Demokrasi Liberal
Pemberontakan PRRI/ Permesta
a.
Latar belakang pemberontakan
Pemberontakan ini terjadi pada masa
kabinet Ali Sastroamidjojo II. Pergolakan yang muncul di Sumatera dan Sulawesi
ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap alokasi dana pembangunan yang diterima
dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan ini memunculkan rasa ketidakpercayaan
terhadap pemerintah. Selain itu mereka susah menyampaikan aspirasinya melalui
parlemen dalam mengubah kebijakan. Akhirnya mereka menempuh jalan non parlemen
dengan membentuk dewan-dewan di daerah. Misalnya Sumatera Tengah dibentuk Dewan
Banteng, di Sumatera Utara dibentuk Dewan Gajah dan di Sumatera Selatan
dibentuk Dewan Garuda.
Pada 21-24 November 1956 Dewan Banteng
melakukan pertemuan dan menghasilkan beberapa kesepakatan di Padang. Hasil
kesepakatan itu kemudian disampaikan kepada perdana menteri Ali Sastroamidjojo
dengan mengirimkan delegasi Dewan Banteng. Sementara itu Dewan Banteng
mengambil keputusan sendiri dengan mengambil alih kekuasaan di Sumatera Tengah
di bawah gubernur
resmi Ruslan Muljoharjo. Tentu saja langkah itu
mengakibatkan ketegangan antara pemerintah pusat dengan Dewan Banteng.
Sementara itu Dewan Gajah di Medan juga
menguasai instansi-instansi resmi pemerintah seperti RRI Medan yang digunakan
untuk propaganda kegiatan dewan kepada masyarakat. Akhirnya kegiatan Dewan
Gajah berahir setelah pimpinan mundur dan pindah dari Medan dengan diikuti anak
buahnya.
Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang
dipimpin Letnan Kolonel Barlian mengambil alih kekuasaan dari gubernur Sumatera
Selatan yang dijabat Winarno Danuatmojo.
Untuk menghadapi pergolakan daerah
tersebut pemerintah pusat meminta diselesaikan dengan perdamaian tetapi sebelum
langkah perundingan dilaksanakan ada percobaan untuk membunuh Presiden Sukarno
yang dikenal dengan peristiwa Cikini pada 30 November 1957. Sukarno saat itu
akan mengunjungi ulang tahun perguruan tempat putra-putinya sekolah. Dalam peristiwa itu Sukarno selamat tetapi banyak
anak sekolah yang menjadi korban akibat lemparan granat.
Setelah peristiwa Cikini 1957 pergolakan
daerah semakin meningkat dan menunjukkan upaya untuk melepaskan diri dari NKRI.
Selain di Sumatera terjadi pergolakan yang serupa di Makassar dengan
terbentuknya Dewan Lambung Mangkurat dan di Manado ada Dewan Manguni.
b.
Proses pemberontakan
Banyaknya pemberontakan yang terjadi ternyata
melemahkan kabinet Ali Sastroamidjojo II yang akhirnya menyerahkan mandat
kekuasaan pemerintahan kepada presiden. Keadaan yang semakin tidak menentu itu
kemudian Sukarno menyatakan bahwa negara dalam keadaan bahaya. Sukarno kemudian
mengajak partai politik untuk membentuk pemerintahan yang baru. Sukarno
menunjuk Ir. Juanda untuk menjadi perdana menteri dalam kabinet karya.
Sementara itu pimpinan Dewan Manguni di
Manado yang bernama Letnan Kolonel Ventje Sumual memproklamirkan berdirinya
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957. Pendirian organisasi
yang akan memisahkan diri dari NKRI itu ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat
Indonesia Timur. Tidak beberapa lama di Sumatera diproklamasikan juga
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) oleh Kolonel Ahmad Husain
yang merupakan pimpinan Dewan Banteng pada 15 Februari 1958.
Pada tanggal 10 Februari 1958 Kolonel
Ahmad Husain berpidato kepada masyarakat dengan mengultimatum pemerintah yang
isinya 1). Kabinet Juanda harus menyerahkan mandatnya kepada presiden dalam
waktu 5 x 24 jam atau presiden yang mencabut mandat tersebut. 2). Presiden
menugaskan Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX untuk membentuk kabinet
nasional.
Mendapat ancaman tersebut pemerintah
langsung mengambil langkah tegas yaitu memecat dengan tidak hormat semua
pimpinan gerakan separatis tersebut. Sedangkan Mayor Jenderal AH. Nasution
selaku KSAD membekukan komando daerah militer Sumatera serta mengambil alih
garis komando secara langsung.
c. Penumpasan pemberontakan
Untuk menumpas pemberontakan itu
pemerintah melakukan operasi militer dengan melibatkan dari berbagai kesatuan
laut darat dan udara. Pasukan gabungan yang diberi nama Operasi 17 Agustus itu
dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani.
Tujuan operasi adalah menumpas segala
bentuk gerakan separatis dan mencegah campur tangan kekuatan asing yang sering
kali berdalih melindungi bisnis warga negaranya di Pekanbaru. Akhirnya
tokoh-tokoh PRRI termasuk Ahmad Husain menyerahkan diri setelah terdesak oleh
operasi militer.
Sementara itu untuk menumpas gerakan
Permesta pemerintah melancarkan operasi militer yang diberi nama Operasi
Merdeka pada bulan April 1958 di bawah komando Letnan Kolonel Rukminto
Hendraningrat. Saat operasi dilaksanakan TNI menemukan bukti adanya keterlibatan
pihak asing dalam gerakan tersebut yaitu salah satu pesawat asing ditembak
jatuh oleh pasukan TNI di perairan Ambon. Pesawat itu milik Amerika Serikat dan
pilotnya AL. Pope yang juga diyakini sebagai agen CIA.
Satu persatu TNI berhasil merebut daerah
yang dikuasai Permesta dan pada pertengahan tahun 1961 para pemimpin gerakan
ini menyerah kepada pemerintah NKRI.
E. Disintegrasi Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan G30S/ PKI
Demokrasi terpimpin diperkenalkan oleh
Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan persetujuan kabinet Juanda
maka UUD 1945 diberlakukan kembali untuk mencegah terjadinya kekacauan politik
seperti yang sudah-sudah. Dengan tampilnya Sukarno kembali sebagai kepala
negara diharapkan negara dalam keadaan kondusif tetapi pada kenyataannya negara
ini tetap diuji oleh pemberontakan bahkan kali ini pemberontakannya lebih
dahsyat yaitu G30 S/PKI.
a.
Latar belakang pemberontakan
Pada pemilu 1955 PKI ternyata keluar
sebagai pemenang bersama dengan PNI, NU dan Masyumi. Untuk itulah PKI mulai
diperhitungkan dalam perpolitikan nasional pada saat itu. Pada saat itu memang
ada 3 kekuatan besar yaitu PKI yang berafiliasi komunis, Masyumi yang berafiliasi
agama dan TNI sebagai alat negara. Ketiganya mempunyai kekuatan yang besar
dalam percaturan politik nasional.
Untuk memenangkan persaingan dengan TNI
PKI menyebarkan isu Dewan Jenderal. Dewan yang dimaksud adalah perwira-perwira
Angkatan Darat yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden
Sukarno pada 5 Oktober 1965. Isu itu
sengaja dihembuskan PKI agar Angkatan tersudut karena selama ini semua
program-program PKI seperti usulan dibentuknya angkatan ke lima dimentahkan
oleh Angkatan Darat.
b.
Proses pemberontakan
PKI melancarkan aksi kudetanya pada 1
Oktober 1965 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Sasaran dari
gerakan itu adalah perwira- perwira Angkatan Darat yang dianggap sebagai
penghalang bagi PKI dalam mencapai tujuannya. Upaya penculikan dan pembunuhan
terhadap perwira itu
berjalan sesuai rencana hanya saja satu perwira yang
berhasil lolos yaitu Jenderal AH Nasution. Walaupun AH. Nasution lolos tetapi
Ade Irma Suryani putrinya gugur bersama dengan ajudannya Pierre Tendean.
PKI melancarkan serangan tidak hanya di
Jakarta tetapi juga di Yogyakarta. Perwira yang menjadi korban adalah Komandan
Korem 072 Kolonel Katamso dan kepala staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugiyono.
Setelah berhasil menculik sasarannya
kemudian pada tanggal 1 Oktober PKI menguasai RRI dan kantor negara
telekomunikasi di Jakarta. PKI
menyiarkan berita mengenai G30S/ PKI yang telah berhasil menangkap
perwira- perwira Angkatan Darat anggota Dewan Jenderal yang akan melakukan
kudeta terhadap pemerintahan yang sah.
c.
Penumpasan pemberontakan
Di bawah komando Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto
operasi penumpasan dilakukan dengan cepat. Adapun dilakukan langkah-langkah:
1.
Pada 1 Oktober 1965 pasukan RPKAD
di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo berhasil merebut kembali studio RRI
dan Kantor Negara Telekomunikasi di Jakarta.
2.
Pada 3 Oktober 1965 pasukan RPKAD
menemukan sumur yang menjadi lokasi pembuangan jenazah perwira AD yang diculik atas bantuan seorang
perwira polisi Sukitman. Sukitman ikut diculik karena memergoki para pelaku
saat sedang melakukan penculikan kepada Mayor Jenderal DI. Panjaitan. Sukitman tidak terbunuh karena berhasil lolos dari
Lubang Buaya.
3.
Pada 4 Oktober 1965 Panglima
Kostrad Mayor Jenderal Suharto memerintahkan untuk melakukan penggalian dan
pengangkatan jenazah kepada para perwira AD
untuk selanjutnya disemayamkan dahulu di markas besar Angkatan Darat, Jakarta.
4.
Pada 5 Oktober 1965 jenazah para
perwira Angkatan Darat dimakamkan ditaman
Makam pahlawan Kalibata
5.
Operasi penumpasan G30S/PKI terus
dilanjutkan dengan menangkap tokoh- tokoh PKI dan membekukan semua kegiatan PKI
dan ormas-ormasnya. Pada 9 Oktober 1965 Kolonel Latief berhasil ditangkap di
Jakarta dan pada 11 Oktober 1965 Letnan Kolonel Untung berhasil ditangkap di
Tegal Jawa Tengah.
Peristiwa G30S/PKI menyisakan kepiluan
bagi bangsa Indonesia. Rakyat serentak menyatakan sikap agar PKI dibubarkan.
Pada tanggal 12 Januari 1966 Front Pancasila mendatangi gedung Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan mengajukan 3 Tuntutan Rakyat (Tritura) yang
berisi:
1.
Bubarkan PKI dan
ormas-ormasnya
2.
Bersihkan kabinet dan unsur-unsur PKI
3.
Turunnya harga
Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno
menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Sebagai pemegang
Supersemar Jenderal Suharto bekerja dengan cepat yaitu:
1.
Pada 12 Maret 1966 Jenderal Suharto
mengumumkan bahwa PKI dan ormas- ormasnya dibubarkan dan dilarang di wilayah
seluruh Indonesia.
2.
Pada 18 Maret 1966 dilakukan
penangkapan terhadap 15 menteri yang
terlibat dalam G30S/ PKI.
3.
Jenderal Suharto segera membentuk
kabinet Ampera pada 28 Juli 1966 untuk mengganti
kabinet 100 menteri.
Peristiwa G30S/ PKI membuat kekuasaan
Presiden Sukarno jatuh. Pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno membacakan pidato
pertanggungjawaban berjudul “Nawaksara” dan “Pelengkap Nawaksara” dalam sidang
umum MPRS. Namun pidato tersebut ditolak karena dianggap tidak menjelaskan
kebijakannya terhadap peristiwa G30S/ PKI.
Pada 23 Februari 1967 Presiden Sukarno
sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyerahkan
kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Suharto pemegang ketetapan MPRS NO.
IX/MPRS/1966. Dengan demikian berakhir semua kekuasaan Presiden Sukarno.
Peristiwa ini sekaligus menandai berakhirnya demokrasi terpimpin dan lahirnya orde
baru.
F. Tokoh-tokoh Pejuang Mempertahankan Integrasi Bangsa
Upaya-upaya memecah belah bangsa dengan
hadirnya banyak pemberontakan sebenarnya sangat mengancam keutuhan NKRI.
Pemberontakan-pemberontakan itu akhirnya dapat diredam dan ditumpas.
Keberhasilan penumpasan dan pencegahan disintegrasi ini tidak lepas dari peran
para tokoh bangsa yang berjuang untuk mempertahankan integrasi bangsa. berikut
tokoh-tokoh pejuang integrasi bangsa:
1.
Sukarno
Presiden pertama Republik Indonesia
tidak diragukan lagi perannya dalam mempertahankan keutuhan bangsa. Peran yang
sangat fenomenal adalah ketika Sukarno memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 sehingga bangsa ini kembali ke UUD 1945. Dengan demikian bangsa ini tidak
terpecah-pecah dalam kepentingan politik dan ideologi. Selama hidupnya Sukarno bermimpi
agar Indonesia bersatu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga
tidak mengherankan bahwa orang yang berpaham nasionalis ini mengerahkan segala
upaya apabila bangsa Indonesia terancam disintegrasi.
2.
Mohammad Hatta
Hatta berjuang untuk Indonesia merdeka
sejak menjadi mahasiswa. Dalam peristiwa di sekitar proklamasi Hatta juga ikut
dibawa pemuda ke Rengasdengklok
bersama Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Hatta dikenal sebagai pemimpin yang tenang,
bijaksana dan hati-hati dalam setiap
pengambilan keputusan. Hatta juga dikenal sebagai bapak koperasi Indonesia
karena segala pemikiran tentang perekonomian rakyat dituangkan dalam pasal 33
UUD 1945. Tidak itu saja Hatta juga dikenal sebagai bapak peletak dasar politik
luar negeri yang bebas aktif tidak condong ke blok mana pun.
3.
Abdul Haris Nasution
Nasution merupakan tentara yang
profesional. Dia salah satu tokoh pejuang integrasi. Hal ini terlihat ketika
terjadi pemberontakan PKI Madiun 1948. Dengan bergerak cepat di bawah
komandonya selaku Panglima Komando Jawa dapat menumpas pemberontakan hanya
butuh waktu satu hari untuk penumpasan. Nasution
juga berjasa dalam penumpasan pemberontakan PRRI dan
Permesta yang ingin menggoyang kewibawaan NKRI.
4.
Ahmad Yani
Yani tergabung dalam Peta dalam memulai kariernya
sebagai tentara. Yani sangat berjasa dalam penumpasan pemberontakan DI/ TII di
Jawa Tengah. Keberhasilan itu ikut mengangkat namanya menjadi perwira tinggi
yang diperhitungkan untuk mempertahankan bangsa dari berbagai ancaman dan
gangguan untuk keutuhan NKRI.
5.
Sultan Hamengku Buwono IX
Sultan Hamengku Buwono IX tidak
diragukan lagi perannya dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Di saat Jakarta kacau balau sejak kedatangan tentara Belanda dan NICA pada
4 Januari 1946 Sultan menawarkan agar ibukota pindah ke Yogyakarta sebagai
upaya agar para pemimpin bangsa dan bangsa selamat dari rong-rongan kolonial
yang ingin menjajah kembali. Selama revolusi fisik antara 1946-1950 Sultan dan
para pemimpin bangsa seperti Sukarno, Hatta, Syahrir dll. di Yogyakarta berjuang
bahu membahu agar Indonesia tetap berdiri kokoh tidak tergoyahkan walaupun
terus digempur tentara Belanda.
Dalam Serangan 1 Maret 1949 Sultan juga
sangat berperan penting sehingga peristiwa itu dapat menyadarkan dunia
Internasional bahwa Indonesia masih ada karena selama ini digembar-gemborkan
Belanda bahwa Indonesia sudah terhapus karena pemimpinnya sudah ditangkap dan
diasingkan. Perannya sebagai menteri pertahanan ikut memelihara keutuhan bangsa
baik mempertahankan NKRI dari penjajahan Belanda maupun keutuhan NKRI dari setiap
pemberontakan- pemberontakan yang pernah terjadi di tanah air.
G. Perkembangan Politik Pada Masa Awal Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945, tanggal 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI Sukarno
dan Hatta ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.
Dalam revolusi fisik antara 1946-1950 itu tantangan politik dan ekonomi masih
terasa sangat berat bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi kedatangan tentara
sekutu dan NICA yang masih ingin menguasai kembali Indonesia dengan serangan
agresi Belanda I dan II serta perundingan-perundingan yang hasilnya
menguntungkan pihak Belanda.
Disisi lain hasil-hasil perundingan itu
ternyata tidak memuaskan semua pihak terutama para tokoh-tokoh bangsa Indonesia
sehingga timbul rasa tidak puas yang akhirnya memunculkan rasa tidak percaya
dan berujung pada pemberontakan- pemberontakan di daerah-daerah. Dengan
demikian pemerintahan harus bekerja keras untuk menghadapi bangsa asing dan
menghadapi bangsa sendiri yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Untuk menjaga agar pemerintahan berjalan
dengan baik Sukarno membentuk kabinet yang pertama yang dinamakan kabinet
presidensial. Kabinet ini diketuai oleh Presiden Sukarno dengan masa jabatan 4
September sampai dengan 14 November 1945.
Kabinet pertama tidak berlangsung lama.
Pada 14 November 1945 dibentuk kabinet Republik Indonesia yang kedua dengan
Sutan Syahrir sebagai perdana
menterinya. Selama ibukota RI dan para pemimpin bangsa
pindah ke Yogyakarta sejak 4 Januari 1946 Sutan Syahrir tetap di Jakarta untuk
mempermudah hubungan dengan dunia Internasional.
Sutan Syahrir akhirnya menyerahkan
mandatnya sebagai perdana menteri karena perundingan yang dijalankan dengan
Belanda tidak mendapat dukungan dari semua pihak. Ketika pembentukan kabinet
yang ketiga Sukarno kembali membujuk Syahrir agar menjadi perdana menteri.
Akhirnya Syahrir menyanggupinya sehingga disebut kabinet Syahrir II. Kabinet
ini berakhir pada 2 Oktober 1946.
Selanjutnya dibentuk kabinet keempat yaitu Kabinet Syahrir III yang
berlangsung
2 Oktober 1946 sampai dengan 3 Juli 1947. Pada tanggal yang
sama presiden mengeluarkan maklumat Nomor 6/1947 yang isinya menetapkan
kekuasaan sepenuhnya berada ditangan presiden. Melalui maklumat tersebut
akhirnya kabinet Syahrir III masuk masa demisioner.
Pada 3 Juli 1947 dibentuk kabinet yang
kelima yang berlangsung 3 Juli 1947 sampai dengan 11 November 1947 dengan Amir
Syarifuddin sebagai perdana menterinya. Program kabinet ini sebenarnya
melanjutkan program kabinet sebelumnya.
Pada 11 November 1947 dibentuk kabinet
yang keenam dengan Amir Syarifuddin tetap sebagai perdana menterinya. Akhirnya
kabinet dinyatakan demisioner setelah pada 29 Januari 1948 mundurnya 5 orang
menteri dari Masyumi.
Pada 29 Januari 1948 dibentuk kabinet
ketujuh dengan Moh. Hatta sebagai perdana menterinya. Kabinet ini akhirnya
berakhir pada 4 Agustus 1948. Memang kondisi politik pada saat itu masih dalam
konflik antara Indonesia dengan Belanda dan berbagai pemberontakan di tanah air.
Ketika terjadi Agresi militer Belanda II
di Yogyakarta dan para pemimpin ditangkap dan diasingkan dibentuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi. Maka dibentuklah kabinet PDRI berdasar instruksi
presiden kepada Syarifuddin Prawiranegara yang dikirim dari Yogyakarta sesaat
sebelum tentara menawan para pemimpin. Kabinet PDRI ini dipimpin oleh
Syarifuddin Prawiranegara dan berakhir pada 13 Juli 1949.
Pada 13 Juli 1949 dibentuk kabinet yang
kedelapan dengan Hatta sebagai perdana menterinya. Program kabinet ini menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi pada saat itu yang baru menghadapi agresivitas
Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.
Pada 20 Desember 1949 sampai dengan 21
Januari 1950 dibentuk kabinet ke sembilan yang dipimpin oleh Mr. Susanto Tirtoprojo. Dia
adalah seorang kepala kabinet yang berperan penting dalam transisi RI ke RIS.
Kabinet ini bekerja di bawah perdana menteri Moh. Hatta.
Ketika Indonesia menjadi bagian dari RIS
dibentuk kabinet yang kesepuluh di bawah kepemimpinan dr. A. Halim. Kabinet ini
bertugas 21 Januari sampai dengan 6 September 1950. Akhirnya usia kabinet ini
berakhir seiring dengan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia pada
bulan September 1950.
H. Perkembangan Politik dan ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal
Hasil perundingan Konferensi Meja Bundar
(KMB) adalah salah satunya terbentuknya negara RIS (Republik Indonesia
Serikat). Sebenarnya Belanda membentuk negara federal ini bertujuan untuk
melemahkan integrasi bangsa sebagai negara kesatuan.
Seiring berjalan waktu ternyata banyak negara-negara bagian
yang ingin menggabungkan diri menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada 15 Agustus 1950 perdana menteri
kabinet RIS, Moh. Hatta menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri kepada
Presiden Sukarno dan pada 17 Agustus 1950 dan Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan. Setelah berakhirnya pemerintahan RIS pada 1950 sebenarnya Indonesia
masih menggunakan model pemerintahan demokrasi parlementer yang liberal.
Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Saat itu presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara.
Pada kurun waktu pemerintahan antara
tahun 1950 sampai dengan 1959 memang sering terjadi pergantian kabinet. Kabinet
yang dipimpin oleh seorang perdana menteri itu sering jatuh bangun karena
adanya mosi tidak percaya dari para oposisi politiknya. Adapun kabinet yang
pernah memerintah pada masa demokrasi liberal sebagai berikut:
1.
Kabinet Natsir (Masyumi) memerintah 6 September 1950
sd. 21 Maret 1951.
2.
Kabinet Sukiman (Masyumi) memerintah 27 April 1951
sd. 3 April 1952.
3.
Kabinet Wilopo (PNI) memerintah 3 April 1952 sd. 3
Juni 1953.
4. Kabinet
Ali Sastroamidjojo I (koalisi PNI dan NU) memerintah 31 Juli 1953 sd. 12
Agustus 1955.
5.
Kabinet Burhanuddin Harahap
(Masyumi) memerintah 12 Agustus 1955 sd. 3 Maret 1956.
6.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II
(koalisi PNI, Masyumi,
NU) memerintah 20 Maret 1956 sd. 4 Maret 1957.
7.
Kabinet Juanda (non politik) memerintah 9 April 1957
sd. 5 Juli 1959.
Tentu saja jatuh bangunnya
kabinet-kabinet ini sangat tidak memberi kenyamanan kepada perdana menteri yang
memerintah. Jatuh bangunnya kabinet ini karena
adanya rasa mosi tidak percaya akibat pemerintahan dianggap gagal dalam
menangani berbagai peristiwa yang terjadi. Contoh misalnya jatuhnya kabinet
Wilopo yang harus mengakhiri pemerintahannya karena dianggap gagal dalam
menyelesaikan kasus 17 Oktober 1952.
Padahal kasus itu disebabkan oleh ulah
beberapa perwira Angkatan Darat yang melakukan protes dan meminta kepada
presiden Sukarno agar parlemen dibubarkan karena dianggap mencampuri kegiatan intern
AD dan ada indikasi korupsi di tubuh
parlemen. Tentu saja Sukarno menolak membubarkan parlemen sesuai tuntutan
perwira Angkatan Darat karena jika itu dilakukan berarti presiden melakukan
tindakan otoriter. Kasus itu semakin runcing setelah Sukarno menonaktifkan
Nasution sebagai KSAD diganti oleh Kolonel Bambang Sugeng karena dianggap
bersalah melakukan kudeta kecil terhadap Presiden Sukarno. Akhirnya Nasution
setelah beberapa tahun tidak aktif diberi jabatan lagi di dinas ketentaraan
sehingga lambat laun kasus penyidikan kudeta kecil itu dihentikan.
Demokrasi terpimpin adalah sistem
demokrasi yang semua keputusan dan pemikiran terpusat pada pemimpin yakni
Presiden Sukarno. Masa demokrasi terpimpin berlangsung mulai 1959 sampai dengan
1965 saat kekuasaan Sukarno tumbang ditangan Orde Baru.
Perkembangan ekonomi pada masa demokrasi
liberal sungguh lambat karena berbagai permasalahan yang dihadapi. Permasalahan
yang muncul tidak lepas dari beberapa hal yaitu:
1.
Setelah pengakuan kedaulatan,
bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi
dan keuangan yang cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi
Meja Bundar diantarinya bangsa Indonesia harus menutup kerugian perang dari
pihak Belanda selama perang revolusi fisik.
2.
Ketidakstabilan politik akibat
jatuh bangunnya kabinet menyedot banyak anggaran di samping untuk mengatasi biaya anggaran operasional dalam
penumpasan pemberontakan di daerah-daerah.
3.
Ekspor hanya tergantung kepada
perkebunan sedangkan angka pertambahan penduduk semakin tajam.
I.
Perkembangan Politik dan Ekonomi
Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Landasan adanya demokrasi terpimpin
ditafsirkan dari sila keempat Pancasila. Menurut ketetapan MPRS demokrasi
terpimpin adalah demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikah musyawarah untuk mufakat
secara gotong royong di antara semua kekuatan nasional yang
progresif-revolusioner dengan berporos pada nasionalisme, agama dan komunis
(Nasakom) sebagai kekuatan nasional.
Ada tiga hal yang melatarbelakangi
Presiden Sukarno menerapkan demokrasi terpimpin yaitu:
1. Dari
sudut pandang politik, Konstituante dianggap gagal dalam menyusun UU baru untuk
menggantikan UUD Sementara 1950.
2. Dari
sudut pandang keamanan nasional, pada masa demokrasi liberal banyak terjadi
gerakan spiritis di berbagai daerah yang mengancam integrasi bangsa dan
ketidakstabilan keamanan negara.
3. Dari
sudut pandang perekonomian nasional, sering terjadinya pergantian kabinet
menyebabkan program-program yang telah dirancang kabinet tidak bisa dijalankan
secara maksimal. Akibatnya pembangunan ekonomi tidak lancar.
Berdasar dari tiga hal tersebut maka
pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno membubarkan parlemen sekaligus
menyatakan kembali pada UUD 1945. Sukarno kemudian membentuk kabinet kerja
dengan dirinya bertindak sebagai perdana menteri.
Kabinet ini kemudian dilantik pada 10
Juli 1959 dengan program kerjanya tri program kabinet kerja. Tugas kabinet ini
adalah mengatasi masalah sandang, pangan serta meningkatkan keamanan di dalam
negeri dan mengembalikan beberapa wilayah negara ke pangkuan NKRI misalnya
Irian Barat.
Dalam demokrasi terpimpin itu, Presiden
Sukarno menerapkan sistem politik keseimbangan. Hal ini diterapkan di
lingkungan partai-partai politik dan pertahanan negara. Presiden juga mengambil
langsung pimpinan tertinggi angkatan militer dengan membentuk komando operasi
tertinggi (Koti).
Perkembangan politik pada masa demokrasi
terpimpin seluruhnya terpusat pada presiden Sukarno dengan TNI Angkatan Darat
dan PKI sebagai pendukung utamanya. Untuk itulah PKI saat itu berkembang sangat
pesat karena sebagai pendukung utama
Presiden Sukarno. Perkembangan pesat PKI ini tentu saja
tidak disukai Angkatan Darat karena akan memperkecil pengaruhnya terhadap
Presiden Sukarno sehingga antara AD dengan PKI sering bertolak belakang dalam
pengambilan kebijakan.
Pada masa itu Sukarno menandaskan
pentingnya konsep persatuan antara nasionalis, agama dan komunis yang disingkat
menjadi Nasakom. Tentu saja dampak dari konsep ini sangat menguntungkan PKI
karena partai ini ikut berbicara banyak dalam setiap pengambilan keputusan
presiden yang tentu saja diharapkan menguntungkan partai itu.
Meski banyak menuai protes, Presiden
Sukarno semakin mempertegas konsep Nasakom. Hal ini disampaikan dalam pidato
pada 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan kembali revolusi kita”. Naskah
pidato itu kemudian diserahkan kepada panitia kerja Dewan Pertimbangan Agung
yang ketika itu dipimpin oleh DN. Aidit, seorang pimpinan PKI. Naskah itu
kemudian dirumuskan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta
selanjutnya diberi judul “Manifesto Politik Republik Indonesia” yang kemudian
dikenal sebagai Manipol.
Pengaruh PKI semakin kuat dalam
demokrasi terpimpin. Hal ini terlihat dari kebijakan luar negeri Presiden
Sukarno yang cenderung memihak pada Tiongkok atau blok Komunis sehingga konsep
negara non-blok mulai ditinggalkan. Keadaan ini terus berlangsung sehingga
menimbulkan peristiwa yang menggemparkan tanah air yaitu terjadinya peristiwa
G30 S/ PKI yang akhirnya menjatuhkan Sukarno dari kekuasaannya dan digantikan
oleh Orde Baru.
Pada masa demokrasi terpimpin
perekonomian diatur langsung oleh pemerintah. Kegiatan perekonomian yang diatur
itu banyak mengabaikan prinsip ekonomi. Akibatnya terjadi defisit keuangan
negara yang meningkat tajam dari tahun ketahuan. Contohnya pada Januari sampai
dengan Agustus 1965 pengeluaran negara tercatat sebesar 11 miliar rupiah,
sedangkan penerimaan negara sebesar 3,5 miliar rupiah. Bahkan pada tahun 1961
sampai 1962 harga-harga barang pada umumnya mengalami kenaikan hingga 400%. Kondisi ini semakin
diperparah dengan berlangsungnya konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara
Barat yang semakin mempercepat kemerosotan perekonomian Indonesia.
Salah satu solusi pemerintah mengatasi
kemerosotan ekonomi di antaranya menerapkan kebijakan dalam bidang moneter. Pada 13 Desember
1965 melalui penetapan Presiden Nomor 27 tahun 1965 pemerintah mengambil
langkah devaluasi, yaitu kebijakan untuk
menekan inflasi. Pemerintah menggunting uang senilai Rp. 1.000 menjadi Rp.1.
Dampak dari kebijakan ini bukan menambah
baik tetapi semakin meningkatkan inflasi. Kebijakan ini semakin parah setelah
nilai ekspor rendah sedangkan kegiatan impor dibatasi karena lemahnya devisa
negara. Akibatnya perekonomian menjadi limbung sehingga menambah penderitaan rakyat.
J.
Perbandingan Kebijakan Politik
Pada Masa Demokrasi Liberal dan Terpimpin
Ada beberapa
perbedaan antara demokrasi liberal dengan demokrasi terpimpin
yaitu:
1.
Masalah Kedaulatan
negara
Pada masa demokrasi liberal kedaulatan negara ada ditangan
DPR atau parlemen. Bahkan DPR dapat membubarkan dan membentuk pemerintahan dan
kabinet (eksekutif). Sedangkan pada demokrasi terpimpin kedaulatan negara
sepenuhnya ditangan presiden. Bahkan seorang presiden dapat membentuk MPRS dan
DPR Gotong Royong.
2.
Masalah pembagian
kekuasaan
Pada masa demokrasi liberal kekuasaan
DPR (Legislatif) lebih kuat jika dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah/ kabinet
(eksekutif). DPR dapat membubarkan dan menghentikan pemerintah/ kabinet.
Sementara itu fungsi presiden hanya sebagai kepala negara. Sedangkan dalam
demokrasi terpimpin kekuasaan presiden (eksekutif) menjadi sangat dominan
sehingga mampu membubarkan dan membentuk DPR. Di samping itu jabatan presiden
ditetapkan seumur hidup sehingga tidak dapat diberhentikan oleh MPRS.
3.
Masalah pengambilan
keputusan
Pada masa demokrasi liberal semua
pengambilan keputusan berada ditangan DPR dengan mekanisme keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin
pengambilan keputusan dilaksanakan oleh MPRS dan DPR-GR serta berdasarkan suara
bulat.
0 comments:
Post a Comment