Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Wednesday, August 28, 2013

Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia



a.     Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia
Pada tanggal 8 Desember 1945, pangkalan AL Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii, diserang AU Jepang. Setelah itu, balatentara Jepang melakukan serangan-serangan kilat (blitzkrieg) ke wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia yang pada waktu itu masih dikuasai oleh Belanda. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada waktu itu, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang. Pada bulan Januari 1942, Tarakan dan Balikpapan berhasil dikuasai, begitu pula Palembang dan Pontianak berhasil dikuasai pada bulan Feburari 1942. Untuk menghadapi Angkatan Perang Jepang di Jawa, Sekutu membentuk ABDACOM (American-British-Dutch-Australian Command) di bawah pimpinan Letjen Ter Poorten, seorang perwira tinggi Belanda. Akan tetapi, armada gabungan ini berhasil dihancurkan oleh Jepang tanggal 19 Februari 1942.

         Pada tanggal 1 Maret 1942, balatentara Jepang mendarat di tiga tempat di pantai Utara Jawa, yaitu Teluk Banten, Eretan (Indramayu), dan Kragan (Jawa Tengah). Kemudian tanggal 5 Maret 1942, kota Jakarta berhasil dikuasai. Pendaratan balatentara Jepang ini dipimpin oleh Letjen Hitoshi Imamura.  Pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang setelah melalui perundingan di Kalijati, Subang. Sejak saat itu, berakhirlah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia, yang kemudian digantikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang ini, wilayah Indonesia dibagi dalam tiga pemerintahan militer (Gunseibu) yang terdiri atas Angkatan Darat (Rikugun) dan Angkatan Laut (Kaigun) yaitu :
1.     Tentara Ke-16 (Rikugun) yang memerintah Jawa dan Madura, dengan pusatnya di Jakarta.
2.     Tentara Ke-25 (Rikugun) yang memerintah Sumatera, dengan pusatnya di Bukittinggi
3.    Armada Selatan Ke-2 (Kaigun) yang memerintah Kalimatan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, dan Irian Barat, dengan pusatnya di Ujung Pandang.

b.     Penerapan Politik, Ekonomi dan Sosial Jepang di Indonesia
1)     Pengekangan Kegiatan Politik
         Tindakan pertama Jepang di Indonesia ialah membekukan segala kekuatan politik dengan melarang berdirinya partai-partai politik. Kegiatan politik pergerakan nasional Indonesia dikendalikan oleh Jepang, dengan menerapkan garis politik dan sistem fasisme pemerintah sebagai satu-satunya aliran yang harus dianut. Sebagai doktrin politiknya, Jepang memprogandakan “Gerakan Tiga A”, yaitu : Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Jepang menganggap dirinya sebagai “saudara tua” dan menganggap Indonesia sebagai “saudara muda”. Akan tetapi, gerakan yang dipimpin oleh Mr. Syamsudin dan Shimizu ini tidak berhasil mendapatkan simpati dari rakyat Indonesia. Hal ini di antaranya disebabkan


rakyat Indonesia sudah melihat kesombongan dan tingkah laku tentara Jepang yang menyakitkan perasaan bangsa Indonesia.
          Pada tanggal 16 April 1943 (sumber lain menyebutkan 9 Maret 1943), Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) sebagai pengganti Gerakan 3 A. Organisasi ini dipimpin oleh empat serangkai tokoh nasionalis, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara. Putera ini didirikan untuk memusatkan seluruh kekuatan rakyat dalam rangka mengabdi kepada usaha perang Jepang. Tetapi kemudian Jepang mengetahui, bahwa organisasi ini lebih menguntungkan pihak Indonesia daripada pihak Jepang. Oleh karena itu, Jepang mendirikan organisasi baru, yaitu Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) pada awal tahun 1944, yang dipimpin langsung oleh aparat pemerintah militer Jepang. Pembentukan Jawa Hokokai ini didorong oleh situasi perang yang semakin gencar. Semangat kebaktian (Bushido) yaitu kesediaan untuk mengorbankan diri, mempertebal persaudaraan dan melaksanakan tugas suci (untuk Jepang) makin dipupuk.       
         Di balik pengekangan terhadap kaum nasionalis, pemerintah Jepang masih memberikan kelonggaran terhadap golongan nasionalis Islam. Organisasi Islam yang masih tetap berdiri pada waktu itu adalah MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Bagaimanapun, umat Islam di Indonesia merupakan golongan mayoritas, mereka memiliki rasa antipati terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Mereka  dipimpin oleh para kyai, ulama, yang memiliki pengaruh besar pada umatnya, meskipun para pemimpin ini tidak cakap dalam kemampuan akademik dan pengetahuan ilmiah. Pemimpin dan yang dipimpinnya itu bagi Jepang merupakan modal yang sangat berpotensi bagi dukungan terhadap Jepang dalam rangka Perang Asia Timur Raya. Tetapi pada bulan Oktober 1943, MIAI dibubarkan oleh Jepang, dengan alasan dua organisasi terpenting yaitu NU dan Muhammadiyah tidak masuk menjadi anggota MIAI. Sebagai penggantinya, dibentuklah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Mas Mansur. Tujuan organisasi ini ialah memperkuat kesatuan semua organisasi Islam dan membantu Dai Nippon dalam kepentingannya di Asia Timur Raya.
        
2)     Pembentukan Organisasi Semi Militer dan Militer
         Kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik pada tahun 1943 sudah berubah. Jepang yang awalnya ofensif kemudian berubah menjadi defensif. Jepang menyadari bahwa untuk mempertahankan pendudukannya harus memerlukan dukungan dari penduduk yang didudukinya. Pada tanggal 9 Maret 1943, dibentuk Seinendan (Barisan Pemuda), Tujuannya ialah untuk mendidik dan melatih para pemuda untuk dapat mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Tetapi tujuan sebenarnya ialah mempersiapkan para pemuda Indonesia membantu Jepang menghadapi serbuan Sekutu. Bulan Agustus 1943, dibentuk Fujinkai (Himpunan Wanita).

.
         Untuk membantu tugas-tugas kepolisian dibentuklah Keibodan (Barisan Bantu Polisi). Pada bagian Jawa Hokokai, dibentuk Jawa Sentotai (Benteng Perjuangan Bangsa) yang membawahi lagi Suisyintai atau Barisan Pelopor dibawah pimpinan Ir. Soekarno, R.P. Soeroso, Otto Iskandardinata, dan dr. Buntaran M. Persenjataan yang digunakan oleh Barisan Pelopor ini adalah senapan kayu dan bambu runcing.
         Pada bulan April 1943, Jepang memberikan kesempatan kepada para pemuda untuk menjadi Pembantu Prajurit Jepang (Heiho). Mereka ini di antaranya ikut bertempur di Solomon (kawasan Lautan Pasifik), Irian, dan Birma. Pada tanggal 3 Oktober 1943, Letjen Kumakichi Harada memaklumkan pembentukan Pembela Tanah Air (PETA). Sebagai tindak lanjutnya, kemudian mulai dilatih para calon perwira Indonesia di Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Perwira Tentara Sukarela PETA) di Bogor. Setelah lulus, mereka diangkat menjadi daidanco (komandan batalyon), cudanco (komandan kompi), dan syodanco (komandan peleton), serta budanco (komandan regu).
         Dengan adanya organisasi militer maupun semi militer, Jepang mengharapkan organisasi-organisasi tersebut dapat membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Namun harapan tersebut tidak terlaksana karena para pemimpin Indonesia berhasil menanamkan semangat nasionalisme di kalangan pemuda.

3)     Pemerahan Bahan Makanan dan Tenaga Manusia                                          
         Selain mengadakan pengerahan terhadap masyarakat Indonesia, pemerintah Pendudukan Jepang juga mengadakan pemerahan atau pemerasan terhadap ekonomi Indonesia. Untuk ini, Jepang menempuh dua tahap. Tahap pertama adalah penguasaan, dan tahap kedua adalah penyusunan kembali ekonomi daerah jajahan untuk memenuhi kebutuhan bahan-bahan perang. Wilayah-wilayah yang dikuasai harus sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri (autarkhi). Untuk keperluan-keperluan pembuatan pesawat terbang tempur, Jepang telah mengeruk 1,4 juta ton bauksit dari Kepulauan Riau; minyak mentah telah diambil sebanyak 16,5 juta ton; bijih nikel telah diangkut ke Jepang sebanyak 65 ribu ton yang berasal dari Sulawesi. Dan sebagai contoh tentang kebutuhan beras, Jepang di Kalimantan saja mencapai 75.600 ton yang harus diperoleh dari setoran wajib petani, belum lagi yang di Pulau Jawa. Di Sumatera, perkebunan tembakau banyak yang dimusnahkan dan diganti dengan tanaman jarak. Sedangkan tanaman yang ditingkatkan pengusahaannya adalah kina, karet, dan tebu.
         Pemerintah Pendudukan Jepang pada waktu itu hanya memeras hasilnya saja, tanpa melakukan modernisasi sistem pertanian. Makanya, produksi beras terus-menerus merosot. Dengan menurunnya produksi pangan, kehidupan rakyat semakin sulit, makanan berkurang, penyakit merajalela, ditambah lagi dengan adanya peraturan bahwa rakyat harus menyetor 70% hasil panennya. Selain harus menyetorkan hasil buminya, rakyat juga dipaksa untuk menyerahkan barang-barang berharganya, seperti emas, perak, dan sebagainya. Pada masa ini banyak sekali muncul apa yang disebutnya sebagau kaum kere atau jembel.
         Pemerahan tenaga manusia juga dilakukan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Semuanya diperah untuk usaha perang Jepang. Golongan yang paling sengsara hidupnya ialah golongan romusya. Golongan ini dipekerjapaksakan, terutama di obyek-obyek militer atau perkebunan. Tiap-tiap desa harus menyediakan tenaga romusya menurut jatah tertentu. Panitia pengerahan romusya di setiap daerah disebut romukyokai. Untuk memudahkan pemerahan tenaga manusia maupun pengawasan terhadap penduduk, Jepang membentuk tonarigumi atau rukun tetangga.


c.     Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang
         Pendudukan Jepang yang telah mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia, menimbulkan beberapa perlawanan rakyat. Perlawanan ini diantaranya disebabkan oleh faktor agama yaitu adanya keharusan rakyat Indonesia untuk melakukan upacara penghormatan kepada Tenno atau Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan dan berkiblat ke arah Tokyo (Timur Laut) yang disebut seikerei, dianggap oleh umat Islam sebagai perbuatan syirik. Makanya muncullah beberapa penentangan di daerah yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama (Islam). Perlawanan itu di antaranya adalah perlawanan rakyat Singaparna yang dipimpin oleh K.H. Zaenal Mustafa tanggal 25 Februari 1944, perlawanan rakyat Indramayu dibawah pimpinan H. Madriyas, H. Kartiwa, dan sebagainya pada bulan Juli 1944.
         Perlawanan terbesar terhadap Jepang dilakukan oleh anggota-anggota PETA. Pemberontakan PETA terbesar terjadi di Blitar dibawah pimpinan Syodanco Supriyadi pada tanggal 14 Februari 1945. Pemberontakan ini disebabkan, anggota PETA sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan dan kesengsaraan rakyat di daerahnya maupun banyaknya romusya yang meninggal dipekerjapaksakan. Meskipun pemberontakan ini tidak berhasil, namun mempunyai pengaruh besar terhadap semangat kemerdekaan rakyat Indonesia.

         Disamping perlawanan yang bersifat fisik, ada juga perlawanan yang non fisik, yaitu perlawanan dalam bentuk politik khususnya mereka yang bergerak “di bawah tanah” (underground). Golongan tersebut di antaranya yaitu golongan Amir Syarifuddin, golongan Sutan Syahrir (golongan terpelajar), golongan Sukarni, dan golongan Kaigun (dipimpin Achmad Subardjo).

d.     Dampak Pendudukan Jepang Bagi Rakyat Indonesia
         Zaman pendudukan Jepang di Indonesia yang berlangsung hampir tiga setengah tahun telah membawa dampak positif dan negatif. Dampak negatif yang dirasakan oleh rakyat Indonesia pada masa pendudukan Jepang adalah :
1.     Korban jiwa. Kerja paksa dalam bentuk perekrutan romusya banyak sekali menelan korban jiwa, baik tewas sebagai beratnya pekerjaan maupun tewas karena makanan dan kesehatan yang tidak terjamin.
2.     Hilangnya harta benda. Hal ini terjadi karena adanya keharusan untuk menyerahkan segala hak milik rakyat, dengan alasan untuk keperluan perang Jepang.
3.     Munculnya kemiskinan dan kelaparan. Meskipun waktunya lebih singkat dibandingkan dengan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang di Indonesia betul-betul telah mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Pengadaan pangan dan sandang semakin berkurang, penyakit merajalela, ditambah munculnya bencana alam.
        
         Selain berdampak negatif, ada juga dampak positifnya, yaitu :                  
1.     Bidang politik. Pembentukan organisasi-organisasi seperti Putera, Cuo Sangi In (Badan Pertimbangan Pusat), Syuisintai, dimanfaatkan oleh para pemimpin Indonesia untuk menggalang kekuatan pergerakan nasional secara terselubung.
2.     Pendidikan bangsa Indonesia. Banyak sekolah yang dibuka bagisemua anak tanpa ada diskriminasi seperti halnya pada masa penjajahan Belanda.
3.     Perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa resmi di kantor maupun disekolah, dan banyak buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menggantikan bahasa Belanda.
4.     Pendidikan militer. Para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi militer buatan Jepang, merupakan modal yang sangat besar dalam merebut kemerdekaan.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More