a. Nasionalisasi
De Javasche Bank
Pada
masa berlakunya demokrasi liberal (1951), kebijaksanaan ekonomi dan keuangan
ditinjau kembali karena pada sektor moneter, Indonesia masih lemah. Hal
tersebut disebabkan ekspor Indonesia masih mengandalkan hasil-hasil pertanian
dan perkebunan, sedangkan sektor-sektor lain masih kurang. Perusahaan-perusahaan
besar dan bank yang ada pada umumnya masih dikuasai oleh orang-orang Belanda.
Untuk mengatasi masalah moneter tersebut, pemerintah RI sejak masa Kabinet
Soekiman, melakukan penataan lembaga-lembaga keuangan negara yaitu dengan
menasionalisasikan De Javasche Bank
yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda menjadi Bank Indonesia. Hal ini sesuai
dengan Keterangan Pemerintah tanggal 28 Mei 1951 di depan DPR, yang mengemukakan rencana pemerintah mengenai
nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia.
Pada
tanggal 19 Juni 1951, dibentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 118 tanggal 2
Juni 1951. Tugas panitia tersebut adalah mengajukan usul mengenai nasionalisasi
serta merencanakan undang-undang yang baru mengenai Bank Sentral. Kemudian
pemerintah mengangkat Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank Pada tanggal 15
Desember 1951, diumumkan Undang-Undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. menjadi Bank
Indonesia yang berfungsi sebagai Bank Sentral dan Bank Sirkulasi.
b. Program
Ekonomi Gerakan Benteng dan Ali
Baba
1) Program Gerakan Benteng
Program
Ekonomi Gerakan Benteng adalah suatu cara untuk memperbaiki struktur
perekonomian negara Indonesia dari sistem ekonomi warisan kolonial ke sistem
ekonomi nasional melalui suatu gerakan konfrontasi ekonomi nasional. Dikatakan
konfrontasi ekonomi karena bertujuan melindungi atau “membentengi” para
pengusaha pribumi dalam rangka membangun ekonomi bangsa, serta untuk mendorong
para pengusaha Indonesia supaya dapat berkembang maju, dapat bersaing dengan
para pengusaha asing (keturunan Cina) yang pada waktu itu memonopoli
perdagangan yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan mengubah struktur ekonomi
warisan kolonial menjadi ekonomi nasional, khususnya di bidang perdagangan.
Pencetus
dari program Gerakan Benteng ini yaitu Dr. Sumitro Djojohadikusumo ketika
menjabat sebagai Menteri Keuangan pada masa pemerintahan Kabinet Natsir. Ia
berpendapat bahwa pada bangsa Indonesia harus selekas mungkin ditumbuhkan kelas
pengusaha. Karena pada waktu itu pegusaha pribumi pada umumnya memiliki modal
yang lemah, sehingga perlu diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam
pembangunan ekonomi nasional. Mereka harus dibimbing dan diberi bantuan kredit
modal. Selama tiga tahun (1950-1953) lebih kurang 700 pengusaha bangsa
Indonesia, seperti kelompok pengusaha keluarga Bakri, Hasjim Ning, dan
lain-lain mendapat bantuan kredit dari Program Gerakan Benteng.
Walaupun
bantuan telah diberikan, namun tetap saja ditemukan beberapa kendala sehingga
tujuan yang ingin dicapai tidak tepat pada sasarannya. Kendala-kendala
tersebut di antaranya; pengusaha-pengusaha Indonesia ternyata lamban untuk
berpikir dewasa, bahkan ada yang menyalahgunakan bantuan pemerintah itu
kepada pola hidup konsumtif dan ingin cepat mendapatkan keuntungan serta
belum bisa bersaing dengan para pengusaha keturunan Cina dalam berusaha.
Bantuan tersebut ternyata tidak efektif dengan banyaknya kredit macet,
akibatnya defisit negara semakin meningkat.
|
|
2) Program Ali-Baba
Pada
masa Kabinet Ali Sastroamidjojo, diperkenalkan sistem ekonomi baru yang dikenal
dengan sebutan "Program Ali-Baba" yaitu sistem kerjasama usaha antara
pengusaha swasta pribumi (Ali) dengan pengusaha swasta asing khususnya Cina
keturunan (Baba). Sistem ini diprakarsai oleh Menteri Perekonomian Mr. Ishaq
Tjokrohadisuryo yang bertujuan memajukkan nasib pengusaha pribumi. Jadi, sistem
ekonomi ini lebih menekankan pada kebijaksanaan “Indonesiasisasi”, yakni
kebijaksanaan yang mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha-pengusaha
swasta pribumi. Dalam rangka memajukkan ekonomi Indonesia pengusaha pribumi
harus bekerjasama dengan pengusaha non pribumi khususnya pengusaha keturunan
Cina yang telah berpengalaman dalam usaha. Dalam rangka program ini pemerintah
seperti halnya dalam program ekonomi Gerakan Benteng, memberikan bantuan kredit
dari Bank.
Tetapi
program ekonomi ini, juga terdapat kelemahan diantaranya para pengusaha pribumi
tidak memiliki pengalaman yang cukup luas dibidang ekonomi bila dibandingkan
dengan pengusaha non pribumi. Pengusaha pribumi cenderung tidak mampu melakukan
persaingan dengan pengusaha asing. Bahkan dengan program ini, pengusaha pribumi
hanya dijadikan “batu loncatan” bagi pengusaha asing untuk mendapatkan kredit
dari bank.
Kalau
disimpulkan bahwa upaya pemerintah untuk menata kehidupan ekonomi sejak
proklamasi kemerdekaan sampai berlakunya percobaan sistem liberal mengalami
banyak kendala. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya :
(1) Struktur ekonomi yang berat
sebelah, yaitu terlalu menggantungkan diri pada hasil-hasil pertanian,
khususnya perkebunan untuk di ekspor ke negara lain. Sedangkan potensi yang
lainnya tidak digali dan dimanfaatkan secara optimal. Melimpahnya Sumber Daya
Alam tidak seimbang dengan Sumber Daya Manusia Indonesia yang masih lemah dan
dana yang minim.
(2) Munculnya gangguan stabilitas
keamanan baik yang datangnya dari luar (pihak Belanda) maupun dalam negeri
(gerakan separatisme), sangat berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan
ekonomi, sedangkan operasi penanggulangan keamanan memerlukan biaya yang besar
dan merupakan sumber defisit negara.
(3) Instabilitas politik
pemerintahan, yang ditandai dengan seringnya pergantian kabinet sehingga
menyebabkan masing-masing kabinet membuat program-program sendiri yang
berdasarkan tuntutan golongan atau pendukungnya.
0 comments:
Post a Comment