Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Wednesday, August 28, 2013

Pembangunan Nasional Masa Orde Baru


Pembangunan Nasional

         Setelah pemerintahan Orde Baru berdiri, dicanangkan berbagai konsepsi dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah utama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah membentuk Kabinet Pembangunan I sesuai dengan Tap MPRS No. XLI/MPRS/1968 pada 6 Juni 1968.
         Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
a.     menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
b.     menyusun dan merencanakan Repelita;
c.     melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
d.     mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
e.     melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.


a.     Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Pemerintah Orde Baru
         Pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Stabilitas tersebut dianggap oleh pemerintah ini sebagai syarat berhasilnya pelaksanaan pembangunan serta terselenggaranya pemerintahan. Untuk memperbaiki kehidupan rakyat yang selama pemerintahan Orde Lama berada dalam kehidupan yang berat karena mengalami serba kekurangan, pemerintah Orde Baru melakukan rencana Pelita.
         Sampai tahun 1998, telah dilaksanakan enam pelita. Pelita merupakan langkah pembangunan yang tersusun dan terencana dengan sasaran dan tujuan yang jelas. Melalui langkah-langkah tersebut terlihat adanya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang terlihat dari kondisi objektif sebagai berikut :
1)     Meningkatnya pendapat per kapita penduduk Indonesia. Pada tahun 1982, Bank Dunia sudah menggolongkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah karena berpendapatan sekitar 600 dolar AS per tahun meninggalkan kategori sebagai negara miskin, dan pada tahun 1996 per kapita Indonesia sudah mencapai 1.000 dolar AS. Penggolongan ini tentu saja membanggakan pemerintah yang sedang berkuasa saat itu dan dijadikan sebagai isu politik bahwa pembangunan telah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, peningkatan tersebut (pertumbuhan ekonomi) ternyata tidak diikuti dengan pemerataan pendapat penduduk.
2)     Meningkatnya produksi pangan sehingga Indonesia pernah dikategorikan oleh badan pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 1986 sebagai negara yang paling berhasil meningkatkan swasembada pangan khususnya beras sehingga Indonesia bisa mengekspor beras.
3)     Meningkatnya berbagai sarana untuk menunjang tercapainya kesejahteraan penduduk. Misalnya, sarana pendidikan serta kesempatan penduduk untuk menikmati pendidikan telah meningkat. Melalui program wajib belajar, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden berupa penyediaan dana yang cukup banyak untuk membangun sara pendidikan, terutama pendidikan dasar (SD Inpres). Melalui kebijakan tersebut, jumlah penduduk yang melek hurup meningkat. Pada tahun 1967, tingkat melek hurup hanya 46,7%, tetapi pada tahun 1990-an meningkat menjadi lebih dari 90%.
4)     Pada masa ini Indonesia mengalami stabilitas ekonomi yang baik. Pada awal Orde Baru, inflasi hanya mencapai 10% dan selalu berada di bawah 10%. Stabilitas ekonomi ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya dunia usaha di Indonesia. Harapan usia hidup terus meningkat yang mengindikasikan meningkatnya kesejahteraan.
5)     Rata-rata jumlah pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan setiap tahun, dengan dilaksanakannya program Keluarga Berencana (KB).
         Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) yang diangkat adalah lulusan Universitas California Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan ekonomi, industri dan keuangan Indonesia.  Mereka itu adalah Emil Salim, Ali Wardhana, Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, dan Soebroto.
         Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI (Inter Governmental on Group for Indonesia) yang disponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI (Consultative Group for Indonesia) yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti IMF, UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (Ekuin) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama pasca krisis moneter 1997.
         Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.

b.     Meningkatnya Peran Negara dan Kontroversi Seputar Orde Baru
 Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa (sekitar 32 tahun), istilah pembangunan, stabilitas, dan pertumbuhan telah menjadi jargon politik (propaganda politik) yang dijalankan oleh pemerintah. Untuk mencapi tujuan tersebut, negara telah mengambil peran yang menentukan dengan menempatkan kekuasaan yang besar di tangan presiden. Namun, dengan struktur politik yang dibuat pemerintah serta pengorganisasian seluruh unsur politik dan potensi masyarakat, peran negara semakin kuat yang dipresentasikan oleh semakin kuatnya tangan eksekutif pada Presiden Soeharto.
Untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan tahapan pelita yang direncanakan maka diperlukan stabilitas. Stabilitas akan tercipta apabila “oposisi” terhadap pemerintah dapat dikendalikan. Untuk itu, birokrasi pemerintahan dijaga dari unsur-unsur yang mampu melawan negara. Para pegawai pemerintah diorganisir dalam Korps Pegawai republik Indonesia(Korpri). Para buruh, pengusaha, wartawan, guru, pemuda, pelajar, mahasiswa, dan kelompok profesional ditampung dalam wadah yang disponsori pemerintah. Oleh karena itu lahirlah PGRI, IDI, KNPI, Kadin, PWI, dll.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada massa itu dikenal tiga partai Politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik dimana muncullah istilah "mayoritas tunggal" dimana Golkar dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen. Melalui konsep dwi fungsi ABRI, angkatan bersenjata bukan hanya berfungsi menjaga keamanan dan integrasi bangsa, melainkan juga sebagai kekuatan dalam kehidupan politik. Hal ini bisa dilihat pada masa itu para pemimpin pejabat-pejabat negara berasal dari ABRI, seperti menteri, kepala daerah, dan sebagainya.
Pada 1978 untuk mengeliminir (membatasi) gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari “wayang-wayang” Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50 seperti A.H. Nasution, Ali Sadikin, H.R. Dharsono, A.M. Fatwa, Hoegeng, H.J. Princen, dan lain-lain, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru
Dalam perkembangannya kemudian muncul beberapa kontroversi seputar Orde Baru itu, diantaranya mengenai inkonsistensi Soeharto khususnya dalam melaksanakan pemerintahannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam perkembangannya, hanya tahun-tahun pertama kekuasaannya, atau sampai sekitar tahun 1973 pemerintah Orde Baru memberikan angin segar pada kehidupan demokrasi bagi rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Adapun dibidang ekonomi, hanya sampai sekitar paruh awal dekade 1980-an, pertimbangan ekonomi yang efisien dan rasional masih kelihatan dipergunakan.
         Selanjutnya, terutama sejak peristiwa “Malapetaka Lima Belas Januari” (Malari) tahun 1974, pemerintah Orde Baru tidak memberi peluang kepada rakyat Indonesia untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebagaimana tertuang di dalam Pasal 37. Justru untuk kepentingan kelanggengan pemerintahan Orde Baru, ada rekayasa politik dengan dikeluarkannya penetapan diangkatnya 100 anggota ABRI dan Utusan Golongan di DPR. Selain itu ada lembaga Litsus (Penelitian Khusus) bagi para calon anggota DPR dan MPR. Dalam Litsus ini dapat diketahui sampai mana loyalitas dan dedikasinya pada pemerintahan Orde Baru (baca : Soeharto). Dengan penetapan itu, maka Pasal 37 telah “terkunci” dan tidak memungkinkan lagi untuk terjadinya suatu amandemen.

.
(Peristiwa Malari adalah suatu peristiwa politik yang ditandai dengan demontrasi/kerusuhan besar-besaran dari para mahasiswa yang menentang kepemimpinan Soeharto yang dianggapnya telah melenceng dari GBHN, khususnya dianggap telah menjadi “budak” Jepang dalam ekonomi).
Demikian pula dengan jabatan Presiden. Selama pemerintahan Orde Baru tidak ada undang-undang baru yang mengatur hal itu, sehingga pengertian “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali” seperti yang tertera dalam Pasal 7 UUD 1945 itu dapat ditafsirkan bahwa seseorang dapat dipilih berkali-kali tanpa batas, selama MPR memilihnya. Oleh karena itu selama pemerintahan Orde Baru, penyelenggaraan Pemilu pada dasarnya hanyalah sekedar jalan bagi terselenggaranya upacara pengesahan masa perpanjangan jabatan pada orang yang sama, yaitu Soeharto, karena memang pada dasarnya para anggota DPR/MPR adalah orang-orang yang dekat dan loyal kepada Soeharto.
Sementara itu pembangunan ekonomi yang menjadi ciri khas Orde Baru, yang didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi yang rasional dan efisien, sehingga mampu menekan angka inflasi dari sekitar 600% menjadi di bawah 10% dalam waktu relatif singkat di awal kekuasaannya, kemudian bergeser lebih banyak didasarkan kepada pertimbangan kepentingan kelompok atau keluarga tertentu (kemudian terkenal dengan istilah KKN = Korupsi-Kolusi-Nepotisme). Akibatnya tujuan pembangunan tinggalah retorik dan slogan ekonomi atau politik semata, seperti slogan-slogan Orde Lama yang dikritiknya, maka pada masa Orba banyak pula bermunculan Ketetapan Presiden (Keppres) dan Instruksi Presiden (Inpres) sebagai bentuk intervensi Presiden Soeharto.
Sampai awal tahun 1997. Dengan modal pinjaman luar negeri (IMF, Bank Dunia, ADB, IGGI, dll) pemerintah Orba masih mampu menunjukkan kepada rakyat Indonesia, angka-angka pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Namun sewaktu krisis moneter muncul melanda Asia, angka pertumbuhan ekonomi itu pun ambruk sejalan dengan ambruknya perekonomian Orba. Para konglomerat yang dibanggakan sebagai tiang penyangga pembangunan ekonomi Indonesia, ternyata hanya jago kandang, yang menjadi besar karena fasilitas dari pemerintah dan pinjaman luar negeri.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More