a. Perlawanan Rakyat Terhadap VOC
1) Perlawanan Rakyat Ternate(1650) dan Tidore
(1780-1805)
Karena
VOC mengakui kedaulatan Ternate atas daerah Ambonia, hubungan antara VOC dan
penguasa Ternate berlangsung baik dan bersahabat. Persahabatan antara Sultan
Ternate dan pemimpin-pemimpin VOC ternyata tidak disenangi rakyat. Oleh sebab
itu, rakyat memberontak terhadap sultannya sendiri yang kemudian diusir dar
daerahnya. Selanjutnya perlawanan rakyat ditujukan kepada VOC yang dipimpin
oleh Laksamana Saidi. Dengan gigih, Laksamana Saidi mempertahankan setiap
jengkal tanahnya dari kekuasaan VOC. Namun, persenjataan VOC lebih kuat dan
modern sehingga pasukan Laksamana Saidi terdesak. Pasukan VOC yang dipimpin De
Vlamingh berhasil menangkap Laksamana Saidi yang kemudian dibunuhnya.
Setelah
Ternate berhasil dikuasai, VOC kemudian meluaskan kekuasaannya ke Tidore.
Kekuasaan VOC mulai tertanam di Tidore setelah mengangkat Patra Alam sebagai
Sultan Tidore menggantikan Sultan Jamaludin yang diasingkan oleh VOC ke Sailan.
Ternyata rakyat tidak mau mengakui Patra Alam sebagai sultan Tidore karena
menganggap Patra Alam sebagai “sultan boneka” VOC. Rakyat Tidore lebih menyukai
Nuku (anak Sultan Jamaludin) sebagai sultan Tidore.
Pada
tahun 1780, rakyat Tidore yang dipimpin oleh Nuku mulai melakukan perlawanan
terhadap VOC. Perlawanan rakyat Tidore terhadap VOC ini berlangsung sampai
tahun 1805 (ketika itu VOC sudah digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda).
Dengan demikian, secara politis sebenarnya VOC tidak pernah berhasil menangkap
Sultan Nuku.
2) Perlawanan Rakyat Banten
Perlawanan
rakyat Banten terhadap VOC disebabkan oleh VOC yang menunjukkan sikap
permusuhan terhadap Banten. Pada mulanya kedatangan armada Cornelis de Houtman
di Banten tahun 1596 disambut dengan baik karena mereka pada awalnya berniat
untuk berdagang. Namun dalam perkembangannya, VOC melakukan praktek-praktek
monopoli dalam perdagangan yang sangat merugikan Banten.
Direbutnya
pelabuhan Jayakarta oleh VOC pada tahun 1619, menjadi pertanda munculnya
permusuhan terbuka antara Banten dan VOC. Rakyat Banten di bawah pimpinan
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) melakukan perlawanan-perlawanan gerilya
terhadap posisi pertahanan atau loji-loji (benteng pertahanan) VOC di Banten
dan Jayakarta. Pendekar Banten yang sangat terkenal dalam melakukan perlawanan
terhadap VOC adalah Kyai Tapa beserta muridnya Tubagus Buang.
Namun,
antara Sultan Ageng dan putranya Sultan Haji terdapat perselisihan. Kesempatan
ini tidak dilewatkan oleh VOC untuk melancarkan taktik devide et impera, yaitu
mengadudomba dan memperuncing perselisihan antara Sultan Ageng dengan Sultan
Haji. Dalam perselisihan ini, VOC membantu Sultan Haji dengan menawarkan
bantuan persenjataan modern pada waktu itu serta menjanjikan akan mengangkat
Sultan Haji sebagai Sultan Banten.
Dalam
suatu pertempuran, Sultan Ageng berhasil ditangkap oleh VOC yang dipimpin oleh
Kapten Tack dengan bantuan Sultan Haji. Selanjutnya Sultan Ageng dipenjarakan
di Batavia, sedangkan Sultan Haji diangkat oleh VOC sebagai penguasa Banten.
3) Perlawanan Rakyat Mataram
Kegiatan
monopoli perdagangan yang dilakukan VOC khususnya di wilayah kekuasaan Mataram
sangat merugikan perekonomian Kerajaan Mataram. Hal ini menyebabkan Sultan
Agung yang memang berambisi sebagai penguasa tunggal di Tanah Jawa menjadi
marah terhadap sepak terjang VOC dalam berdagang. Selain itu, VOC dianggap
telah membawa pengaruh buruk terhadap budaya Jawa dan Islam. Oleh karena itu,
Sultan Agung berencana akan menyerang posisi VOC.
Serangan
pertama dilakukan oleh pasukan Mataram terhadap markas VOC di Jepara tanggal 18
Agustus 1618. Sedangkan serangan kedua dan ketiga ditujukan langsung ke markas
pusat di Batavia yaitu pada tahun 1628 dan 1629. Dengan jarak ratusan kilometer
yang harus ditempuh dalam beberapa minggu, pasukan Mataram yang dipimpin oleh
Tumenggung Bahurekso berangkat menuju Batavia. Sasaran penyerangan adalah
benteng-benteng pertahanan VOC, tetapi upaya ini mengalami kegagalan karena
benteng pertahanan VOC sangat kuat. Bahkan Bahurekso sendiri gugur. Karena
gagal dalam penyerangan tersebut, pasukan Mataram mengubah siasat perangnya,
yaitu dengan cara membendung aliran Sungai Ciliwung. Akibatnya pasukan VOC yang
berada di dalam benteng pertahanan menderita karena kekurangan air dan diserang
wabah penyakit. Di lain pihak, pasukan Mataram pun mengalami kekurangan
perbekalan sehingga menimbulkan kelaparan. Akhirnya pasukan Mataram
mengundurkan diri dari penyerangan tersebut.
Kegagalan
dalam penyerangan yang pertama sangat mengecewakan Sultan Agung yang segera
menghimpun kembali kekuatannya untuk melakukan penyerangan berikutnya. Serangan
pasukan Mataram ke Batavia yang kedua dilakukan tahun 1629. Jumlah pasukan yang
dikirim + 4.000 prajurit yang dipimpin oleh Tumenggung Suro Agul-Agul, Kyai
Dipati Mandurorejo, dan Upasanta. Untuk mendukung bidang logistik, pasukan
Mataram membangun gudang-gudang beras seperti di Tegal, Cirebon, dan Karawang.
Serangan tetap ditujukan ke benteng-benteng pertahanan VOC. Serangan yang kedua
ini membuat pasukan VOC kewalahan. Untuk itu, pasukan VOC berusaha memutus
jalur logistik dengan menghancurkan gudang-gudang penyimpanan perbekalan
pasukan Mataram. Akhirnya, pasukan Mataram terpaksa harus mundur karena
kehabisan perbekalan dan kelelahan.
Meskipun
mengalami kegagalan dalam dua kali penyerangan, ada hal-hal yang sangat penting
untuk dicatat dan diingat, bahwa penyerangan pasukan Mataram ini sangat
mengejutkan VOC. Karena dengan jarak yang sangat jauh pasukan Mataram berani
menyerang markas pusat VOC di Batavia dua kali. Mataram merupakan kerajaan
satu-satunya di Indonesia yang berani menyerang markas VOC dengan jarak tempuh
yang begitu jauh. Bagaimanapun hal ini jelas menimbulkan rasa respek (hormat)
VOC kepada pasukan Mataram dan rajanya, Sultan Agung. Dengan demikian, dalam
menghadapi kekuatan Mataram, VOC harus mencari taktik dan strategi yang berbeda
untuk menghancurkannya.
4) Perlawanan Rakyat Makasar
(Gowa)
Sejak
abad ke-16, Makasar dengan Kelsultanan Gowa telah muncul sebagai pelabuhan
dagang yang ramai di Nusantara. Para pedagang dari wilayah Barat (Selat Malaka)
yang menuju wilayah Timur (Perairan Maluku) dan sebaliknya selalu singgah di
Makasar. Kemajuan Makasar sebagai bandar pelabuhan yang strategis menarik
perhatian VOC untuk menguasainya. Sikap politik perdagangan terbuka Makasar
yang menerima kedatangan para pedagang asing dianggap merugikan VOC yang ingin
menjadi penyalur tunggal perdagangan rempah-rempah di Nusantara. VOC berusaha
mempengaruhi para pedagang Maluku agar tidak memenuhi permintaan barang-barang
yang dipesan pedagang Makasar. Kebetulan pada waktu itu Kesultanan Gowa sedang
berada dalam konflik intern karena perebutan kekuasaan. Hal tersebut dijadikan
kesempatan bagi VOC untuk ikut campur di dalamnya. Selain itu, kapal-kapal
dagang Makasar yang biasa hilir mudik antara Gowa dan Maluku sering diganggu
oleh kapal VOC. Akibatnya timbul ketegangan yang meningkat menjadi bentrokan
bersenjata antara kedua belah pihak.
Pada
waktu itu yang menjadi penguasa di Kesultanan Gowa adalah Sultan Hasanuddin
yang digelari VOC sebagai “Ayam Jantan dari Timur” tidak tahan melihat
rakyatnya yang selalu diganggu oleh VOC dan melakukan monopoli perdagangan.
Pada tahun 1633, Sultan Hasanuddin mengobarkan perang terhadap VOC yang disusul
dengan penyerangan terhadap pasukan-pasukan VOC. Pada tahun 1634, VOC balik
menyerang Makasar, maka meletuslah perang terbuka yang dahsyat. Peperangan
berlangsung dari tahun 1633 sampai dengan tahun 1668. Rakyat Makasar yang
terkenal dengan pelaut-pelaut ulung berani mendobrak blokade-blokade laut yang
dilancarkan VOC, sehingga VOC kewalahan.
Perlawanan
rakyat Makasar akhirnya mengalami kekalahan setelah digempur habis-habisan oleh
pasukan VOC yang dibantu oleh pasukan Bone dengan rajanya Aru Palaka. Sultan
Hasanuddin akhirnya menyerah kepada VOC dan dipaksa menandatangani Perjanjian
Bongaya pada tahun 1668, yang berisi :
a)
Kesultanan Gowa harus mengakui monopoli perdagangan VOC;
b)
Wilayah Kesultanan Gowa hanya meliputi daerah Gowa saja;
c)
Daerah-daerah taklukkan Gowa harus diserahkan kepada VOC;
d)
Gowa harus mengganti kerugian perang yang dialami VOC;
e)
Kesultanan Gowa tertutup bagi pedagang-pedagang asing, kecuali VOC;
f)
Benteng-benteng Gowa harus dihancurkan;
g)
VOC akan menempatkan gubernur dan pasukan yang kuat untuk mengawasi
pelaksanaan Perjanjian Bongaya.
Isi
Perjanjian Bongaya tersebut jelas sangat merugikan rakyat dan kesultanan Gowa.
Karena itu, banyak para pejuang Makasar yang tidak mau mengakui isi perjanjian
tersebut. Mereka terus berjuang menentang dominasi VOC di Makasar. Beberpa
pejuang Makasar banyak yang meninggalkan daerahnya menuju daerah-daerah yang
aman di Nusantara, terutama di Pulau Jawa. Misalnya Bontomarannu dan Kraeng
Galesung ikut berjuang membantu Trunojoyo dari Madura melawan VOC.
b. Perlawanan Rakyat Terhadap Pemerintah
Kolonial Belanda
1) Perlawanan Rakyat Maluku (1817)
Perlawanan rakyat Maluku
terhadap kolonialis Belanda dipimpin oleh salah seorang pejuang Saparua,
yaitu Thomas Matulessy yang kemudian terkenal dengan sebutan Kapitan Pattimura.
Perlawanan rakyat Maluku sebenarnya bukan hal yang baru, yakni sejak zaman
VOC berkuasa dan menindas rakyat. Pada masa kekuasaan Belanda yang kedua,
rakyat Maluku bangkit untuk yang kesekian kalinya. Hal tersebut disebabkan
oleh penindasan Belanda terhadap rakyat sudah diluar batas-batas kemanusiaan.
Rakyat dituntut untuk bekerja sebagai rodi. Hal inilah yang mendorong
Pattimura memimpin perlawanan rakyat Maluku terhadap Belanda.
Pada mulanya pasukan
Pattimura memperoleh kemenangan dengan berhasil direbutnya benteng pertahanan
Belanda di Saparua yang bernama Benteng Duurstede. Selain itu, kantor-kantor
pemerintahan pun tidak luput dari penyerangan rakyat Maluku.
|
|
Residen
Belanda beserta istrinya meninggal dalam penyerangan tersebut. Pertempuran
kemudian meluas ke seluruh wilayah Maluku. Untuk mengatasi perlawanan rakyat
Maluku, Belanda melancarkan penumpasan besar-besaran di pulau-pulau Saparua,
Ambon, dan Haru. Meskipun memakan waktu yang lama, akhirnya Pattimura beserta
rekan seperjuangannya berhasil ditangkap dan di hukum gantung di hadapan rakyat
pada tanggal 16 Desember 1817. Dalam pertempuran tersebut terdapat juga seorang
pejuang wanita, yaitu Christina Martha Tiahahu.
2) Perlawanan Kaum Paderi
(1821-1837)
Penyebaran
agama Islam di Minangkabau telah berlangsung lama. Salah seorang ulama yang
berjasa dalam pengembangan Islam adalah Syeh Burhanuddin, ia dikenal sebagai
murid Abdurauf tokoh ulama Islam di Singkel. Sekalipun rakyat Minangkabau telah
lama memeluk Islam tetapi sebagian besar dari mereka masih memegang teguh adat
dan menjalankan kebiasaan lama seperti berjudi, minum-minuman keras, menyabung
ayam sekalipun dalam hal itu termasuk perbuatan yang terlarang.
Pada
awal abad ke-19 terjadi perubahan kehidupan pada masyarakat Minangkabau. Hal
ini ditandai dengan banyaknya para haji yang kembali pulang dari Mekkah.
Kedatangan para haji itu membawa pandangan-pandangan baru dalam menjalankan
syariat beragama. Selama di Mekkah mereka telah menyaksikan adanya gerakan kaum
Wahabi yang sedang berusaha keras untuk mengadakan pembersihan dalam masyarakat
Islam terhadap tindakan yang menyimpang dari ajaran Qur’an dan Hadist. Mereka
bertekad untuk mengadakan pembersihan terhadap kebiasaan dari ajaran Islam.
Tokoh golongan ini adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Dalam
kegiatan selanjutnya golongan mereka
dikenal sebagai kaum “Paderi”. Tujuan kaum Paderi terutama memperbaiki
masyarakat Minangkabau dan mengembalikannya kepada kehidupan yang sesuai dengan
ajaran Islam yang sebenarnya.
Ajaran
baru ini menimbulkan pro dan kontra, sehingga muncul dua golongan yang berbeda
pandangan yaitu Kaum Paderi dan Kaum Adat. Pertentangan kedua golongan
masyarakat Minangkabau ini menjadi berubah setelah datangnya campur tangan
pihak Belanda yang kemudian membantu Kaum Adat. Akibatnya Kaum Paderi
mengangkat senjata secara untuk melawan terhadap Belanda yang hendak menanamkan
kekuasaannya di Minangkabau. Peperangan ini yang dikenal sebagai Perang Paderi
berlangsung dalam tiga periode, yaitu periode pertama dari tahun 1821-1825,
periode kedua terjadi antara tahun 1826-1830, dan periode ketiga dari tahun
1831-1837.
Pada
periode pertama dimulai dengan serangan pasukan Paderi terhadap pos-pos
pertahanan Belanda di Simawang pada tanggal 18 Februari 1821. Peperangan ini
diakhiri oleh Perjanjian Masang pada tanggal 22 Januari 1824 antara Kaum Paderi
dengan Belanda, yang berisi antara lain :
a)
Kaum Paderi harus bersikap damai dan bersahabat dengan Pemerintah
Kolonial Belanda;
b)
Persenjataan Belanda yang dirampas berikut tawanan Belanda harus
diserahkan oleh Kaum Paderi kepada Belanda;
c)
Kaum Paderi harus mengakui monopoli perdagangan garam oleh Belanda;
d)
Belanda tidak akan turut campur dalam urusan pemerintahan dalam negeri
masyarakat Minangkabau dan urusan agama;
e)
Belanda akan mengembalikan tahanan perang Kaum Paderi;
Namun,
baru saja perjanjian berlangsung 30 hari, Belanda telah melanggarnya yang
ditandai dengan penyerangan pasukan Belanda ke daerah Lawas. Dengan demikian,
perjanjian tersebut tidak berlaku lagi. Pada periode kedua, pertahanan Belanda
mulai melemah dan terdesak, karena Belanda lebih mengkonsentrasikan
peperangannya di Jawa dalam menghadapi pasukan Diponegoro.
Setelah
menyelesaikan Perang Diponegoro, pihak Belanda mencurahkan kembali perhatiannya
untuk menumpas perlawanan Kaum Paderi. Perlawanan Kaum Paderi semakin menghebat
dengan mengobarkan Perang Jihad. Akibat kewalahan, Belanda kemudian melancarkan
siasat perdamaian dengan memperkenalkan Plakat Panjang tanggal 25 Oktober 1833,
yang isinya antara lain : Belanda akan menghentikan perang dan tidak akan
mencampuri urusan dalam negeri Minangkabau, Belanda tidak akan menarik
iuran-iuran dari rakyat, serta monopoli perdagangan kopi, lada, dan garam akan
ditinjau ulang agar saling menguntungkan kedua belah pihak.
Namun, karena khawatir
Belanda akan ingkar janji lagi, rakyat tidak memperdulikan Plakat tersebut
dan terus melancarkan perlawanan.
Akhirnya Belanda mengerahkan segenap kekuatannya untuk
menggempur pasukan Kaum Paderi hingga banyak menimbulkan korban jiwa di
kalangan rakyat. Pada tahun 1837, Belanda berhasil menguasai daerah Bonjol.
Sedangkan pemimpin Kaum Paderi yaitu Imam Bonjol berhasil ditangkap dan
dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839, Imam Bonjol
dibuang lagi ke Ambon dan pada tahun 1841 dipindahkan lagi ke Menado sampai
meninggalnya di sana tanggal 6 November 1864.
|
|
3) Perlawanan Pangeran
Diponegoro(1825-1830)
Kondisi
kerajaan Mataram sekitar abad ke-18 bertambah menurun. Dominasi kekuasaan
Belanda semakin merajalela di Pulau Jawa. Perpecahan intern di kalangan istana
semakin memperlemah Mataram, hal yang sebaliknya semakin memperkuat kedudukan
Belanda. Setiap pertentangan antarkeluarga istana selalu mengundang campur
tangan pihak Belanda. Pada masa Daendels, Belanda menghendaki persamaan derajat
dengan Sultan dalam kunjungan resmi di keraton. Daendels menuntut agar para
pembesar Belanda duduk sejajar dengan raja dan sajian sirih supaya dihapuskan.
Tidak hanya itu, Belanda berusaha memasukkan budaya Barat, seperti
minum-minuman keras dan pesta dansa ke dalam keraton, sehingga Sultan di mata
golongan pemuka agama Islam tidak lagi dipandang sebagai khalifah seperti
halnya pada masa Sultan Agung.
Dalam
kondisi yang demikian muncullah kelompok bangsawan dan kaum ulama yang bereaksi
keras menentang keadaan tersebut. Salah seorang bangsawan yang anti Belanda
adalah Pangeran Ontowiryo yang dikenal dengan nama Diponegoro. Ia menunjukkan
sikap anti Belandanya dengan membangkang terhadap setiap peraturan atau
keinginan pihak Belanda. Tindakan Diponegoro tersebut juga diikuti oleh rakyat
Mataram yang juga merasakan tindakan kesewenang-wenangan Belanda. Kebencian
meningkat menjadi kemarahan ketika Belanda mencoba untuk memasang jalan yang
akan melintasi tanah makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo, pembuatan jalan itu
dilakukan tanpa seijin Pangeran Diponegoro tentu saja mendapat tantangan keras.
Patok-patok yang telah dipasang kemudian dicabuti oleh anak buah Pangeran
Diponegoro. Hal tersebut menimbulkan kemarahan dari pihak Belanda. Hal inilah
yang menjadi sebab khusus (cassus belli) munculnya Perang Diponegoro, atau oleh
Belanda disebut sebagai “Perang Jawa” yang berlangsung dari tahun 1825 sampai
tahun 1830.
Peperangan dimulai dengan
penyerangan pasukan Belanda ke tempat kediaman Pangeran Diponegoro di
Tegalrejo. Dengan bersenjatakan tombak, keris, lembing, golok, dan senjata
tradisional lainnya, rakyat yang dipimpin Pangeran Diponegoro membalas
serangan tersebut. Dalam peperangan ini, Pangeran Diponegoro mendapat bantuan
dari Kyai Mojo yang mengumandangkan “Perang Sabil” atau “Jihad Fisabilillah”.
Semangat perang jihad tersebut tentu saja membakar semangat rakyat yang
selama itu menderita akibat tindakan pemerasan Belanda. Akibatnya, dalam
peperangan ini Belanda banyak terdesak, apalagi setelah peperangan dibantu
oleh Sentot Alibasyah Prawirodirjo (1825 -1826).
|
|
Pihak
Belanda berusaha mencari taktik untuk menghadapi perang Diponegoro. Pada tahun
1827 Jenderal De Kock membuat siasat perang baru yang terkenal Benteng Stelsel.
Sistem ini bertujuan untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Caranya
adalah membangun benteng-benteng pertahanan di daerah-daerah yang telah
dikuasai oleh Belanda. Satu per satu para pemimpin perjuangan berhasil
ditangkap oleh Belanda, seperti Pangeran Suryomataram, Ario Prangwadoni,
Pangeran Serang, Pangeran Notoprojo, Pangeran Notodiningrat, dan putra Pangeran
Mangkubumi pada tahun 1828. Demikian juga tokoh lain, seperti pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo (Pangeran
dari Rembang) juga menyerah. Sementara itu, Sentot Prawirodirdjo menyerah pada
tahun 1929. Menyerah dan ditangkapnya tokoh-tokoh perlawanan menjadikan
perlawanan rakyat semakin melemah. Kecuali, Pangeran Diponegoro yang terus
berjuang beserta para pengikutnya dengan cara bergerilya. Belanda berusaha
menangkap Pangeran Diponegoro tetapi selalu mengalami kegagalan. Sekalipun
telah menyediakan uang hadiah sebesar 20.000 ringgit, belanda tetap tidak mampu
menangkap Pangeran Diponegoro.
Dengan
tidak bosan-bosannya Belanda menawarkan perundingan kepada Pangeran Diponegoro,
tetapi selalu ditolaknya. Melalui perantaraan Kolonel Klerens, tanggal 16 Februari 1830 Diponegoro
bersedia diajak berunding dengan perjanjian bahwa apabila gagal, Diponegoro boleh
kembali ke daerah pertahanannya. Berdasarkan kepercayaan dan janji Belanda itu
maka pada tanggal 21 Februari 1830 Pangeran Diponegoro beserta pasukannya
datang ke Bukit Manoreh dan tanggal 8 Maret 1830 tiba di Magelang. Sementara
itu Jenderal De Kock telah mengatur siasat untuk menangkap Diponegoro bila
perundingan gagal. Perundingan dilaksanakan di rumah Residen Kedu di Magelang
tanggal 28 Maret 1830. Perundingan gagal dan dengan tidak disangka-sangka
Diponegoro ditangkap di tempat perundingan. Perlawanan di daerah-daerah makin
menurun Diponegoro kemudian di bawa ke Menado, tahun 1834 dipindahkan ke Ujung
Pandang dan pada tanggal 8 Januari 1835 Diponegoro meninggal di pembuangan.
4) Perlawanan Rakyat Bali
Pada sekitar abad ke-18, di Bali banyak berdiri
kerajaan-kerajaan seperti Gianyar, Klungkung, Karangasem, Badung, Tabanan,
Buleleng, dan sebagainya. Kerajaan-kerajaan di Bali itu pada umumnya menganut
hukum adat Tawan Karang, yaitu hak untuk merampas kapal asing dan segala isinya
yang terdampar di pantai Bali.
Pada tahun 1844 di pantai
Buleleng sebuah kapal milik Belanda terdampar dan dirampas oleh penguasa
Buleleng. Belanda menuntut agar Raja Buleleng mengembalikan kapal beserta
seluruh isinya, tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Raja Buleleng dan
patihnya Patih Jelantik. Belanda mengeluarkan ultimatum kepada Raja Buleleng
agar menyerahkan Patih Jelantik, yang kemudian disusul dengan pengerahan 1700
pasukan Belanda untuk menyerbu Buleleng pada tahun 1846. Gusti Jelantik,
Patih Kerajaan Buleleng, tampil memimpin pasukannya menghadapi serangan
Belanda, dan pertempuran dasyat tidak bisa dihindarkan lagi.
Untuk menghindari korban
yang banyak di pihaknya karena kalah dalam kualitas persenjataan, Raja
Buleleng akhirnya bersedia berunding dengan Belanda.
|
|
Raja
Buleleng dipaksa menandatangani perjanjian pada tahun 1846, yang isinya :
a) Belanda
bebas mengadakan monopoli perdagangan di Bali
b) Hukum
adat hak tawan karang harus dihapuskan
c) Buleleng
harus mengganti ¾ kerugian perang Belanda
Perjanjian
tersebut tidak hanya berlaku di Buleleng saja tetapi di kerajaan-kerajaan
lainnya di Bali. Tetapi belakangan diketahui bahwa raja-raja di Bali tidak mau
tunduk pada perjanjian tersebut bahkan membatalkan perjanjian dengan Belanda.
Maka, pada tanggal 6 Juni 1848 Belanda melancarkan serangan kedua dengan
kekuatan 2.665 orang pasukan. Pertempuran meletus di Jagaraga dan Sangit yang
banyak menelan korban di pihak Belanda. Jenderal Van der Wiych terpaksa menarik
mundur pasukannya dan meminta bantuan ke Batavia. Pada tahun 1849, Belanda
mengerahkan pasukannya yang lebih besar untuk menyerang Bali di bawah pimpinan
Jenderal Michiels. Meskipun kalah dalam kualitas persenjataan, pasukan
kerajaan-kerajaan Bali tetap melawan dengan mengadakan Puputan, yaitu berjuang
sampai seluruh pasukannya gugur dalam pertempuran.
5) Perlawanan Rakyat Aceh
Ketegangan
antara Aceh dan Belanda mulai muncul pada tahun 1858 ketika Belanda mengadakan
perjanjian dengan Sultan Siak yang berisi ketentuan bahwa Siak menyerahkan
daerah-daerah Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan kepada Belanda. Aceh
menganggap bahwa daerah-daerah tersebut termasuk wilayah Aceh sejak
pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada tahun 1871 antara Inggris dan Belanda
mengadakan perjanjian yang terkenal dengan nama Traktat Sumatera. Isi traktat
tersebut dirasakan akan mengancam kedaulatan Aceh karena dalam perjanjian
tersebut ada ketentuan bahwa Inggris memberi kebebasan kepada Belanda untuk
mengadakan perluasan daerah di Sumatera, termasuk daerah Aceh. Oleh karena itu
Aceh segera memperkuat diri untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari Belanda
ke wilayahnya. Hubungan dengan luar negeri segera dilakukan antara lain dengan
Turki dan pendekatan dengan Amerika Serikat, Italia yang dilakukan di
Singapura.
Untuk mencegah campur
tangan asing di Aceh lebih jauh lagi,
Belanda bertindak cepat, dan tahun 1873 mengirimkan pasukannya.
Pasukan Aceh menantikan pendaratan pasukan Belanda dan mengadakan perlawanan.
Dalam suatu pertempuran di sekitar Masjid Raya, pasukan Aceh menembak mati
Jenderal Kohler. Dalam perang Aceh
muncul tokoh-tokoh pemimpin seperti Panglima Polim, Teuku Imam Leung
Bata, Cut Banta, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Salah seorang pejuang Aceh yaitu Teuku Umar, pada awalnya menggunakan
siasat atau taktik ber”kooperatif” dengan Belanda, yaitu berpura-pura menjadi
bagian dari pasukan Belanda.
|
|
Padahal sebenarnya ia ingin mengambil kesempatan
mencuri senjata dan amunisi Belanda yang kemudian dipergunakan oleh sesama pejuang
Aceh untuk melawan Belanda.
Karena sulitnya Belanda
untuk mematahkan perlawanan laskar Aceh, pihak Belanda mencari jalan lain
dengan berusaha mengetahui rahasia kekuatan rakyat Aceh terutama yang
menyangkut sosial budaya. Oleh karena itu Belanda mengirimkan Snouck
Hurgronje, tokoh orientalis Islam, untuk mempelajari segi-segi kehidupan
rakyat Aceh. Untuk bisa masuk dan diterima oleh rakyat Aceh, ia berganti nama
menjadi Abdul Gaffar (hamba Allah yang beroleh ampunan). Selama berbulan-bulan Snouck Hurgronje
bebas bergaul dengan masyarakat Aceh. Menggali informasi, mengamati, dan
menyelidiki dengan seksama tentang orang-orang Aceh yang sering melontarkan
kata-kata tat le ase kafe (kita
usir anjing kapir) kepada Belanda.
|
|
Dari
hasil penelitiannya yang kemudian dituangkan dalam bukunya The Atjehers dan Verslaag Atjeh, akhirnya dapat diketahui
bahwa sebenarnya Sultan Aceh itu tidak mempunyai kekuatan apa-apa tanpa
persetujuan dari kepala-kepala yang ada di bawahnya. Selain itu dijelaskan pula
bahwa pengaruh kaum ulama pada rakyat sangat besar karena itu dirasa sulit
untuk menundukkan rakyat yang berkeyakinan agama yang kuat seperti Aceh.
Berdasarkan rekomendasi Snouck Hurgronje, Pemerintah Belanda mengambil
langkah-langkah yang tepat yaitu dengan taktik memecah belah kekuatan yang ada
di kalangan rakyat Aceh. Salah satu caranya ialah bahwa kaum ulama (Tengku)
yang memimpin pertempuran dihadapkan dengan kekuatan militer. Sementara itu
anak-anak bangsawan diberi kesempatan untuk masuk ke dalam kelompok Pamong
Praja di lingkungan pemerintahan kolonial Belanda. Dengan kata lain, untuk
melemahkan kekuatan rakyat Aceh harus digunakan dua jalan : “jauhi Tengku
(Ulama) dan “dekati” “Teuku (Bangsawan/Uleebalang) di Aceh. Melalui cara
tersebut akan terpisahlah kelompok itu dari hubungannya dengan kaum ulama.
Perlawanan
rakyat Aceh terhadap Belanda mulai berkurang setelah Belanda melakukan operasi
militer secara besar-besaran yang dipimpin oleh Letkol Van Heuz dengan Pasukan
Marsose-nya yang terkenal kejam. Secara bertahap akhirnya para pemimpin
perlawanan rakyat Aceh dapat dilumpuhkan. Teuku Umar gugur dalam pertempuran
tahun 1899, Sultan Aceh menyerah pada tahun 1903, Panglima Polim menyerah tahun
itu juga di Lhokseumawe, sedangkan Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap dan
dibuang ke Sumedang (Gunung Puyuh). Sejak tahun 1904, Aceh akhirnya jatuh ke
tangan Belanda.
0 comments:
Post a Comment