a. Terbentuknya RIS dan Penyerahan Kedaulatan
Hasil
keputusan KMB kemudian disahkan oleh KNIP tanggal 14 September 1949, dan oleh
parlemen Belanda tanggal 21 Desember 1949. Sebagai realisasi dari hasil
keputusan KMB, kemudian dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat yang
mencakup 15 negara bagian yang tergabung dalam BFO dan negara bagian RI. Dalam
pemilihan presiden RIS, Ir. Soekarno secara aklamasi terpilih sebagai Presiden
RIS yang beribukota di Jakarta. Selanjutnya kedudukan Presiden Soekarno sebagai
Presiden RI diganti oleh Mr. Assaat sebagai pejabat Presiden RI yang
berkedudukan di ibukota RI, Yogyakarta. Mr. Assaat menjalankan pemerintahan RI
berdasarkan UUD 1945, sedangkan Ir. Soekarno menjalankan pemerintahan berdasarkan
Konstitusi RIS. Sebagai Perdana Menteri RIS, diangkat Drs. Moh. Hatta.
Setelah
alat-alat perlengkapan negara RIS terbentuk, maka dilaksanakanlah penyerahan
kedaulatan secara resmi dari Pemerintah Kerajaan Belanda kepada RIS. Penyerahan
kedaulatan dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949 di Amsterdam, Belanda
secara resmi oleh Ratu Belanda Wilhelmina kepada wakil Negara RIS, Drs. Moh.
Hatta. Di Jakarta, juga dilakukan upacara penyerahan kedaulatan oleh A.H.J.
Lovink selaku Komisaris Tinggi Belanda di Indonesia kepada wakil RIS, Sri
Sultan Hamengkuboewono IX pada hari dan tanggal yang sama. Sejak saat itu,
secara resmi terbentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara RIS terdiri dari negara-negara bagian,
yaitu :
a) Negara bagian yang meliputi
Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara
Madura, Negara Sumatera, Negara Sumatera Timur, dan Republik Indonesia.
b) Satuan-satuan kenegaraan yang
tegak sendiri, yang meliputi Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Banjar, Riau, Kalimantan
Tenggara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
c) Daerah Swapraja, yang
meliputi Kota Waringin, Sabang dan Padang.
b. Terbentuknya Kembali Negara
Kesatuan RI dan Sistem Pemerintahan Parlementer
Ternyata
masa pemerintahan Negara RIS tidak berumur lama (27 Desember 1949-17 Agustus
1950). Karena sistem pemerintahan RIS yang bersifat liberal kolonial, yang
memecah belah Indonesia menjadi negara-negara bagian (federasi) tidak sesuai
dengan semangat dan jiwa bangsa Indonesia yang mencintai persatuan dan kesatuan
bangsa. Dengan adanya negara-negara bagian dan satuan kenegaraan yang tegak
sendiri, Belanda berusaha untuk memencilkan Negara RI dari tengah-tengah
rakyatnya.
Sejak
terbentuknya negara RIS, di Indonesia terdapat dua golongan masyarakat yang mempunyai
perbedaan pandangan terhadap prinsip-prinsip negara RIS, yaitu :
a) Golongan masyarakat Unitarisme,
yaitu kelompok masyarakat yang mendukung terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Tokoh yang terkenal gigih untuk mendukung kembalinya
NKRI adalah Sri Sultan Hamengkubuwono.
b) Golongan
masyarakat Federalisme, yaitu kelompok masyarakat yang mendukung
terbentuknya Negara Federal RIS. Tokohnya antara lain Sultan Hamid II.
|
|
Usaha-usaha
untuk kembali ke NKRI dilancarkan di negara-negara bagian dan menuntut
pembubaran RIS. Sampai tanggal 5 April 1950, tinggal hanya terdapat tiga negara
bagian, yaitu Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan Negara RI.
Untuk menanggapi aspirasi rakyat yang makin meluas, maka pada bulan Mei 1950
dilangsungkan perundingan antara wakil-wakil RIS dengan RI tentang pembentukan
negara kesatuan. Pada tanggal 19 Mei 1950 tercapai suatu persetujuan antara RI
dan RIS yang dituangkan dalam suatu “Piagam Persetujuan”. Piagam tersebut
berisi antara lain : RI dan RIS sepakat untuk membentuk NKRI berdasarkan jiwa
dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan berdasarkan suatu Undang-Undang
Dasar baru yang akan dibentuk kemudian.
Untuk
menyusun Rancangan UUD baru Negara Kesatuan RI, maka dibentuklah suatu Panitia
Bersama RI-RIS yang bertugas melaksanakan Piagam Persetujuan. Pada tanggal 14
Agustus 1950, Parlemen dan Senat RIS mengesahkan UUD Sementara Negara Kesatuan
RI sebagai hasil kerja bersama panitia perancang. Pada tanggal 15 Agustus 1950,
Presiden Soekarno menandatangani UUDS Negara Kesatuan RI. Pada tanggal 17
Agustus 1950, melalui suatu upacara resmi, Presiden Soekarno memproklamasikan
berdirinya Negara Kesatuan RI dengan berdasarkan pada UUDS 1950. Sejak saat
itu, berakhirlah masa pemerintahan RIS dan kembali ke negara kesatuan RI.
Tetapi dengan menggunakan UUDS 1950, berarti negara kita memasuki masa
demokrasi liberal (1950-1959).
UUDS
1950 ini mengandung unsur-unsur dari UUD 1945 dan Konstitusi RIS. Menurut UUDS
1950, kekuasaan legislatif dipegang oleh presiden, kabinet, dan DPR. Pemerintah
mempunyai hak untuk mengeluarkan undang-undang darurat atau peraturan
pemerintah. Presiden juga dapat mengeluarkan dekritnya jika diperlukan.
Pada
masa ini kabinet pemerintahan (sistem parlementer) dan DPR secara bergantian
dipegang oleh beberapa tokoh dari partai-partai politik yang dominan seperti
PNI dan Masyumi. Adapun kabinet pemerintahan yang pernah ada pada periode ini
di antaranya :
1) Kabinet Natsir (6 September
1950 - 21 Maret 1951). Kabinet Natsir (dari Partai Masyumi) jatuh sebagai
akibat mosi tidak percaya dari PNI, karena dianggap gagal dalam perjuangan
mengembalikan Irian Barat serta pencabutan PP. No. 39 tahun 1950 tentang DPRS
dan DPRDS yang menguntungkan Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya kepada
Presiden tanggal 21 Maret 1951.
2) Kabinet Sukiman-Suwiryo (27
April 1951 - 3 April 1952). Kabinet Soekiman-Soewiryo (Koalisi antara Masyumi
dan PNI) jatuh karena terlibat dalam penandatanganan persetujuan bantuan
ekonomi, teknik dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas
dasar MSA (Mutual Security Act). Peristiwa ini ditafsirkan oleh DPR bahwa
Indonesia telah memasuki Blok Barat sehingga bertentangan dengan salah satu
program kabinet, yaitu melaksanakan politik luar negeri bebas dan aktif.
3) Kabinet Wilopo (3 April 1952
-2 Juni 1953). Kabinet Wilopo (dari PNI) jatuh karena timbulnya gejala
separatisme di daerah-daerah dan munculnya masalah Angkatan Perang yaitu
terjadinya pergolakan intern di dalam tubuh TNI-AD (antara kelompok Kolonel
Bambang Supeno yang didukung Presiden Soekarno dengan KSAD Kolonel A.H.
Nasution). Jatuhnya kabinet ini, juga ditimbulkan oleh Peristiwa Tanjung Morawa
yaitu persoalan tanah perusahaan asing di Sumatera Utara dimana Pemerintah
mengijinkan kembali para pengusaha asing untuk mengusahakan tanah-tanah
perkebunan sesuai dengan persetujuan KMB. Hal itu ditentang oleh para petani
setempat yang ditunggangi PKI.
4) Kabinet Ali - Wongso (1
Agustus 1953 -24 Juli 1955). Merupakan
koalisi antara PNI (Ali Sastroamidjojo) dengan Parindra (Ali Wongsonegoro).
Disebut juga Kabinet Ali 2 ( dua Ali). Kabinet ini berhasil menyelenggarakan
Konferensi Asia-Afrika di Bandung bulan April 1955. Jatuhnya kabinet ini masih
disebabkan oleh munculnya konflik dengan TNI - AD dalam soal pengangkatan
Kepala Staf (Kolonel Bambang Utoyo) yang tidak disetujui oleh pucuk pimpinan
TNI-AD.
5) Kabinet Burhanuddin Harahap
(Masyumi 11 Agustus 1955 -3 Maret 1956). Pada masa kabinet inilah berhasil
diselenggarakan pemilihan umum pertama tanggal 29 September 1955 dan 15
Desember 1955.
6) Kabinet Ali Sastroamidjojo
II (20 Maret 1956 - 14 Maret 1957). Dalam kabinet ini duduk tiga partai besar
yaitu PNI, Masyumi dan NU. Kabinet ini jatuh karena terjadinya perpecahan
antara PNI dengan Masyumi yang terlibat dalam Pemberontakan PRRI.
7) Kabinet Djuanda (9 April
1957 - 5 Juli 1959). Disebut juga Kabinet Karya karena dalam programnya dikenal
sebagai Pancakarya yang terdiri dari :
- Membentuk Dewan Nasional
- Normalisasi keadaan RI
- Melanjutkan pembatalan KMB
- Memperjuangkan Irian Barat
- Mempercepat pembangunan
Perkembangan
kekuatan sosial politik Indonesia berjalan seiring dengan kesadaran masyarakat
terhadap kehidupan bernegara. Pembangunan politik ditujukan kepada pengembangan
etika dan moral budaya-politik dalam mewujudkan kehidupan politik yang mantap
dengan makin berperan dan berfungsinya suprastruktur dan infrastruktur politik
secara efektif.
Atas
usul BP-KNIP kepada pemerintah agar rakyat diberi kesempatan untuk mendirikan
partai politik dengan beberapa pembatasan, keluarlah maklumat pemerintah
tanggal 3 Nopember 1945. Partai-partai ini dibentuk untuk mengembangkan atau
memperluas demokrasi, karena kalau hanya ada satu partai saja akan timbul
berbagai kritik terhadap partai tunggal tersebut (PNI) yang akhirnya akan
menimbulkan kesan adanya sistem mono partai yang biasa terdapat di
negara-negara fascis. Isi dari Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945
tersebut adalah “….berhubung dengan
usulan BP-KNIP kepada pemerintah, supaya diberikan kesempatan kepada rakyat
seluas-luasnya untuk mendirikan partai politik dengan resmi. Isinya bahwa
partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan kita dalam
mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat”.
Dengan
keluarnya maklumat tersebut sistem kepartaian menjadi multi partai sehingga
munculah partai-partai politik bagaikan “cendawan tumbuh dimusim hujan”. Dalam
pelaksanaan sistem kepartaian yang multi partai ada beberapa hambatan/kendala
apalagi di negara yang baru melaksanakan sistem tersebut, diantaranya :
1) Sering terjadi
kesalahpahaman antar massa partai dengan partai lain
2) Banyak partai yang tidak
bisa menerima kekalahan hasil pemilu dengan alasan-alasan tertentu
3) Akan timbul apa yang
dinamakan “oposisi” sebagai konsekuensi logis dari sistem Demokrasi Liberal
4) Jika tidak diorganisir
dengan baik akan terus menimbulkan pergolakan akibat perebutan kekuasaan.
Sampai
berlangsungnya pemilu pertama tahun 1955, jumlah partai politik sudah di atas
25 parpol belum termasuk partai perseorangan. Melihat situasi yang
memprihatinkan tersebut, mendorong pemerintah mengeluarkan Penetapan
Pemerintahan No. 7 Tahun 1959 tentang penyederhanaan partai politik. Dari
jumlah partai yang semula berjumlah banyak, akhirnya tersisa 9 parpol yang
diakui secara sah , yaitu : PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nahdhatul
Ulama), PKI (Partai Komunis Indonesia), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia),
Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, Perti (Persatuan Tarekat
Islamiah), Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), dan Partindo (Partai Indonesia).
Masyumi tidak diakui karena dianggap terlibat dalam Pemberontakan PRRI/Permesta
tahun 1958.
Menjelang
Pemilu kedua tahun 1971 atau yang pertama pada masa Orde Baru, jumlah partai
politik terus berubah-ubah dan yang diakui dan berhak ikut pemilu berjumlah 9
parpol ditambah golongan karya. Sejak keluarnya UU No. 3 tahun 1975 tentang
partai politik dan golongan karya, partai politik yang diakui tinggal dua yaitu
PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia)
ditambah Golongan Karya. PPP merupakan fusi dari NU, PSII, Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia) dan Perti. PDI merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik,
Parkindo, Murba dan IPKI. Sedangkan Golongan Karya berasal dari
organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti dari golongan buruh, pemuda, tani,
nelayan, seniman, dan lain-lain. Pada masa reformasi sekarang seiring dengan
adanya kebebasan dari pemerintah, partai-partai politik yang muncul persis sama
ketika pada masa liberal tahun 1950-an dengan segala perbedaan dan
persamaannya.
Perkembangan
kekuatan sosial politik Indonesia berjalan seiring dengan kesadaran masyarakat
terhadap kehidupan bernegara. Pembangunan politik ditujukan kepada pengembangan
etika dan moral budaya-politik dalam mewujudkan kehidupan politik yang mantap
dengan makin berperan dan berfungsinya suprastruktur dan infrastruktur politik
secara efektif. Salah satu sarana dalam pembangunan politik adalah partai politik.
Menurut Prof. Miriam Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan mempunyai tujuan untuk
memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, dapat melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Pemilihan
Umum (Pemilu) adalah sarana atau alat demokrasi. Adapun bobot demokrasi pada
setiap negara berbeda, tergantung kepada sistem demokrasinya, apakah
dilaksanakan secara formal atau hanya sekedar menyalurkan kehendak rakyat atau
bahkan hanya sebagai lambang saja. Sistem pemilihan yang dipakai dalam pemilu
terdapat dua sistem yaitu sistem perwakilan berimbang (proporsional) dan
sistem distrik. Dalam sistem proporsional,
suatu partai politik akan memperoleh jumlah kursi dalam parlemen yang seimbang
(proporsional) dengan dukungannya dalam masyarakat. Masyarakat pemilih dibagi
dalam beberapa unit yang besar (misalnya di Indonesia jumlah serta luas setiap
daerah pemilihan sesuai dengan propinsi yang ada) dan jumlah kursi suatu partai
ditentukan oleh jumlah suara yang diperolehnya dalam setiap daerah pemilihan.
Jadi,
setiap daerah pemilihan berhak atas jumlah kursi yang sesuai dengan jumlah
penduduknya. Sistem ini kadangkadang disebut lijstenstelsel karena setiap partai menentukan daftar calon
legislatifnya. Dalam sistem distrik, masyarakat pemilih dibagi dalam sejumlah
unit atau distrik yang biasanya jauh lebih kecil daripada daerah pemilihan
dalam sistem proporsional, misalnya sebesar kabupaten. Satu distrik pemilihan
hanya berhak atas satu kursi dalam parlemen. Dan jumlah kursi bagi satu
partai ditentukan oleh jumlah distrik di mana dia menang sebagai pemenang
pertama atau tunggal.
|
.
|
Sebagai perbandingan,
dalam Pemilu yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sampai sekarang, sistem
pemilihan yang dipakai adalah sistem proporsional dan sistem distrik. Sejak
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, untuk pertama kalinya Indonesia
melaksanakan pemilihan umum yaitu pada tahun 1955, karena rencana untuk
mengadakan pemilu pada masa-masa sebelumnya selalu mengalami hambatan berhubung
kondisi keamanan Indonesia yang masih rawan. Pemilu ini dilaksanakan sebagai
realisasi dari UU No. 7 tahun 1953. UU ini dibuat berdasarkan UUDS 1950 yang
menganut faham demokrasi liberal. Pemilu yang pertama ini dilaksanakan pada
masa Kabinet Burhanudin Harahap (dari Masyumi). Pada pemilu pertama ini
dilaksanakan dua kali yaitu tanggal 29 September untuk memilih Anggota DPR dan
tanggal 15 Desember untuk memilih Anggota Konstituante (sidang yang membuat
UUD). Anggota DPR hasil pemilu beranggotakan 272 orang, dengan perhitungan
setiap anggota DPR mewakili sekitar 378.000-an penduduk. Sedangkan untuk
anggota Konstituante berjumlah 542 orang.
Hasil
dari Pemilu tahun 1955 di antaranya sebagai berikut (sepuluh besar) :
No.
|
Partai Politik
Peserta Pemilu
|
Jumlah
Suara Sah
|
% dari Total
Suara Sah
|
Jumlah Kursi
di DPR
|
1
|
Partai Nasional Indonesia
|
8.434.653
|
22,3
|
57
|
2
|
Masyumi
|
7.903. 886
|
20,9
|
57
|
3
|
Nahdlatul Ulama
|
6.955.141
|
18,4
|
45
|
4
|
Partai Komunis Indonesia
|
6.176.914
|
16,4
|
39
|
5
|
Parkindo
|
1.091.160
|
2,9
|
8
|
6
|
Partai Katolik
|
770.740
|
2,6
|
6
|
7
|
Partai Sosialis Indonesia
|
753.191
|
2,0
|
5
|
8
|
IPKI
|
541.306
|
1,4
|
4
|
9
|
Perti
|
483.014
|
1,3
|
4
|
10
|
PRN
|
242.125
|
0,6
|
2
|
Kabinet
pertama hasil pemilu tahun 1955 merupakan koalisi dari dua partai terbesar
yaitu PNI dan Masyumi, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo
(PNI). Tapi kabinet ini hanya bertahan selama setahun karena bermacam-macam masalah,
seperti Konsepsi Presiden (yang mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan
parlemen) dan pergolakan-pergolakan di daerah. Kabinet Ali kemudian digantikan
oleh Kabinet Djuanda (PNI) yang merupakan kabinet terakhir pada masa Demokrasi
Liberal.
0 comments:
Post a Comment