Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Wednesday, August 23, 2023

Pemerintahan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin

Pemerintahan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin


A.  Pengertian Integrasi dan Integrasi nasional

Bangsa Indonesia yang sekarang tegak berdiri ini pernah diuji oleh masyarakat atau sekelompok orang yang ingin merusak tatanan integrasi nasional. Dalam Kamus Bahasa Indonesia integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Integrasi bisa juga diartikan penyatuan bangsa atau suku yang berbeda di masyarakat menjadi satu kesatuan yang utuh untuk menjadi suatu bangsa.

Integrasi akan semakin kukuh apabila tercapai dua hal yaitu pertama, sebagian masyarakat bersepakat mengenai batas-batas teritorial negara sebagai suatu wilayah politik. Kedua, sebagian besar masyarakat bersepakat mengenai struktur pemerintahan serta aturan- aturan proses politik, ekonomi, sosial, yang berlaku di masyarakat.

Sedangkan apabila diteropong dengan kewilayahan muncul istilah integrasi nasional atau integrasi bangsa. Kata bangsa (nation) merupakan sekelompok manusia yang sifatnya heterogen (majemuk) tetapi mereka sebenarnya memiliki kehendak yang sama dengan menempati daerah tertentu secara permanen.

Untuk itulah integrasi bangsa dapat diartikan usaha atau proses untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam suatu negara berdasarkan bahasa, sejarah, adat istiadat dengan tujuan yang sama yang hendak dicapai suatu bangsa.

 

B.   Pengertian Disintegrasi Nasional

Disintegrasi dapat mengancam suatu masyarakat yang sudah mengalami proses integrasi seperti Indonesia karena Indonesia terdiri dari banyak perbedaan suku, agama, budaya, adat istiadat, ras, dan lain sebagainya. Faktor yang mengancam integrasi bangsa adalah sikap yang tidak sesuai dengan masyarakat yang majemuk dan heterogen. Misalnya sikap etnosentrisme, sikap primordialisme, dan sikap fanatisme yang berlebihan. Bagaimana caranya jika bangsa mengalami disintegrasi nasional? Langkah utama yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah reintegrasi.

Reintegrasi bangsa adalah proses pembentukan integrasi kembali agar sesuai dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan kesepakatan bersama pada suatu bangsa. Reintegrasi bangsa adalah salah satu cara untuk menyelesaikan atau memecahkan konflik pada bangsa yang mengalami konflik di antara anggota masyarakatnya.

 

C.          Disintegrasi Pada masa Revolusi Fisik


1.     Pemberontakan PKI Madiun 1948

Pemberontakan PKI Madiun terjadi di Kabupaten Madiun Jawa Timur. Pemberontakan ini dipimpin oleh Musso. Dia merupakan tokoh Partai Komunis Indonesia yang pernah belajar di Uni Soviet untuk mendalami ideologi Komunis. Musso ingin mendirikan Republik Soviet Indonesia. Selain Musso pemberontakan ini juga melibatkan tokoh nasional mantan perdana menteri, Amir Syarifuddin.

a.     Latar Belakang

Perjanjian Renville yang digadang-gadang bangsa Indonesia akan memecahkan kebutuhan persoalan antara Indonesia dengan Belanda ternyata berakhir dengan bayak kekecewaan di pihak orang-orang Indonesia. Wilayah Indonesia yang semula hanya meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura sebagai hasil perjanjian Linggarjati, kini setelah ada putusan perjanjian Renville bukan semakin besar malah semakin sempit. Wilayah itu semakin sempit karena adanya garis van Mook. Untuk itulah pasukan TNI yang berada di belakang garis demarkasi van Mook terpaksa meninggalkan daerah tersebut. Pada 17 Januari 1948 ribuan pasukan TNI dari divisi Siliwangi hijrah ke Surakarta dan Yogyakarta dengan memendam perasaan kecewa.

Memang perjanjian Renville menguntungkan Belanda dari segi politik maupun ekonomi. Wilayah kekuasaan Belanda menjadi semakin luas serta sumber-sumber ekonomi juga semakin mudah didapat. Karena Indonesia begitu terjepit maka Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri yang memimpin perjanjian Renville mendapat tekanan yang luar biasa sehingga dijatuhi mosi tidak percaya pada 23 Januari 1948. Akibatnya Amir Syarifuddin terpaksa turun dari jabatannya sebagai perdana menteri dan digantikan oleh Moh. Hatta.

Amir Syarifuddin yang jatuh itu kemudian menjadi oposisi kabinet Hatta. Ia kemudian mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Organisasi ini merupakan gabungan dari PSI, Pesindo, Partai Buruh, SOBSI, Barisan Tani Indonesia, dan PKI. Benturan kepentingan antara Kabinet Hatta dan Amir terjadi sejak Kabinet Hatta mempunyai program Rera (Reorganisasi dan rasionalisasi). Salah satu yang menjadi target Rera adalah rasionalisasi tentara yakni tentara yang sedikit tetapi bermutu. Tentara yang semula berjumlah 463.000 diperas menjadi 90.000. Akibatnya banyak Tentara yang sebagian besar orang-orang komunis itu menganggur sehingga mereka mendesak kepada kabinet Hatta untuk tidak melanjutkan program Rera.

Tentara-tentara yang menganggur dan kecewa itu kemudian memilih bergabung dengan FDR karena merasa FDR membela nasibnya. Tentu saja kesempatan ini digunakan oleh FDR untuk menghantam kabinet Hatta. Kritikan terhadap kabinet Hatta program Rasionalisasi terdengar nyaring. Ribuan prajurit merasa kecewa dengan program rasionalisasi itu.

Pada 10 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia. Dia sebenarnya tokoh PKI yang pada tahun 1926 melakukan pemberontakan kepada pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi karena pemberontakan itu gagal dia melarikan diri ke Uni Soviet. Kedatangan Musso disambut baik oleh Amir Syarifuddin sehingga mereka membentuk organisasi Politbiro pada tanggal 1 September 1948. Dalam organisasi itu ketuanya Musso sedangkan Amir Syarifuddin menempati jabatan sekretariat pertahanan dan tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam organisasi itu misalnya DN. Aidit, Lukman dan Nyoto.

 

b.    Proses pemberontakan

Situasi politik dalam negeri memanas karena terjadi pemogokan buruh dimana-mana karena memang diorganisir oleh PKI. Anggota serikat buruh, pemuda dan rakyat dihasut dan digerakkan untuk menentang pemerintah yang sah. Kekacauan diawali di kota Solo dimana tentara dan orang-orang bersenjata di bawah kendali FDR terjadi konflik pada 13- 16 Sepetember 1948. Salah satu tokoh yang anti FDR, dr Muwardi diculik dan ditemukan sudah terbunuh sehingga membuat suasana menjadi mencekam. Untuk itulah kemudian kabinet Hatta mengumumkan negara dalam kondisi bahaya.

Pada 19 September 1848 FDR bersama PKI di bawah pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin mengumumkan berdirinya Negara Republik Soviet Indonesia. Dengan mengerahkan ribuan anggota satuan TNI yang memihak komunis yang merupakan korban dari program rasionalisasi kabinet Hatta. Mereka kemudian menduduki Madiun dan membasmi tokoh-tokoh setempat yang tidak tunduk dan sepaham dengan PKI.

 

c.       Penumpasan Pemberontakan

Pada saat itu Jenderal Sudirman sedang sakit keras sehingga Komando diserahkan kepada Kolonel AH. Nasution yang menjabat sebagai Panglima Markas Besar Komando Jawa. Nasution segera menggerakan divisi cadangan pasukan Siliwangi dan kesatuan yang ada di jawa Timur untuk menumpas pemberontakan.

Dalam waktu satu hari saja TNI berhasil dapat memukul mundur PKI/ FDR. Di bawah komando Kolonel Gatot Subroto yang memimpin divisi Siliwangi, pada 30 September 1948 PKI berhasil ditumpas. Kota Madiun dan sekitarnya dapat dibebaskan dari para pemberontak. Musso akhirnya tertembak mati dalam pelariannya pada 31 Oktober 1948 di Samandang, Ponorogo Jawa Timur. Amir Syarifuddin ditangkap dan ditempak mati di Purwodadi pada tanggal 29 November 1948.


2.       DI/ TTI (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia)

Pemberontakan DI/TTII merupakan pemberontakan yang bukan ingin merebut kekuasaan dan mengganti ideologi seperti halnya PKI tetapi pemberontakan yang berupaya ingin memisahkan diri dari NKRI. Mereka ingin mendirikan sendiri negara di bawah bendera Negara Islam Indonesia. Penggagasnya adalah Kartosuwiryo seorang tokoh Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya DI/TII di Jawa Barat, yang kemudian muncul DI/ TII di berbagai daerah di Indonesia. Daerah- daerah tempat munculnya DI/ TII itu adalah di Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah, Di Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakar, di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh, dan di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar.

a.     DI/ TII di Jawa Barat

1.       Latar belakang pemberontakan

Sebenarnya Kartosuwiryo sudah ada benih-benih mendirikan Negara Islam pada zaman Jepang. Saat itu dia sudah membentuk pasukan Hisbullah dan Sabillilah  sebagai pusat propaganda untuk mendirikan Negara Islam. Setelah adanya agresi Belanda I Kartosuwiryo dan pasukannya ikut melawan Kolonial Belanda tetapi ketika terjadi perjanjian Renville Kartosuwiryo dan pasukannya menolak ikut hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kartosuwiryo dan pasukannya yang berjumlah sekitar 400.0000 pasukan tetap tinggal di Jawa Barat.

 

2.       Proses pemberontakan

Setelah terjadi Agresi Belanda II di Yogyakarta yang mengakibatkan Ibukota jatuh ke tangan Kolonial Belanda Kartosuwiryo menganggap bahwa RI sudah habis. untuk itu dia segera memperkuat tentaranya di Jawa Barat karena menganggap Jawa Barat masuk dalam wilayahnya. Bahkan ketika pasukan divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat dari Jawa Tengah terjadi kekuatan fisik di antara kedua pasukan itu pada tanggal 25 Januari 1949 karena Kartosuwiryo menganggap pasukan Siliwangi sebagai pasukan liar yang masuk daerah wilayahnya.

 

3.       Penumpasan pemberontakan

Sebelum menggelar operasi militer, sebenarnya pemerintah yang sah sudah membujuk agar Kartosuwiryo segera sadar akan kekeliruannya melalui M. Nazir sebagai kepala kabinet. Saat itu M. Nazir menjabat juga sebagai kepala pusat Masyumi sehingga ada ikatan emosional dengan Kartosuwiryo. Tetapi Kartosuwiryo bersikukuh mau berunding jika pemerintah RI mengakui keberadaan Negara Islam Indonesia. Untuk itulah akhirnya pemerintah memberlakukan operasi militer. Pasukan divisi Siliwangi ditugaskan untuk menumpas Kartosuwiryo. Dengan strategi perang pagar betis akhirnya DI/ TII Kartosuwiryo dapat didesak. Pada tanggal 4 Juni 1962 Kartosuwiryo dapat ditangkap di Gunung Geber, Majalaya, Jawa barat oleh pasukan divisi Siliwangi. Pada 5 September 1962 Kartosuwiryo dihukum mati.

 

b.    DI/ TII Jawa Tengah

1.       Latar belakang pemberontakan

DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Dia adalah komandan laskar Hisbullah di Talangan dan Mojokerto. Mereka kecewa dan tidak sepakat dengan hasil perjanjian Renville yang harus memaksa laskar-laskar dan tentara RI untuk hijrah ke Yogyakarta.

2.       Proses Pemberontakan

Pada Agustus 1948 Amir Fatah membawa anak buahnya yang terdiri dari 3 kompi pasukan Hisbullah ke Pekalongan yang saat itu sudah ditinggalkan tentara hijrah ke Yogyakarta. Dia kemudian membentuk pasukan bersenjata Mujahidin sebagai upaya membentuk kekuatan.

Karena sepaham dengan Kartosuwiryo maka Amir Fatah ditunjuk Kartosuwiryo memimpin Darul Islam di Jawa Tengah. Pada 23 Agustus 1949 Amir Fatah memproklamasikan berdirinya Negara Islam Jawa Tengah sebagai Negara Islam pimpinan Kartosuwiryo. Untuk mengawali gerakannya pasukan Amir Fatah menyerang pos-pos TNI termasuk juga pos TNI di Pekalongan.

3.       Penumpasan Pemberontakan

Di bawah komando Letnan Kolonel Sarbini pada tahun 1950 TNI membentuk Gerakan Banteng Negara (GBN). Operasi ini berhasil memisahkan DI Jawa Tengah dan DI Jawa Barat sehingga pada 22 Desember 1950 Amir Fatah dapat ditangkap.

 

c.     DI/ TII Aceh

1.     Latar belakang pemberontakan

Pada awal Agustus 1949 Syarifuddin Prawiranegara sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Hatta ditempatkan di Aceh untuk memimpin perjuangan apabila perundingan KMB gagal. Tampa persetujuan dan konsultasi dengan pemerintah pusat Syarifuddin Prawiranegara menjadikan Aceh sebagai provinsi yang terlepas dari provinsi Sumatera Utara. Saat itu Daud Beureuh diangkat sebagai gubernurnya.

Ketika tahun 1950 Indonesia menjadi negara yang berdaulat pemerintah mulai melakukan penyederhanaan dalam administrasi pemerintahan yaitu menurunkan status Aceh dari sebuah provinsi menjadi daerah keresidenan di bawah provinsi Sumatera lagi. Tentu saja langkah pemerintah ini membuat Daud Baureuh dan pengikutnya kecewa karena kekuasaannya hilang kembali.

2.    Proses pemberontakan

Setelah Daud Beureuh tidak menjadi gubernur, kemudian dia menghimpun kekuatan untuk menentang pemerintah. Agar pemberontakan mendapat pengakuan dan legitimasi rakyat, dia membuat sentimen agama sebagai basis perjuangan yaitu mendirikan Negara Islam. Untuk memuluskan jalannya dia menjalin komunikasi dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Pada tanggal 21 September 1953 Daud Beureuh memproklamasikan DI/ TII di Aceh di bawah kekuasaan Kartosuwiryo. Setelah itu kemudian mereka menguasai kota-kota di Aceh dan melakukan propaganda kepada rakyat Aceh agar tidak mendukung pemerintahan sah Republik Indonesia.

3.     Penumpasan pemberontakan

Komando Daerah Militer Aceh Letnan Kolonel Samaun menggunakan operasi militer dengan cara menerima para pemberontak yang ingin menghentikan konflik tetapi akan menghancurkan bagi tentara Aceh yang melakukan perlawanan terhadap RI. Sementara itu banyak pemimpin Aceh yang bersedia berdamai lagi, tetapi Daud Baureuh menolaknya untuk melakukan perundingan.

Pada 17 Desember 1962 diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang digagas Pangdam Kolonel Yasin. Secara bertahap DI/ TII di Aceh akhirnya dapat diselesaikan dan Aceh kembali aman. Sedangkan Daud Beureuh kembali ke masyarakat sehingga keamanan Aceh sepenuhnya aman kembali.

 

d.    DI/ TII Sulawesi Selatan

1.     Latar Belakang pemberontakan

Pada masa perang kemerdekaan banyak laskar-laskar dari Sulawesi Selatan yang ikut bertempur menghadapi tentara Kolonial Belanda. Setelah RI menerima kedaulatan penuh, perang tidak terjadi lagi. Para laskar-laskar kemudian bergabung membentuk kesatuan yang bernama Gerilya Sulawesi Selatan (GSS).

Para laskar itu meminta agar GSS semuanya dijadikan TNI atau APRIS di bawah satu divisi yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar sebagai panglimanya. Tuntutan itu kemudian ditolak oleh pemerintah pusat karena GSS anggotanya banyak yang tidak memenuhi syarat sebagai tentara profesional. Pemerintah memberi solusi bagi yang memenuhi syarat yang masuk TNI, sedangkan yang tidak akan dimasukkan sebagai tentara cadangan. keputusan pemerintah itu kemudian membuat Kahar Muzakkar dan laskarnya menjadi kecewa terhadap pemerintah.

2.     Proses pemberontakan

Pada 16 Agustus 1951 karena tuntutan Kahar Muzakkar tidak dipenuhi pemerintah maka dia mengajak anak buahnya masuk hutan dengan membawa senjata. Selanjutnya dua tahun berikutnya pada 7 Agustus 1953 dia memproklamasikan bahwa daerah Sulawesi Selatan bagian dari wilayah Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo dan pasukannya berganti nama menjadi Tentara Islam Indonesia (TII).

3.     Penumpasan pemberontakan

Setelah proklamasi itu kemudian pemerintah melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan. Kahar Muzakkar sulit ditangkap karena bersembunyi di hutan- hutan dan gunung-gunung. Baru pada tanggal 3 Februari 1965 Kahar Muzakkar dapat ditembak dalam sebuah operasi militer yang dilancarkan TNI.

 

3.       APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)

1.       Latar belakang pemberontakan

Pemberontakan APRA ini sebenarnya pemberontakan yang dilakukan bekas tentara KNIL yang dikomandoi oleh Raymond Westerling. Tujuannya mempertahankan berdirinya negara Pasundan dan APRA sebagai pasukan yang resmi.

Teror ini dilakukan karena menjelang 1950 keinginan anggota RIS untuk kembali ke bentuk NKRI semakin menguat. Hal itu dibuktikan satu persatu negara-negara bagian bergabung kembali ke NKRI. Tentu saja ini dianggap sebagai suatu ancaman bagi Kolonial Belanda karena menginginkan Indonesia terpecah belah melalui negara bagian- bagian yang tergabung dalam RIS. Menggunakan kata Ratu Adil agar mendapat simpati dari rakyat karena bagi masyarakat kata Ratu Adil artinya akan membawa pencerahan ke masa depan.

 

2.       Proses pemberontakan

Pada 23 Januari 1950 Westerling menggerakkan pasukan APRA yang sebagian besar dari KNIL berkekuatan 500 pasukan untuk menyerang kota Bandung. Setiap orang yang ada di jalan baik itu rakyat maupun TNI ditembaki dengan membabi buta. Mereka menyerang markas divisi Siliwangi dan menembaki semua prajurit yang ada. Ada 79 pasukan APRIS dari divisi Siliwangi yang gugur selebihnya hanya 3 yang selamat.

Selain di Bandung APRA merencanakan serangan di Jakarta. Gerakan APRA di Jakarta akan dibantu Sultan Hamid II yang akan dilaksanakan pada tangga 24 Januari 1950. Tujuannya menyerang gedung tempat kabinet bersidang. Rencana mereka juga akan membunuh menteri kabinet seperti menteri pertahanan Sultan Hamengku Buwono

IX. Akhirnya rencana mereka gagal karena tercium aparat inteligen.

3.       Penumpasan pemberontakan

Upaya perundingan untuk menghentikan operasi militer APRA gagal sehingga diadakan operasi militer untuk menumpas APRA. Tentara APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) mendapat dukungan penduduk Bandung sehingga dapat dengan cepat mengusir APRA dari Bandung. Selanjutnya operasi militer dilanjutkan di Jakarta sehingga pada tanggal 4 April 1950 Sultan Hamid II dapat ditangkap. Raimond Westeling dapat melarikan diri menggunakan pesawat Catalina ke luar negeri pada 2 Februari 1950.

 

4.       Pemberontakan Andi Aziz

1.       Latar belakang pemberontakan

Pemberontakan Andi Aziz berlangsung di Makassar yang dipimpin oleh Andi Aziz. Dia merupakan mantan perwira KNIL yang tergabung dalam APRIS. Dia juga mantan ajudan presiden Negara Indonesia Timur (NIT).

Pada tahun 1950 kondisi di Makassar memang tidak kondusif karena banyak rakyat yang menginginkan kembali menuju NKRI. Mereka sering melakukan demonstrasi kepada negara federal agar kembali ke pangkuan RI. Keadaan semakin parah karena masyarakat yang setuju negara federal juga melakukan demonstrasi.

Di tengah situasi yang kacau, tersebar isu bahwa APRIS akan mendatangkan pasukan sebesar 900 orang ke Makassar untuk mengamankan keadaan. Pasukan ini segera akan berlabuh di pelabuhan Makassar. Tentu saja berita ini sangat mengkhawatirkan eksistensi mantan pasukan KNIL yang ada di Makassar. Mereka kemudian bergabung dengan Kapten Andi Aziz dengan menamakan pasukan bebas.

2.       Proses pemberontakan

Pada 5 April 1950 pasukan Andi Aziz yang dibantu pasukan KNIL menyerang markas APRIS di Makassar. Mereka berhasil menguasai markas APRIS dan juga kota Makassar.

3.       Jalannya penumpasan

Pada 8 April 1950 pemerintah pusat mengultimatum agar pasukan Andi Aziz menyerah dan mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam waktu 2 x 24 jam. Akhirnya Andi Aziz bersedia datang ke Jakarta pada 15 April 1950 setelah didesak oleh presiden NIT, Sukawati. Setelah sampai di Jakarta dia ditangkap dan diadili sebagai pemberontak. Sementara itu pasukan sisa-sisa Andi Aziz diserang oleh TNI sebagai upaya penumpasan.

 

5.       Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

1.       Latar belakang pemberontakan

Pemberontakan RMS dipimpin oleh Dr. Christian Robert Steven Soumokil, mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT). Pemberontakan ini menolak bergabung dengan NKRI dan membentuk negara sendiri yang lepas dari NKRI. Pemberontakan ini juga dimotori para mantan KNIL yang dilatarbelakangi statusnya yang terancam setelah hasil KMB (Konferensi Meja Bundar). Rakyat dihasut agar tidak kembali ke NKRI dan menolak kedatangan tentara APRIS/ TNI dari Jawa dan Maluku.

2.       Proses pemberontakan

Pada 25 April 1950 Soumokil memproklamasikan berdirinya RMS dan menetapkan Kota Ambon sebagai ibukota RMS. Proklamasi itu ternyata mendapat sambutan hangat dari orang-orang Maluku yang pro-Belanda dan para mantan anggota KNIL yang sudah terkena hasutan. Rakyat yang menolak ajakan mereka dan mendukung NKRI ditangkap dan dipenjarakan.

3.       Penumpasan pemberontakan

Awalnya pemerintah meminta dengan jalan damai dengan mengirimkan dr. Leimena untuk menghentikan langkah Soumokil. Upaya pemerintah itu ditolak oleh Soumokil bahkan dia meminta perhatian dunia internasional dengan Amerika, Belanda dan komisi PBB di Indonesia.

Akhirnya pemerintah melakukan operasi militer dengan komando Kolonel Kawilarang yang menjabat sebagai panglima tentara dari teritorium Indonesia Timur. Pada 14 Juli 1950 Kolonel Kawilarang menumpas gerakan separatis tersebut. Pada pertempuran itu Letkol Slamet Riyadi gugur tetapi pada 28 September 1950 pasukan APRIS dapat menguasai kembali Kota Ambon. Banyak tokoh RMS melarikan diri ke pulau Seram dan selama beberapa tahun kelompok ini melakukan teror.

 

D.     Disintegrasi Pada Masa Demokrasi Liberal

Pemberontakan PRRI/ Permesta

a.       Latar belakang pemberontakan

Pemberontakan ini terjadi pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II. Pergolakan yang muncul di Sumatera dan Sulawesi ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap alokasi dana pembangunan yang diterima dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan ini memunculkan rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Selain itu mereka susah menyampaikan aspirasinya melalui parlemen dalam mengubah kebijakan. Akhirnya mereka menempuh jalan non parlemen dengan membentuk dewan-dewan di daerah. Misalnya Sumatera Tengah dibentuk Dewan Banteng, di Sumatera Utara dibentuk Dewan Gajah dan di Sumatera Selatan dibentuk Dewan Garuda.

Pada 21-24 November 1956 Dewan Banteng melakukan pertemuan dan menghasilkan beberapa kesepakatan di Padang. Hasil kesepakatan itu kemudian disampaikan kepada perdana menteri Ali Sastroamidjojo dengan mengirimkan delegasi Dewan Banteng. Sementara itu Dewan Banteng mengambil keputusan sendiri dengan mengambil alih kekuasaan di Sumatera Tengah di bawah gubernur

resmi Ruslan Muljoharjo. Tentu saja langkah itu mengakibatkan ketegangan antara pemerintah pusat dengan Dewan Banteng.

Sementara itu Dewan Gajah di Medan juga menguasai instansi-instansi resmi pemerintah seperti RRI Medan yang digunakan untuk propaganda kegiatan dewan kepada masyarakat. Akhirnya kegiatan Dewan Gajah berahir setelah pimpinan mundur dan pindah dari Medan dengan diikuti anak buahnya.

Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin Letnan Kolonel Barlian mengambil alih kekuasaan dari gubernur Sumatera Selatan yang dijabat Winarno Danuatmojo.

Untuk menghadapi pergolakan daerah tersebut pemerintah pusat meminta diselesaikan dengan perdamaian tetapi sebelum langkah perundingan dilaksanakan ada percobaan untuk membunuh Presiden Sukarno yang dikenal dengan peristiwa Cikini pada 30 November 1957. Sukarno saat itu akan mengunjungi ulang tahun perguruan tempat putra-putinya sekolah. Dalam  peristiwa itu Sukarno selamat tetapi banyak anak sekolah yang menjadi korban akibat lemparan granat.

Setelah peristiwa Cikini 1957 pergolakan daerah semakin meningkat dan menunjukkan upaya untuk melepaskan diri dari NKRI. Selain di Sumatera terjadi pergolakan yang serupa di Makassar dengan terbentuknya Dewan Lambung Mangkurat dan di Manado ada Dewan Manguni.

b.       Proses pemberontakan

Banyaknya pemberontakan yang terjadi ternyata melemahkan kabinet Ali Sastroamidjojo II yang akhirnya menyerahkan mandat kekuasaan pemerintahan kepada presiden. Keadaan yang semakin tidak menentu itu kemudian Sukarno menyatakan bahwa negara dalam keadaan bahaya. Sukarno kemudian mengajak partai politik untuk membentuk pemerintahan yang baru. Sukarno menunjuk Ir. Juanda untuk menjadi perdana menteri dalam kabinet karya.

Sementara itu pimpinan Dewan Manguni di Manado yang bernama Letnan Kolonel Ventje Sumual memproklamirkan berdirinya Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957. Pendirian organisasi yang akan memisahkan diri dari NKRI itu ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur. Tidak beberapa lama di Sumatera diproklamasikan juga Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) oleh Kolonel Ahmad Husain yang merupakan pimpinan Dewan Banteng pada 15 Februari 1958.

Pada tanggal 10 Februari 1958 Kolonel Ahmad Husain berpidato kepada masyarakat dengan mengultimatum pemerintah yang isinya 1). Kabinet Juanda harus menyerahkan mandatnya kepada presiden dalam waktu 5 x 24 jam atau presiden yang mencabut mandat tersebut. 2). Presiden menugaskan Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX untuk membentuk kabinet nasional.

Mendapat ancaman tersebut pemerintah langsung mengambil langkah tegas yaitu memecat dengan tidak hormat semua pimpinan gerakan separatis tersebut. Sedangkan Mayor Jenderal AH. Nasution selaku KSAD membekukan komando daerah militer Sumatera serta mengambil alih garis komando secara langsung.

 

c.       Penumpasan pemberontakan

Untuk menumpas pemberontakan itu pemerintah melakukan operasi militer dengan melibatkan dari berbagai kesatuan laut darat dan udara. Pasukan gabungan yang diberi nama Operasi 17 Agustus itu dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani.

Tujuan operasi adalah menumpas segala bentuk gerakan separatis dan mencegah campur tangan kekuatan asing yang sering kali berdalih melindungi bisnis warga negaranya di Pekanbaru. Akhirnya tokoh-tokoh PRRI termasuk Ahmad Husain menyerahkan diri setelah terdesak oleh operasi militer.

Sementara itu untuk menumpas gerakan Permesta pemerintah melancarkan operasi militer yang diberi nama Operasi Merdeka pada bulan April 1958 di bawah komando Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Saat operasi dilaksanakan TNI menemukan bukti adanya keterlibatan pihak asing dalam gerakan tersebut yaitu salah satu pesawat asing ditembak jatuh oleh pasukan TNI di perairan Ambon. Pesawat itu milik Amerika Serikat dan pilotnya AL. Pope yang juga diyakini sebagai agen CIA.

Satu persatu TNI berhasil merebut daerah yang dikuasai Permesta dan pada pertengahan tahun 1961 para pemimpin gerakan ini menyerah kepada pemerintah NKRI.

 

E.     Disintegrasi Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Pemberontakan G30S/ PKI

Demokrasi terpimpin diperkenalkan oleh Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan persetujuan kabinet Juanda maka UUD 1945 diberlakukan kembali untuk mencegah terjadinya kekacauan politik seperti yang sudah-sudah. Dengan tampilnya Sukarno kembali sebagai kepala negara diharapkan negara dalam keadaan kondusif tetapi pada kenyataannya negara ini tetap diuji oleh pemberontakan bahkan kali ini pemberontakannya lebih dahsyat yaitu G30 S/PKI.

a.             Latar belakang pemberontakan

Pada pemilu 1955 PKI ternyata keluar sebagai pemenang bersama dengan PNI, NU dan Masyumi. Untuk itulah PKI mulai diperhitungkan dalam perpolitikan nasional pada saat itu. Pada saat itu memang ada 3 kekuatan besar yaitu PKI yang berafiliasi komunis, Masyumi yang berafiliasi agama dan TNI sebagai alat negara. Ketiganya mempunyai kekuatan yang besar dalam percaturan politik nasional.

Untuk memenangkan persaingan dengan TNI PKI menyebarkan isu Dewan Jenderal. Dewan yang dimaksud adalah perwira-perwira Angkatan Darat yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Sukarno pada 5 Oktober 1965. Isu itu sengaja dihembuskan PKI agar Angkatan tersudut karena selama ini semua program-program PKI seperti usulan dibentuknya angkatan ke lima dimentahkan oleh Angkatan Darat.

b.             Proses pemberontakan

PKI melancarkan aksi kudetanya pada 1 Oktober 1965 di  bawah  pimpinan Letnan Kolonel Untung. Sasaran dari gerakan itu adalah perwira- perwira Angkatan Darat yang dianggap sebagai penghalang bagi PKI dalam mencapai tujuannya. Upaya penculikan dan pembunuhan terhadap perwira itu

berjalan sesuai rencana hanya saja satu perwira yang berhasil lolos yaitu Jenderal AH Nasution. Walaupun AH. Nasution lolos tetapi Ade Irma Suryani putrinya gugur bersama dengan ajudannya Pierre Tendean.

PKI melancarkan serangan tidak hanya di Jakarta tetapi juga di Yogyakarta. Perwira yang menjadi korban adalah Komandan Korem 072 Kolonel Katamso dan kepala staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugiyono.

Setelah berhasil menculik sasarannya kemudian pada tanggal 1 Oktober PKI menguasai RRI dan kantor negara telekomunikasi di Jakarta. PKI  menyiarkan berita mengenai G30S/ PKI yang telah berhasil menangkap perwira- perwira Angkatan Darat anggota Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.

c.             Penumpasan pemberontakan

Di bawah komando Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto operasi penumpasan dilakukan dengan cepat. Adapun dilakukan langkah-langkah:

1.               Pada 1 Oktober 1965 pasukan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo berhasil merebut kembali studio RRI dan Kantor Negara Telekomunikasi di Jakarta.

2.               Pada 3 Oktober 1965 pasukan RPKAD menemukan sumur yang menjadi lokasi pembuangan jenazah perwira AD yang diculik atas bantuan seorang perwira polisi Sukitman. Sukitman ikut diculik karena memergoki para pelaku saat sedang melakukan penculikan kepada Mayor Jenderal DI. Panjaitan. Sukitman tidak terbunuh karena berhasil lolos dari Lubang Buaya.

3.               Pada 4 Oktober 1965 Panglima Kostrad Mayor Jenderal Suharto memerintahkan untuk melakukan penggalian dan pengangkatan jenazah kepada para perwira AD untuk selanjutnya disemayamkan dahulu di markas besar Angkatan Darat, Jakarta.

4.               Pada 5 Oktober 1965 jenazah para perwira Angkatan Darat dimakamkan ditaman Makam pahlawan Kalibata

5.               Operasi penumpasan G30S/PKI terus dilanjutkan dengan menangkap tokoh- tokoh PKI dan membekukan semua kegiatan PKI dan ormas-ormasnya. Pada 9 Oktober 1965 Kolonel Latief berhasil ditangkap di Jakarta dan pada 11 Oktober 1965 Letnan Kolonel Untung berhasil ditangkap di Tegal Jawa Tengah.

Peristiwa G30S/PKI menyisakan kepiluan bagi bangsa Indonesia. Rakyat serentak menyatakan sikap agar PKI dibubarkan. Pada tanggal 12 Januari 1966 Front Pancasila mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan mengajukan 3 Tuntutan Rakyat (Tritura) yang berisi:

1.         Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya

2.         Bersihkan kabinet dan unsur-unsur PKI

3.         Turunnya harga

Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Sebagai pemegang Supersemar Jenderal Suharto bekerja dengan cepat yaitu:

1.         Pada 12 Maret 1966 Jenderal Suharto mengumumkan bahwa PKI dan ormas- ormasnya dibubarkan dan dilarang di wilayah seluruh Indonesia.

2.         Pada 18 Maret 1966 dilakukan penangkapan terhadap 15 menteri yang  terlibat dalam G30S/ PKI.

3.         Jenderal Suharto segera membentuk kabinet Ampera pada 28 Juli 1966 untuk mengganti kabinet 100 menteri.

Peristiwa G30S/ PKI membuat kekuasaan Presiden Sukarno jatuh. Pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno membacakan pidato pertanggungjawaban berjudul “Nawaksara” dan “Pelengkap Nawaksara” dalam sidang umum MPRS. Namun pidato tersebut ditolak karena dianggap tidak menjelaskan kebijakannya terhadap peristiwa G30S/ PKI.

Pada 23 Februari 1967 Presiden Sukarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Suharto pemegang ketetapan MPRS NO. IX/MPRS/1966. Dengan demikian berakhir semua kekuasaan Presiden Sukarno. Peristiwa ini sekaligus menandai berakhirnya demokrasi terpimpin dan lahirnya orde baru.

 

 

 

 

F.      Tokoh-tokoh Pejuang Mempertahankan Integrasi Bangsa

Upaya-upaya memecah belah bangsa dengan hadirnya banyak pemberontakan sebenarnya sangat mengancam keutuhan NKRI. Pemberontakan-pemberontakan itu akhirnya dapat diredam dan ditumpas. Keberhasilan penumpasan dan pencegahan disintegrasi ini tidak lepas dari peran para tokoh bangsa yang berjuang untuk mempertahankan integrasi bangsa. berikut tokoh-tokoh pejuang integrasi bangsa:

1.                  Sukarno

Presiden pertama Republik Indonesia tidak diragukan lagi perannya dalam mempertahankan keutuhan bangsa. Peran yang sangat fenomenal adalah ketika Sukarno memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sehingga bangsa ini kembali ke UUD 1945. Dengan demikian bangsa ini tidak terpecah-pecah dalam kepentingan politik dan ideologi. Selama hidupnya Sukarno bermimpi agar Indonesia bersatu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tidak mengherankan bahwa orang yang berpaham nasionalis ini mengerahkan segala upaya apabila bangsa Indonesia terancam disintegrasi.

2.                  Mohammad Hatta

Hatta berjuang untuk Indonesia merdeka sejak menjadi mahasiswa. Dalam peristiwa di sekitar proklamasi Hatta juga ikut dibawa pemuda ke Rengasdengklok bersama Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Hatta  dikenal sebagai pemimpin yang tenang, bijaksana dan hati-hati dalam setiap pengambilan keputusan. Hatta juga dikenal sebagai bapak koperasi Indonesia karena segala pemikiran tentang perekonomian rakyat dituangkan dalam pasal 33 UUD 1945. Tidak itu saja Hatta juga dikenal sebagai bapak peletak dasar politik luar negeri yang bebas aktif tidak condong ke blok mana pun.

3.                  Abdul Haris Nasution

Nasution merupakan tentara yang profesional. Dia salah satu tokoh pejuang integrasi. Hal ini terlihat ketika terjadi pemberontakan PKI Madiun 1948. Dengan bergerak cepat di bawah komandonya selaku Panglima Komando Jawa dapat menumpas pemberontakan hanya butuh waktu satu hari untuk penumpasan. Nasution

juga berjasa dalam penumpasan pemberontakan PRRI dan Permesta yang ingin menggoyang kewibawaan NKRI.

4.                  Ahmad Yani

Yani tergabung dalam Peta dalam memulai kariernya sebagai tentara. Yani sangat berjasa dalam penumpasan pemberontakan DI/ TII di Jawa Tengah. Keberhasilan itu ikut mengangkat namanya menjadi perwira tinggi yang diperhitungkan untuk mempertahankan bangsa dari berbagai ancaman dan gangguan untuk keutuhan NKRI.

5.                  Sultan Hamengku Buwono IX

Sultan Hamengku Buwono IX tidak diragukan lagi perannya dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Di saat Jakarta kacau balau sejak kedatangan tentara Belanda dan NICA pada 4 Januari 1946 Sultan menawarkan agar ibukota pindah ke Yogyakarta sebagai upaya agar para pemimpin bangsa dan bangsa selamat dari rong-rongan kolonial yang ingin menjajah kembali. Selama revolusi fisik antara 1946-1950 Sultan dan para pemimpin bangsa seperti Sukarno, Hatta, Syahrir dll. di Yogyakarta berjuang bahu membahu agar Indonesia tetap berdiri kokoh tidak tergoyahkan walaupun terus digempur tentara Belanda.

Dalam Serangan 1 Maret 1949 Sultan juga sangat berperan penting sehingga peristiwa itu dapat menyadarkan dunia Internasional bahwa Indonesia masih ada karena selama ini digembar-gemborkan Belanda bahwa Indonesia sudah terhapus karena pemimpinnya sudah ditangkap dan diasingkan. Perannya sebagai menteri pertahanan ikut memelihara keutuhan bangsa baik mempertahankan NKRI dari penjajahan Belanda maupun keutuhan NKRI dari setiap pemberontakan- pemberontakan yang pernah terjadi di tanah air.

 

 

G.    Perkembangan Politik Pada Masa Awal Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, tanggal 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI Sukarno dan Hatta ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Dalam revolusi fisik antara 1946-1950 itu tantangan politik dan ekonomi masih terasa sangat berat bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi kedatangan tentara sekutu dan NICA yang masih ingin menguasai kembali Indonesia dengan serangan agresi Belanda I dan II serta perundingan-perundingan yang hasilnya menguntungkan pihak Belanda.

Disisi lain hasil-hasil perundingan itu ternyata tidak memuaskan semua pihak terutama para tokoh-tokoh bangsa Indonesia sehingga timbul rasa tidak puas yang akhirnya memunculkan rasa tidak percaya dan berujung pada pemberontakan- pemberontakan di daerah-daerah. Dengan demikian pemerintahan harus bekerja keras untuk menghadapi bangsa asing dan menghadapi bangsa sendiri yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Untuk menjaga agar pemerintahan berjalan dengan baik Sukarno membentuk kabinet yang pertama yang dinamakan kabinet presidensial. Kabinet ini diketuai oleh Presiden Sukarno dengan masa jabatan 4 September sampai dengan 14 November 1945.

Kabinet pertama tidak berlangsung lama. Pada 14 November 1945 dibentuk kabinet Republik Indonesia yang kedua dengan Sutan Syahrir sebagai perdana

menterinya. Selama ibukota RI dan para pemimpin bangsa pindah ke Yogyakarta sejak 4 Januari 1946 Sutan Syahrir tetap di Jakarta untuk mempermudah hubungan dengan dunia Internasional.

Sutan Syahrir akhirnya menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri karena perundingan yang dijalankan dengan Belanda tidak mendapat dukungan dari semua pihak. Ketika pembentukan kabinet yang ketiga Sukarno kembali membujuk Syahrir agar menjadi perdana menteri. Akhirnya Syahrir menyanggupinya sehingga disebut kabinet Syahrir II. Kabinet ini berakhir pada 2 Oktober 1946.

Selanjutnya dibentuk kabinet keempat yaitu Kabinet Syahrir III yang berlangsung

2 Oktober 1946 sampai dengan 3 Juli 1947. Pada tanggal yang sama presiden mengeluarkan maklumat Nomor 6/1947 yang isinya menetapkan kekuasaan sepenuhnya berada ditangan presiden. Melalui maklumat tersebut akhirnya kabinet Syahrir III masuk masa demisioner.

Pada 3 Juli 1947 dibentuk kabinet yang kelima yang berlangsung 3 Juli 1947 sampai dengan 11 November 1947 dengan Amir Syarifuddin sebagai perdana menterinya. Program kabinet ini sebenarnya melanjutkan program kabinet sebelumnya.

Pada 11 November 1947 dibentuk kabinet yang keenam dengan Amir Syarifuddin tetap sebagai perdana menterinya. Akhirnya kabinet dinyatakan demisioner setelah pada 29 Januari 1948 mundurnya 5 orang menteri dari Masyumi.

Pada 29 Januari 1948 dibentuk kabinet ketujuh dengan Moh. Hatta sebagai perdana menterinya. Kabinet ini akhirnya berakhir pada 4 Agustus 1948. Memang kondisi politik pada saat itu masih dalam konflik antara Indonesia dengan Belanda dan berbagai pemberontakan di tanah air.

Ketika terjadi Agresi militer Belanda II di Yogyakarta dan para pemimpin ditangkap dan diasingkan dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi. Maka dibentuklah kabinet PDRI berdasar instruksi presiden kepada Syarifuddin Prawiranegara yang dikirim dari Yogyakarta sesaat sebelum tentara menawan para pemimpin. Kabinet PDRI ini dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara dan berakhir pada 13 Juli 1949.

Pada 13 Juli 1949 dibentuk kabinet yang kedelapan dengan Hatta sebagai perdana menterinya. Program kabinet ini menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat itu yang baru menghadapi agresivitas Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.

Pada 20 Desember 1949 sampai dengan 21 Januari 1950 dibentuk kabinet ke sembilan yang dipimpin oleh Mr. Susanto Tirtoprojo. Dia adalah seorang kepala kabinet yang berperan penting dalam transisi RI ke RIS. Kabinet ini bekerja di bawah perdana menteri Moh. Hatta.

Ketika Indonesia menjadi bagian dari RIS dibentuk kabinet yang kesepuluh di bawah kepemimpinan dr. A. Halim. Kabinet ini bertugas 21 Januari sampai dengan 6 September 1950. Akhirnya usia kabinet ini berakhir seiring dengan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia pada bulan September 1950.

 

H.    Perkembangan Politik dan ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal

Hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah salah satunya terbentuknya negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Sebenarnya Belanda membentuk negara federal ini bertujuan untuk melemahkan integrasi bangsa sebagai negara kesatuan.

Seiring berjalan waktu ternyata banyak negara-negara bagian yang ingin menggabungkan diri menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada 15 Agustus 1950 perdana menteri kabinet RIS, Moh. Hatta menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri kepada Presiden Sukarno dan pada 17 Agustus 1950 dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Setelah berakhirnya pemerintahan RIS pada 1950 sebenarnya Indonesia masih menggunakan model pemerintahan demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen. Saat itu presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara.

Pada kurun waktu pemerintahan antara tahun 1950 sampai dengan 1959 memang sering terjadi pergantian kabinet. Kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri itu sering jatuh bangun karena adanya mosi tidak percaya dari para oposisi politiknya. Adapun kabinet yang pernah memerintah pada masa demokrasi liberal sebagai berikut:

1.       Kabinet Natsir (Masyumi) memerintah 6 September 1950 sd. 21 Maret 1951.

2.       Kabinet Sukiman (Masyumi) memerintah 27 April 1951 sd. 3 April 1952.

3.       Kabinet Wilopo (PNI) memerintah 3 April 1952 sd. 3 Juni 1953.

4.       Kabinet Ali Sastroamidjojo I (koalisi PNI dan NU) memerintah 31 Juli 1953 sd. 12 Agustus 1955.

5.       Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) memerintah 12 Agustus 1955 sd. 3 Maret 1956.

6.       Kabinet Ali Sastroamidjojo II (koalisi PNI, Masyumi, NU) memerintah 20 Maret 1956 sd. 4 Maret 1957.

7.      Kabinet Juanda (non politik) memerintah 9 April 1957 sd. 5 Juli 1959.

 

 

Tentu saja jatuh bangunnya kabinet-kabinet ini sangat tidak memberi kenyamanan kepada perdana menteri yang memerintah. Jatuh bangunnya kabinet ini karena  adanya rasa mosi tidak percaya akibat pemerintahan dianggap gagal dalam menangani berbagai peristiwa yang terjadi. Contoh misalnya jatuhnya kabinet Wilopo yang harus mengakhiri pemerintahannya karena dianggap gagal dalam menyelesaikan kasus 17 Oktober 1952.

Padahal kasus itu disebabkan oleh ulah beberapa perwira Angkatan Darat yang melakukan protes dan meminta kepada presiden Sukarno agar parlemen dibubarkan karena dianggap mencampuri kegiatan intern AD dan ada indikasi korupsi di tubuh parlemen. Tentu saja Sukarno menolak membubarkan parlemen sesuai tuntutan perwira Angkatan Darat karena jika itu dilakukan berarti presiden melakukan tindakan otoriter. Kasus itu semakin runcing setelah Sukarno menonaktifkan Nasution sebagai KSAD diganti oleh Kolonel Bambang Sugeng karena dianggap bersalah melakukan kudeta kecil terhadap Presiden Sukarno. Akhirnya Nasution setelah beberapa tahun tidak aktif diberi jabatan lagi di dinas ketentaraan sehingga lambat laun kasus penyidikan kudeta kecil itu dihentikan.

Demokrasi terpimpin adalah sistem demokrasi yang semua keputusan dan pemikiran terpusat pada pemimpin yakni Presiden Sukarno. Masa demokrasi terpimpin berlangsung mulai 1959 sampai dengan 1965 saat kekuasaan Sukarno tumbang ditangan Orde Baru.

Perkembangan ekonomi pada masa demokrasi liberal sungguh lambat karena berbagai permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang muncul tidak lepas dari beberapa hal yaitu:

1.  Setelah pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi  dan keuangan yang cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar diantarinya bangsa Indonesia harus menutup kerugian perang dari pihak Belanda selama perang revolusi fisik.

2.  Ketidakstabilan politik akibat jatuh bangunnya kabinet menyedot banyak anggaran di samping untuk mengatasi biaya anggaran operasional dalam penumpasan pemberontakan di daerah-daerah.

3.  Ekspor hanya tergantung kepada perkebunan sedangkan angka pertambahan penduduk semakin tajam.

 

I.       Perkembangan Politik dan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin

 

Landasan adanya demokrasi terpimpin ditafsirkan dari sila keempat Pancasila. Menurut ketetapan MPRS demokrasi terpimpin adalah demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikah musyawarah untuk mufakat secara gotong royong di antara semua kekuatan nasional yang progresif-revolusioner dengan berporos pada nasionalisme, agama dan komunis (Nasakom) sebagai kekuatan nasional.

Ada tiga hal yang melatarbelakangi Presiden Sukarno menerapkan demokrasi terpimpin yaitu:

1.       Dari sudut pandang politik, Konstituante dianggap gagal dalam menyusun UU baru untuk menggantikan UUD Sementara 1950.

2.       Dari sudut pandang keamanan nasional, pada masa demokrasi liberal banyak terjadi gerakan spiritis di berbagai daerah yang mengancam integrasi bangsa dan ketidakstabilan keamanan negara.

3.       Dari sudut pandang perekonomian nasional, sering terjadinya pergantian kabinet menyebabkan program-program yang telah dirancang kabinet tidak bisa dijalankan secara maksimal. Akibatnya pembangunan ekonomi tidak lancar.

Berdasar dari tiga hal tersebut maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno membubarkan parlemen sekaligus menyatakan kembali pada UUD 1945. Sukarno kemudian membentuk kabinet kerja dengan dirinya bertindak sebagai perdana menteri.

Kabinet ini kemudian dilantik pada 10 Juli 1959 dengan program kerjanya tri program kabinet kerja. Tugas kabinet ini adalah mengatasi masalah sandang, pangan serta meningkatkan keamanan di dalam negeri dan mengembalikan beberapa wilayah negara ke pangkuan NKRI misalnya Irian Barat.

Dalam demokrasi terpimpin itu, Presiden Sukarno menerapkan sistem politik keseimbangan. Hal ini diterapkan di lingkungan partai-partai politik dan pertahanan negara. Presiden juga mengambil langsung pimpinan tertinggi angkatan militer dengan membentuk komando operasi tertinggi (Koti).

Perkembangan politik pada masa demokrasi terpimpin seluruhnya terpusat pada presiden Sukarno dengan TNI Angkatan Darat dan PKI sebagai pendukung utamanya. Untuk itulah PKI saat itu berkembang sangat pesat karena sebagai pendukung utama

Presiden Sukarno. Perkembangan pesat PKI ini tentu saja tidak disukai Angkatan Darat karena akan memperkecil pengaruhnya terhadap Presiden Sukarno sehingga antara AD dengan PKI sering bertolak belakang dalam pengambilan kebijakan.

Pada masa itu Sukarno menandaskan pentingnya konsep persatuan antara nasionalis, agama dan komunis yang disingkat menjadi Nasakom. Tentu saja dampak dari konsep ini sangat menguntungkan PKI karena partai ini ikut berbicara banyak dalam setiap pengambilan keputusan presiden yang tentu saja diharapkan menguntungkan partai itu.

Meski banyak menuai protes, Presiden Sukarno semakin mempertegas konsep Nasakom. Hal ini disampaikan dalam pidato pada 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan kembali revolusi kita”. Naskah pidato itu kemudian diserahkan kepada panitia kerja Dewan Pertimbangan Agung yang ketika itu dipimpin oleh DN. Aidit, seorang pimpinan PKI. Naskah itu kemudian dirumuskan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta selanjutnya diberi judul “Manifesto Politik Republik Indonesia” yang kemudian dikenal sebagai Manipol.

Pengaruh PKI semakin kuat dalam demokrasi terpimpin. Hal ini terlihat dari kebijakan luar negeri Presiden Sukarno yang cenderung memihak pada Tiongkok atau blok Komunis sehingga konsep negara non-blok mulai ditinggalkan. Keadaan ini terus berlangsung sehingga menimbulkan peristiwa yang menggemparkan tanah air yaitu terjadinya peristiwa G30 S/ PKI yang akhirnya menjatuhkan Sukarno dari kekuasaannya dan digantikan oleh Orde Baru.

Pada masa demokrasi terpimpin perekonomian diatur langsung oleh pemerintah. Kegiatan perekonomian yang diatur itu banyak mengabaikan prinsip ekonomi. Akibatnya terjadi defisit keuangan negara yang meningkat tajam dari tahun ketahuan. Contohnya pada Januari sampai dengan Agustus 1965 pengeluaran negara tercatat sebesar 11 miliar rupiah, sedangkan penerimaan negara sebesar 3,5 miliar rupiah. Bahkan pada tahun 1961 sampai 1962 harga-harga barang pada umumnya mengalami kenaikan hingga 400%. Kondisi ini semakin diperparah dengan berlangsungnya konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat yang semakin mempercepat kemerosotan perekonomian Indonesia.

Salah satu solusi pemerintah mengatasi kemerosotan ekonomi di antaranya menerapkan kebijakan dalam bidang moneter. Pada 13 Desember 1965 melalui penetapan Presiden Nomor 27 tahun 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi, yaitu  kebijakan untuk menekan inflasi. Pemerintah menggunting uang senilai Rp. 1.000 menjadi Rp.1.

Dampak dari kebijakan ini bukan menambah baik tetapi semakin meningkatkan inflasi. Kebijakan ini semakin parah setelah nilai ekspor rendah sedangkan kegiatan impor dibatasi karena lemahnya devisa negara. Akibatnya perekonomian menjadi limbung sehingga menambah penderitaan rakyat.

 

J.      Perbandingan Kebijakan Politik Pada Masa Demokrasi Liberal dan Terpimpin

Ada beberapa perbedaan antara demokrasi liberal dengan demokrasi terpimpin

yaitu:

1.       Masalah Kedaulatan negara

Pada masa demokrasi liberal kedaulatan negara ada ditangan DPR atau parlemen. Bahkan DPR dapat membubarkan dan membentuk pemerintahan dan kabinet (eksekutif). Sedangkan pada demokrasi terpimpin kedaulatan negara sepenuhnya ditangan presiden. Bahkan seorang presiden dapat membentuk MPRS dan DPR Gotong Royong.

2.       Masalah pembagian kekuasaan

Pada masa demokrasi liberal kekuasaan DPR (Legislatif) lebih kuat jika dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah/ kabinet (eksekutif). DPR dapat membubarkan dan menghentikan pemerintah/ kabinet. Sementara itu fungsi presiden hanya sebagai kepala negara. Sedangkan dalam demokrasi terpimpin kekuasaan presiden (eksekutif) menjadi sangat dominan sehingga mampu membubarkan dan membentuk DPR. Di samping itu jabatan presiden ditetapkan seumur hidup sehingga tidak dapat diberhentikan oleh MPRS.

3.       Masalah pengambilan keputusan

Pada masa demokrasi liberal semua pengambilan keputusan berada ditangan DPR dengan mekanisme keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin pengambilan keputusan dilaksanakan oleh MPRS dan DPR-GR serta berdasarkan suara bulat.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More