a. Perjuangan
Bersenjata
1) Pendaratan
Sekutu di Indonesia
Negara-negara yang tergabung dalam Sekutu dan menang perang dalam Perang
Dunia II khususnya Perang Pasifik (Jepang menyebutnya : Perang Asia Timur
Raya), membentuk suatu badan komando untuk Asia Tenggara yang disebut SEAC (South
East Asia Command) dibawah pimpinan Jenderal Lord Louis Mounbatten. Khusus
untuk Indonesia, Sekutu membentuk AFNEI (Allied Forces Netherland East
Indies) yang diwakili Inggris dengan komandannya Letjen Sir Phillip
Christison. Adapun tugas AFNEI adalah :
a) menerima penyerahan
kekuasaan dari tangan Jepang.
b) membebaskan tawanan perang
dan interniran Sekutu.
c) melucuti dan mengumpulkan
tentara Jepang untuk kemudian dipulangkan ke negerinya.
d) menegakkan dan mempertahankan
keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil.
e) menghimpun keterangan serta menuntut
para penjahat perang.
Pasukan
Sekutu yang tergabung dalam AFNEI tersebut mendarat di berbagai kota besar di
Indonesia antara bulan Agustus akhir sampai bulan Desember 1945. Ternyata,
dibelakang Sekutu ikut membonceng tentara NICA (Netherland Indies Civil
Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda yang bermaksud
menguasai kembali Indonesia. NICA ini dibentuk oleh Van Mook dan Van der Plas.
Sebenarnya, sebelum pasukan Inggris datang ke Indonesia pada tanggal 24 Agustus
1945, telah dibuat suatu Persetujuan Bersama (Civil Affairs Agreement)
antara Inggris dengan Belanda yang berisi Inggris akan memegang kekuasaan di
Indonesia atas nama pemerintah Belanda.
Kedatangan
Sekutu pada awalnya disambut dengan sikap terbuka oleh bangsa Indonesia. Akan
tetapi setelah diketahui bahwa pasukan Sekutu datang bersama orang-orang NICA,
sikap Indonesia berubah menjadi curiga dan penuh permusuhan. Situasi menjadi
buruk setelah NICA mempersenjatai kembali eks KNIL yang baru dilepaskan dari
tahanan Jepang. Selanjutnya mereka melakukan provokasi-provokasi terhadap para
pejuang republik.
2) Peristiwa
Bandung Lautan Api
Pasukan
Sekutu memasuki kota Bandung tanggal 17 Oktober 1945 dan menguasai kota Bandung
bagian utara, sedangkan bagian selatan dikuasai TKR. Pada tanggal 23 Maret
1946, Sekutu mengeluarkan ultimatum supaya kota Bandung bagian utara
dikosongkan oleh pasukan Republik. Perintah ini, ternyata juga datang dari
Pemerintah Pusat RI di Jakarta. Tetapi akibat Sekutu menuntut pengosongan
sejauh sebelas kilometer, dari Bandung Selatan meletus pertempuran dan aksi
bumi hangus di segenap penjuru kota. Kota Bandung terbakar hebat dari batas
timur Cicadas sampai batas barat Andir. Pembakaran kota Bandung ini atas
inisiatif Kolonel A.H. Nasution yang pada waktu menjabat sebagai Panglima
Divisi III Jawa Barat.
Pada
tanggal 23-24 Maret 1946, mereka meninggalkan kota Bandung yang telah menjadi
lautan api. Peristiwa tersebut kemudian diabadikan dalam lagu “Halo-Halo
Bandung” ciptaan Ismail Marzuki. Tokoh-tokoh pertempuran di Bandung
antara lain Arudji Kartawinata (Ketua BKR Jawa Barat), pemuda Sutoko, Nawawi
Alib, Ramdan, Kolonel Hidayat, dan lain-lain.
Sementara
itu, benteng NICA di Dayeuh Kolot dikepung oleh para pejuang sebagai taktik
menghancurkan daerah tersebut. Kemudian muncul pemuda Moh. Toha yang siap berjibaku
untuk menghancurkan gudang mesiu dengan membawa alat peledak. Dengan
keberaniannya, maka hancurlah gudang mesiu milik NICA tersebut dan Moh. Toha
gugur dalam menjalankan tugas untuk negara dan bangsa. Moh. Toha akhirnya
dianugrahi sebagai Pahlawan Bandung Selatan.
|
|
3) Pertempuran Ambarawa
Pertempuran
di Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November 1945 dan berakhir tanggal 15
Desember 1945, antara pasukan TKR dan laskar pemuda melawan pasukan Inggris.
Peristiwa tersebut dilatar-belakangi sebuah insiden di Magelang sesudah
mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang. Pihak RI
memperkenankan mereka untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara
Ambarawa dan Magelang. Tetapi kedatangan pasukan Inggris ternyata diikuti
oleh pasukan NICA yang kemudian mempersenjati para bekas tawanan perang
Jepang tersebut. Maka pecahlah pertempuran di Ambarawa-Magelang
|
Pada
waktu itu, TKR dibawah pimpinan Panglima Divisi V Banyumas, Kolonel Soedirman
dan berhasil memukul mundur Sekutu sampai ke Semarang pada tanggal 15 Desember
1945. Kemenangan di Ambarawa itu mempunyai arti yang sangat penting karena
letaknya yang strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka bisa
mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah, yaitu Surakarta (Solo), Magelang, dan
terutama Yogyakarta yang merupakan tempat kedudukan markas tertinggi TKR.
Pertempuran di Ambarawa tersebut terkenal dengan sebutan “Palagan Ambarawa”, dan sampai
sekarang selalu diperingati sebagai “Hari Infanteri” oleh TNI-AD.
4) Pertempuran
di Surabaya
Pertempuran di Surabaya diawali dengan pendaratan pasukan Sekutu dibawah
pimpinan Brigjen A.W.S. Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945. Pada tanggal 27
Oktober, mereka menyerbu penjara dan membebaskan perwira-perwira Sekutu yang
sebelumnya ditawan oleh pejuang-pejuang republik. Pembebasan tanpa izin
pemerintah RI telah menimbulkan kemarahan rakyat setempat, sehingga mereka
secara serentak mengadakan serangan terhadap Sekutu.
Dalam
suatu pertempuran, Mallaby terbunuh. Hal ini menimbulkan kemarahan Sekutu,
sehingga komandan pasukan Sekutu di Jawa Timur, Mayjend R. Mansergh
mengeluarkan ultimatum. Ultimatum tersebut berisi :
a) semua pemimpin Indonesia
termasuk pemimpin pergerakan, pemuda, polisi, dan petugas radio harus melapor
kepada Inggris dalam batas waktu sampai pukul 18.00 pada tanggal 9 November
1945;
b) mereka harus berbaris
satu-persatu dengan membawa senjata yang dimilikinya;
c) setelah meletakkan senjata,
mereka harus berjalan dengan tangan di atas kepala menuju pos yang telah
ditentukan;
d) jika ultimatum ini tidak
ditaati, Inggris akan menghancurkan seluruh kota Surabaya.
Ultimatum
tersebut tidak digubris oleh rakyat Surabaya yang didukung juga oleh
gubernurnya R. Soerjo. Semangat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan
telah mendorong rakyat rela berkorban. Bung Tomo salah seorang pimpinan para
pejuang selalu membangkitkan semangat perjuangan melalui radio agar rakyat Surabaya
tidak menghiraukan ultimatum Inggris. Akhirnya, pasukan Inggris dan Belanda
menggempur Surabaya dari segala jurusan dengan persenjatan berat dan lengkap
pada tanggal 10 November 1945. Penduduk Surabaya bertempur mati-matian
sehingga banyak korban yang tewas. Pertempuran di Surabaya bagi pasukan
Inggris sendiri merupakan perang terbesar yang dialaminya setelah Perang
Dunia II, sehingga mereka menyebutnya “neraka”. Peristiwa tanggal 10 November
tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
|
|
5) Pertempuran
di Jakarta dan Medan
Pertempuran sengit pun terjadi di
ibukota RI, Jakarta. Inggris dan NICA mendarat di Tanjung Priok bulan September
1945. Mereka melakukan teror dan provokasi kepada rakyat dan pemerintah.
Insiden berkembang menjadi suatu pertempuran di sekitar Jakarta dan meluas
sampai ke Karawang dan Bekasi pada tanggal 19 Desember 1945. Mengingat situasi
yang gawat, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta beserta para
pemimpin lainnya melakukan hijrah ke Yogyakarta tanggal 3 Januari 1946.
Sementara itu, PM Sutan Syahrir masih tetap tinggal di Jakarta.
Pasukan Inggris dan NICA mendarat di
Medan tanggal 13 Oktober 1945. Mereka menduduki kota dan gedung-gedung secara
paksa. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang
bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area” di pinggiran-pringgiran kota
Medan. Sejak saat itu, istilah Medan Area menjadi terkenal.
Tindakan Sekutu tersebut jelas membangkitkan kemarahan para pemuda pejuang.
Dalam suatu peristiwa, seorang perwira Inggris berhasil diculik oleh para
pemuda dan beberapa truk berhasil dihancurkan. Maka pecahlah pertempuran antara
pasukan Inggris dan NICA dengan TKR serta kesatuan laskar yang ada. Pertempuran
kemudian terkenal dengan Pertempuran Medan Area.
b. Perjuangan Diplomasi
1) Perundingan-Perundingan
Awal
Kedatangan pasukan Sekutu yang
diboncengi NICA dan membentuk AFNEI ternyata tidak membuat suasana semakin
baik. Justru sebaliknya, ketegangan antara Indonesia dengan Sekutu semakin
meningkat sehingga menimbulkan beberapa pertempuran yang banyak menelan korban.
Pertempuran-pertempuran mulai mereda setelah Inggris mengambil prakarsa untuk
mengajak Indonesia dan Belanda ke meja perundingan. Perundingan pertama untuk
menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dan Belanda terjadi pada tanggal 17
November 1945 di Jakarta. Indonesia diwakili Sutan Syahrir dan Belanda diwakili
Van Mook, sedangkan pertemuan dipimpin oleh Jenderal Christison dari Inggris
sebagai penengah.
Pada awal perundingan, Van Mook
menyampaikan pernyataan Pemerintah Kerajaan Belanda yang berisi pidato dari
Ratu Belanda, Wilhelmina yang berisi :
a) Indonesia akan dijadikan
negara commonwealth berbentuk federasi, dan memiliki pemerintahan
sendiri dalam lingkungan kerajaan Belanda;
b) masalah dalam negeri diurus
oleh Indonesia, sedangkan masalah luar negeri diurus oleh pemerintah Belanda;
c) sebelum commonwealth dibentuk, akan dilasanakan pemerintahan peralihan
selama 10 tahun.
Atas pernyataan tersebut, Pemerintah
Indonesia jelas menolak secara tegas, karena kemerdekaan yang telah dicapai
merupakan perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Akhirnya pertemuan di Jakarta
itu mengalami kegagalan. Perundingan-perundingan selanjutnya di antaranya
dilaksanakan di Hooge Veluwe, Belanda tanggal 14-24 April 1946. Kemudian di
Jakarta dilaksanakan lagi perundingan tanggal 7 Oktober 1946. Salah satu isi
kesepakatan dalam perundingan di Jakarta tersebut adalah diadakannya gencatan
senjata antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 14 Oktober 1946.
2) Perundingan
Linggarjati
Dalam rangka kelanjutan dari
perundingan-perundingan sebelumnya, pada tanggal 10 November 1946
diselenggarakan perundingan yang bertempat di Linggarjati (perbatasan
Cirebon-Kuningan). Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM Sutan Syahrir,
sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Mook. Meskipun perundingan
berjalan sangat alot, pada tanggal 15 November 1946 dicapailah suatu
persetujuan yang terdiri 17 pasal, isinya antara lain :
a) Belanda mengakui secara de facto
wilayah RI yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera Belanda harus sudah
meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1947.
|
.
|
b) Indonesia dan Belanda akan
membentuk Negara Indonesia Serikat (RIS) yang salah satu negara bagiannya
adalah Republik Indonesia.
c) Pembentukan
Uni Indonesia – Belanda (Commonwealth).
Bila dianalisa, hasil Persetujuan
Linggarjati jelas sangat merugikan bagi bangsa Indonesia, sebab : Poin pertama,
jelas merupakan kemunduran bagi RI karena kemerdekaan yang telah
diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 adalah untuk seluruh wilayah dan rakyat
Indonesia, akhirnya hanya meliputi sebagian saja (Jawa, Madura, dan Sumatera).
Poin kedua : apa yang dulu diidam-idamkan sebagai negara kesatuan, ternyata
hanya merupakan negara federasi. Poin ketiga : status Indonesia tidak merdeka
penuh sebab masih terikat dari Kerajaan Belanda.
Hasil perundingan tersebut
akhirnya mempunyai dampak yang sangat kuat dengan munculnya pro dan kontra.
Meskipun pemerintah menganggap bahwa perundingan itu merupakan alat diplomasi
untuk melepaskan diri secara berangsur-angsur dari kekuasaan Belanda. Mereka
yang pro kemudian tergabung dalam golongan Sayap Kiri, sedangkan yang kontra
tergabung dalam golongan Banteng Republik. Golongan Banteng Republik tidak
percaya lagi terhadap kepemimpinan Kabinet Syahrir dan menganggap bertanggung
jawab terhadap hasil perundingan Linggarjati. Akhirnya Kabinet Syahrir jatuh
dan menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno tanggal 27 Juni 1947.
Presiden Soekarno kemudian membentuk kabinet baru yang dipimpin oleh Amir
Syarifudin pada tanggal 3 Juli 1947.
Kekacauan politik di
Indonesia tersebut dimanfaatkan oleh Belanda ketika jatuhnya Kabinet Syahrir.
Belanda membentuk Negara Pasundan dengan Soerja Kartalegawa sebagai wali negara
pada tanggal 4 Mei 1947. Kemudian Negara Kalimantan Barat dengan Kepala
Negaranya Sultan Hamid II, disusul kemudian dengan negara-negara lainnya di
wilayah Indonesia. Dengan demikian, pecahlah negara kesatuan RI.
3) Agresi
Militer Belanda I, Terbentuknya KTN, dan Perundingan Renville
Pada tanggal 21 Juli 1947,
Belanda melancarkan serangan yang besar-besaran
terhadap daerah-daerah RI. Agresi Belanda tersebut menyebebkan jatuhnya
beberapa kota penting RI. Bagi Belanda, tindakan agresinya itu dianggap sebagai
aksi polisional, yang menganggap perjuangan bangsa Indonesia menghadapi Belanda
sebagai tindakan kaum ekstrimis yang memberontak terhadap pemerintah Belanda
yang sah.
Agresi Militer Belanda I,
mendapat reaksi dan kecaman yang keras dari negara-negara di kawasan Asia dan
negara-negara anggota PBB, termasuk Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat,
Belanda dianggap telah menyelewengkan dana bantuan program Marshall Plan untuk
menyerang Indonesia. Pada tanggal 1 Agustus 1947, DK-PBB menyerukan kepada
Belanda dan Indonesia agar mengadakan gencatan senjata dan segera mengadakan
perundingan. Pada tanggal 4 Agustus 1947, DK-PBB mengumumkan penghentian tembak-menembak,
yang mengakhiri Agresi Militer Belanda I.
Upaya selanjutnya dari DK-PBB adalah
membentuk Komisi Jasa Baik (Goodwill Commission) yang dikenal dengan
Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan Australia (diwakili Richard
Kirby), Belgia (diwakili Paul van Zeeland) dan Amerika Serikat (diwakili oleh
Dr. Frank B. Graham). Setelah tiba di Jakarta, wakil-wakil KTN mengadakan
penelitian tentang keadaan di Indonesia dengan pendekatan kepada kedua belah
pihak yang bertikai. Kemudian KTN mengusulkan agar perundingan
diselenggarakan di atas kapal milik AS, yaitu kapal AL USS Renville yang
sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan dilaksanakan pada tanggal 8
Desember 1947.
|
|
Delegasi
Indonesia dipimpin oleh PM Amir Syarifudin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin
oleh R. Abdoel Kadir Widjojoatmodjo (seorang Indonesia yang pro Belanda).
Meskipun perundingan berjalan alot, KTN
berhasil mengusulkan usul politik untuk dipilih kedua belah pihak yaitu :
a) kemerdekaan bagi bangsa Indonesia
b) kerja sama Indonesia-Belanda
c) dibentuknya suatu negara federasi
d) dibentuknya suatu Uni Indonesia-Serikat dan
bagian lain
Akhirnya perundingan di kapal Renville
berhasil ditandatangani oleh semua pihak pada tanggal 17 Januari 1948.
Persetujuan tersebut antara lain berisi :
a) Persetujuan gencatan senjata
b) Enam pokok prinsip tambahan untuk
perundingan guna memperlancar penyelesaian politik, antara lain :
(1) Belanda tetap memegang kedaulatan atas
seluruh wilayah Indonesia, sampai kedaulatan diserahkan kepada RIS yang segera
akan dibentuk.
(2) Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat
mengerahkan sebagian dari kekuasaannya pada suatu pemerintahan federal
sementara.
(3) RIS sebagai negara merdeka dan berdaulat,
sederajat dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda. Namun Raja
Belanda bertindak sebagai Kepala Uni.
(4) RI merupakan bagian dari RIS.
(5) Akan
diadakan plebisit di wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera untuk menentukan masuk
RI atau RIS (di daerah-daerah RI yang diduduki Belanda hasil Agresi I).
Hasil
perundingan Renville jelas telah merugikan Indonesia. Hal tersebut
menimbulkan pro dan kontra di kalangan politisi nasional maupun pejuang
pergerakan. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, wilayah Indonesia
menjadi semakin sempit, dan kedudukannya semakin terdesak karena RI harus
mengakui daerah RI yang yang diduduki Belanda hasil dari agresinya.
Melaksanakan Perjanjian Renville, berarti harus melaksanakan “garis demarkasi
Van Mook”. Ini berarti, daerah-daerah
di Jawa
|
|
Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur harus ada daerah-daerah yang “dikosongkan”.Dari Jawa
Barat, pasukan Divisi Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah, demikian pula
tentara dari Divisi Damarwulan dari Jawa Timur harus ditarik ke wilayah RI.
Perintah ini jelas menimbulkan reaksi yang sangat keras dari kalangan TNI dan
para pejuang. Bahkan Letjen Oerip Soemohardjo mengundurkan diri dari jabatannya
karena tidak dapat menerima keputusan pemerintah untuk meninggalkan kantong-kantong
gerilya.
Akhirnya Kabinet Amir Syarifudin jatuh
karena tidak mendapat dukungan dari rakyat, apalagi setelah keluarnya Masyumi
dan PNI dari kabinet. Pada tanggal 29 Januari 1948, Presiden Soekarno membentuk
kabinet baru dengan perdana menterinya, Drs. Moh. Hatta. Kondisi politik di
Indonesia semakin rumit. Pemerintah harus menghadapi berbagai tantangan yang
berat. Di satu pihak harus menghadapi kelicikan Belanda, di pihak lain harus
menghadapi perpecahan di kalangan politisi dan pejuang sendiri. Dan pada waktu
bersamaan harus menghadapi pemberontakan yang dilakukan PKI di Madiun.
4) Agresi
Militer Belanda II
Belanda memperhitungkan bahwa pemadaman
pemberontakan PKI di Madiun telah banyak menelan biaya dan tenaga yang sangat
besar, sehingga kekuatan TNI akan semakin berkurang. Maka pada tanggal 19
Desember 1948 pukul 05.00 pagi, Belanda melancarkan agresinya yang kedua.
Serangan langsung ditujukan ke ibukota RI di Yogyakarta yang kemudian berhasil
dikuasai. Selanjutnya mereka menangkap Presiden Soekarno dan Moh. Hatta serta
beberapa pejabat lainnya. Presiden Soekarno diasingkan ke Prapat dan Wakil
Presiden Drs. Moh. Hatta diasingkan ke Pulau Bangka.
Ketika Agresi
Militer Belanda dilancarkan, Jenderal Soedirman telah mengeluarkan instruksinya
yang dikenal dengan “Perintah Kilat No. 1/P.B/D/1948”. Perintah kilat tersebut
berisikan TNI dan rakyat mundur keluar kota untuk melakukan perang gerilya.
Pasukan Divisi Siliwangi diperintahkan untuk kembali ke daerah Jawa Barat dan
Divisi Majapahit ke Jawa Timur. Perjalanan kembali Divisi Siliwangi tersebut
dikenal dengan “Long March Siliwangi”. Sampai sekarang, setiap tahun Kodam
Siliwangi beserta komponen masyarakat selalu memperingati peristiwa tersebut
dengan menyelenggarakan “Napak Tilas” dari daerah Cirikip, Lemah Sugih, Ciamis
sampai ke Darongdong, Buahdua-Sumedang.
5) PDRI
dan Serangan Umum 1 Maret 1949
Sebenarnya, sebelum para pemimpin RI
ditangkap Belanda, para pemimpin TNI dan Presiden RI sempat mengadakan sidang
kilat yang menghasilkan keputusan, di antaranya yaitu :
a) Memberi kuasa penuh kepada Mr. Syafruddin
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera;
b) Kepada Mr. Maramis, L.N. Palar, dan Dr.
Soedarsono yang sedang berada di India diberi tugas untuk membentuk Pemerintah
Pelarian RI di India bila PDRI di Bukittinggi gagal.
Selanjutnya Presiden Soekarno melalui
radiogram segera memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Rakyat, Mr.
Syafruddin Prawiranegara yang pada waktu itu sedang berada di Sumatera
(Bukittinggi) agar membentuk PDRI. Dengan demikian, walaupun para pemimpin RI
serta ibukota berada di tangan Belanda, pemerintahan RI terus tetap berjalan.
Terlepas dari polemik tentang siapa
sebenarnya yang memiliki ide awal untuk melakukan serangan umum tanggal 1 Maret
1949 ke Yogyakarta apakah Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau Letkol Soeharto,
toh dalam kenyataannya TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam.
Keberhasilan serangan ini kemudian disiarkan melalui radio di Wonogiri ke seluruh
penjuru dunia. Serangan Umum 1 Maret 1949 mempunyai arti yang sangat penting
bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi Belanda, yaitu :
a) Ke dalam; secara psikologis dapat mendorong
semangat perjuangan TNI dan rakyat Indonesia yang sedang berjuang melakukan
perang gerilya.
b) Ke luar; secara politik untuk membuktikan
kepada dunia internasional bahwa TNI dan negara RI masih ada dan sekaligus
membantah kebohongan Belanda yang menyatakan negara RI dan TNI sudah tidak ada
lagi.
6) Perundingan
Roem-Royen
Berbagai bangsa di Asia, Afrika, dan
Australia mengecam tindakan Belanda yang melakukan agresinya yang kedua ke
Indonesia. Atas prakarsa Birma dan India, pada tanggal 20-23 Januari 1949
diselenggarakan Konferensi Asia di New Delhi, India. Dalam konferensi itu
khusus membahas acara tunggal, yaitu Agresi Militer Belanda II. Konferensi
tersebut menghasilkan suatu resolusi tentang masalah RI-Belanda, yaitu :
a) Belanda harus mengembalikan Pemerintahan RI
ke Yogyakarta;
b) Pembentukan Pemerintahan ad-interim
yang mempunyai kemerdekaan politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c) Tentara Belanda harus ditarik dari seluruh
wilayah RI;
d) Penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah
Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari 1950.
Usaha perundingan kemudian ditempuh kembali dengan diadakannya
perundingan awal di Jakarta tanggal 14 April 1949. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van
Roijen. Perundingan tersebut di bawah pengawasan UNCI yang dipimpin oleh Merle
Cochran. Melalui perdebatan yang sengit, akhirnya dicapai persetujuan pada
tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan Persetujuan Roem-Roijen (Roem-Roijen
Statement). Persetujuan tersebut antara lain berisi :
a) Pemerintah
RI bersedia menghentikan perang gerilyanya;
b) Pemerintah RI bersedia menjalin kerjasama
untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban;
c) Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya
Pemerintah RI ke Yogyakarta;
d) Pemerintah Belanda bersedia menghentikan
operasi militernya, membebaskan semua tahanan politik serta berusaha dengan
sungguh-sungguh agar KMB segera dilaksanakan setelah pemerintah RI kembali ke
Yogyakarta.
|
|
7) Konferensi
Meja Bundar (KMB)
Sebagai
tindak lanjut dari beberapa perundingan sebelumnya antara Indonesia dan
Belanda, membawa keduanya maju ke Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan
pada tanggal 23 Agustus 1949. Untuk menghadiri KMB, pemerintah RI telah
menetapkan delegasi yang anggota-anggotanya terdiri atas Drs. Moh Hatta, Mr.
Moh. Roem, Prof. Dr. Soepomo, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, Mr. A.K.
Pringgodigdo, dsb. Sedangkan delegasi-delegasi yang hadir dalam KMB yaitu :
a) Delegasi
RI dibawah pimpinan PM Drs. Moh. Hatta;
b) Delegasi
BFO (Bijeenkomt voor Federal Overleg) yaitu Negara-Negara Bagian RIS
yang dipimpin oleh Sultan Hamid II;
|
|
c) Delegasi Belanda dibawah
pimpinan J.H. Maarseveen;
d) Delegasi UNCI diwakili oleh
Merle Cochran, Herreman’s, Critchley, dan Romanos.
Meskipun
jalannya konferensi berjalan alot karena sukarnya mencapai kesepakatan antara
kedua belah pihak, akhirnya dicapai keputusan bersama atas peran UNCI sebagai
penengah. Adapun hasil yang dicapai dalam KMB tersebut adalah :
a) Belanda menyerahkan
kedaulatan tanpa syarat kepada RIS, selambat-lambatnya tanggal 30 September
1949;
b) Masalah Irian Barat akan
dibicarakan lagi dalam perundingan selanjutnya dalam waktu satu tahun setelah
penyerahan kedaulatan kepada RIS;
c) Kerjasama RIS dan Kerajaan
Belanda akan dijalin dalam hubungan Uni Indonesia-Belanda di bawah pimpinan
Ratu Belanda;
d) Kapal-kapal perang Belanda
ditarik dari Indonesia, dan RIS menerima beberapa perlengkapan perang dari
Belanda;
e) Tentara Kerajaan Belanda
secepatnya ditarik dari Indonesia, sedangkan KNIL dibubarkan dan akan digabung
dengan APRIS.
0 comments:
Post a Comment