Perkembangan Teknologi
Mengamati Lingkungan
Coba amati gambar di samping.
Gambar apa dan untuk apa kira-kira?
Gambar itu merupakan gambar
peralatan rumah tangga yang sudah sangat lama
dikenal di lingkungan ibu rumah
tangga di Indonesia, apalagi di
Jawa. Yang jelas peralatan itu terbuat dari batu yang merupakan warisan nenek moyang.
Peralatan dari batu ini sampai sekarang masih
digunakan oleh masyarakat kita.
Berikut ini
kita akan membahas
tentang teknologi bebatuan yang
telah dikembangkan sejak kehidupan manusia purba.
Memahami Teks
Perlu kamu ketahui
bahwa sekalipun belum
mengenal tulisan manusia purba
sudah mengembangkan kebudayaan
dan teknologi. Teknologi waktu
itu bermula dari
teknologi bebatuan yang digunakan
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan
atau teknologi bebatuan
tersebut dapat berfungsi serba
guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat kebetulan dan
seadanya serta bersifat trial and
eror. Mula-mula mereka
hanya menggunakan
benda-benda dari alam terutama
batu. Teknologi bebatuan pada
zaman ini berkembang dalam kurun
waktu yang begitu
panjang. Oleh karena
itu, para ahli kemudian membagi
kebudayaan zaman batu di era praaksara ini
menjadi beberapa zaman
atau tahap perkembangan.
Dalam buku R. Soekmono, Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia
I, dijelaskan bahwa
kebudayaan zaman batu ini dibagi
menjadi tiga yaitu, Paleolitikum,
Mesolitikum dan Neolitikum.
1.
Antara Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang digunakan
oleh manusia purba adalah alat-alat
dari batu yang seadanya dan
juga dari tulang. Peralatan ini berkembang
pada zaman paleolitikum atau
zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan
zaman neozoikum terutama pada
akhir zaman Tersier
dan awal zaman Quartair . Zaman
ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini merupakan zaman yang
sangat penting karena
terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni munculnya
jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan
zaman batu tua karena
hasil kebudayaan terbuat
dari batu yang relatif masih
sederhana dan kasar. Kebudayaan zaman Paleolitikum ini
secara umum ini
terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan
ini berkembang di
daerah Pacitan, Jawa Timur.
Beberapa alat dari
batu ditemukan di
daerah ini. Seorang ahli,
von Koenigwald dalam
penelitiannya pada tahun 1935
telah menemukan beberapa
hasil teknologi bebatuan atau
alat-alat dari batu
di daerah Punung.
Alat batu itu masih
kasar, dan bentuk
ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat batu
ini sering disebut dengan kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini
digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari umbi-umbian. Di
samping kapak perimbas,
di Pacitan juga ditemukan alat batu yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak. Di Pacitan juga
ditemukan alat-alat serpih.
b. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan
Ngandong berkembang di
daerah Ngandong dan juga
Sidorejo, dekat Ngawi.
Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan
juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang
binatang dan tanduk rusa
yang diperkirakan digunakan
sebagai penusuk atau belati.
Selain itu, ditemukan
juga alat-alat seperti tombak
yang bergerigi. Di Sangiran juga
ditemukan alat-alat dari batu,
bentuknya indah seperti kalsedon .
Alat-alat ini sering disebut dengan flakke.
Sebaran
artefak dan peralatan
paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah
di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur
(NTT), dan Halmahera.
2. Antara Pantai dan Gua
Zaman batu
terus berkembang memasuki
zaman batu madya atau
batu tengah yang
dikenal zaman mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah lebih
maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman paleolitikum . Sekalipun demikian bentuk dan hasil-hasil
kebudayaan zaman paleolitikum (batu
tua) tidak serta merta
punah tetapi mengalami
penyempurnaan. Bentuk flakke dan
alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara
garis besar kebudayaan mesolitikum ini
terbagi menjadi dua
kelompok besar yang ditandai
lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua.
a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger.
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken
berarti dapur dan modding dapat diartikan sampah ( kjokkenmoddinger = sampah dapur). Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang
menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai
Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini dapat memberi informasi
bahwa manusia purba zaman mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai.
Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melakukan penelitian di bukit kerang itu
dan menemukan jenis kapak genggam ( chopper ) yang berbeda
dari chopper yang
ada di zaman paleolitikum . Kapak
genggam yang ditemukan di bukit
kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra.
Kapak jenis pebble
ini terbuat dari batu
kali yang pecah,
sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam
dikerjakan sesuai dengan
keperluannya. Di samping
kapak jenis pebble juga
ditemukan jenis kapak
pendek dan jenis batu
pipisan (batu-batu
alat penggiling). Di Jawa batu
pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.
b. Kebudayaan Abris Sous Roche
Kebudayaan abris
sous roche merupakan
hasil kebudayaan yang ditemukan
di gua-gua. Hal
ini mengindikasikan bahwa manusia
purba pendukung kebudayaan ini
tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von
Stein Callenfels di Gua Lawa dekat
Sampung, Ponorogo. Penelitian
dilakukan Untuk mengetahui lebih tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil
teknologi dalam tentang Kebudayaan bebatuan yang ditemukan misalnya ujung panah,
Kjokkenmoddinger dan flakke, batu
penggilingan. Juga ditemukan
alat-alat dari tulang
dan tanduk rusa.
Kebudayaan abris sous
roche ini banyak
ditemukan misalnya di Besuki,
Bojonegoro, juga di
daerah Sulawesi Selatan seperti
di Lamoncong.
3. Sebuah Revolusi
Perkembangan zaman
batu yang dapat dikatakan paling
penting dalam kehidupan manusia adalah zaman batu baru atau
neolitikum. Pada zaman neolitikum yang juga dapat dikatakan sebagai zaman batu
muda. Pada zaman ini telah terjadi
“revolusi kebudayaan”, yaitu
terjadinya perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food producing. Hal ini seiring dengan
terjadinya perubahan jenis pendukung kebudayaanya. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo
sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman
batu baru. Mereka
mulai mengenal bercocok tanam dan beternak sebagai proses untuk
menghasilkan atau memproduksi bahan makanan.
Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong
mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di
zaman neolitikum ini
secara garis besar
dibagi menjadi dua
tahap perkembangan.
a. Kebudayaan kapak persegi
Nama
kapak persegi berasal
dari penyebutan oleh von
Heine Gelderen. Penamaan ini
dikaitkan dengan bentuk alat
tersebut. Kapak persegi ini
berbentuk persegi panjang dan
ada juga yang berbentuk trapesium.
Ukuran alat ini juga
bermacam-macam. Kapak persegi
yang besar sering disebut
dengan beliung atau pacul (cangkul),
bahkan sudah ada
yang diberi tangkai sehingga
persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil
dinamakan tarah atau tatah.
Penyebaran alat-alat ini
terutama di Kepulauan Indonesia
bagian barat, seperti Sumatra, Jawa dan Bali. Diperkirakan sentra-sentra
teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor,
Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di
Lereng Gunung Ijen
(Jawa Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu
asahan. Kapak persegi
ini cocok sebagai alat pertanian.
b. Kebudayaan kapak lonjong
Nama
kapak lonjong ini
disesuaikan dengan bentuk penampang
alat ini yang berbentuk
lonjong. Bentuk keseluruhan
alat ini lonjong seperti
bulat telur. Pada
ujung yang lancip ditempatkan
tangkai dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga
tajam. Kapak yang ukuran
besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil.
Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia
bagian timur, misalnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa. Pada zaman neolitikum, di
samping berkembangnya jenis kapak
batu juga ditemukan barang-barang
perhiasan, seperti gelang dari
batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar.
Perlu kamu
ketahui bahwa manusia purba waktu itu sudah memiliki
pengetahuan tentang kualitas bebatuan
untuk peralatan. Penemuan dari
berbagai situs menunjukkan bahan yang paling sering
dipergunakan adalah jenis batuan kersikan ( silicified stones ), seperti
gamping kersikan, tufa
kersikan, kalsedon, dan
jasper. Jenis-jenis batuan ini
di samping keras, sifatnya yang
retas dengan pecahan
yang cenderung tajam
dan tipis, sehingga
memudahkan pengerjaan. Di beberapa
situs yang mengandung fosil-fosil
kayu, seperti di
Kali Baksoka (Jawa
Timur) dan Kali Ogan (Sumatra
Selatan) tampak ada upaya
pemanfaatan fosil untuk
bahan peralatan. Pada saat
lingkungan tidak menyediakan
bahan yang baik,
ada kecenderungan untuk
memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian, walaupun
kualitasnya kurang baik. Contoh semacam
ini dapat diamati
pada situs Kedunggamping
di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di
Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit untuk peralatan.
c. Perkembangan zaman logam
Mengakhiri
zaman batu di
masa neolitikum mulailah zaman logam.
Sebagai bentuk masa
perundagian. Zaman logam di
Kepulauan Indonesia ini
agak berbeda bila dibandingkan dengan
yang ada di
Eropa. Di Eropa
zaman logam ini mengalami
tiga fase, zaman
tembaga, perunggu dan besi.
Di Kepulauan Indonesia hanya
mengalami zaman perunggu dan besi. Zaman
perunggu merupakan fase yang sangat
penting dalam sejarah. Beberapa contoh benda-benda kebudayaan perunggu itu antara
lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan. Beberapa benda
hasil kebudayaan zaman logam ini
juga terkait dengan praktik
keagamaan misalnya nekara.
Sumber :
0 comments:
Post a Comment