B
|
angsa Belanda datang ke Indonesia pada awalnya
didorong oleh keinginan untuk memperoleh rempah-rempah, akibat dari larangan
membeli rempah-rempah di Lisabon oleh Spanyol tahun 1585. Setelah
kegagalan ekspedisi armada De Houtman karena bersikap kasar terhadap penduduk
pribumi, Belanda mengirimkan lagi ekspedisi kapal dagangnya pada bulan Mei
1598. Sebanyak 8 buah kapal dagang dibawah pimpinan Yacob van Neck dan
Wilbrandt van Waerwijck mendarat di Teluk Banten setelah berlayar selama 7
bulan. Kedatangan mereka kali ini disambut baik penduduk Banten. Empat buah
kapal yang penuh dengan muatan rempah-rempah kembali ke Negeri Belanda,
sedangkan empat buah kapal lagi melanjutkan pelayarannya menuju Maluku dan
daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Para pedagang Belanda
menyadari bahwa pada waktu itu persaingan dagang dengan bangsa-bangsa lain
sangat ketat. Untuk itu atas ide Barnevelt, mereka kemudian membentuk kongsi
dagang yang diberi nama VOC (Vereenidge
Oost Indische Compagnie) atau Perkumpulan Dagang Hindia-Belanda pada
tanggal 20 Maret 1602. Oleh lidah bangsa Indonesia nama VOC disebutnya
Kompeni (mengambil dari kata Compagnie). Agar perkumpulan dagang itu memiliki kekuatan dalam
menghadapi persaingan dengan kongsi-kongsi dagang bangsa lain, maka VOC
diberi hak-hak istimewa oleh Pemerintah Belanda.
|
|
Hak-haknya
itu kemudian disebut Hak Octrooi, yang berisi :
a.
VOC merupakan wakil pemerintah Negeri Belanda di Asia;
b.
VOC berhak mewakili pemerintah Belanda diantaranya : mengadakan perjanjian,
memaklumkan perang, membuat mata uang sendiri, mengangkat pegawai dan aparatur
pemerintahan, menjalankan kehakiman, mengadakan kontrak-kontrak, dan memungut
pajak;
c.
VOC memperoleh hak monopoli dalam perdagangan;
d.
VOC dapat mengadakan pemerintahan sendiri jika dipandang perlu;
e.
VOC berhak membentuk angkatan perang sendiri.
Dengan
diberikannya hak-hak istimewa tersebut, VOC dalam waktu singkat tumbuh menjadi
suatu kongsi dagang yang mempunyai hak memerintah. Dengan kekuatannya itu, VOC
berhasil melumpuhkan kongsi-kongsi dagang lainnya. Bahkan dalam waktu singkat,
VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Untuk memimpin VOC
diangkatlah seorang Gubernur Jenderal beserta para pembantunya. Pada tanggal 4
Maret 1621, VOC mendirikan markasnya di Jayakarta yang kemudian diganti menjadi
Batavia (diambil dari nama nenek moyang bangsa Belanda “Batav”).
Dengan politik monopoli, ekstirpasi (hak untuk mengurangi
produksi agar harga tetap tinggi), dan devide
et impera, VOC secara bertahap berhasil menguasai beberapa daerah penting
di Indonesia, seperti Banten, Maluku, dan Makasar. Gubernur Jenderal pertama
VOC adalah Pieter Both yang diangkat pada tanggal 27 November 1609. Pieter
Both kemudian diganti oleh mantan kepala administrasi di Banten, yaitu Jan
Pieterszoon Coen. Selama hampir dua abad, VOC berhasil menguasai perdagangan
di Indonesia dan mengeruk banyak keuntungan dengan memeras tenaga dan
kekayaan rakyat Indonesia.
|
|
Namun
pada awal abad ke-18, VOC mengalami kemunduran. Faktor-faktor yang menyebabkan
kemunduran VOC, antara lain :
a.
meningkatnya persaingan dagang dengan EIC (East Indian Compagnie) milik Inggris dan CI (Compagnie des Indies) milik Perancis;
b.
besarnya biaya perang dalam menghadapi perlawanan rakyat Indonesia;
c.
meningkatnya kebutuhan gaji pegawai, dan;
d.
merajalelanya korupsi di kalangan pegawai VOC.
Pada
tahun 1795, harta kekayaan VOC diperiksa oleh tim audit pemerintah Belanda.
Hasil pemeriksaan diketahui bahwa VOC mempunyai utang 136,7 juta Gulden dan
tidak mampu lagi membayar utangnya. Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC
dibubarkan oleh Pemerintah Belanda dan kedudukannya diambil alih. (pada waktu
itu VOC suka diplesetkan dengan singkatan Verhaand
Ounder Coruptie = Bangkrut Karena Korupsi). Dengan pengambilalihan
kekuasaan tersebut, berarti sejak itu Indonesia dimasukkan ke wilayah Kerajaan
Belanda dengan status sebagai daerah jajahan. Sejak tanggal 1 Januari 1800,
Indonesia resmi menjadi daerah jajahan Belanda dan namanya diganti menjadi
Hindia-Belanda dengan pusat pemerintahannya di Batavia.
B. KEBIJAKAN
PEMERINTAH KOLONIAL DI INDONESIA PADA ABAD KE-19 DAN AWAL ABAD KE-20
1. Penerapan
Politik Kolonial Konservatif (1800-1870)
Beralihnya kekuasaan pemerintahan dari
VOC ke tangan pemerintah Belanda tidak berarti dengan sendirinya membawa
perbaikan. Kemerosotan moral di lingkungan para penguasa dan penderitaan pada
pihak penduduk pribumi tidak berubah. Usaha perbaikan bagi rakyat jajahan tidak
dapat dilaksanakan, kerena Negeri Belanda sendiri terseret dalam perang dengan
negara-negara besar tetangganya. Hal itu terjadi karena Belanda pada waktu itu
diperintah oleh pemerintah “boneka” dari Kekaisaran Perancis di bawah kekuasaan
Napoleon Bonaparte.
Perang
yang terjadi di Eropa pada waktu itu melibatkan Austria, Prusia
(Jerman), Inggris, Spanyol, dan Belanda. Pada tahun 1799, Perancis berhasil
menduduki Belanda. Raja Belanda, William V melarikan diri ke London yang
kemudian mendapat perlindungan dari raja Inggris. Raja Belanda di tempat
pengasingannya di Inggris mengirim surat kepada penguasa di daerah jajahan agar
menyerahkan semua kekuasaan kepada Inggris, dengan jaminan bahwa jika keadaan
telah pulih, Inggris bersedia menyerahkan kembali daerah-daerah jajahan itu
kepada Belanda.
Sementara
itu, Perancis yang berhasil menguasai Belanda menggabungkan negeri Belanda ke
dalam wilayah Perancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Keadaan yang kacau
itu tentu saja membuat bingung para penguasa Belanda yang mulai terpecah pecah.
Paham liberalisme yang dicetuskan Perancis kemudian menyebar dan mempengaruhi
sebagian kaum politisi Belanda. Para pemimpin Belanda di Indonesia merasa
kebingungan untuk bertindak. Mereka yang setia kepada raja Belanda harus
menyerahkan Indonesia kepada Inggris dengan alasan untuk menghindari serbuan
Perancis. Sedangkan yang setia kepada kaum konservatif harus bersedia dan patuh
kepada pengawasan Perancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.
Dalam menghadapi kenyataan itu, baik Inggris dan Perancis
sama-sama mengambil tindakan untuk menguasai Indonesia. Daerah-daerah yang
memihak Perancis adalah Pulau Jawa dan Maluku (Ternate), sedang yang memihak
Inggris adalah Malaka, Sumatera, Ambon, dan Banda. Lodewijk Napoleon
(keponakan Napoleon Bonaparte yang memerintah Belanda) dengan tegas
mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda
(1808-1811). Tugasnya adalah mempertahankan Indonesia dari serangan Inggris,
mengatur pemerintahan di Hindia-Belanda, memperbaiki kondisi perekonomian, dan
membangun kembali armada angkatan laut yang hancur akibat serbuan Inggris.
Jadi, secara tidak langsung Indonesia dibawah penjajahan Perancis.
|
|
Daendels
dikenal sebagai tokoh revolusioner pendukung ide-ide liberalisme. Ia mengadakan
perubahan-perubahan secara radikal, dari sistem pemerintahan tradisional ke
arah sistem pemerintahan modern ala Barat di Indonesia. Salah satu upaya untuk
membangunan pertahanan militer, Daendels memerintahkan untuk membangun jalan
raya dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur). Pembangunan jalan raya
tersebut ternyata banyak menimbulkan korban jiwa di kalangan rakyat pribumi.
Salah seorang raja daerah yang menentang pembangunan jalan tersebut adalah
Pangeran Kornel dari Sumedang. Ia meminta kepada Daendels agar pembangunan
jalan yang banyak menimbulkan korban jiwa ketika harus membongkar batu cadas
dengan mendatangkan peralatan modern. Daerah antara Tanjungsari-Sumedang yang
banyak batu cadasnya kemudian dikenal dengan nama “Cadas Pangeran”.
Tindakan
Daendels yang sewenang-wenang telah menimbulkan kebencian di kalangan rakyat
Indonesia. Hal ini dianggap sangat membahayakan terhadap keutuhan pemerintahan
Hindia-Belanda di Indonesia. Lodewijk Napoleon kemudian menggantikan posisi
Daendels oleh Jan Willem Jansen sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Figur
Jansen ternyata tidak sekuat Daendels dalam memerintah, makanya ketika armada
angkatan laut Inggris menggempur Batavia, pasukan Belanda tidak berdaya
menghadapinya. Pada tanggal 18 September 1811, Belanda menyerah kepada Inggris
dengan menandatangani Kapitulasi Tuntang, yang berisi Inggris berkuasa secara
penuh di Indonesia. Kemudian Inggris membagi wilayah Hindia-Belanda menjadi
empat wilayah administrasi, yaitu
Malaka, Sumatera Barat, Jawa, dan Maluku. Gubernur Jenderal EIC, Lord Minto
kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal untuk
Pulau Jawa dan sekitarnya (1811-1816).
a. Masa Penjajahan Inggris
Selama lima tahun memerintah, Raffles banyak melakukan
perubahan-perubahan. Pada tahun 1813, ia memberlakukan pajak tanah (landrente) dalam rangkan meningkatkan
pemasukan uang ke kas negara. Tanah
pertanian dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelas I untuk tanah subur, kelas II
untuk tanah yang setengah subur, dan kelas III untuk tanah yang tandus. Tanah
kelas I dikenakan pajak ½ dari hasil bruto, kelas II 2/5 nya dan tanah kelas
III 1/3 nya. Pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah secara langsung.
|
|
Pada
tahun 1814, Perang Eropa terhenti sejak Napoleon Bonaparte dapat digulingkan
dan dibuang ke Pulau Elba. Negara-negara koalisi Eropa kemudian mengadakan
kongres di Wina untuk memulihkan keadaan Eropa. Pada tahun itu juga antara
Inggris dan Belanda menandatangani Convention
of London yang berisi pengembalian semua daerah jajahan Belanda yang sejak
tahun 1803 diduduki Inggris. Sebagai balasannya, Inggris mendapatkan Tanjung
Harapan dan Sailan (Srilanka) dari Belanda.
Raja
William V yang telah kembali ke negerinya dari pengasingannya, segera
memerintahkan para penguasa jajahan untuk melaksanakan Konvensi London, tetapi
Raffles tidak mau mengakui isi konvensi tersebut. Untuk itu, pemerintah Inggris
kemudian mengangkat John Fendal menggantikan Raffles untuk melaksanakan
penyerahan itu kepada Belanda. Sedangkan Raffles sendiri kembali ke Inggris,
yang kemudian menerbitkan bukunya yang terkenal History of Java tahun 1817. Pada tahun 1816 dilakukan penyerahan
Hindia Belanda (Indonesia) dari Inggris kepada Pemerintah Belanda. Sejak itu
Belanda kembali menjadi daerah jajahan Belanda.
b. Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur
Stelsel)
Selama
masa antara tahun 1816 dan 1830, pemerintah Belanda gagal dalam usahanya untuk
mempraktekkan gagasan-gagasan liberal. Hal ini disebabkan tujuan utama yang
harus dilakukan adalah mengeksploitasi tanah jajahan untuk dapat memberikan
keuntungan terhadap negeri induk. Di samping itu, karena kurangnya pengertian
terhadap suasana masyarakat Indonesia. Sementara itu, pada tahun 1830 keadaan
tanah jajahan dan di Negeri belanda sangat buruk. Pemisahan Belgia dari Belanda
(1830) dan Perang Diponegoro (1825-1830) telah banyak memakan biaya, sehingga
beban utang Belanda semakin besar.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya
kebangkrutan, maka Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal di
Hindia-Belanda (Indonesia) dengan tugas mencari cara untuk mengisi kekosongan
kas negara. Pulau Jawa dalam hubungan ini dianggap dapat mengisi kekosongan
kas negara tersebut. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Van den Bosch
memusatkan kebijakannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor, mengganti
sistem pajak yang tidak berjalan. Mengingat Belanda pada waktu itu tidak
mempunyai perdagangan, perkapalan, dan pabrik, maka yang perlu dilakukan
adalah mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk melakukan penanaman yang
hasil-hasilnya dapat dijual di pasaran dunia.
|
|
Penanaman
wajib ini kemudian dikenal dengan istilah Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Secara harfiah dalam bahasa Belanda, cuultur stelsel berarti “cara
pertanian”, namun di Indonesia kemudian dikenal dengan sebutan “tanam paksa”,
karena cara pelaksanaan bercocok tanam/bertani lebih bersifat pemaksaan.
Sistem
tanam paksa yang diperkenalkan itu pada dasarnya berisi keharusan bagi penduduk
Jawa untuk membayar pajak kepada pemerintah berupa barang, yaitu hasil-hasil
tanaman pertanian dan perkebunan untuk diekspor ke pasaran dunia, seperti kopi,
gula, dan nila. Menurut ketentuannya, sistem tanam paksa itu dilakukan atas
dasar ketetapan sebagai berikut :
1) Penduduk desa diwajibkan menyediakan 1/5 dari tanahnya untuk
ditanami dengan tanaman yang dapat dijual;
2) Tanah yang disediakan untuk penanaman dibebaskan dari pajak
tanah;
3) Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh
melebihi dari pekerjaan yang diperlukan dalam penanaman padi;
4) Wajib tanam paksa dapat diganti dengan pengerahan tenaga untuk
pengangkutan dan pekerjaan di pabrik;
5) Kegagalan panenan akan menjadi tanggungan pemerintah;
6) Penggarapan penanaman tanaman dibawah pengawasan langsung
kepala-kepala pribumi.
Akibat
langsung yang diterima oleh rakyat Indonesia dari sistem tanam paksa ini jelas
sekali. Kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan adalah nasib pahit yang harus
dialami oleh rakyat. Beban pajak yang berat, panenan yang gagal, dan pemaksaan
bekerja (rodi) yang sewenang-wenang telah membawa malapetaka penduduk di
berbagai tempat, khususnya di Pulau Jawa. Sebaliknya bagi rakyat Belanda,
sistem tanam paksa ini telah memberi keuntungan dan kemakmuran yang sangat
besar. Dengan cepat penghasilan pemerintah Belanda menjadi meningkat semenjak
tahun 1831, sehingga kas negara yang semula kosong cepat terisi dan utang-utang
Belanda dapat terlunasi. Pendek kata, kesulitan keuangan Belanda dapat diatasi.
Sementara itu, perkapalan dan perdagangan di Belanda meningkat. Kota Amsterdam
dibangun sebagai pusat pasaran dunia bagi hasil tanaman dari daerah tropika.
Pada
umumnya, sistem tanam paksa berhasil bagi pihak penjajah, sehingga memperoleh
saldo untung (batig slot) yang tidak
sedikit jumlahnya. Sebagai contoh, pada tahun 1832 dan 1867 saldo untung
mencapai jumlah 967 juta gulden, jumlah yang sangat tinggi pada waktu itu.
Kemelaratan
dan kesengsaraan yang diderita oleh rakyat di Indonesia pada umumnya tidak
diketahui oleh rakyat Belanda sendiri. Mereka hanya merasakan bahwa tanam paksa
telah membawa kemakmuran rakyat Belanda. Baru setelah tahun 1850, lambat laun
rakyat Belanda mulai mendengar berita-berita tentang keadaan yang sebenarnya di
Indonesia. Akibatnya timbullah perhatian dari kelompok orang yang maju untuk
mengajukan kritik dan kecaman terhadap pemerintah. Mereka juga melancarkan
gerakan untuk menentang dan menghapuskan sistem tanam paksa. Mereka itu
sebagian besar kaum penganut paham liberal.
Salah satu tokoh liberal yang terkenal menentang sistem
tanam paksa adalah Baron van Hoevels, Vitalis, dan sebagainya. Kecaman
semakin keras terhadap pemerintah Belanda, ketika beredarnya buku karangan
Eduard Douwes Dekker (Multatuli) bekas Asisten Residen Lebak, yang berjudul Max Havelaar. Dalam buku tersebut
dikisahkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat jajahan atas
kesewenang-wenangan Belanda.
|
|
Sebenarnya
dibalik keinginan kaum liberal menentang dan menuntut sistem tanam paksa
dihapuskan adalah adanya keinginan untuk ikut terjun langsung dalam perekonomian
di negeri jajahan. Sebab dalam paham liberal, perekonomian harus diserahkan
kepada kaum swasta. Selama menguasai Indonesia, perekonomian di negara jajahan
dikuasai oleh kaum konservatif. Setelah mendapat kemenangan di parlemen,
keinginan kaum liberal untuk ikut berusaha di negeri jajahan semakin terbuka.
0 comments:
Post a Comment