Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Friday, November 13, 2015

Kebijakan Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin

Kebijakan Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin


Kebijakan politik yang dilakukan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin terkesan otoriter atau bisa dikatakan sudah otoriter. Banyak kebijakan yang ditetapkan bertentangan dengan konstitusi mulai dibubarkannya DPR hasil Pemilu tahun 1955 hingga penetapan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Bahkan Soekarno membuat poros tersendiri dengan menjauh dari politik luar negeri bebas aktif. 

Politik atau kebijakan luar negeri pada hakikatnya merupakan “perpanjangan tangan” dari politik dalam negeri sebuah negara. Politik luar negeri suatu negara sedikitnya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kondisi politik dalam negeri, pengambil keputusan, kemampuan ekonomi dan militer, dan lingkungan internasionalnya (Coplin 1992, 165-175; dan Sihbudi 2002). Sejak Bung Hatta menyampaikan pidatonya berjudul “Mendajung Antara Dua Karang” (1948), Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu blok negara-negara super power, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).

Seperti diamanatkan dalam konstitusi, Indonesia juga menentang segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini, dan menegaskan bahwa politik luar negeri harus diabdikan untuk kepentingan nasional. Oleh sebab itu, pelaksanaan politik bebas-aktif dapat bergerak ke kiri dan ke kanan, sesuai dengan kepentingan nasional pada masa-masa tertentu. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri merupakan cerminan dari politik dalam negeri dan dipengaruhi perubahan dalam tata hubungan internasional baik dalam bentuk regional maupun global.

Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin terlihat ada beberapa penyimpangan dari politik luar negeri bebas-aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis pada umumnya) yang anti-imperialisme dan kolonialisme, sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan, yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Untuk mewujudkan Nefo tersebut maka dibentuklah poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis.

Selain itu, Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neo-kolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya adalah perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris. Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur tangan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.

Hal berikutnya adalah Politik Mercusuar. Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang ter-kemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan (Gelora Bung Karno), serta biaya perjalanan bagi delegasi asing.

Kemudian pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Tampak bahwa politik luar negeri bebas-aktif Indonesia pada masa Soekarno condong ke blok Sosialis dan lebih pada isu-isu high politic dan perjuangan bangsa Indonesia dalam membangun image sebagai negara besar dan berpengaruh di level baik regional maupun internasional untuk setara dengan negara-negara lain. Hal ini tak lepas dari kondisi bangsa Indonesia yang saat itu baru merdeka dan sedang membangun nation- danstate-building-nya. Kesatuan politik lebih penting bagi Soekarno pada waktu itu daripada membangun basis ekonomi rakyat. Tak heran, semua itu telah tercermin dalam aksi dan reaksi serta interaksi politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno.

Namun, kebijakan-kebijakan politik luar negeri Indonesia yang sema-kin menyimpang pun semakin berdampak pada kondisi di dalam negeri. Salah satu dampak dalam hal ekonomi adalah kenaikan laju inflasi yang disebabkan oleh penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan, nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan, anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar, pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada, upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil, penertiban adminis-trasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh, dan penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan me-ngalami kegagalan. Dari sisi politik, inflasi pun terjadi karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran, serta karena pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New Emerging Forces) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya. Hal ini berdampak bagi kehidupan di dalam negeri.  Inflasi semakin bertambah tinggi, harga-harga semakin bertambah tinggi, kehidupan masyarakat semakin terjepit, Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa, ekspor semakin buruk dan pembatasan impor karena lemahnya devisa, dan pada tahun 1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjuk-kan saldo negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More