Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Wednesday, August 28, 2013

Perjuangan Bersenjata dan Diplomasi dalam Upaya Menegakkan Kedaulatan (1945-1949)



a.     Perjuangan Bersenjata
1)     Pendaratan Sekutu di Indonesia
         Negara-negara yang tergabung dalam Sekutu dan menang perang dalam Perang Dunia II khususnya Perang Pasifik (Jepang menyebutnya : Perang Asia Timur Raya), membentuk suatu badan komando untuk Asia Tenggara yang disebut SEAC (South East Asia Command) dibawah pimpinan Jenderal Lord Louis Mounbatten. Khusus untuk Indonesia, Sekutu membentuk AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) yang diwakili Inggris dengan komandannya Letjen Sir Phillip Christison. Adapun tugas AFNEI adalah :
a)     menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.
b)    membebaskan tawanan perang dan interniran Sekutu.
c)     melucuti dan mengumpulkan tentara Jepang untuk kemudian dipulangkan ke negerinya.
d)    menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil.
e)    menghimpun keterangan serta menuntut para penjahat perang.
         Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI tersebut mendarat di berbagai kota besar di Indonesia antara bulan Agustus akhir sampai bulan Desember 1945. Ternyata, dibelakang Sekutu ikut membonceng tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda yang bermaksud menguasai kembali Indonesia. NICA ini dibentuk oleh Van Mook dan Van der Plas. Sebenarnya, sebelum pasukan Inggris datang ke Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945, telah dibuat suatu Persetujuan Bersama (Civil Affairs Agreement) antara Inggris dengan Belanda yang berisi Inggris akan memegang kekuasaan di Indonesia atas nama pemerintah Belanda.
         Kedatangan Sekutu pada awalnya disambut dengan sikap terbuka oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi setelah diketahui bahwa pasukan Sekutu datang bersama orang-orang NICA, sikap Indonesia berubah menjadi curiga dan penuh permusuhan. Situasi menjadi buruk setelah NICA mempersenjatai kembali eks KNIL yang baru dilepaskan dari tahanan Jepang. Selanjutnya mereka melakukan provokasi-provokasi terhadap para pejuang republik.

2)     Peristiwa Bandung Lautan Api
         Pasukan Sekutu memasuki kota Bandung tanggal 17 Oktober 1945 dan menguasai kota Bandung bagian utara, sedangkan bagian selatan dikuasai TKR. Pada tanggal 23 Maret 1946, Sekutu mengeluarkan ultimatum supaya kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pasukan Republik. Perintah ini, ternyata juga datang dari Pemerintah Pusat RI di Jakarta. Tetapi akibat Sekutu menuntut pengosongan sejauh sebelas kilometer, dari Bandung Selatan meletus pertempuran dan aksi bumi hangus di segenap penjuru kota. Kota Bandung terbakar hebat dari batas timur Cicadas sampai batas barat Andir. Pembakaran kota Bandung ini atas inisiatif Kolonel A.H. Nasution yang pada waktu menjabat sebagai Panglima Divisi III Jawa Barat.
         Pada tanggal 23-24 Maret 1946, mereka meninggalkan kota Bandung yang telah menjadi lautan api. Peristiwa tersebut kemudian diabadikan dalam lagu “Halo-Halo Bandung” ciptaan Ismail Marzuki. Tokoh-tokoh pertempuran di Bandung antara lain Arudji Kartawinata (Ketua BKR Jawa Barat), pemuda Sutoko, Nawawi Alib, Ramdan, Kolonel Hidayat, dan lain-lain.
         Sementara itu, benteng NICA di Dayeuh Kolot dikepung oleh para pejuang sebagai taktik menghancurkan daerah tersebut. Kemudian muncul pemuda Moh. Toha yang siap berjibaku untuk menghancurkan gudang mesiu dengan membawa alat peledak. Dengan keberaniannya, maka hancurlah gudang mesiu milik NICA tersebut dan Moh. Toha gugur dalam menjalankan tugas untuk negara dan bangsa. Moh. Toha akhirnya dianugrahi sebagai Pahlawan Bandung Selatan.



3)     Pertempuran Ambarawa
         Pertempuran di Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November 1945 dan berakhir tanggal 15 Desember 1945, antara pasukan TKR dan laskar pemuda melawan pasukan Inggris. Peristiwa tersebut dilatar-belakangi sebuah insiden di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang. Pihak RI memperkenankan mereka untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Tetapi kedatangan pasukan Inggris ternyata diikuti oleh pasukan NICA yang kemudian mempersenjati para bekas tawanan perang Jepang tersebut. Maka pecahlah pertempuran di Ambarawa-Magelang


         Pada waktu itu, TKR dibawah pimpinan Panglima Divisi V Banyumas, Kolonel Soedirman dan berhasil memukul mundur Sekutu sampai ke Semarang pada tanggal 15 Desember 1945. Kemenangan di Ambarawa itu mempunyai arti yang sangat penting karena letaknya yang strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka bisa mengancam tiga kota utama di Jawa Tengah, yaitu Surakarta (Solo), Magelang, dan terutama Yogyakarta yang merupakan tempat kedudukan markas tertinggi TKR. Pertempuran di Ambarawa tersebut terkenal dengan sebutan “Palagan Ambarawa”, dan sampai sekarang selalu diperingati sebagai “Hari Infanteri” oleh TNI-AD.

4)     Pertempuran di Surabaya
         Pertempuran di Surabaya diawali dengan pendaratan pasukan Sekutu dibawah pimpinan Brigjen A.W.S. Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945. Pada tanggal 27 Oktober, mereka menyerbu penjara dan membebaskan perwira-perwira Sekutu yang sebelumnya ditawan oleh pejuang-pejuang republik. Pembebasan tanpa izin pemerintah RI telah menimbulkan kemarahan rakyat setempat, sehingga mereka secara serentak mengadakan serangan terhadap Sekutu.
         Dalam suatu pertempuran, Mallaby terbunuh. Hal ini menimbulkan kemarahan Sekutu, sehingga komandan pasukan Sekutu di Jawa Timur, Mayjend R. Mansergh mengeluarkan ultimatum. Ultimatum tersebut berisi :
a)     semua pemimpin Indonesia termasuk pemimpin pergerakan, pemuda, polisi, dan petugas radio harus melapor kepada Inggris dalam batas waktu sampai pukul 18.00 pada tanggal 9 November 1945;
b)    mereka harus berbaris satu-persatu dengan membawa senjata yang dimilikinya;
c)     setelah meletakkan senjata, mereka harus berjalan dengan tangan di atas kepala menuju pos yang telah ditentukan;
d)    jika ultimatum ini tidak ditaati, Inggris akan menghancurkan seluruh kota Surabaya.
         Ultimatum tersebut tidak digubris oleh rakyat Surabaya yang didukung juga oleh gubernurnya R. Soerjo. Semangat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan telah mendorong rakyat rela berkorban. Bung Tomo salah seorang pimpinan para pejuang selalu membangkitkan semangat perjuangan melalui radio agar rakyat Surabaya tidak menghiraukan ultimatum Inggris. Akhirnya, pasukan Inggris dan Belanda menggempur Surabaya dari segala jurusan dengan persenjatan berat dan lengkap pada tanggal 10 November 1945. Penduduk Surabaya bertempur mati-matian sehingga banyak korban yang tewas. Pertempuran di Surabaya bagi pasukan Inggris sendiri merupakan perang terbesar yang dialaminya setelah Perang Dunia II, sehingga mereka menyebutnya “neraka”. Peristiwa tanggal 10 November tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.


        
5)     Pertempuran di Jakarta dan Medan
         Pertempuran sengit pun terjadi di ibukota RI, Jakarta. Inggris dan NICA mendarat di Tanjung Priok bulan September 1945. Mereka melakukan teror dan provokasi kepada rakyat dan pemerintah. Insiden berkembang menjadi suatu pertempuran di sekitar Jakarta dan meluas sampai ke Karawang dan Bekasi pada tanggal 19 Desember 1945. Mengingat situasi yang gawat, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta beserta para pemimpin lainnya melakukan hijrah ke Yogyakarta tanggal 3 Januari 1946. Sementara itu, PM Sutan Syahrir masih tetap tinggal di Jakarta.
         Pasukan Inggris dan NICA mendarat di Medan tanggal 13 Oktober 1945. Mereka menduduki kota dan gedung-gedung secara paksa. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area” di pinggiran-pringgiran kota Medan. Sejak saat itu, istilah Medan Area menjadi terkenal. Tindakan Sekutu tersebut jelas membangkitkan kemarahan para pemuda pejuang. Dalam suatu peristiwa, seorang perwira Inggris berhasil diculik oleh para pemuda dan beberapa truk berhasil dihancurkan. Maka pecahlah pertempuran antara pasukan Inggris dan NICA dengan TKR serta kesatuan laskar yang ada. Pertempuran kemudian terkenal dengan Pertempuran Medan Area.

b.     Perjuangan Diplomasi
1)     Perundingan-Perundingan Awal
         Kedatangan pasukan Sekutu yang diboncengi NICA dan membentuk AFNEI ternyata tidak membuat suasana semakin baik. Justru sebaliknya, ketegangan antara Indonesia dengan Sekutu semakin meningkat sehingga menimbulkan beberapa pertempuran yang banyak menelan korban. Pertempuran-pertempuran mulai mereda setelah Inggris mengambil prakarsa untuk mengajak Indonesia dan Belanda ke meja perundingan. Perundingan pertama untuk menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dan Belanda terjadi pada tanggal 17 November 1945 di Jakarta. Indonesia diwakili Sutan Syahrir dan Belanda diwakili Van Mook, sedangkan pertemuan dipimpin oleh Jenderal Christison dari Inggris sebagai penengah.
         Pada awal perundingan, Van Mook menyampaikan pernyataan Pemerintah Kerajaan Belanda yang berisi pidato dari Ratu Belanda, Wilhelmina yang berisi :
a)     Indonesia akan dijadikan negara commonwealth berbentuk federasi, dan memiliki pemerintahan sendiri dalam lingkungan kerajaan Belanda;
b)    masalah dalam negeri diurus oleh Indonesia, sedangkan masalah luar negeri diurus oleh pemerintah Belanda;
c)     sebelum commonwealth dibentuk, akan dilasanakan pemerintahan peralihan selama 10 tahun.
         Atas pernyataan tersebut, Pemerintah Indonesia jelas menolak secara tegas, karena kemerdekaan yang telah dicapai merupakan perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Akhirnya pertemuan di Jakarta itu mengalami kegagalan. Perundingan-perundingan selanjutnya di antaranya dilaksanakan di Hooge Veluwe, Belanda tanggal 14-24 April 1946. Kemudian di Jakarta dilaksanakan lagi perundingan tanggal 7 Oktober 1946. Salah satu isi kesepakatan dalam perundingan di Jakarta tersebut adalah diadakannya gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 14 Oktober 1946.

2)     Perundingan Linggarjati     
         Dalam rangka kelanjutan dari perundingan-perundingan sebelumnya, pada tanggal 10 November 1946 diselenggarakan perundingan yang bertempat di Linggarjati (perbatasan Cirebon-Kuningan). Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM Sutan Syahrir, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Mook. Meskipun perundingan berjalan sangat alot, pada tanggal 15 November 1946 dicapailah suatu persetujuan yang terdiri 17 pasal, isinya antara lain :
a)     Belanda mengakui secara de facto wilayah RI yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera Belanda harus sudah meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1947.

.
b)    Indonesia dan Belanda akan membentuk Negara Indonesia Serikat (RIS) yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
c)     Pembentukan Uni Indonesia – Belanda (Commonwealth).
         Bila dianalisa, hasil Persetujuan Linggarjati jelas sangat merugikan bagi bangsa Indonesia, sebab : Poin pertama, jelas merupakan kemunduran bagi RI karena kemerdekaan yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 adalah untuk seluruh wilayah dan rakyat Indonesia, akhirnya hanya meliputi sebagian saja (Jawa, Madura, dan Sumatera). Poin kedua : apa yang dulu diidam-idamkan sebagai negara kesatuan, ternyata hanya merupakan negara federasi. Poin ketiga : status Indonesia tidak merdeka penuh sebab masih terikat dari Kerajaan Belanda.
         Hasil perundingan tersebut akhirnya mempunyai dampak yang sangat kuat dengan munculnya pro dan kontra. Meskipun pemerintah menganggap bahwa perundingan itu merupakan alat diplomasi untuk melepaskan diri secara berangsur-angsur dari kekuasaan Belanda. Mereka yang pro kemudian tergabung dalam golongan Sayap Kiri, sedangkan yang kontra tergabung dalam golongan Banteng Republik. Golongan Banteng Republik tidak percaya lagi terhadap kepemimpinan Kabinet Syahrir dan menganggap bertanggung jawab terhadap hasil perundingan Linggarjati. Akhirnya Kabinet Syahrir jatuh dan menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno tanggal 27 Juni 1947. Presiden Soekarno kemudian membentuk kabinet baru yang dipimpin oleh Amir Syarifudin pada tanggal 3 Juli 1947.
         Kekacauan politik di Indonesia tersebut dimanfaatkan oleh Belanda ketika jatuhnya Kabinet Syahrir. Belanda membentuk Negara Pasundan dengan Soerja Kartalegawa sebagai wali negara pada tanggal 4 Mei 1947. Kemudian Negara Kalimantan Barat dengan Kepala Negaranya Sultan Hamid II, disusul kemudian dengan negara-negara lainnya di wilayah Indonesia. Dengan demikian, pecahlah negara kesatuan RI.

3)     Agresi Militer Belanda I, Terbentuknya KTN, dan Perundingan Renville
         Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan yang besar-besaran  terhadap daerah-daerah RI. Agresi Belanda tersebut menyebebkan jatuhnya beberapa kota penting RI. Bagi Belanda, tindakan agresinya itu dianggap sebagai aksi polisional, yang menganggap perjuangan bangsa Indonesia menghadapi Belanda sebagai tindakan kaum ekstrimis yang memberontak terhadap pemerintah Belanda yang sah.
         Agresi Militer Belanda I, mendapat reaksi dan kecaman yang keras dari negara-negara di kawasan Asia dan negara-negara anggota PBB, termasuk Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat, Belanda dianggap telah menyelewengkan dana bantuan program Marshall Plan untuk menyerang Indonesia. Pada tanggal 1 Agustus 1947, DK-PBB menyerukan kepada Belanda dan Indonesia agar mengadakan gencatan senjata dan segera mengadakan perundingan. Pada tanggal 4 Agustus 1947, DK-PBB mengumumkan penghentian tembak-menembak, yang mengakhiri Agresi Militer Belanda I.
         Upaya selanjutnya dari DK-PBB adalah membentuk Komisi Jasa Baik (Goodwill Commission) yang dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan Australia (diwakili Richard Kirby), Belgia (diwakili Paul van Zeeland) dan Amerika Serikat (diwakili oleh Dr. Frank B. Graham). Setelah tiba di Jakarta, wakil-wakil KTN mengadakan penelitian tentang keadaan di Indonesia dengan pendekatan kepada kedua belah pihak yang bertikai. Kemudian KTN mengusulkan agar perundingan diselenggarakan di atas kapal milik AS, yaitu kapal AL USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 1947.


Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM Amir Syarifudin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdoel Kadir Widjojoatmodjo (seorang Indonesia yang pro Belanda).
         Meskipun perundingan berjalan alot, KTN berhasil mengusulkan usul politik untuk dipilih kedua belah pihak yaitu :
a)     kemerdekaan bagi bangsa Indonesia
b)    kerja sama Indonesia-Belanda
c)     dibentuknya suatu negara federasi
d)    dibentuknya suatu Uni Indonesia-Serikat dan bagian lain
         Akhirnya perundingan di kapal Renville berhasil ditandatangani oleh semua pihak pada tanggal 17 Januari 1948. Persetujuan tersebut antara lain berisi :
a)     Persetujuan gencatan senjata
b)    Enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna memperlancar penyelesaian politik, antara lain :
(1)   Belanda tetap memegang kedaulatan atas seluruh wilayah Indonesia, sampai kedaulatan diserahkan kepada RIS yang segera akan dibentuk.
(2)   Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat mengerahkan sebagian dari kekuasaannya pada suatu pemerintahan federal sementara.
(3)   RIS sebagai negara merdeka dan berdaulat, sederajat dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda. Namun Raja Belanda bertindak sebagai Kepala Uni.
(4)   RI merupakan bagian dari RIS.
(5)   Akan diadakan plebisit di wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera untuk menentukan masuk RI atau RIS (di daerah-daerah RI yang diduduki Belanda hasil Agresi I).
         Hasil perundingan Renville jelas telah merugikan Indonesia. Hal tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan politisi nasional maupun pejuang pergerakan. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, wilayah Indonesia menjadi semakin sempit, dan kedudukannya semakin terdesak karena RI harus mengakui daerah RI yang yang diduduki Belanda hasil dari agresinya. Melaksanakan Perjanjian Renville, berarti harus melaksanakan “garis demarkasi Van Mook”. Ini berarti, daerah-daerah   di    Jawa


Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur harus ada daerah-daerah yang “dikosongkan”.Dari Jawa Barat, pasukan Divisi Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah, demikian pula tentara dari Divisi Damarwulan dari Jawa Timur harus ditarik ke wilayah RI. Perintah ini jelas menimbulkan reaksi yang sangat keras dari kalangan TNI dan para pejuang. Bahkan Letjen Oerip Soemohardjo mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak dapat menerima keputusan pemerintah untuk meninggalkan kantong-kantong gerilya.
         Akhirnya Kabinet Amir Syarifudin jatuh karena tidak mendapat dukungan dari rakyat, apalagi setelah keluarnya Masyumi dan PNI dari kabinet. Pada tanggal 29 Januari 1948, Presiden Soekarno membentuk kabinet baru dengan perdana menterinya, Drs. Moh. Hatta. Kondisi politik di Indonesia semakin rumit. Pemerintah harus menghadapi berbagai tantangan yang berat. Di satu pihak harus menghadapi kelicikan Belanda, di pihak lain harus menghadapi perpecahan di kalangan politisi dan pejuang sendiri. Dan pada waktu bersamaan harus menghadapi pemberontakan yang dilakukan PKI di Madiun.

4)     Agresi Militer Belanda II      
         Belanda memperhitungkan bahwa pemadaman pemberontakan PKI di Madiun telah banyak menelan biaya dan tenaga yang sangat besar, sehingga kekuatan TNI akan semakin berkurang. Maka pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 05.00 pagi, Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Serangan langsung ditujukan ke ibukota RI di Yogyakarta yang kemudian berhasil dikuasai. Selanjutnya mereka menangkap Presiden Soekarno dan Moh. Hatta serta beberapa pejabat lainnya. Presiden Soekarno diasingkan ke Prapat dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta diasingkan ke Pulau Bangka.
        

Ketika Agresi Militer Belanda dilancarkan, Jenderal Soedirman telah mengeluarkan instruksinya yang dikenal dengan “Perintah Kilat No. 1/P.B/D/1948”. Perintah kilat tersebut berisikan TNI dan rakyat mundur keluar kota untuk melakukan perang gerilya. Pasukan Divisi Siliwangi diperintahkan untuk kembali ke daerah Jawa Barat dan Divisi Majapahit ke Jawa Timur. Perjalanan kembali Divisi Siliwangi tersebut dikenal dengan “Long March Siliwangi”. Sampai sekarang, setiap tahun Kodam Siliwangi beserta komponen masyarakat selalu memperingati peristiwa tersebut dengan menyelenggarakan “Napak Tilas” dari daerah Cirikip, Lemah Sugih, Ciamis sampai ke Darongdong, Buahdua-Sumedang.

5)     PDRI dan Serangan Umum 1 Maret 1949
         Sebenarnya, sebelum para pemimpin RI ditangkap Belanda, para pemimpin TNI dan Presiden RI sempat mengadakan sidang kilat yang menghasilkan keputusan, di antaranya yaitu :
a)     Memberi kuasa penuh kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera;
b)    Kepada Mr. Maramis, L.N. Palar, dan Dr. Soedarsono yang sedang berada di India diberi tugas untuk membentuk Pemerintah Pelarian RI di India bila PDRI di Bukittinggi gagal.
         Selanjutnya Presiden Soekarno melalui radiogram segera memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Rakyat, Mr. Syafruddin Prawiranegara yang pada waktu itu sedang berada di Sumatera (Bukittinggi) agar membentuk PDRI. Dengan demikian, walaupun para pemimpin RI serta ibukota berada di tangan Belanda, pemerintahan RI terus tetap berjalan.
         Terlepas dari polemik tentang siapa sebenarnya yang memiliki ide awal untuk melakukan serangan umum tanggal 1 Maret 1949 ke Yogyakarta apakah Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau Letkol Soeharto, toh dalam kenyataannya TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Keberhasilan serangan ini kemudian disiarkan melalui radio di Wonogiri ke seluruh penjuru dunia. Serangan Umum 1 Maret 1949 mempunyai arti yang sangat penting bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi Belanda, yaitu :
a)     Ke dalam; secara psikologis dapat mendorong semangat perjuangan TNI dan rakyat Indonesia yang sedang berjuang melakukan perang gerilya.
b)    Ke luar; secara politik untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI dan negara RI masih ada dan sekaligus membantah kebohongan Belanda yang menyatakan negara RI dan TNI sudah tidak ada lagi.

6)     Perundingan Roem-Royen
         Berbagai bangsa di Asia, Afrika, dan Australia mengecam tindakan Belanda yang melakukan agresinya yang kedua ke Indonesia. Atas prakarsa Birma dan India, pada tanggal 20-23 Januari 1949 diselenggarakan Konferensi Asia di New Delhi, India. Dalam konferensi itu khusus membahas acara tunggal, yaitu Agresi Militer Belanda II. Konferensi tersebut menghasilkan suatu resolusi tentang masalah RI-Belanda, yaitu :
a)     Belanda harus mengembalikan Pemerintahan RI ke Yogyakarta;
b)    Pembentukan Pemerintahan ad-interim yang mempunyai kemerdekaan politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c)     Tentara Belanda harus ditarik dari seluruh wilayah RI;
d)    Penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari 1950.
Usaha perundingan kemudian ditempuh kembali dengan diadakannya perundingan awal di Jakarta tanggal 14 April 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen. Perundingan tersebut di bawah pengawasan UNCI yang dipimpin oleh Merle Cochran. Melalui perdebatan yang sengit, akhirnya dicapai persetujuan pada tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan Persetujuan Roem-Roijen (Roem-Roijen Statement). Persetujuan tersebut antara lain berisi :
a)     Pemerintah RI bersedia menghentikan perang gerilyanya;
b)    Pemerintah RI bersedia menjalin kerjasama untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban;
c)     Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya Pemerintah RI ke Yogyakarta;
d)    Pemerintah Belanda bersedia menghentikan operasi militernya, membebaskan semua tahanan politik serta berusaha dengan sungguh-sungguh agar KMB segera dilaksanakan setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.



7)     Konferensi Meja Bundar (KMB)
         Sebagai tindak lanjut dari beberapa perundingan sebelumnya antara Indonesia dan Belanda, membawa keduanya maju ke Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1949. Untuk menghadiri KMB, pemerintah RI telah menetapkan delegasi yang anggota-anggotanya terdiri atas Drs. Moh Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Soepomo, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, Mr. A.K. Pringgodigdo, dsb. Sedangkan delegasi-delegasi yang hadir dalam KMB yaitu :
a)     Delegasi RI dibawah pimpinan PM Drs. Moh. Hatta;
b)    Delegasi BFO (Bijeenkomt voor Federal Overleg) yaitu Negara-Negara Bagian RIS yang dipimpin oleh Sultan Hamid II;


c)     Delegasi Belanda dibawah pimpinan J.H. Maarseveen;
d)    Delegasi UNCI diwakili oleh Merle Cochran, Herreman’s, Critchley, dan Romanos.
         Meskipun jalannya konferensi berjalan alot karena sukarnya mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak, akhirnya dicapai keputusan bersama atas peran UNCI sebagai penengah. Adapun hasil yang dicapai dalam KMB tersebut adalah :
a)     Belanda menyerahkan kedaulatan tanpa syarat kepada RIS, selambat-lambatnya tanggal 30 September 1949;
b)    Masalah Irian Barat akan dibicarakan lagi dalam perundingan selanjutnya dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan kepada RIS;
c)     Kerjasama RIS dan Kerajaan Belanda akan dijalin dalam hubungan Uni Indonesia-Belanda di bawah pimpinan Ratu Belanda;
d)    Kapal-kapal perang Belanda ditarik dari Indonesia, dan RIS menerima beberapa perlengkapan perang dari Belanda;
e)    Tentara Kerajaan Belanda secepatnya ditarik dari Indonesia, sedangkan KNIL dibubarkan dan akan digabung dengan APRIS.


0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More