Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Wednesday, August 28, 2013

AWAL MUNCULNYA KOLONIALISME BELANDA DI INDONESIA



   B
angsa Belanda datang ke Indonesia pada awalnya didorong oleh keinginan untuk memperoleh rempah-rempah, akibat dari larangan membeli  rempah-rempah di Lisabon oleh Spanyol tahun 1585. Setelah kegagalan ekspedisi armada De Houtman karena bersikap kasar terhadap penduduk pribumi, Belanda mengirimkan lagi ekspedisi kapal dagangnya pada bulan Mei 1598. Sebanyak 8 buah kapal dagang dibawah pimpinan Yacob van Neck dan Wilbrandt van Waerwijck mendarat di Teluk Banten setelah berlayar selama 7 bulan. Kedatangan mereka kali ini disambut baik penduduk Banten. Empat buah kapal yang penuh dengan muatan rempah-rempah kembali ke Negeri Belanda, sedangkan empat buah kapal lagi melanjutkan pelayarannya menuju Maluku dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
         Para pedagang Belanda menyadari bahwa pada waktu itu persaingan dagang dengan bangsa-bangsa lain sangat ketat. Untuk itu atas ide Barnevelt, mereka kemudian membentuk kongsi dagang yang diberi nama VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie) atau Perkumpulan Dagang Hindia-Belanda pada tanggal 20 Maret 1602. Oleh lidah bangsa Indonesia nama VOC disebutnya Kompeni (mengambil dari kata Compagnie). Agar perkumpulan dagang itu memiliki kekuatan dalam menghadapi persaingan dengan kongsi-kongsi dagang bangsa lain, maka VOC diberi hak-hak istimewa oleh Pemerintah Belanda.
         Hak-haknya itu kemudian disebut Hak Octrooi, yang berisi :
a.         VOC merupakan wakil pemerintah Negeri Belanda di Asia;
b.        VOC berhak mewakili pemerintah Belanda diantaranya : mengadakan perjanjian, memaklumkan perang, membuat mata uang sendiri, mengangkat pegawai dan aparatur pemerintahan, menjalankan kehakiman, mengadakan kontrak-kontrak, dan memungut pajak;
c.         VOC memperoleh hak monopoli dalam perdagangan;
d.        VOC dapat mengadakan pemerintahan sendiri jika dipandang perlu;
e.        VOC berhak membentuk angkatan perang sendiri.
         Dengan diberikannya hak-hak istimewa tersebut, VOC dalam waktu singkat tumbuh menjadi suatu kongsi dagang yang mempunyai hak memerintah. Dengan kekuatannya itu, VOC berhasil melumpuhkan kongsi-kongsi dagang lainnya. Bahkan dalam waktu singkat, VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Untuk memimpin VOC diangkatlah seorang Gubernur Jenderal beserta para pembantunya. Pada tanggal 4 Maret 1621, VOC mendirikan markasnya di Jayakarta yang kemudian diganti menjadi Batavia (diambil dari nama nenek moyang bangsa Belanda “Batav”).
         Dengan politik monopoli, ekstirpasi (hak untuk mengurangi produksi agar harga tetap tinggi), dan devide et impera, VOC secara bertahap berhasil menguasai beberapa daerah penting di Indonesia, seperti Banten, Maluku, dan Makasar. Gubernur Jenderal pertama VOC adalah Pieter Both yang diangkat pada tanggal 27 November 1609. Pieter Both kemudian diganti oleh mantan kepala administrasi di Banten, yaitu Jan Pieterszoon Coen. Selama hampir dua abad, VOC berhasil menguasai perdagangan di Indonesia dan mengeruk banyak keuntungan dengan memeras tenaga dan kekayaan rakyat Indonesia.

         Namun pada awal abad ke-18, VOC mengalami kemunduran. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran VOC, antara lain :
a.         meningkatnya persaingan dagang dengan EIC (East Indian Compagnie) milik Inggris dan CI (Compagnie des Indies) milik Perancis;
b.        besarnya biaya perang dalam menghadapi perlawanan rakyat Indonesia;
c.         meningkatnya kebutuhan gaji pegawai, dan;
d.        merajalelanya korupsi di kalangan pegawai VOC.
         Pada tahun 1795, harta kekayaan VOC diperiksa oleh tim audit pemerintah Belanda. Hasil pemeriksaan diketahui bahwa VOC mempunyai utang 136,7 juta Gulden dan tidak mampu lagi membayar utangnya. Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan oleh Pemerintah Belanda dan kedudukannya diambil alih. (pada waktu itu VOC suka diplesetkan dengan singkatan Verhaand Ounder Coruptie = Bangkrut Karena Korupsi). Dengan pengambilalihan kekuasaan tersebut, berarti sejak itu Indonesia dimasukkan ke wilayah Kerajaan Belanda dengan status sebagai daerah jajahan. Sejak tanggal 1 Januari 1800, Indonesia resmi menjadi daerah jajahan Belanda dan namanya diganti menjadi Hindia-Belanda dengan pusat pemerintahannya di Batavia.

B.     KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL DI INDONESIA PADA ABAD KE-19 DAN AWAL ABAD KE-20
1.     Penerapan Politik Kolonial Konservatif (1800-1870)
         Beralihnya kekuasaan pemerintahan dari VOC ke tangan pemerintah Belanda tidak berarti dengan sendirinya membawa perbaikan. Kemerosotan moral di lingkungan para penguasa dan penderitaan pada pihak penduduk pribumi tidak berubah. Usaha perbaikan bagi rakyat jajahan tidak dapat dilaksanakan, kerena Negeri Belanda sendiri terseret dalam perang dengan negara-negara besar tetangganya. Hal itu terjadi karena Belanda pada waktu itu diperintah oleh pemerintah “boneka” dari Kekaisaran Perancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.
         Perang yang terjadi di Eropa pada waktu itu melibatkan Austria, Prusia (Jerman), Inggris, Spanyol, dan Belanda. Pada tahun 1799, Perancis berhasil menduduki Belanda. Raja Belanda, William V melarikan diri ke London yang kemudian mendapat perlindungan dari raja Inggris. Raja Belanda di tempat pengasingannya di Inggris mengirim surat kepada penguasa di daerah jajahan agar menyerahkan semua kekuasaan kepada Inggris, dengan jaminan bahwa jika keadaan telah pulih, Inggris bersedia menyerahkan kembali daerah-daerah jajahan itu kepada Belanda.
         Sementara itu, Perancis yang berhasil menguasai Belanda menggabungkan negeri Belanda ke dalam wilayah Perancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Keadaan yang kacau itu tentu saja membuat bingung para penguasa Belanda yang mulai terpecah pecah. Paham liberalisme yang dicetuskan Perancis kemudian menyebar dan mempengaruhi sebagian kaum politisi Belanda. Para pemimpin Belanda di Indonesia merasa kebingungan untuk bertindak. Mereka yang setia kepada raja Belanda harus menyerahkan Indonesia kepada Inggris dengan alasan untuk menghindari serbuan Perancis. Sedangkan yang setia kepada kaum konservatif harus bersedia dan patuh kepada pengawasan Perancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.
         Dalam menghadapi kenyataan itu, baik Inggris dan Perancis sama-sama mengambil tindakan untuk menguasai Indonesia. Daerah-daerah yang memihak Perancis adalah Pulau Jawa dan Maluku (Ternate), sedang yang memihak Inggris adalah Malaka, Sumatera, Ambon, dan Banda. Lodewijk Napoleon (keponakan Napoleon Bonaparte yang memerintah Belanda) dengan tegas mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1808-1811). Tugasnya adalah mempertahankan Indonesia dari serangan Inggris, mengatur pemerintahan di Hindia-Belanda, memperbaiki kondisi perekonomian, dan membangun kembali armada angkatan laut yang hancur akibat serbuan Inggris. Jadi, secara tidak langsung Indonesia dibawah penjajahan Perancis.

         Daendels dikenal sebagai tokoh revolusioner pendukung ide-ide liberalisme. Ia mengadakan perubahan-perubahan secara radikal, dari sistem pemerintahan tradisional ke arah sistem pemerintahan modern ala Barat di Indonesia. Salah satu upaya untuk membangunan pertahanan militer, Daendels memerintahkan untuk membangun jalan raya dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur). Pembangunan jalan raya tersebut ternyata banyak menimbulkan korban jiwa di kalangan rakyat pribumi. Salah seorang raja daerah yang menentang pembangunan jalan tersebut adalah Pangeran Kornel dari Sumedang. Ia meminta kepada Daendels agar pembangunan jalan yang banyak menimbulkan korban jiwa ketika harus membongkar batu cadas dengan mendatangkan peralatan modern. Daerah antara Tanjungsari-Sumedang yang banyak batu cadasnya kemudian dikenal dengan nama “Cadas Pangeran”.
         Tindakan Daendels yang sewenang-wenang telah menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Indonesia. Hal ini dianggap sangat membahayakan terhadap keutuhan pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia. Lodewijk Napoleon kemudian menggantikan posisi Daendels oleh Jan Willem Jansen sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Figur Jansen ternyata tidak sekuat Daendels dalam memerintah, makanya ketika armada angkatan laut Inggris menggempur Batavia, pasukan Belanda tidak berdaya menghadapinya. Pada tanggal 18 September 1811, Belanda menyerah kepada Inggris dengan menandatangani Kapitulasi Tuntang, yang berisi Inggris berkuasa secara penuh di Indonesia. Kemudian Inggris membagi wilayah Hindia-Belanda menjadi empat  wilayah administrasi, yaitu Malaka, Sumatera Barat, Jawa, dan Maluku. Gubernur Jenderal EIC, Lord Minto kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal untuk Pulau Jawa dan sekitarnya (1811-1816).

a.     Masa Penjajahan Inggris
         Selama lima tahun memerintah, Raffles banyak melakukan perubahan-perubahan. Pada tahun 1813, ia memberlakukan pajak tanah (landrente) dalam rangkan meningkatkan pemasukan uang ke kas negara.  Tanah pertanian dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelas I untuk tanah subur, kelas II untuk tanah yang setengah subur, dan kelas III untuk tanah yang tandus. Tanah kelas I dikenakan pajak ½ dari hasil bruto, kelas II 2/5 nya dan tanah kelas III 1/3 nya. Pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah secara langsung.

         Pada tahun 1814, Perang Eropa terhenti sejak Napoleon Bonaparte dapat digulingkan dan dibuang ke Pulau Elba. Negara-negara koalisi Eropa kemudian mengadakan kongres di Wina untuk memulihkan keadaan Eropa. Pada tahun itu juga antara Inggris dan Belanda menandatangani Convention of London yang berisi pengembalian semua daerah jajahan Belanda yang sejak tahun 1803 diduduki Inggris. Sebagai balasannya, Inggris mendapatkan Tanjung Harapan dan Sailan (Srilanka) dari Belanda.
         Raja William V yang telah kembali ke negerinya dari pengasingannya, segera memerintahkan para penguasa jajahan untuk melaksanakan Konvensi London, tetapi Raffles tidak mau mengakui isi konvensi tersebut. Untuk itu, pemerintah Inggris kemudian mengangkat John Fendal menggantikan Raffles untuk melaksanakan penyerahan itu kepada Belanda. Sedangkan Raffles sendiri kembali ke Inggris, yang kemudian menerbitkan bukunya yang terkenal History of Java tahun 1817. Pada tahun 1816 dilakukan penyerahan Hindia Belanda (Indonesia) dari Inggris kepada Pemerintah Belanda. Sejak itu Belanda kembali menjadi daerah jajahan Belanda.

b.     Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
        Selama masa antara tahun 1816 dan 1830, pemerintah Belanda gagal dalam usahanya untuk mempraktekkan gagasan-gagasan liberal. Hal ini disebabkan tujuan utama yang harus dilakukan adalah mengeksploitasi tanah jajahan untuk dapat memberikan keuntungan terhadap negeri induk. Di samping itu, karena kurangnya pengertian terhadap suasana masyarakat Indonesia. Sementara itu, pada tahun 1830 keadaan tanah jajahan dan di Negeri belanda sangat buruk. Pemisahan Belgia dari Belanda (1830) dan Perang Diponegoro (1825-1830) telah banyak memakan biaya, sehingga beban utang Belanda semakin besar.
         Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebangkrutan, maka Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda (Indonesia) dengan tugas mencari cara untuk mengisi kekosongan kas negara. Pulau Jawa dalam hubungan ini dianggap dapat mengisi kekosongan kas negara tersebut. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Van den Bosch memusatkan kebijakannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor, mengganti sistem pajak yang tidak berjalan. Mengingat Belanda pada waktu itu tidak mempunyai perdagangan, perkapalan, dan pabrik, maka yang perlu dilakukan adalah mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk melakukan penanaman yang hasil-hasilnya dapat dijual di pasaran dunia.

        Penanaman wajib ini kemudian dikenal dengan istilah Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Secara harfiah dalam bahasa Belanda, cuultur stelsel berarti “cara pertanian”, namun di Indonesia kemudian dikenal dengan sebutan “tanam paksa”, karena cara pelaksanaan bercocok tanam/bertani lebih bersifat pemaksaan.
        Sistem tanam paksa yang diperkenalkan itu pada dasarnya berisi keharusan bagi penduduk Jawa untuk membayar pajak kepada pemerintah berupa barang, yaitu hasil-hasil tanaman pertanian dan perkebunan untuk diekspor ke pasaran dunia, seperti kopi, gula, dan nila. Menurut ketentuannya, sistem tanam paksa itu dilakukan atas dasar ketetapan sebagai berikut :
1)     Penduduk desa diwajibkan menyediakan 1/5 dari tanahnya untuk ditanami dengan tanaman yang dapat dijual;
2)     Tanah yang disediakan untuk penanaman dibebaskan dari pajak tanah;
3)     Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh melebihi dari pekerjaan yang diperlukan dalam penanaman padi;
4)     Wajib tanam paksa dapat diganti dengan pengerahan tenaga untuk pengangkutan dan pekerjaan di pabrik;
5)     Kegagalan panenan akan menjadi tanggungan pemerintah;
6)     Penggarapan penanaman tanaman dibawah pengawasan langsung kepala-kepala pribumi.
        Akibat langsung yang diterima oleh rakyat Indonesia dari sistem tanam paksa ini jelas sekali. Kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan adalah nasib pahit yang harus dialami oleh rakyat. Beban pajak yang berat, panenan yang gagal, dan pemaksaan bekerja (rodi) yang sewenang-wenang telah membawa malapetaka penduduk di berbagai tempat, khususnya di Pulau Jawa. Sebaliknya bagi rakyat Belanda, sistem tanam paksa ini telah memberi keuntungan dan kemakmuran yang sangat besar. Dengan cepat penghasilan pemerintah Belanda menjadi meningkat semenjak tahun 1831, sehingga kas negara yang semula kosong cepat terisi dan utang-utang Belanda dapat terlunasi. Pendek kata, kesulitan keuangan Belanda dapat diatasi. Sementara itu, perkapalan dan perdagangan di Belanda meningkat. Kota Amsterdam dibangun sebagai pusat pasaran dunia bagi hasil tanaman dari daerah tropika.
        Pada umumnya, sistem tanam paksa berhasil bagi pihak penjajah, sehingga memperoleh saldo untung (batig slot) yang tidak sedikit jumlahnya. Sebagai contoh, pada tahun 1832 dan 1867 saldo untung mencapai jumlah 967 juta gulden, jumlah yang sangat tinggi pada waktu itu.
        Kemelaratan dan kesengsaraan yang diderita oleh rakyat di Indonesia pada umumnya tidak diketahui oleh rakyat Belanda sendiri. Mereka hanya merasakan bahwa tanam paksa telah membawa kemakmuran rakyat Belanda. Baru setelah tahun 1850, lambat laun rakyat Belanda mulai mendengar berita-berita tentang keadaan yang sebenarnya di Indonesia. Akibatnya timbullah perhatian dari kelompok orang yang maju untuk mengajukan kritik dan kecaman terhadap pemerintah. Mereka juga melancarkan gerakan untuk menentang dan menghapuskan sistem tanam paksa. Mereka itu sebagian besar kaum penganut paham liberal.
        Salah satu tokoh liberal yang terkenal menentang sistem tanam paksa adalah Baron van Hoevels, Vitalis, dan sebagainya. Kecaman semakin keras terhadap pemerintah Belanda, ketika beredarnya buku karangan Eduard Douwes Dekker (Multatuli) bekas Asisten Residen Lebak, yang berjudul Max Havelaar. Dalam buku tersebut dikisahkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat jajahan atas kesewenang-wenangan Belanda.

        Sebenarnya dibalik keinginan kaum liberal menentang dan menuntut sistem tanam paksa dihapuskan adalah adanya keinginan untuk ikut terjun langsung dalam perekonomian di negeri jajahan. Sebab dalam paham liberal, perekonomian harus diserahkan kepada kaum swasta. Selama menguasai Indonesia, perekonomian di negara jajahan dikuasai oleh kaum konservatif. Setelah mendapat kemenangan di parlemen, keinginan kaum liberal untuk ikut berusaha di negeri jajahan semakin terbuka.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More