Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Wednesday, August 28, 2013

Masa Pemerintahan Demokrasi Liberal



a.     Terbentuknya RIS dan Penyerahan Kedaulatan
         Hasil keputusan KMB kemudian disahkan oleh KNIP tanggal 14 September 1949, dan oleh parlemen Belanda tanggal 21 Desember 1949. Sebagai realisasi dari hasil keputusan KMB, kemudian dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat yang mencakup 15 negara bagian yang tergabung dalam BFO dan negara bagian RI. Dalam pemilihan presiden RIS, Ir. Soekarno secara aklamasi terpilih sebagai Presiden RIS yang beribukota di Jakarta. Selanjutnya kedudukan Presiden Soekarno sebagai Presiden RI diganti oleh Mr. Assaat sebagai pejabat Presiden RI yang berkedudukan di ibukota RI, Yogyakarta. Mr. Assaat menjalankan pemerintahan RI berdasarkan UUD 1945, sedangkan Ir. Soekarno menjalankan pemerintahan berdasarkan Konstitusi RIS. Sebagai Perdana Menteri RIS, diangkat Drs. Moh. Hatta.
         Setelah alat-alat perlengkapan negara RIS terbentuk, maka dilaksanakanlah penyerahan kedaulatan secara resmi dari Pemerintah Kerajaan Belanda kepada RIS. Penyerahan kedaulatan dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949 di Amsterdam, Belanda secara resmi oleh Ratu Belanda Wilhelmina kepada wakil Negara RIS, Drs. Moh. Hatta. Di Jakarta, juga dilakukan upacara penyerahan kedaulatan oleh A.H.J. Lovink selaku Komisaris Tinggi Belanda di Indonesia kepada wakil RIS, Sri Sultan Hamengkuboewono IX pada hari dan tanggal yang sama. Sejak saat itu, secara resmi terbentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).  Negara RIS terdiri dari negara-negara bagian, yaitu :
a)     Negara bagian yang meliputi Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera, Negara Sumatera Timur, dan Republik Indonesia.
b)    Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, yang meliputi Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Banjar, Riau, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
c)     Daerah Swapraja, yang meliputi Kota Waringin, Sabang dan Padang.

b.     Terbentuknya Kembali Negara Kesatuan RI dan Sistem Pemerintahan Parlementer
         Ternyata masa pemerintahan Negara RIS tidak berumur lama (27 Desember 1949-17 Agustus 1950). Karena sistem pemerintahan RIS yang bersifat liberal kolonial, yang memecah belah Indonesia menjadi negara-negara bagian (federasi) tidak sesuai dengan semangat dan jiwa bangsa Indonesia yang mencintai persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan adanya negara-negara bagian dan satuan kenegaraan yang tegak sendiri, Belanda berusaha untuk memencilkan Negara RI dari tengah-tengah rakyatnya.
         Sejak terbentuknya negara RIS, di Indonesia terdapat dua golongan masyarakat yang mempunyai perbedaan pandangan terhadap prinsip-prinsip negara RIS, yaitu :
a)     Golongan masyarakat Unitarisme, yaitu kelompok masyarakat yang mendukung terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tokoh yang terkenal gigih untuk mendukung kembalinya NKRI adalah Sri Sultan Hamengkubuwono.
b)    Golongan masyarakat Federalisme, yaitu kelompok masyarakat yang mendukung terbentuknya Negara Federal RIS. Tokohnya antara lain Sultan Hamid II.


         Usaha-usaha untuk kembali ke NKRI dilancarkan di negara-negara bagian dan menuntut pembubaran RIS. Sampai tanggal 5 April 1950, tinggal hanya terdapat tiga negara bagian, yaitu Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan Negara RI. Untuk menanggapi aspirasi rakyat yang makin meluas, maka pada bulan Mei 1950 dilangsungkan perundingan antara wakil-wakil RIS dengan RI tentang pembentukan negara kesatuan. Pada tanggal 19 Mei 1950 tercapai suatu persetujuan antara RI dan RIS yang dituangkan dalam suatu “Piagam Persetujuan”. Piagam tersebut berisi antara lain : RI dan RIS sepakat untuk membentuk NKRI berdasarkan jiwa dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan berdasarkan suatu Undang-Undang Dasar baru yang akan dibentuk kemudian.
         Untuk menyusun Rancangan UUD baru Negara Kesatuan RI, maka dibentuklah suatu Panitia Bersama RI-RIS yang bertugas melaksanakan Piagam Persetujuan. Pada tanggal 14 Agustus 1950, Parlemen dan Senat RIS mengesahkan UUD Sementara Negara Kesatuan RI sebagai hasil kerja bersama panitia perancang. Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani UUDS Negara Kesatuan RI. Pada tanggal 17 Agustus 1950, melalui suatu upacara resmi, Presiden Soekarno memproklamasikan berdirinya Negara Kesatuan RI dengan berdasarkan pada UUDS 1950. Sejak saat itu, berakhirlah masa pemerintahan RIS dan kembali ke negara kesatuan RI. Tetapi dengan menggunakan UUDS 1950, berarti negara kita memasuki masa demokrasi liberal (1950-1959).
         UUDS 1950 ini mengandung unsur-unsur dari UUD 1945 dan Konstitusi RIS. Menurut UUDS 1950, kekuasaan legislatif dipegang oleh presiden, kabinet, dan DPR. Pemerintah mempunyai hak untuk mengeluarkan undang-undang darurat atau peraturan pemerintah. Presiden juga dapat mengeluarkan dekritnya jika diperlukan.
         Pada masa ini kabinet pemerintahan (sistem parlementer) dan DPR secara bergantian dipegang oleh beberapa tokoh dari partai-partai politik yang dominan seperti PNI dan Masyumi. Adapun kabinet pemerintahan yang pernah ada pada periode ini di antaranya :
1)     Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951). Kabinet Natsir (dari Partai Masyumi) jatuh sebagai akibat mosi tidak percaya dari PNI, karena dianggap gagal dalam perjuangan mengembalikan Irian Barat serta pencabutan PP. No. 39 tahun 1950 tentang DPRS dan DPRDS yang menguntungkan Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya kepada Presiden tanggal 21 Maret 1951.
2)     Kabinet Sukiman-Suwiryo (27 April 1951 - 3 April 1952). Kabinet Soekiman-Soewiryo (Koalisi antara Masyumi dan PNI) jatuh karena terlibat dalam penandatanganan persetujuan bantuan ekonomi, teknik dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar MSA (Mutual Security Act). Peristiwa ini ditafsirkan oleh DPR bahwa Indonesia telah memasuki Blok Barat sehingga bertentangan dengan salah satu program kabinet, yaitu melaksanakan politik luar negeri bebas dan aktif.
3)     Kabinet Wilopo (3 April 1952 -2 Juni 1953). Kabinet Wilopo (dari PNI) jatuh karena timbulnya gejala separatisme di daerah-daerah dan munculnya masalah Angkatan Perang yaitu terjadinya pergolakan intern di dalam tubuh TNI-AD (antara kelompok Kolonel Bambang Supeno yang didukung Presiden Soekarno dengan KSAD Kolonel A.H. Nasution). Jatuhnya kabinet ini, juga ditimbulkan oleh Peristiwa Tanjung Morawa yaitu persoalan tanah perusahaan asing di Sumatera Utara dimana Pemerintah mengijinkan kembali para pengusaha asing untuk mengusahakan tanah-tanah perkebunan sesuai dengan persetujuan KMB. Hal itu ditentang oleh para petani setempat yang ditunggangi  PKI.
4)     Kabinet Ali - Wongso (1 Agustus 1953 -24  Juli 1955). Merupakan koalisi antara PNI (Ali Sastroamidjojo) dengan Parindra (Ali Wongsonegoro). Disebut juga Kabinet Ali 2 ( dua Ali). Kabinet ini berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung bulan April 1955. Jatuhnya kabinet ini masih disebabkan oleh munculnya konflik dengan TNI - AD dalam soal pengangkatan Kepala Staf (Kolonel Bambang Utoyo) yang tidak disetujui oleh pucuk pimpinan TNI-AD.
5)     Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi 11 Agustus 1955 -3 Maret 1956). Pada masa kabinet inilah berhasil diselenggarakan pemilihan umum pertama tanggal 29 September 1955 dan 15 Desember 1955.
6)     Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 14 Maret 1957). Dalam kabinet ini duduk tiga partai besar yaitu PNI, Masyumi dan NU. Kabinet ini jatuh karena terjadinya perpecahan antara PNI dengan Masyumi yang terlibat dalam Pemberontakan PRRI.
7)     Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959). Disebut juga Kabinet Karya karena dalam programnya dikenal sebagai Pancakarya yang terdiri dari :
-       Membentuk Dewan Nasional
-       Normalisasi keadaan RI
-       Melanjutkan pembatalan KMB
-       Memperjuangkan Irian Barat
-       Mempercepat pembangunan

         Perkembangan kekuatan sosial politik Indonesia berjalan seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap kehidupan bernegara. Pembangunan politik ditujukan kepada pengembangan etika dan moral budaya-politik dalam mewujudkan kehidupan politik yang mantap dengan makin berperan dan berfungsinya suprastruktur dan infrastruktur politik secara efektif.
         Atas usul BP-KNIP kepada pemerintah agar rakyat diberi kesempatan untuk mendirikan partai politik dengan beberapa pembatasan, keluarlah maklumat pemerintah tanggal 3 Nopember 1945. Partai-partai ini dibentuk untuk mengembangkan atau memperluas demokrasi, karena kalau hanya ada satu partai saja akan timbul berbagai kritik terhadap partai tunggal tersebut (PNI) yang akhirnya akan menimbulkan kesan adanya sistem mono partai yang biasa terdapat di negara-negara fascis. Isi dari Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tersebut adalah “….berhubung dengan usulan BP-KNIP kepada pemerintah, supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai politik dengan resmi. Isinya bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan kita dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat”.
         Dengan keluarnya maklumat tersebut sistem kepartaian menjadi multi partai sehingga munculah partai-partai politik bagaikan “cendawan tumbuh dimusim hujan”. Dalam pelaksanaan sistem kepartaian yang multi partai ada beberapa hambatan/kendala apalagi di negara yang baru melaksanakan sistem tersebut, diantaranya :
1)     Sering terjadi kesalahpahaman antar massa partai dengan partai lain
2)     Banyak partai yang tidak bisa menerima kekalahan hasil pemilu dengan alasan-alasan tertentu
3)     Akan timbul apa yang dinamakan “oposisi” sebagai konsekuensi logis dari sistem Demokrasi Liberal
4)     Jika tidak diorganisir dengan baik akan terus menimbulkan pergolakan akibat perebutan kekuasaan.
         Sampai berlangsungnya pemilu pertama tahun 1955, jumlah partai politik sudah di atas 25 parpol belum termasuk partai perseorangan. Melihat situasi yang memprihatinkan tersebut, mendorong pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintahan No. 7 Tahun 1959 tentang penyederhanaan partai politik. Dari jumlah partai yang semula berjumlah banyak, akhirnya tersisa 9 parpol yang diakui secara sah , yaitu : PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nahdhatul Ulama), PKI (Partai Komunis Indonesia), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, Perti (Persatuan Tarekat Islamiah), Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), dan Partindo (Partai Indonesia). Masyumi tidak diakui karena dianggap terlibat dalam Pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958.
         Menjelang Pemilu kedua tahun 1971 atau yang pertama pada masa Orde Baru, jumlah partai politik terus berubah-ubah dan yang diakui dan berhak ikut pemilu berjumlah 9 parpol ditambah golongan karya. Sejak keluarnya UU No. 3 tahun 1975 tentang partai politik dan golongan karya, partai politik yang diakui tinggal dua yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) ditambah Golongan Karya. PPP merupakan fusi dari NU, PSII, Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) dan Perti. PDI merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Parkindo, Murba dan IPKI. Sedangkan Golongan Karya berasal dari organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti dari golongan buruh, pemuda, tani, nelayan, seniman, dan lain-lain. Pada masa reformasi sekarang seiring dengan adanya kebebasan dari pemerintah, partai-partai politik yang muncul persis sama ketika pada masa liberal tahun 1950-an dengan segala perbedaan dan persamaannya.

         Perkembangan kekuatan sosial politik Indonesia berjalan seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap kehidupan bernegara. Pembangunan politik ditujukan kepada pengembangan etika dan moral budaya-politik dalam mewujudkan kehidupan politik yang mantap dengan makin berperan dan berfungsinya suprastruktur dan infrastruktur politik secara efektif. Salah satu sarana dalam pembangunan politik adalah partai politik. Menurut Prof. Miriam Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, dapat melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
         Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana atau alat demokrasi. Adapun bobot demokrasi pada setiap negara berbeda, tergantung kepada sistem demokrasinya, apakah dilaksanakan secara formal atau hanya sekedar menyalurkan kehendak rakyat atau bahkan hanya sebagai lambang saja. Sistem pemilihan yang dipakai dalam pemilu terdapat dua sistem yaitu sistem perwakilan berimbang (proporsional) dan sistem  distrik. Dalam sistem proporsional, suatu partai politik akan memperoleh jumlah kursi dalam parlemen yang seimbang (proporsional) dengan dukungannya dalam masyarakat. Masyarakat pemilih dibagi dalam beberapa unit yang besar (misalnya di Indonesia jumlah serta luas setiap daerah pemilihan sesuai dengan propinsi yang ada) dan jumlah kursi suatu partai ditentukan oleh jumlah suara yang diperolehnya dalam setiap daerah pemilihan.
         Jadi, setiap daerah pemilihan berhak atas jumlah kursi yang sesuai dengan jumlah penduduknya. Sistem ini kadangkadang disebut lijstenstelsel karena setiap partai menentukan daftar calon legislatifnya. Dalam sistem distrik, masyarakat pemilih dibagi dalam sejumlah unit atau distrik yang biasanya jauh lebih kecil daripada daerah pemilihan dalam sistem proporsional, misalnya sebesar kabupaten. Satu distrik pemilihan hanya berhak atas satu kursi dalam parlemen. Dan jumlah kursi bagi satu partai ditentukan oleh jumlah distrik di mana dia menang sebagai pemenang pertama atau tunggal.

.
         Sebagai perbandingan, dalam Pemilu yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sampai sekarang, sistem pemilihan yang dipakai adalah sistem proporsional dan sistem distrik. Sejak Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, untuk pertama kalinya Indonesia melaksanakan pemilihan umum yaitu pada tahun 1955, karena rencana untuk mengadakan pemilu pada masa-masa sebelumnya selalu mengalami hambatan berhubung kondisi keamanan Indonesia yang masih rawan. Pemilu ini dilaksanakan sebagai realisasi dari UU No. 7 tahun 1953. UU ini dibuat berdasarkan UUDS 1950 yang menganut faham demokrasi liberal. Pemilu yang pertama ini dilaksanakan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap (dari Masyumi). Pada pemilu pertama ini dilaksanakan dua kali yaitu tanggal 29 September untuk memilih Anggota DPR dan tanggal 15 Desember untuk memilih Anggota Konstituante (sidang yang membuat UUD). Anggota DPR hasil pemilu beranggotakan 272 orang, dengan perhitungan setiap anggota DPR mewakili sekitar 378.000-an penduduk. Sedangkan untuk anggota Konstituante berjumlah 542 orang.
         Hasil dari Pemilu tahun 1955 di antaranya sebagai berikut (sepuluh besar) :
No.
Partai Politik
Peserta Pemilu
Jumlah
Suara Sah
%  dari Total
Suara Sah
Jumlah Kursi
di DPR
1
Partai Nasional Indonesia
8.434.653
22,3
57
2
Masyumi
7.903. 886
20,9
57
3
Nahdlatul Ulama
6.955.141
18,4
45
4
Partai Komunis Indonesia
6.176.914
16,4
39
5
Parkindo
1.091.160
2,9
8
6
Partai Katolik
770.740
2,6
6
7
Partai Sosialis Indonesia
753.191
2,0
5
8
IPKI
541.306
1,4
4
9
Perti
483.014
1,3
4
10
PRN
242.125
0,6
2
         Kabinet pertama hasil pemilu tahun 1955 merupakan koalisi dari dua partai terbesar yaitu PNI dan Masyumi, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo (PNI). Tapi kabinet ini hanya bertahan selama setahun karena bermacam-macam masalah, seperti Konsepsi Presiden (yang mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan parlemen) dan pergolakan-pergolakan di daerah. Kabinet Ali kemudian digantikan oleh Kabinet Djuanda (PNI) yang merupakan kabinet terakhir pada masa Demokrasi Liberal.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More