Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sejak dikelarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 telah memungkinkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin D.N Aidit untuk memperluas pengaruhnya dalam pencaturan politik di Indonesia.
Kondisi sosial, politik dan ekonomi nasional yang tidak menentu
berhasil dimanfaatkan oleh PKI hanya dengan membangun
simpati di tengah masyarakat lapisan bawah yang mengalami
tekanan berat.
Dari beberapa polemik G30S/PKI, terdapat beberapa versi yang
terungkap, namun masih harus diuji kebenarannya. Adapun
beberapa versi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertama, versi yang menyebutkan PKI adalah dalang
dari peristiwa Gerakan 30 September. Penganut versi tersebut
berpendapat bahwa PKI telah membangun kekuatan secara
sistematis. Termasuk menginfiltrasi clan memperalat oknum-
oknum
ABRI dalam rangka menghancurkan kelompok penentangnya.
Bukti pendukung versi ini adalah kehadiran Biro khusus yang
dipimpin oleh Syam Kamaruzaman, sebuah organ rahasia clan
nonstructural di bawah D.N. Aidit. Bukti lain adalah dukungan
terbuka dari surat kabar “Harian Rakyat” pads 2 Oktober terhadap
Gerakan 30 September. Selain itu, bukti versi ini diperkuat oleh
adanya pengakuan dari para pemimpin PKI di depan Mahkamah
Militer luar Biasa (Mahmilub). Njono, misalnya mengaku agar
anggota ormas PKI dilatih sebagai tenaga cadangan. Versi ini
terdapat dalam “buku putih” yang dikeluarkan oleh Sekretariat
Negara Republik Indonesia maupun buku-buku sejarah yang
diajarkan disekolah-sekolah.
Menurut hasil kesimpulan pembelaan Nyono dimuka Mahmilub
pada tanggal 19 Februari 1966, PKI-lah yang berada dibalik G30S,
dengan dalih membela Presiden Soekarno, secara pribadi maupun
untuk mengamankan “REVOLUSI” yang sedang dijalankan
Presiden Soekarno. Peristiwa G30S merupakan puncak dari
aksi revolusi atau kudeta PKI di Indonesia, yang sebelumnya
sudah didahului dengan berbagai aksi kekerasan (pembunuhan)
terhadap warga masyarakat diberbagai wilayah indonesia, yang
menentang keberadaan komunis (PKI).
Bukti kesaksian Menlu Subandrio yang sekaligus kepala BPI
(Badan Pusat Intelejen) mengatakan bahwa D.N Aidit dan Untung
Sotopo terlibat dalam aksi G30S, dimana kedua orang tersebut
adalah tokoh-tokoh utama PKI. Tetap dengan dalih yang sama,
seperti pengakuan Nyono, bahwa ada Dewan Jenderal yang
berniat menggulingkan kepemimpinan Presiden Soekarno. Namun
kalau Nyono jelas-jelas mengatakan bahwa PKI yang membasmi
Dewan Jenderal demi alasannya.
Kegagalan G30S/PKI merupakan pukulan yang paling telak bagi
sejarah perjuangan kaum komunis di Indonesia. Kehancuran
kekuatan militer G30S/PKI membuat D.N. Aidit lari ke Jawa
Tengah sedangkan Sjam, Pono dan Brigjen Suparjo mundur
kebasis camp didaerah perkebunan Pondok Gede. Pada tanggal
3 Oktober 1965, Sjam dan Pono menghadap Sudisman untuk
memberikan keterangan tentang gagalnya PKI di Kayu Awet,
Rawamangun, Jakarta. Setelah mendengar laporan tersebut,
Sudisman memerintahkan Pono untuk pergi ke Jawa Tengah
untuk melaporkan situasi terakhir di Jakarta kepada D.N. Aidit.
Pada hari yang sama, D.N. Aidit di Jawa Tengah telah
memerintahkan Pono kembali ke Jakarta membawa instruksi lisan
kepada Sudisman dan sepucuk surat kepada Presiden Soekarno.
Instruksi kepada Sudisman adalah agar anggota-angota CC PKI
yang masih ada di Jakarta melakukan upaya penyelamatan partai
dan Nyono dapat mewakili D.N. Aidit menghadiri Sidang Kabinet
Paripurna di Bogor pada taggal 8 Oktober 1965. Aidit beralasan,
dirinya tidak dapat menghadiri sidang itu karena tidak adanya
transportasi ke Bogor dari Jawa Tengah.
Dalam Sidang Paripurna di Bogor tanggal 8 Oktober 1965, Nyono
membacakan teks yang intinya menyebutkan bahwa bahwa
PKI sama sekali tidak terlibat dalam apa yang disebut gerakan
30 September 1965. Secara rahasia, beberapa pentolan PKI
juga mengadakan rapat yang membahas serangkaian peristiwa
terahir setelah serangkaian G30S PKI dan melakukan konsolidasi
partai. tanggal 12 Oktober 1965, dirumah Dargo, tokoh PKI Solo,
dilakukan rapat gelap antara D.N. Aidit, Pono dan Munir (anggota
PKI yang baru tiba dari Jawa Timur).
Dalam rapat itu dikatakan bahwa kegagalan gerakan September
akan membuka kedok keterlibatan PKI. Keberadaan PKI
melakukan perjuangan secara parlementer sudah tidak mungkin
dilakukan lagi. Munir melakukan usulan untuk dilakukan gerakan
bersenjata, usulan Munir pada prinsipnya disetujui oleh peserta
rapat. Aidit menugaskan Ponjo untuk meneliti daerah mana
saja yang memungkinkan untuk dijadikan basis PKI guna
melaksanakan perjuangan bersenjata, daerah yang diusulkan
untuk ditinjau adalah Merapi, Merbabu serta Kabupaten Boyolali,
Semarang dan Klaten.
Belum lagi kegiatan itu direalisasikan, gerakan pasukan RPKAD
telah memasuki kota Solo. Walau PKI berusaha melawan, namun
pada operasi pembersihan yang dilakukan RPKAD di Boyolali, DN
Aidit terbunuh. Kejadian demi kejadian berlangsung dengan
amat cepat. Rakyat sudah tidak percaya lagi pada PKI. Rakyat
bersama-sama dengan mahasiswa dan militer yang masih setia
pada konstitusi negara merapatkan barisan dan bergabung dalam
satu front melawan PKI. ahirnya legalisasi PKI sudak tidak mampu
dipertahankan oleh pengikutnya.Lewat ketetapan MPRS-RI.
NO.XXV/MPRS/1966, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai
organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Bukan itu saja, lewat ketetapan yang sama, paham Komunis dan
Marxis-Leninisme dinyatakan haram berada di negara Indonesia.
2. Kedua, ada versi yang menyebutkan bahwa dalang dari
peristiwa Gerakan 30 September merupakan akibat dari konflik
intern di dalam tubuh Angkatan Darat. Versi ini dikemukakan oleh
Ben Anderson clan Ruth Mc Vey dalam kertas kerjanya yang
kemudian dikenal sebagai Cornell Paper. Dalam versi ini kedua
ahli tersebut menyatakan bahwa PKI tak memiliki motif melakukan
kudeta karena saat itu situasi politik sangat menguntungkan PKI.
Oleh karena itu, upaya terbaik PKI adalah mempertahankan status
quo clan sebaliknya bukan mengacaukannya dengan peristiwa
berdarah yang akan merugikan posisinya.
Dalam pandangan versi ini, peristiwa Gerakan 30 September
adalah puncak kekecewaan dari berbagai perwira menengah Jawa
atas kepemimpinan di AD. Para perwira “progresif” itu menilai
bahwa para jendral AD “telah disilaukan oleh kehidupan Jakarta
yang gemerlap” sehingga perlu “diingatkan”.
3. Ketiga, ada yang menyebutkan bahwa Letjen Soeharto
adalah orang yang sesungguhnya berada dibalik peristiwa
Gerakan 30 September. Mereka lantas menyodorkan sejumlah
fakta. Sebagai Panglima Kostrad ia adalah jendral yang biasa
mewakili Panglima AD bila yang bersangkutan pergi ke luar negeri
dan pemegang komando pasukan. Namun, dalam posisi itu,
Soeharto tak masuk dalam daftar korban penculikan. Logikanya,
pihak lawan harus mengutamakan pembersihan terhadap
orang-orang yang memiliki pasukan dan memegang komando.
Kecuali bila ia dianggap sebagai “kawan” atau setidak-tidaknya
diperkirakan akan bersimpati terhadap gerakan tersebut.
Dikatakan bahwa Soeharto adalah orang yang haus akan
kekuasaan, dapat dilihat ketika ia berturut-turut menjadi Presiden
sampai 32 tahun lamanya. Pada saat itu, halangan Soeharto untuk
mencapai tampuk kekuasaan adalah senior-senior AD-nya dan
PKI yang dekat dengan Soekarno. G30S adalah cara bagus untuk
menyingkirkan dua musuhnya sekaligus. Dengan terbunuhnya
panglima-panglima AD, ia memiliki alasan untuk membasmi PKI
yang dituduh melakukannya. Kedekatannya pada Letkol Untung,
pelaksana lapangan operasi G30S, membuat tuduhan terhadap
dirinya semakin nyata. Setelah Orde Baru berakhir, banyak sekali
buku yang terbit mengacu pada G30S/Soeharto. Belum memiliki
bukti, yang terdapat di sana hanyalah berupa prediksi-prediksi
yang logis.
4. Keempat, versi lain yang menyebutkan bahwa Gerakan
30 September terjadi karena adanya campur Langan Bari Central
Intelligence Agency (CIA). Dinas intelejen Amerika Serikat itu
dianggap memprovokasi PKI agar melakukan kudeta. Tapi, kudeta
itu dikondisikan sedemikian rupa supaya berlangsung secara
premature. Dengan begitu, PKI bisa langsung dihancurkan.
Pada saat Perang Dingin, kepentingan AS jelas sekali, yaitu untuk
mencegah sebuah negara menjadi negara komunis atau pro-
komunis. Hal ini telah terbukti pada intervensinya di Korea maupun
Vietnam. PKI pada saat itu merupakan partai komunis terbesar
ketiga di dunia. Setelah operasi G30S berhasil menyingkirkan
PKI (komunis) dan juga Soekarno (anti barat), Indonesia Orde
Baru menggandeng erat kapitalisme AS. Artinya, dari hasil yang
ditimbulkan, adalah sangat masuk akal bahwa CIA/AS adalah
dalang di balik ini semua.
Versi ini dikemukakan oleh Peter Dale Scott, guru besar
Universitas California, Amerika Serikat. Namun, menurut Audrey
dan George Mc Turner Kahin dalam buku “Subversion as a
Foreign Policy”, pihak Inggrislah yang paling memiliki motif untuk
medesakkan perubahan politik di Indonesia. Alasannya, dengan
perubahan politik, Inggris tidak perlu lagi mengucurkan dana
besar-besaran untuk mempertahankan Malaysia dari politik
confrontasi yang saat itu dijalankan pihak Indonesia.
5. Kelima, versi yang menyebutkan bahwa peristiwa Gerakan
30 September adalah sebuah skenario Presiden Soekarno untuk
melenyapkan oposiosi dari Para perwira tinggi yang menentang
sikap politiknya. Versi ini dikemukakan oleh Anthony Dake,
sejarawan Amerika Serikat. Kesimpulan tersebut didasarkan atas
kesaksian Bambang Widjonarko, ajudan Presiden, di Mahmilub.
Pihak Amerika Serikat juga percaya dengan versi tersebut,
terutama karena kemunculan Soekarno di Pangkalan Halim
Perdanakusuma, perlindungannya kepada sejumlah pemimpin
PKI, dan ketidakmampuannya untuk memperlihatkan simpati atas
terbunuhnya pars jendral.
6. Dan versi terakhir yang menyebutkan bahwa Presiden
Soekarno ikut campur dalam peristiwa Gerakan 30 September.
Menurut Prof CA Dake, Presiden Soekarno-lah yang menjadi
mastermind, bukan PKI, bukan pula Soeharto. Dake juga
menepis tuduhan banyak pihak bahwa Amerika berkonspirasi
dengan jenderal-jenderal kanan untuk menggulingkan kekuasaan
Soekarno. bahkan menyebut Presiden Soekarno sebenarnya
mengetahui rencana PKI sebelumnya. Sebagai indikasi, adanya
“Surat rahasia” yang diberikan kepada Presiden Soekarno di seta-
seta scars pertemuan persatuan ahli teknik di Senayan, Jakarta
pada 30 September 1965. Surat tersebut konon berasal dart
kolonel Untung Sutopo.
Versi ini terdapat dalam kumpulan clokumen’ CIA yang diterbitkan
pads 1995, yaitu “The Coup that Backfired” .Dokumen tersebut
juga menyebutkan adanya pertemuan antara Brigjen Sugandhi,
Kepala Penerangan Hankam, dan Presiden Soekarno pada 30
September 1965 Siang. Dalam pertemuan itu, Brigjen Sugandhi
memberitahukan tentang rencana kudeta PKI yang diketahuinya
dari pembicaraannya dengan D.N. Aidit dan Sudisman. Tap!,
konon, Presiden Soekarno justru marsh dan menyebut Sugandhi
sebagai seorang komunisfobia. Presiden Soekarno kemudian
memerintahkan Sugandhi untuk tutup mulut.
Lebih jauh W.F. Wertheim, sejarawan Belanda, mengatakan
Soeharto memiliki hubungan dengan semua perwira AD yang
terlibat Gerakan 36 September. Misalnya, Kolonel Untung Sutopo
dan Kolonel Latief yang merupakan bekas anak bush clan dikenal
dekat dengan Soeharto. Keterangan Soeharto yang berubah-
ubah juga membangkitkan rasa curiga. Dalam wawancara dengan
majalah “Der Spiegel”, Juni 1970, Soeharto mengaku s-Mpat
berbincang dengan Kolonel Latief di RSPAD Gatot Subroto pads
30 September malam.
Namun, dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan
Saya,” Soeharto menyatakan hanya melihat Kolonel Latief dari
kejauhan. Berdasarkan pengakuan dari Kolonel Latief sendiri
disebutkan bahwa memang pads malam itu ia bertemu dan
melaporkan tentang rencana penculikan Para jendral AD kepada
Soeharto. Namun, Soeharto tidak mengambil tindakan.
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat
(CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965
menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan
para pemimpin anti-komunis bahwa ia masih membutuhkan
dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia
tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu “giliran PKI akan tiba. Soekarno berkata,
“Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu.
... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya
akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang.” Pelaksana
langsung operasi G30S adalah pasukan Cakrabirawa (pasukan
penjaga keamanan Presiden) yang dipimpin oleh Letkol Untung.
Karena merasa dirinya akan dikudeta oleh jendera-jenderalnya,
ia mengambil tindakan pencegahan dengan memerintahkan
Cakrabirawa untuk membereskan mereka.
Pertanyaan apakah Soekarno terlibat atau mendalangi G30S,
sebetulnya sudah dijawab Jenderal Soeharto pada Maret 1967
dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Sementara). Dalam pidato itu Soeharto selaku pemegang
Supersemar mengemukakan, Bung Karno tidak dapat digolongkan
sebagai penggerak langsung, dalang, atau tokoh G30S/PKI.
Kesimpulan itu didasarkan empat fakta yaitu :
1. Pertama, laporan mantan Men/Pangau Laksamana Madya
Omar Dani 29 September 1965 mengenai adanya rasa tidak puas
sejumlah perwira muda anak buah Brigjen Soepardjo terhadap
pimpinan AD. Atas laporan itu, Presiden memerintahkan Omar
Dani dan Soepardjo untuk menghadap lagi pada 3 Oktober 1965.
2. Kedua, laporan Brigjen Sugandhi kepada Presiden
Soekarno pada 30 September 1965 bahwa PKI mungkin akan
melakukan coup. Atas laporan itu, Presiden memarahi dan
memperingatkan Sugandhi.
3. Ketiga, pada 30 September 1965 malam setelah
mengunjungi Mubestek (Musyawarah Besar Teknik) di Istora
Senayan, Presiden tidak bermalam di Istana, tetapi di rumah Ny
Sari Dewi di Jalan Gatot Subroto. Pagi harinya, 1 Oktober sekitar
pukul 06.00, Presiden bermaksud kembali ke Istana setelah
minta pertimbangan dari pengawal dan mendapat laporan singkat
mengenai peristiwa pagi itu.
4. Keempat, pada 30 September 1965 Presiden memanggil
Jenderal Yani untuk menghadap pada 1 Oktober 1965.
Rencananya akan membahas lagi tentang keberadaan Dewan
Jenderal.
Dake menulis (dalam Sukarno File), penciutan staf Kedubes AS
di Jakarta sebagai salah satu bukti ketidakterlibatan Washington.
Itu keliru. Pengurangan staf Kedubes AS sengaja dilakukan
dengan tujuan agar kekuatan antikomunis dan kaum ekstremis
lain di Indonesia free to handle a confrontation, which they
believe will come, without the incubus of being attacked as
defenders of the neo-colonialists and imperialists (surat Dubes
AS, Ellsworth Bunker kepada Presiden Lyndon B Johnson). Meski
ada penciutan staf kedubes, Bunker menasihati Presiden Johnson
agar Washington tetap aktif melakukan kontak rahasia dengan
constructive elements of strength in Indonesia.
Lashmar dan Oliver dalam Britain Secret Propaganda War (1987)
menulis, pada 1962 Presiden John F Kennedy dan PM Inggris
Harold Macmillan mengadakan kesepakatan rahasia bahwa
Soekarno harus dilikuidasi (baca: disingkirkan) karena dinilai telah
mengancam stabilitas Asia Tenggara, selain telah membawa
Indonesia ke gerbang komunisme.
Namun, menurut Lashmar dan Oliver, secara fisik kedua negara
Barat itu tidak berperan nyata dalam G30S. Yang digulirkan
AS dan Inggris, bersama Malaysia dan Selandia Baru, adalah
perang propaganda untuk memperlemah kekuasaan Soekarno,
memperkuat anasir-anasir kekuatan militer pro-Barat dan
memisahkan rakyat Indonesia dari PKI. Isu-isu Dewan Jenderal,
rencana AD menggulingkan kekuasaan Soekarno, sakitnya
Presiden Soekarno serta Dokumen Gilchrist, semua itu, menurut
Lashmar dan Oliver, tidak lebih hasil gemilang propaganda dan
perang urat saraf negara-negara Barat, khususnya dinas intelijen
M-16 dari Inggris.
Artikel singkat Prof Benedict R Anderson dan Ruth McVey, “What
Happened in Indonesia?” (1978), menarik dicermati. Ia pun
menggugat sangkaan keterlibatan Bung Karno. Semua orang
tahu, Aidit Ketua Umum PKI amat dekat dengan Soekarno. Semua
orang tahu jika PKI meyakini AD akan melancarkan kudeta,
terutama karena mengkhawatirkan keadaan negara jika Soekarno
wafat.
Kondisi sosial, politik dan ekonomi nasional yang tidak menentu
berhasil dimanfaatkan oleh PKI hanya dengan membangun
simpati di tengah masyarakat lapisan bawah yang mengalami
tekanan berat.
Dari beberapa polemik G30S/PKI, terdapat beberapa versi yang
terungkap, namun masih harus diuji kebenarannya. Adapun
beberapa versi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertama, versi yang menyebutkan PKI adalah dalang
dari peristiwa Gerakan 30 September. Penganut versi tersebut
berpendapat bahwa PKI telah membangun kekuatan secara
sistematis. Termasuk menginfiltrasi clan memperalat oknum-
oknum
ABRI dalam rangka menghancurkan kelompok penentangnya.
Bukti pendukung versi ini adalah kehadiran Biro khusus yang
dipimpin oleh Syam Kamaruzaman, sebuah organ rahasia clan
nonstructural di bawah D.N. Aidit. Bukti lain adalah dukungan
terbuka dari surat kabar “Harian Rakyat” pads 2 Oktober terhadap
Gerakan 30 September. Selain itu, bukti versi ini diperkuat oleh
adanya pengakuan dari para pemimpin PKI di depan Mahkamah
Militer luar Biasa (Mahmilub). Njono, misalnya mengaku agar
anggota ormas PKI dilatih sebagai tenaga cadangan. Versi ini
terdapat dalam “buku putih” yang dikeluarkan oleh Sekretariat
Negara Republik Indonesia maupun buku-buku sejarah yang
diajarkan disekolah-sekolah.
Menurut hasil kesimpulan pembelaan Nyono dimuka Mahmilub
pada tanggal 19 Februari 1966, PKI-lah yang berada dibalik G30S,
dengan dalih membela Presiden Soekarno, secara pribadi maupun
untuk mengamankan “REVOLUSI” yang sedang dijalankan
Presiden Soekarno. Peristiwa G30S merupakan puncak dari
aksi revolusi atau kudeta PKI di Indonesia, yang sebelumnya
sudah didahului dengan berbagai aksi kekerasan (pembunuhan)
terhadap warga masyarakat diberbagai wilayah indonesia, yang
menentang keberadaan komunis (PKI).
Bukti kesaksian Menlu Subandrio yang sekaligus kepala BPI
(Badan Pusat Intelejen) mengatakan bahwa D.N Aidit dan Untung
Sotopo terlibat dalam aksi G30S, dimana kedua orang tersebut
adalah tokoh-tokoh utama PKI. Tetap dengan dalih yang sama,
seperti pengakuan Nyono, bahwa ada Dewan Jenderal yang
berniat menggulingkan kepemimpinan Presiden Soekarno. Namun
kalau Nyono jelas-jelas mengatakan bahwa PKI yang membasmi
Dewan Jenderal demi alasannya.
Kegagalan G30S/PKI merupakan pukulan yang paling telak bagi
sejarah perjuangan kaum komunis di Indonesia. Kehancuran
kekuatan militer G30S/PKI membuat D.N. Aidit lari ke Jawa
Tengah sedangkan Sjam, Pono dan Brigjen Suparjo mundur
kebasis camp didaerah perkebunan Pondok Gede. Pada tanggal
3 Oktober 1965, Sjam dan Pono menghadap Sudisman untuk
memberikan keterangan tentang gagalnya PKI di Kayu Awet,
Rawamangun, Jakarta. Setelah mendengar laporan tersebut,
Sudisman memerintahkan Pono untuk pergi ke Jawa Tengah
untuk melaporkan situasi terakhir di Jakarta kepada D.N. Aidit.
Pada hari yang sama, D.N. Aidit di Jawa Tengah telah
memerintahkan Pono kembali ke Jakarta membawa instruksi lisan
kepada Sudisman dan sepucuk surat kepada Presiden Soekarno.
Instruksi kepada Sudisman adalah agar anggota-angota CC PKI
yang masih ada di Jakarta melakukan upaya penyelamatan partai
dan Nyono dapat mewakili D.N. Aidit menghadiri Sidang Kabinet
Paripurna di Bogor pada taggal 8 Oktober 1965. Aidit beralasan,
dirinya tidak dapat menghadiri sidang itu karena tidak adanya
transportasi ke Bogor dari Jawa Tengah.
Dalam Sidang Paripurna di Bogor tanggal 8 Oktober 1965, Nyono
membacakan teks yang intinya menyebutkan bahwa bahwa
PKI sama sekali tidak terlibat dalam apa yang disebut gerakan
30 September 1965. Secara rahasia, beberapa pentolan PKI
juga mengadakan rapat yang membahas serangkaian peristiwa
terahir setelah serangkaian G30S PKI dan melakukan konsolidasi
partai. tanggal 12 Oktober 1965, dirumah Dargo, tokoh PKI Solo,
dilakukan rapat gelap antara D.N. Aidit, Pono dan Munir (anggota
PKI yang baru tiba dari Jawa Timur).
Dalam rapat itu dikatakan bahwa kegagalan gerakan September
akan membuka kedok keterlibatan PKI. Keberadaan PKI
melakukan perjuangan secara parlementer sudah tidak mungkin
dilakukan lagi. Munir melakukan usulan untuk dilakukan gerakan
bersenjata, usulan Munir pada prinsipnya disetujui oleh peserta
rapat. Aidit menugaskan Ponjo untuk meneliti daerah mana
saja yang memungkinkan untuk dijadikan basis PKI guna
melaksanakan perjuangan bersenjata, daerah yang diusulkan
untuk ditinjau adalah Merapi, Merbabu serta Kabupaten Boyolali,
Semarang dan Klaten.
Belum lagi kegiatan itu direalisasikan, gerakan pasukan RPKAD
telah memasuki kota Solo. Walau PKI berusaha melawan, namun
pada operasi pembersihan yang dilakukan RPKAD di Boyolali, DN
Aidit terbunuh. Kejadian demi kejadian berlangsung dengan
amat cepat. Rakyat sudah tidak percaya lagi pada PKI. Rakyat
bersama-sama dengan mahasiswa dan militer yang masih setia
pada konstitusi negara merapatkan barisan dan bergabung dalam
satu front melawan PKI. ahirnya legalisasi PKI sudak tidak mampu
dipertahankan oleh pengikutnya.Lewat ketetapan MPRS-RI.
NO.XXV/MPRS/1966, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai
organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Bukan itu saja, lewat ketetapan yang sama, paham Komunis dan
Marxis-Leninisme dinyatakan haram berada di negara Indonesia.
2. Kedua, ada versi yang menyebutkan bahwa dalang dari
peristiwa Gerakan 30 September merupakan akibat dari konflik
intern di dalam tubuh Angkatan Darat. Versi ini dikemukakan oleh
Ben Anderson clan Ruth Mc Vey dalam kertas kerjanya yang
kemudian dikenal sebagai Cornell Paper. Dalam versi ini kedua
ahli tersebut menyatakan bahwa PKI tak memiliki motif melakukan
kudeta karena saat itu situasi politik sangat menguntungkan PKI.
Oleh karena itu, upaya terbaik PKI adalah mempertahankan status
quo clan sebaliknya bukan mengacaukannya dengan peristiwa
berdarah yang akan merugikan posisinya.
Dalam pandangan versi ini, peristiwa Gerakan 30 September
adalah puncak kekecewaan dari berbagai perwira menengah Jawa
atas kepemimpinan di AD. Para perwira “progresif” itu menilai
bahwa para jendral AD “telah disilaukan oleh kehidupan Jakarta
yang gemerlap” sehingga perlu “diingatkan”.
3. Ketiga, ada yang menyebutkan bahwa Letjen Soeharto
adalah orang yang sesungguhnya berada dibalik peristiwa
Gerakan 30 September. Mereka lantas menyodorkan sejumlah
fakta. Sebagai Panglima Kostrad ia adalah jendral yang biasa
mewakili Panglima AD bila yang bersangkutan pergi ke luar negeri
dan pemegang komando pasukan. Namun, dalam posisi itu,
Soeharto tak masuk dalam daftar korban penculikan. Logikanya,
pihak lawan harus mengutamakan pembersihan terhadap
orang-orang yang memiliki pasukan dan memegang komando.
Kecuali bila ia dianggap sebagai “kawan” atau setidak-tidaknya
diperkirakan akan bersimpati terhadap gerakan tersebut.
Dikatakan bahwa Soeharto adalah orang yang haus akan
kekuasaan, dapat dilihat ketika ia berturut-turut menjadi Presiden
sampai 32 tahun lamanya. Pada saat itu, halangan Soeharto untuk
mencapai tampuk kekuasaan adalah senior-senior AD-nya dan
PKI yang dekat dengan Soekarno. G30S adalah cara bagus untuk
menyingkirkan dua musuhnya sekaligus. Dengan terbunuhnya
panglima-panglima AD, ia memiliki alasan untuk membasmi PKI
yang dituduh melakukannya. Kedekatannya pada Letkol Untung,
pelaksana lapangan operasi G30S, membuat tuduhan terhadap
dirinya semakin nyata. Setelah Orde Baru berakhir, banyak sekali
buku yang terbit mengacu pada G30S/Soeharto. Belum memiliki
bukti, yang terdapat di sana hanyalah berupa prediksi-prediksi
yang logis.
4. Keempat, versi lain yang menyebutkan bahwa Gerakan
30 September terjadi karena adanya campur Langan Bari Central
Intelligence Agency (CIA). Dinas intelejen Amerika Serikat itu
dianggap memprovokasi PKI agar melakukan kudeta. Tapi, kudeta
itu dikondisikan sedemikian rupa supaya berlangsung secara
premature. Dengan begitu, PKI bisa langsung dihancurkan.
Pada saat Perang Dingin, kepentingan AS jelas sekali, yaitu untuk
mencegah sebuah negara menjadi negara komunis atau pro-
komunis. Hal ini telah terbukti pada intervensinya di Korea maupun
Vietnam. PKI pada saat itu merupakan partai komunis terbesar
ketiga di dunia. Setelah operasi G30S berhasil menyingkirkan
PKI (komunis) dan juga Soekarno (anti barat), Indonesia Orde
Baru menggandeng erat kapitalisme AS. Artinya, dari hasil yang
ditimbulkan, adalah sangat masuk akal bahwa CIA/AS adalah
dalang di balik ini semua.
Versi ini dikemukakan oleh Peter Dale Scott, guru besar
Universitas California, Amerika Serikat. Namun, menurut Audrey
dan George Mc Turner Kahin dalam buku “Subversion as a
Foreign Policy”, pihak Inggrislah yang paling memiliki motif untuk
medesakkan perubahan politik di Indonesia. Alasannya, dengan
perubahan politik, Inggris tidak perlu lagi mengucurkan dana
besar-besaran untuk mempertahankan Malaysia dari politik
confrontasi yang saat itu dijalankan pihak Indonesia.
5. Kelima, versi yang menyebutkan bahwa peristiwa Gerakan
30 September adalah sebuah skenario Presiden Soekarno untuk
melenyapkan oposiosi dari Para perwira tinggi yang menentang
sikap politiknya. Versi ini dikemukakan oleh Anthony Dake,
sejarawan Amerika Serikat. Kesimpulan tersebut didasarkan atas
kesaksian Bambang Widjonarko, ajudan Presiden, di Mahmilub.
Pihak Amerika Serikat juga percaya dengan versi tersebut,
terutama karena kemunculan Soekarno di Pangkalan Halim
Perdanakusuma, perlindungannya kepada sejumlah pemimpin
PKI, dan ketidakmampuannya untuk memperlihatkan simpati atas
terbunuhnya pars jendral.
6. Dan versi terakhir yang menyebutkan bahwa Presiden
Soekarno ikut campur dalam peristiwa Gerakan 30 September.
Menurut Prof CA Dake, Presiden Soekarno-lah yang menjadi
mastermind, bukan PKI, bukan pula Soeharto. Dake juga
menepis tuduhan banyak pihak bahwa Amerika berkonspirasi
dengan jenderal-jenderal kanan untuk menggulingkan kekuasaan
Soekarno. bahkan menyebut Presiden Soekarno sebenarnya
mengetahui rencana PKI sebelumnya. Sebagai indikasi, adanya
“Surat rahasia” yang diberikan kepada Presiden Soekarno di seta-
seta scars pertemuan persatuan ahli teknik di Senayan, Jakarta
pada 30 September 1965. Surat tersebut konon berasal dart
kolonel Untung Sutopo.
Versi ini terdapat dalam kumpulan clokumen’ CIA yang diterbitkan
pads 1995, yaitu “The Coup that Backfired” .Dokumen tersebut
juga menyebutkan adanya pertemuan antara Brigjen Sugandhi,
Kepala Penerangan Hankam, dan Presiden Soekarno pada 30
September 1965 Siang. Dalam pertemuan itu, Brigjen Sugandhi
memberitahukan tentang rencana kudeta PKI yang diketahuinya
dari pembicaraannya dengan D.N. Aidit dan Sudisman. Tap!,
konon, Presiden Soekarno justru marsh dan menyebut Sugandhi
sebagai seorang komunisfobia. Presiden Soekarno kemudian
memerintahkan Sugandhi untuk tutup mulut.
Lebih jauh W.F. Wertheim, sejarawan Belanda, mengatakan
Soeharto memiliki hubungan dengan semua perwira AD yang
terlibat Gerakan 36 September. Misalnya, Kolonel Untung Sutopo
dan Kolonel Latief yang merupakan bekas anak bush clan dikenal
dekat dengan Soeharto. Keterangan Soeharto yang berubah-
ubah juga membangkitkan rasa curiga. Dalam wawancara dengan
majalah “Der Spiegel”, Juni 1970, Soeharto mengaku s-Mpat
berbincang dengan Kolonel Latief di RSPAD Gatot Subroto pads
30 September malam.
Namun, dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan
Saya,” Soeharto menyatakan hanya melihat Kolonel Latief dari
kejauhan. Berdasarkan pengakuan dari Kolonel Latief sendiri
disebutkan bahwa memang pads malam itu ia bertemu dan
melaporkan tentang rencana penculikan Para jendral AD kepada
Soeharto. Namun, Soeharto tidak mengambil tindakan.
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat
(CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965
menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan
para pemimpin anti-komunis bahwa ia masih membutuhkan
dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia
tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu “giliran PKI akan tiba. Soekarno berkata,
“Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu.
... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya
akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang.” Pelaksana
langsung operasi G30S adalah pasukan Cakrabirawa (pasukan
penjaga keamanan Presiden) yang dipimpin oleh Letkol Untung.
Karena merasa dirinya akan dikudeta oleh jendera-jenderalnya,
ia mengambil tindakan pencegahan dengan memerintahkan
Cakrabirawa untuk membereskan mereka.
Pertanyaan apakah Soekarno terlibat atau mendalangi G30S,
sebetulnya sudah dijawab Jenderal Soeharto pada Maret 1967
dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Sementara). Dalam pidato itu Soeharto selaku pemegang
Supersemar mengemukakan, Bung Karno tidak dapat digolongkan
sebagai penggerak langsung, dalang, atau tokoh G30S/PKI.
Kesimpulan itu didasarkan empat fakta yaitu :
1. Pertama, laporan mantan Men/Pangau Laksamana Madya
Omar Dani 29 September 1965 mengenai adanya rasa tidak puas
sejumlah perwira muda anak buah Brigjen Soepardjo terhadap
pimpinan AD. Atas laporan itu, Presiden memerintahkan Omar
Dani dan Soepardjo untuk menghadap lagi pada 3 Oktober 1965.
2. Kedua, laporan Brigjen Sugandhi kepada Presiden
Soekarno pada 30 September 1965 bahwa PKI mungkin akan
melakukan coup. Atas laporan itu, Presiden memarahi dan
memperingatkan Sugandhi.
3. Ketiga, pada 30 September 1965 malam setelah
mengunjungi Mubestek (Musyawarah Besar Teknik) di Istora
Senayan, Presiden tidak bermalam di Istana, tetapi di rumah Ny
Sari Dewi di Jalan Gatot Subroto. Pagi harinya, 1 Oktober sekitar
pukul 06.00, Presiden bermaksud kembali ke Istana setelah
minta pertimbangan dari pengawal dan mendapat laporan singkat
mengenai peristiwa pagi itu.
4. Keempat, pada 30 September 1965 Presiden memanggil
Jenderal Yani untuk menghadap pada 1 Oktober 1965.
Rencananya akan membahas lagi tentang keberadaan Dewan
Jenderal.
Dake menulis (dalam Sukarno File), penciutan staf Kedubes AS
di Jakarta sebagai salah satu bukti ketidakterlibatan Washington.
Itu keliru. Pengurangan staf Kedubes AS sengaja dilakukan
dengan tujuan agar kekuatan antikomunis dan kaum ekstremis
lain di Indonesia free to handle a confrontation, which they
believe will come, without the incubus of being attacked as
defenders of the neo-colonialists and imperialists (surat Dubes
AS, Ellsworth Bunker kepada Presiden Lyndon B Johnson). Meski
ada penciutan staf kedubes, Bunker menasihati Presiden Johnson
agar Washington tetap aktif melakukan kontak rahasia dengan
constructive elements of strength in Indonesia.
Lashmar dan Oliver dalam Britain Secret Propaganda War (1987)
menulis, pada 1962 Presiden John F Kennedy dan PM Inggris
Harold Macmillan mengadakan kesepakatan rahasia bahwa
Soekarno harus dilikuidasi (baca: disingkirkan) karena dinilai telah
mengancam stabilitas Asia Tenggara, selain telah membawa
Indonesia ke gerbang komunisme.
Namun, menurut Lashmar dan Oliver, secara fisik kedua negara
Barat itu tidak berperan nyata dalam G30S. Yang digulirkan
AS dan Inggris, bersama Malaysia dan Selandia Baru, adalah
perang propaganda untuk memperlemah kekuasaan Soekarno,
memperkuat anasir-anasir kekuatan militer pro-Barat dan
memisahkan rakyat Indonesia dari PKI. Isu-isu Dewan Jenderal,
rencana AD menggulingkan kekuasaan Soekarno, sakitnya
Presiden Soekarno serta Dokumen Gilchrist, semua itu, menurut
Lashmar dan Oliver, tidak lebih hasil gemilang propaganda dan
perang urat saraf negara-negara Barat, khususnya dinas intelijen
M-16 dari Inggris.
Artikel singkat Prof Benedict R Anderson dan Ruth McVey, “What
Happened in Indonesia?” (1978), menarik dicermati. Ia pun
menggugat sangkaan keterlibatan Bung Karno. Semua orang
tahu, Aidit Ketua Umum PKI amat dekat dengan Soekarno. Semua
orang tahu jika PKI meyakini AD akan melancarkan kudeta,
terutama karena mengkhawatirkan keadaan negara jika Soekarno
wafat.
0 comments:
Post a Comment