Pembangunan Nasional
Setelah
pemerintahan Orde Baru berdiri, dicanangkan berbagai konsepsi dan aktivitas
pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah
utama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah membentuk Kabinet
Pembangunan I sesuai dengan Tap MPRS No. XLI/MPRS/1968 pada 6 Juni 1968.
Program
Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan,
yang berisi:
a. menciptakan stabilitas
politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
b. menyusun dan merencanakan
Repelita;
c. melaksanakan Pemilu
selambat-lambatnya pada Juli 1971;
d. mengembalikan ketertiban dan
keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap
bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD
1945;
e. melanjutkan penyempurnaan
dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di
daerah dari unsur-unsur komunisme.
a. Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Pemerintah
Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Stabilitas
tersebut dianggap oleh pemerintah ini sebagai syarat berhasilnya pelaksanaan
pembangunan serta terselenggaranya pemerintahan. Untuk memperbaiki kehidupan
rakyat yang selama pemerintahan Orde Lama berada dalam kehidupan yang berat
karena mengalami serba kekurangan, pemerintah Orde Baru melakukan rencana
Pelita.
Sampai
tahun 1998, telah dilaksanakan enam pelita. Pelita merupakan langkah pembangunan
yang tersusun dan terencana dengan sasaran dan tujuan yang jelas. Melalui
langkah-langkah tersebut terlihat adanya peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat yang terlihat dari kondisi objektif sebagai berikut :
1) Meningkatnya pendapat per
kapita penduduk Indonesia. Pada tahun 1982, Bank Dunia sudah menggolongkan
Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah karena berpendapatan sekitar
600 dolar AS per tahun meninggalkan kategori sebagai negara miskin, dan pada
tahun 1996 per kapita Indonesia sudah mencapai 1.000 dolar AS. Penggolongan ini
tentu saja membanggakan pemerintah yang sedang berkuasa saat itu dan dijadikan
sebagai isu politik bahwa pembangunan telah meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun, peningkatan tersebut (pertumbuhan ekonomi) ternyata tidak diikuti dengan
pemerataan pendapat penduduk.
2) Meningkatnya produksi pangan
sehingga Indonesia pernah dikategorikan oleh badan pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) pada
tahun 1986 sebagai negara yang paling berhasil meningkatkan swasembada pangan
khususnya beras sehingga Indonesia bisa mengekspor beras.
3) Meningkatnya berbagai sarana
untuk menunjang tercapainya kesejahteraan penduduk. Misalnya, sarana pendidikan
serta kesempatan penduduk untuk menikmati pendidikan telah meningkat. Melalui
program wajib belajar, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden berupa
penyediaan dana yang cukup banyak untuk membangun sara pendidikan, terutama
pendidikan dasar (SD Inpres). Melalui kebijakan tersebut, jumlah penduduk yang
melek hurup meningkat. Pada tahun 1967, tingkat melek hurup hanya 46,7%, tetapi
pada tahun 1990-an meningkat menjadi lebih dari 90%.
4) Pada masa ini Indonesia
mengalami stabilitas ekonomi yang baik. Pada awal Orde Baru, inflasi hanya
mencapai 10% dan selalu berada di bawah 10%. Stabilitas ekonomi ini
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya dunia usaha di Indonesia. Harapan usia
hidup terus meningkat yang mengindikasikan meningkatnya kesejahteraan.
5) Rata-rata jumlah pertumbuhan
penduduk dapat dikendalikan setiap tahun, dengan dilaksanakannya program
Keluarga Berencana (KB).
Pada
masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai
pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli
ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung
bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan
liberal (Amerika Serikat) yang
diangkat adalah lulusan Universitas California Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam
klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan
ekonomi, industri dan keuangan Indonesia. Mereka itu adalah Emil Salim, Ali Wardhana,
Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Soebroto.
Pada
masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara
donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI
(Inter Governmental on Group for
Indonesia) yang disponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992,
IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam
urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh
lembaga donor CGI (Consultative
Group for Indonesia) yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat
bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB
seperti IMF, UNICEF, UNESCO
dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen
ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle
down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan
pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (Ekuin) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama pasca krisis moneter 1997.
Dalam
bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984.
Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun
berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat
signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati
negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Taiwan
dan Korea Selatan.
b. Meningkatnya Peran Negara dan Kontroversi Seputar Orde Baru
Selama
pemerintahan Orde Baru berkuasa (sekitar 32 tahun), istilah pembangunan,
stabilitas, dan pertumbuhan telah menjadi jargon politik (propaganda politik)
yang dijalankan oleh pemerintah. Untuk mencapi tujuan tersebut, negara telah
mengambil peran yang menentukan dengan menempatkan kekuasaan yang besar di
tangan presiden. Namun, dengan struktur politik yang dibuat pemerintah serta
pengorganisasian seluruh unsur politik dan potensi masyarakat, peran negara semakin
kuat yang dipresentasikan oleh semakin kuatnya tangan eksekutif pada Presiden
Soeharto.
Untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan
tahapan pelita yang direncanakan maka diperlukan stabilitas. Stabilitas akan
tercipta apabila “oposisi” terhadap pemerintah dapat dikendalikan. Untuk itu,
birokrasi pemerintahan dijaga dari unsur-unsur yang mampu melawan negara. Para
pegawai pemerintah diorganisir dalam Korps Pegawai republik Indonesia(Korpri).
Para buruh, pengusaha, wartawan, guru, pemuda, pelajar, mahasiswa, dan kelompok
profesional ditampung dalam wadah yang disponsori pemerintah. Oleh karena itu
lahirlah PGRI, IDI, KNPI, Kadin, PWI, dll.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan
penyatuan partai-partai politik sehingga pada massa itu dikenal tiga partai
Politik yakni Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Golongan Karya (Golkar)
dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai
akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai
yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya
pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila
yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi
ketimpangan dalam kehidupan politik dimana muncullah istilah "mayoritas
tunggal" dimana Golkar dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol
lainnya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Berbagai ketidakpuasan muncul,
namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Soeharto membangun dan memperluas konsep
"Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis
teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat
pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama
dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang
politik yang permanen. Melalui konsep dwi fungsi ABRI, angkatan bersenjata
bukan hanya berfungsi menjaga keamanan dan integrasi bangsa, melainkan juga
sebagai kekuatan dalam kehidupan politik. Hal ini bisa dilihat pada masa itu
para pemimpin pejabat-pejabat negara berasal dari ABRI, seperti menteri, kepala
daerah, dan sebagainya.
Pada 1978 untuk mengeliminir (membatasi) gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi
mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada
mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan
rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok
Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan
mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus
memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan
pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari
“wayang-wayang” Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok
purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang
dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50 seperti A.H.
Nasution, Ali Sadikin, H.R. Dharsono, A.M. Fatwa, Hoegeng, H.J. Princen, dan
lain-lain, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik
pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung
kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya,
pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu
tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde
Baru
Dalam perkembangannya kemudian muncul beberapa
kontroversi seputar Orde Baru itu, diantaranya mengenai inkonsistensi Soeharto
khususnya dalam melaksanakan pemerintahannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Dalam perkembangannya, hanya tahun-tahun pertama
kekuasaannya, atau sampai sekitar tahun 1973 pemerintah Orde Baru memberikan
angin segar pada kehidupan demokrasi bagi rakyat Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara. Adapun dibidang ekonomi, hanya sampai sekitar paruh awal dekade
1980-an, pertimbangan ekonomi yang efisien dan rasional masih kelihatan
dipergunakan.
Selanjutnya,
terutama sejak peristiwa “Malapetaka Lima Belas Januari” (Malari) tahun 1974,
pemerintah Orde Baru tidak memberi peluang kepada rakyat Indonesia untuk
melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebagaimana tertuang di dalam Pasal 37.
Justru untuk kepentingan kelanggengan pemerintahan Orde Baru, ada rekayasa
politik dengan dikeluarkannya penetapan diangkatnya 100 anggota ABRI dan
Utusan Golongan di DPR. Selain itu ada lembaga Litsus (Penelitian Khusus)
bagi para calon anggota DPR dan MPR. Dalam Litsus ini dapat diketahui sampai mana
loyalitas dan dedikasinya pada pemerintahan Orde Baru (baca : Soeharto).
Dengan penetapan itu, maka Pasal 37 telah “terkunci” dan tidak memungkinkan
lagi untuk terjadinya suatu amandemen.
|
.
|
(Peristiwa Malari adalah suatu peristiwa politik yang ditandai dengan
demontrasi/kerusuhan besar-besaran dari para mahasiswa yang menentang
kepemimpinan Soeharto yang dianggapnya telah melenceng dari GBHN, khususnya
dianggap telah menjadi “budak” Jepang dalam ekonomi).
Demikian pula dengan jabatan Presiden. Selama
pemerintahan Orde Baru tidak ada undang-undang baru yang mengatur hal itu,
sehingga pengertian “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama
masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali” seperti yang tertera
dalam Pasal 7 UUD 1945 itu dapat ditafsirkan bahwa seseorang dapat dipilih
berkali-kali tanpa batas, selama MPR memilihnya. Oleh karena itu selama
pemerintahan Orde Baru, penyelenggaraan Pemilu pada dasarnya hanyalah sekedar
jalan bagi terselenggaranya upacara pengesahan masa perpanjangan jabatan pada
orang yang sama, yaitu Soeharto, karena memang pada dasarnya para anggota
DPR/MPR adalah orang-orang yang dekat dan loyal kepada Soeharto.
Sementara itu pembangunan ekonomi yang menjadi ciri
khas Orde Baru, yang didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi yang
rasional dan efisien, sehingga mampu menekan angka inflasi dari sekitar 600%
menjadi di bawah 10% dalam waktu relatif singkat di awal kekuasaannya, kemudian
bergeser lebih banyak didasarkan kepada pertimbangan kepentingan kelompok atau
keluarga tertentu (kemudian terkenal dengan istilah KKN =
Korupsi-Kolusi-Nepotisme). Akibatnya tujuan pembangunan tinggalah retorik dan
slogan ekonomi atau politik semata, seperti slogan-slogan Orde Lama yang
dikritiknya, maka pada masa Orba banyak pula bermunculan Ketetapan Presiden
(Keppres) dan Instruksi Presiden (Inpres) sebagai bentuk intervensi Presiden
Soeharto.
Sampai awal tahun 1997. Dengan modal pinjaman luar
negeri (IMF, Bank Dunia, ADB, IGGI, dll) pemerintah Orba masih mampu
menunjukkan kepada rakyat Indonesia, angka-angka pertumbuhan ekonomi yang
mengagumkan. Namun sewaktu krisis moneter muncul melanda Asia, angka
pertumbuhan ekonomi itu pun ambruk sejalan dengan ambruknya perekonomian Orba.
Para konglomerat yang dibanggakan sebagai tiang penyangga pembangunan ekonomi
Indonesia, ternyata hanya jago kandang, yang menjadi besar karena fasilitas
dari pemerintah dan pinjaman luar negeri.
0 comments:
Post a Comment