Umroh
Masjid Nabawi, Saat melaksanakan umroh tahun 2010 sebagai wujud rasa syukur atas rizki yang kami terima .
Presentasi Pendampingan implementasi Kurikulum 2013
Saat mempresentasikan Kurikulum 2013 dalam acara pendampingan implementasi Kurtilas.
IN 2014
Ketika mengikuti pelatihan Instruktur guru sejarah tingkat nasional di Cianjur tanggal 9 - 15 Juni 2014.
Sunday, June 29, 2014
Friday, June 27, 2014
Pengimbasan Kurikulum 2013 terhadap Guru Sasaran wilayah Banten di Wira Carita Labuan Pandeglang
Thursday, June 26, 2014
Bahan Presentasi Kurikulum 2013
Perubahan mind set
Rasional Kurikulum 2013
Contoh penerapan penilaian autentik
Elemen perubahan Kurikulum 13
SKL KI KD
Strategi implementasi Kurikulum 13
Konsep pendekatan Scientifik
Konsep penilaian autentik pada proses dan hasil
Contoh penerapan penilaian autentik sejarah
Contoh penilaian produk
Contoh format penilaian kinerja
Contoh teknik penilaian proyek
Contoh format penilaian sikap
Contoh format penilaian hasil kerja siswa
Model rancangan pembelajaran
Kartu pembelajaran
Contoh format RPP
Rasional Kurikulum 2013
Contoh penerapan penilaian autentik
Elemen perubahan Kurikulum 13
SKL KI KD
Strategi implementasi Kurikulum 13
Konsep pendekatan Scientifik
Konsep penilaian autentik pada proses dan hasil
Contoh penerapan penilaian autentik sejarah
Contoh penilaian produk
Contoh format penilaian kinerja
Contoh teknik penilaian proyek
Contoh format penilaian sikap
Contoh format penilaian hasil kerja siswa
Model rancangan pembelajaran
Kartu pembelajaran
Contoh format RPP
Wednesday, June 25, 2014
Sunday, June 22, 2014
Friday, June 20, 2014
Perspektif baru pembelajaran sejarah dalam kurikulum 2013
https://drive.google.com/file/d/0Bz37t_ArVutgRklwWDJ5T3NNeEU/edit?usp=sharing
Karya tulis ini dibuat/disusun dalam rangka mengikuti pemilihan Guru Berprestasi tingkat Kota Tangerang tahun 2014.
Alhamdulillah dapat posisi ke-3
Karya tulis ini dibuat/disusun dalam rangka mengikuti pemilihan Guru Berprestasi tingkat Kota Tangerang tahun 2014.
Alhamdulillah dapat posisi ke-3
Thursday, June 19, 2014
Perkembangan teknologi
Perkembangan Teknologi
Mengamati Lingkungan
Coba amati gambar di samping.
Gambar apa dan untuk apa kira-kira?
Gambar itu merupakan gambar
peralatan rumah tangga yang sudah sangat lama
dikenal di lingkungan ibu rumah
tangga di Indonesia, apalagi di
Jawa. Yang jelas peralatan itu terbuat dari batu yang merupakan warisan nenek moyang.
Peralatan dari batu ini sampai sekarang masih
digunakan oleh masyarakat kita.
Berikut ini
kita akan membahas
tentang teknologi bebatuan yang
telah dikembangkan sejak kehidupan manusia purba.
Memahami Teks
Perlu kamu ketahui
bahwa sekalipun belum
mengenal tulisan manusia purba
sudah mengembangkan kebudayaan
dan teknologi. Teknologi waktu
itu bermula dari
teknologi bebatuan yang digunakan
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan
atau teknologi bebatuan
tersebut dapat berfungsi serba
guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat kebetulan dan
seadanya serta bersifat trial and
eror. Mula-mula mereka
hanya menggunakan
benda-benda dari alam terutama
batu. Teknologi bebatuan pada
zaman ini berkembang dalam kurun
waktu yang begitu
panjang. Oleh karena
itu, para ahli kemudian membagi
kebudayaan zaman batu di era praaksara ini
menjadi beberapa zaman
atau tahap perkembangan.
Dalam buku R. Soekmono, Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia
I, dijelaskan bahwa
kebudayaan zaman batu ini dibagi
menjadi tiga yaitu, Paleolitikum,
Mesolitikum dan Neolitikum.
1.
Antara Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang digunakan
oleh manusia purba adalah alat-alat
dari batu yang seadanya dan
juga dari tulang. Peralatan ini berkembang
pada zaman paleolitikum atau
zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan
zaman neozoikum terutama pada
akhir zaman Tersier
dan awal zaman Quartair . Zaman
ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan zaman yang
sangat penting karena
terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni munculnya
jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan
zaman batu tua karena
hasil kebudayaan terbuat
dari batu yang relatif masih
sederhana dan kasar. Kebudayaan zaman Paleolitikum ini
secara umum ini
terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan
ini berkembang di
daerah Pacitan, Jawa Timur.
Beberapa alat dari
batu ditemukan di
daerah ini. Seorang ahli,
von Koenigwald dalam
penelitiannya pada tahun 1935
telah menemukan beberapa
hasil teknologi bebatuan atau
alat-alat dari batu
di daerah Punung.
Alat batu itu masih
kasar, dan bentuk
ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat batu
ini sering disebut dengan kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini
digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. Di
samping kapak perimbas,
di Pacitan juga ditemukan alat batu yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak. Di Pacitan juga
ditemukan alat-alat serpih.
b. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan
Ngandong berkembang di
daerah Ngandong dan juga
Sidorejo, dekat Ngawi.
Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan
juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang
binatang dan tanduk rusa
yang diperkirakan digunakan
sebagai penusuk atau belati.
Selain itu, ditemukan
juga alat-alat seperti tombak
yang bergerigi. Di Sangiran juga
ditemukan alat-alat dari batu,
bentuknya indah seperti kalsedon .
Alat-alat ini sering disebut dengan flakke.
Sebaran
artefak dan peralatan
paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah
di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur
(NTT), dan Halmahera.
2. Antara Pantai dan Gua
Zaman batu
terus berkembang memasuki
zaman batu madya atau
batu tengah yang
dikenal zaman mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah lebih
maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman paleolitikum . Sekalipun demikian bentuk dan hasil-hasil
kebudayaan zaman paleolitikum (batu
tua) tidak serta merta
punah tetapi mengalami
penyempurnaan. Bentuk flakke dan
alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara
garis besar kebudayaan mesolitikum ini
terbagi menjadi dua
kelompok besar yang ditandai
lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua.
a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger.
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken
berarti dapur dan modding dapat diartikan sampah ( kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang
menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai
Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini dapat memberi informasi
bahwa manusia purba zaman mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai.
Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melakukan penelitian di bukit kerang itu
dan menemukan jenis kapak genggam ( chopper ) yang berbeda
dari chopper yang
ada di zaman paleolitikum . Kapak
genggam yang ditemukan di bukit
kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra.
Kapak jenis pebble
ini terbuat dari batu
kali yang pecah,
sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam
dikerjakan sesuai dengan
keperluannya. Di samping
kapak jenis pebble juga
ditemukan jenis kapak
pendek dan jenis batu
pipisan (batu-batu
alat penggiling). Di Jawa batu
pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.
b. Kebudayaan Abris Sous Roche
Kebudayaan abris
sous roche merupakan
hasil kebudayaan yang ditemukan
di gua-gua. Hal
ini mengindikasikan bahwa manusia
purba pendukung kebudayaan ini
tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von
Stein Callenfels di Gua Lawa dekat
Sampung, Ponorogo. Penelitian
dilakukan Untuk mengetahui lebih tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil
teknologi dalam tentang Kebudayaan bebatuan yang ditemukan misalnya ujung panah,
Kjokkenmoddinger dan flakke, batu
penggilingan. Juga ditemukan
alat-alat dari tulang
dan tanduk rusa.
Kebudayaan abris sous
roche ini banyak
ditemukan misalnya di Besuki,
Bojonegoro, juga di
daerah Sulawesi Selatan seperti
di Lamoncong.
3. Sebuah Revolusi
Perkembangan zaman
batu yang dapat dikatakan paling
penting dalam kehidupan manusia adalah zaman batu baru atau
neolitikum. Pada zaman neolitikum yang juga dapat dikatakan sebagai zaman batu
muda. Pada zaman ini telah terjadi
“revolusi kebudayaan”, yaitu
terjadinya perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food producing. Hal ini seiring dengan
terjadinya perubahan jenis pendukung kebudayaanya. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo
sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman
batu baru. Mereka
mulai mengenal bercocok tanam dan beternak sebagai proses untuk
menghasilkan atau memproduksi bahan makanan.
Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong
mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di
zaman neolitikum ini
secara garis besar
dibagi menjadi dua
tahap perkembangan.
a. Kebudayaan kapak persegi
Nama
kapak persegi berasal
dari penyebutan oleh von
Heine Gelderen. Penamaan ini
dikaitkan dengan bentuk alat
tersebut. Kapak persegi ini
berbentuk persegi panjang dan
ada juga yang berbentuk trapesium.
Ukuran alat ini juga
bermacam-macam. Kapak persegi
yang besar sering disebut
dengan beliung atau pacul (cangkul),
bahkan sudah ada
yang diberi tangkai sehingga
persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil
dinamakan tarah atau tatah.
Penyebaran alat-alat ini
terutama di Kepulauan Indonesia
bagian barat, seperti Sumatra, Jawa dan Bali. Diperkirakan sentra-sentra
teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor,
Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di
Lereng Gunung Ijen
(Jawa Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu
asahan. Kapak persegi
ini cocok sebagai alat pertanian.
b. Kebudayaan kapak lonjong
Nama
kapak lonjong ini
disesuaikan dengan bentuk penampang
alat ini yang berbentuk
lonjong. Bentuk keseluruhan
alat ini lonjong seperti
bulat telur. Pada
ujung yang lancip ditempatkan
tangkai dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga
tajam. Kapak yang ukuran
besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil.
Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia
bagian timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa. Pada zaman neolitikum, di
samping berkembangnya jenis kapak
batu juga ditemukan barang-barang
perhiasan, seperti gelang dari
batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar.
Perlu kamu
ketahui bahwa manusia purba waktu itu sudah memiliki
pengetahuan tentang kualitas bebatuan
untuk peralatan. Penemuan dari
berbagai situs menunjukkan bahan yang paling sering
dipergunakan adalah jenis batuan kersikan ( silicified stones ), seperti
gamping kersikan, tufa
kersikan, kalsedon, dan
jasper. Jenis-jenis batuan ini
di samping keras, sifatnya yang
retas dengan pecahan
yang cenderung tajam
dan tipis, sehingga
memudahkan pengerjaan. Di beberapa
situs yang mengandung fosil-fosil
kayu, seperti di
Kali Baksoka (Jawa
Timur) dan Kali Ogan (Sumatra
Selatan) tampak ada upaya
pemanfaatan fosil untuk
bahan peralatan. Pada saat
lingkungan tidak menyediakan
bahan yang baik,
ada kecenderungan untuk
memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian, walaupun
kualitasnya kurang baik. Contoh semacam
ini dapat diamati
pada situs Kedunggamping
di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di
Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit untuk peralatan.
c. Perkembangan zaman logam
Mengakhiri
zaman batu di
masa neolitikum mulailah zaman logam.
Sebagai bentuk masa
perundagian. Zaman logam di
Kepulauan Indonesia ini
agak berbeda bila dibandingkan dengan
yang ada di
Eropa. Di Eropa
zaman logam ini mengalami
tiga fase, zaman
tembaga, perunggu dan besi.
Di Kepulauan Indonesia hanya
mengalami zaman perunggu dan besi. Zaman
perunggu merupakan fase yang sangat
penting dalam sejarah. Beberapa contoh benda-benda kebudayaan perunggu itu antara
lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan. Beberapa benda
hasil kebudayaan zaman logam ini
juga terkait dengan praktik
keagamaan misalnya nekara.
Sumber :
Mengenal manusia purba
Mengenal Manusia Purba
Mengamati lingkungan
Pernahkah kamu mendengar tentang
Situs Manusia Purba Sangiran? Kini
Situs Manusia Purba Sangiran
telah ditetapkan oleh UNESCO
sebagai warisan budaya dunia,
tentu ini sangat membanggakan bangsa Indonesia.
Pengakuan tersebut tentu
didasari berbagai pertimbangan yang kompleks. Satu
di antaranya karena di
wilayah tersebut tersimpan ribuan
peninggalan manusia purba yang menunjukkan proses kehidupan
manusia dari masa lalu. Sangiran
telah menjadi sentra kehidupan manusia purba.
Berbagai penelitian dari para
ahli juga dilakukan di sekitar Sangiran. .Beberapa temuan fosil di
Sangiran telah mendorong para ahli untuk terus melakukan
penelitian termasuk di luar Sangiran. Dari Sangiran kita mengenal beberapa
jenis manusia purba di Indonesia. Setelah ditetapkan sebagai warisan dunia,
Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan
sebagai pusat penelitian
dalam
negeri dan
luar negeri, serta
sebagai tempat wisata.
Selain itu Sangiran juga memberi
manfaat kepada masyarakat di sekitarnya, karena pariwisata di daerah tersebut.
Untuk memahami jenis dan
ciri-ciri manusia purba di Indonesia mari kita telaah bacaan berikut ini.
Memahami Teks
Peninggalan manusia purba untuk
sementara ini yang paling banyak ditemukan berada di Pulau Jawa. Meskipun di
daerah lain tentu juga ada,
tetapi para peneliti
belum berhasil menemukan tinggalan tersebut
atau masih sedikit
yang berhasil ditemukan, misalnya di
Flores. Di bawah
ini akan dipaparkan
beberapa penemuan penting fosil manusia di beberapa tempat.
1. Sangiran
Perjalanan kisah perkembangan
manusia di dunia tidak dapat kita
lepaskan dari keberadaan
bentangan luas perbukitan tandus yang berada
diperbatasan Kabupaten Sragen
dan Kabupaten Karanganyar. Lahan
itu dikenal dengan
nama Situs Sangiran.
Di dalam buku Harry
Widianto dan Truman
Simanjuntak, Sangiran
Menjawab Dunia diterangkan
bahwa Sangiran merupakan sebuah kompleks
situs manusia purba
dari Kala Pleistosen
yang paling lengkap dan
paling penting di Indonesia, dan
bahkan di Asia.
Lokasi tersebut
merupakan pusat perkembangan
manusia dunia, yang memberikan
petunjuk tentang keberadaan manusia sejak
150.000 tahun yang
lalu. Situs Sangiran itu
mempunyai luas delapan
kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah
timur-barat. Situs Sangiran
merupakan suatu kubah raksasa
yang berupa cekungan
besar di pusat kubah
akibat adanya erosi
di bagian puncaknya. Kubah
raksasa itu diwarnai
dengan perbukitan yang
bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai
lapisan batuan yang
mengandung fosil-fosil
manusia purba dan
binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi
tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan
pasir fluvio-volkanik, tanahnya tidak
subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.
Sangiran pertama
kali ditemukan oleh
P.E.C. Schemulling tahun 1864,
dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari
wilayah Sangiran. Semenjak
dilaporkan Schemulling situs itu
seolah-olah terlupakan dalam
waktu yang lama. Eugene Dubois
juga pernah datang
ke Sangiran, akan
tetapi ia kurang tertarik dengan
temuan-temuan di wilayah Sangiran.
Pada 1934, G.H.R von Koenigswald
menemukan artefak litik
di wilayah Ngebung yang terletak
sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian
menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran.
Semenjak penemuan von
Koenigswald, Situs Sangiran menjadi sangat
terkenal berkaitan dengan
penemuan-penemuan fosil Homo
erectus secara sporadis dan
berkesinambungan. Homo erectus adalah
takson paling penting
dalam sejarah manusia, sebelum masuk
pada tahapan manusia Homo
sapiens , manusia modern.
Situs Sangiran
tidak hanya memberikan
gambaran tentang evolusi fisik
manusia saja, akan tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang
evolusi budaya, binatang,
dan juga lingkungan. Beberapa fosil yang ditemukan
dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan tanpa terputus
selama lebih dari
dua juta tahun, menunjukan tentang
hal itu. Situs
Sangiran telah diakui
sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs itu ditetapkan
secara resmi sebagai Warisan Dunia
pada 1996, yang
tercantum dalam nomor 593 Daftar
Warisan Dunia ( World Heritage List ) UNESCO.
Perhatikan baik-baik
gambar fosil manusia purba di
samping, fosil itu juga disebut
sebagai Sangiran 17
sesuai dengan nomor
seri penemuannya. Fosil itu
merupakan fosil Homo erectus yang terbaik di Sangiran. Ia ditemukan di
endapan pasir fluvio-volkanik di
Pucang, bagian wilayah Sangiran.
Fosil itu merupakan
dua di antara Homo erectus di dunia yang masih lengkap dengan mukanya.
Satu ditemukan di Sangiran dan .
satu lagi di Afrika.
2.
Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Trinil adalah sebuah desa di
pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten
Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu
ditemukan di daerah ini jauh sebelum von
Koenigswald menemukan Sangiran
pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan
oleh Eugene Dubois
di Trinil telah
membawa penemuan sisa-sisa manusia
purba yang sangat
berharga bagi dunia pengetahuan.
Penggalian Dubois dilakukan
pada endapan alluvial Bengawan
Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus
, dan beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya
telah berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek
tetapi memanjang ke
belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern
(1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang
mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang
belum berkembang. Pada bagian belakang
kepala terlihat bentuk yang meruncing
yang diduga pemiliknya
merupakan perempuan.
Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antar tulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah
mencapai usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas,
peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa
Timur; Ngandong, Blora, Jawa
Tengah; Sambungmacan, Sragen,
Jawa Tengah.
Berdasarkan beberapa
penelitian yang dilakukan
oleh para
ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa
jenis manusia purba yang
pernah hidup di zaman praaksara.
1. Jenis Meganthropus
Jenis manusia purba ini terutama
berdasarkan penelitian von
Koenigswald di Sangiran
tahun 1936 dan
1941 yang menemukan fosil rahang
manusia yang berukuran besar. Dari hasil
rekonstruksi ini kemudian
para ahli menamakan jenis manusia
ini dengan sebutan Meganthropus
paleojavanicus , artinya
manusia raksasa dari
Jawa. Jenis manusia
purba
ini memiliki
ciri rahang yang
kuat dan badannya
tegap. Diperkirakan makanan jenis
manusia ini adalah
tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya
diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2. Jenis Pithecanthropus
Jenis manusia
ini didasarkan pada
penelitian Eugene Dubois tahun
1890 di dekat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo,
di wilayah Ngawi.
Setelah direkonstruksi
terbentuk kerangka manusia,
tetapi masih terlihat tanda-tanda
kera. Oleh karena
itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus , artinya manusia kera
yang berjalan tegak. Jenis ini
juga ditemukan di
Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis . Jenis
manusia purba yang juga terkenal
sebagai rumpun Homo erectus ini
paling banyak ditemukan
di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan
berkembang sekitar zaman
Pleistosen
Tengah.
3.
Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama
diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene
Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan
sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis
manusia Homo ini
muka lebar, hidung
dan mulutnya menonjol. Dahi
juga masih menonjol,
sekalipun tidak semenonjol jenis
Pithecanthropus. Bentuk fisiknya
tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang. Hidup dan perkembangan jenis manusia ini sekitar
40.000 –
25.000 tahun yang
lalu. Tempat-tempat penyebarannya
tidak hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan Cina Selatan.
Uraian mengenai jenis-jenis manusia ini selengkapnya
dapat juga dibaca pada buku Harry
Widianto dan Truman Simanjuntak,
Sangiran Menjawab Dunia
Homo sapiens artinya
‘manusia sempurna’ baik dari segi
fisik, volume otak maupun
postur badannya yang secara
umum tidak jauh
berbeda dengan manusia modern. Kadang-kadang Homo
sapiens juga diartikan
dengan ‘manusia bijak’ karena telah lebih maju
dalam berfikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka muncul
ke bumi pertama
kali dan kemudian menyebar dengan
cepat ke berbagai penjuru
dunia hingga saat ini? Para ahli
paleoanthropologi dapat melukiskan perbedaan
morfologis antara Homo sapiens dengan
pendahulunya, Homo erectus .
Rangka Homo
sapiens kurang kekar
posturnya dibandingkan Homo
erectus . Salah satu
alasannya karena tulang belulangnya
tidak setebal dan
sekompak Homo erectus.
Hal ini
mengindikasikan bahwa secara
fisik Homo sapiens jauh lebih lemah dibanding sang pendahulu
tersebut. Di lain pihak,
ciri-ciri morfologis maupun
biometriks Homo sapiens menunjukkan karakter yang lebih berevolusi dan
lebih modern dibandingkan dengan Homo
erectus . Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan adalah
bertambahnya kapasitas otak. Homo
sapiens mempunyai kapasitas otak
yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh
lebih bundar dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus
yang mempunyai tengkorak
panjang dan rendah, dengan kapasitas
otak 1.000 cc.
Segi-segi morfologis
dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan ada perbedaan yang
sangat nyata antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo sapiens akhirnya tampil sebagai spesies yang sangat
tangguh dalam beradaptasi dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni
berbagai permukaan dunia ini.
Berdasarkan bukti-bukti
penemuan, sejauh ini
manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara paling
tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya,
kehidupan manusia modern ini
dapat dikelompokkan dalam
tiga tahap, yaitu (i) kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya
hingga akhir zaman
es (sekitar 12.000
tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh
(ii) kehidupan manusia
modern yang lebih belakangan, dan
berdasarkan karakter fisiknya
dikenal sebagai ras
Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun lalu muncul penghuni baru
di Kepulauan Indonesia
yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan
karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam ras Mongolid. Ras inilah
yang kemudian berkembang hingga menjadi bangsa Indonesia sekarang.
Beberapa spesimen (penggolongan) manusia Homo sapiens dapat dikelompokkan sebagai berikut,
a. Manusia Wajak
Manusia Wajak
( Homo wajakensis ) merupakan
satu-satunya temuan di
Indonesia yang untuk
sementara dapat disejajarkan perkembangannya dengan
manusia modern awal dari akhir
Kala Pleistosen. Pada tahun
1889, manusia Wajak ditemukan
oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat
laut Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur.
b. Manusia Liang Bua
Pengumuman tentang
penemuan manusia Homo floresiensis tahun
2004 menggemparkan dunia
ilmu pengetahuan. Sisa-sisa manusia
ditemukan di sebuah
gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan Indonesia dan Australia.
Sebuah gua permukiman
prasejarah di Flores.
Liang Bua bila diartikan
secara harfiah merupakan
sebuah gua yang dingin.
Sebuah gua yang
sangat lebar dan
tinggi dengan permukaan tanah
yang datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa
praaksara. Hal itu bisa dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat
indah, yang berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di
depannya. Liang Bua merupakan sebuah temuan manusia modern awal
dari akhir masa
Pleistosen di Indonesia
yang menakjubkan yang diharapkan
dapat menyibak asal
usul manusia di Kepulauan Indonesia.
Manusia Liang
Bua ditemukan oleh Peter
Brown dan Mike J. Morwood pada
bulan September 2003 lalu. Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies baru
yang kemudian diberi nama Homo
floresiensis , sesuai dengan
tempat ditemukannya fosil manusia Liang Bua.
Sumber :
Sebelum Mengenal tulisan
Sebelum Mengenal Tulisan
Mengamati Lingkungan
Kutipan di atas menunjukkan bahwa
keberadaan tanah air kita tidak dapat dilepaskan dari rangkaian
peristiwa alam yang sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Jadi, dinamika
sejarah yang telah bermula sejak manusia ada, jika dirunut hingga sekarang,
kita akan menemukan betapa kesinambungan sejarah tidak mudah terputus,
betapapun segala macam
perubahan telah terjadi.
Coba kamu renungkan, apakah yang
terjadi ketika tawuran anak-anak sekolah berlangsung? Bukankah sering kali
mereka saling melempar batu?
Batu pula senjata yang paling
awal digunakan umat manusia dalam mempertahankan hidupnya. Jadi anak
sekolah di zaman modern ini—zaman
yang bahkan dikatakan “era globalisasi”, ketika tiada lagi batas-batas yang
menghambat hubungan kebudayaan—ternyata masih mempraktikkan
tradisi manusia purba pada masa praaksara. Untuk mengetahui apa, siapa, dan
bagaimana kehidupan manusia zaman praaksara kamu dapat mempelajari bacaan di
bawah ini.
Manusia purba tidak mengenal
tulisan dalam kebudayaannya. Periode
kehidupan ini dikenal
dengan zaman praaksara.
Masa praaksara berlangsung sangat lama jauh melebihi periode kehidupan
manusia yang sudah
mengenal tulisan. Oleh
karena itu, untuk dapat memahami perkembangan kehidupan
manusia pada zaman praaksara kita perlu mengenali tahapan-tahapannya.
Memahami Teks
Sebelum mengenali
tahapan-tahapan atau pembabakan perkembangan kehidupan
dan kebudayaan zaman
praaksara, perlu kamu ketahui
lebih dalam apa
yang dimaksud zaman praaksara. Praaksara adalah istilah
baru untuk menggantikan istilah prasejarah. Penggunaan istilah prasejarah untuk menggambarkan perkembangan
kehidupan dan budaya manusia saat belum mengenal tulisan adalah kurang tepat. Pra
berarti sebelum dan sejarah adalah
sejarah sehingga prasejarah
berarti sebelum ada sejarah. Sebelum ada
sejarah berarti sebelum ada aktivitas kehidupan manusia. Dalam
kenyataannya sekalipun belum
mengenal tulisan, makhluk
yang dinamakan manusia sudah memiliki sejarah dan sudah menghasilkan
kebudayaan. Oleh karena
itu, para ahli
mempopulerkan istilah praaksara
untuk menggantikan istilah prasejarah.
Praaksara berasal dari dua kata,
yakni pra yang berarti sebelum dan aksara
yang berarti tulisan. Dengan demikian zaman praaksara adalah masa
kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan.
Ada istilah yang mirip dengan istilah praaksara, yakni istilah nirleka . Nir
berarti tanpa dan leka berarti tulisan. Karena belum ada tulisan
maka untuk mengetahui sejarah
dan hasil-hasil kebudayaan
manusia adalah dengan melihat beberapa sisa peninggalan yang dapat kita
temukan. Kapan waktu dimulainya zaman praaksara? Kapan zaman praaksara itu
berakhir? Zaman praaksara dimulai sudah tentu sejak manusia ada, itulah titik
dimulainya masa praaksara. Zaman praaksara berakhir setelah
manusianya mulai mengenal
tulisan. Pertanyaan yang sulit
untuk dijawab adalah kapan tepatnya manusia itu mulai ada di
bumi ini sebagai
pertanda dimulainya zaman
praaksara. Sampai sekarang para ahli
belum dapat secara
pasti menunjuk waktu kapan mulai
ada manusia di muka bumi ini. Tetapi yang jelas untuk menjawab pertanyaan itu
kamu perlu memahami kronologi perjalanan kehidupan di permukaan bumi yang
rentang waktunya sangat panjang. Bumi yang kita huni sekarang diperkirakan
mulai terjadi sekitar 2.500 juta tahun yang lalu. Untuk memperkaya pengetahuan
tentang hal Bagaimana kalau
kita ingin melakukan ini, kamu bisa membaca
kajian tentang kehidupan
zaman praaksara?
Untuk menyelidiki
zaman praaksara, para sejarawan harus
menggunakan metode penelitian
ilmu arkeologi dan sedikit banyak juga pada ilmu alam seperti geologi dan
biologi. Ilmu arkeologi adalah bidang
ilmu yang mengkaji bukti-bukti atau
jejak tinggalan fisik,
seperti lempeng artefak, monumen, candi
dan sebagainya. Berikutnya
menggunakan ilmu geologi dan
percabangannya, terutama yang
berkenaan dengan pengkajian usia
lapisan bumi dan biologi berkenaan dengan kajian tentang ragam hayati (
biodiversitas ) makhluk hidup. Mengingat jauhnya jarak waktu masa praaksara
dengan kita sekarang, maka tidak jarang orang mempersoalkan apa perlunya kita belajar tentang zaman praaksara
yang sudah lama ditinggalkan oleh manusia modern.
Tetapi pandangan seperti
ini sungguh menyesatkan, sebab
tentu ada hubungannya dengan kekinian kita. Beberapa di antaranya akan
dikemukakan berikut ini.
Data etnografi yang
menggambarkan kehidupan masyarakat praaksara ternyata masih berlangsung sampai
sekarang. Entah itu pola hunian,
pola pertanian subsistensi, teknologi tradisional
dan konsepsi kepercayaan tentang hubungan harmoni antara manusia dan
alam, bahkan kebiasaan memelihara hewan seperti anjing dan kucing di lingkungan manusia modern perkotaan. Demikian pula kebiasaan bertani merambah
hutan dengan motede
‘tebang lalu bakar’ (
slash and burn ) untuk memenuhi
kebutuhan secukupnya masih
ada hingga kini.
Namun, kebiasaan merambah hutan
dan hidup berpindah-pindah pada
masa lampau tidak
menimbulkan malapetaka asap yang mengganggu penerbangan domestik. Selain
itu, juga mengganggu
bandara negara tetangga
Singapura dan Malaysia seperti
yang sering terjadi akhir-akhir ini. Teknologi manusia modernlah yang
mampu melakukan perambahan
hutan secara besar-besaran, entah
itu untuk perkebunan
atau pertambangan, dan permukiman real
estate sehingga menimbulkan
malapetaka kabut asap dan kerusakan lingkungan.
Arti penting
dari pembelajaran tentang
sejarah kehidupan zaman praaksara
pertama-tama adalah kesadaran
akan asal-usul manusia. Tumbuhan memiliki akar. Semakin tinggi tumbuhan itu, semakin dalam
pula akarnya menghunjam
ke bumi hingga tidak mudah
tumbang dari terpaan
angin badai atau
bencana alam lainnya. Demikian
pula halnya dengan manusia. Semakin berbudaya seseorang atau kelompok
masyarakat, semakin dalam pula kesadaran kolektifnya tentang
asal usul dan
penghargaan terhadap tradisi. Jika
tidak demikian, manusia yang
melupakan budaya bangsanya akan
mudah terombang ambing oleh terpaan budaya asing yang lebih
kuat, sehingga dengan
sendirinya kehilangan identitas
diri. Jadi bangsa yang gampang meninggalkan tradisi nenek moyangnya
akan mudah didikte
oleh budaya dominan
dari luar yang
bukan miliknya.
Kita bisa
belajar banyak dari
keberhasilan dan capaian prestasi terbaik dari pendahulu kita.
Sebaliknya kita juga belajar dari kegagalan mereka yang telah menimbulkan
malapetaka bagi dirinya atau bagi banyak
orang. Untuk memetik pelajaran dari uraian ini, dapat kita
katakan bahwa nilai
terpenting dalam pembelajaran sejarah tentang zaman praaksara, dan sesudahnya ada dua yaitu sebagai inspirasi untuk
pengembangan nalar kehidupan dan sebagai peringatan. Selebihnya kecerdasan dan
pikiran-pikiran kritislah yang akan menerangi kehidupan masa kini dan masa
depan.
Sekarang muncul pertanyaan, sejak kapan zaman praaksara berakhir? Sudah barang tentu zaman
praaksara itu berakhir setelah kehidupan
manusia mulai mengenal
tulisan. Terkait dengan masa berakhirnya zaman praaksara masing-masing
tempat akan berbeda. Penduduk di Kepulauan
Indonesia baru memasuki
masa aksara sekitar abad
ke-4 dan ke-5 M.
Hal ini jauh
lebih terlambat bila dibandingkan di tempat lain misalnya
Mesir dan Mesopotamia yang sudah
mengenal tulisan sejak sekitar tahun
3000 S.M. Fakta-fakta masa aksara di Kepulauan Indonesia dihubungkan dengan
temuan prasasti peninggalan kerajaan tua seperti Kerajaan Kutai di Muara Kaman,
Kalimantan Timur.
Sumber :