a. Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia
Pada tanggal 8 Desember 1945,
pangkalan AL Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii, diserang AU Jepang.
Setelah itu, balatentara Jepang melakukan serangan-serangan kilat (blitzkrieg)
ke wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia yang pada waktu itu masih
dikuasai oleh Belanda. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada waktu itu,
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang. Pada
bulan Januari 1942, Tarakan dan Balikpapan berhasil dikuasai, begitu pula
Palembang dan Pontianak berhasil dikuasai pada bulan Feburari 1942. Untuk
menghadapi Angkatan Perang Jepang di Jawa, Sekutu membentuk ABDACOM (American-British-Dutch-Australian
Command) di bawah pimpinan Letjen Ter Poorten, seorang perwira tinggi
Belanda. Akan tetapi, armada gabungan ini berhasil dihancurkan oleh Jepang
tanggal 19 Februari 1942.
|
|
Pada
tanggal 1 Maret 1942, balatentara Jepang mendarat di tiga tempat di pantai
Utara Jawa, yaitu Teluk Banten, Eretan (Indramayu), dan Kragan (Jawa Tengah).
Kemudian tanggal 5 Maret 1942, kota Jakarta berhasil dikuasai. Pendaratan
balatentara Jepang ini dipimpin oleh Letjen Hitoshi Imamura. Pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah
tanpa syarat kepada Jepang setelah melalui perundingan di Kalijati, Subang.
Sejak saat itu, berakhirlah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia,
yang kemudian digantikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Pada masa
pendudukan Jepang ini, wilayah Indonesia dibagi dalam tiga pemerintahan militer
(Gunseibu) yang terdiri atas Angkatan Darat (Rikugun) dan
Angkatan Laut (Kaigun) yaitu :
1. Tentara
Ke-16 (Rikugun) yang memerintah Jawa
dan Madura, dengan pusatnya di Jakarta.
2. Tentara
Ke-25 (Rikugun) yang memerintah
Sumatera, dengan pusatnya di Bukittinggi
3. Armada
Selatan Ke-2 (Kaigun) yang memerintah
Kalimatan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, dan Irian Barat, dengan pusatnya di
Ujung Pandang.
b. Penerapan Politik, Ekonomi dan Sosial Jepang
di Indonesia
1) Pengekangan Kegiatan Politik
Tindakan
pertama Jepang di Indonesia ialah membekukan segala kekuatan politik dengan
melarang berdirinya partai-partai politik. Kegiatan politik pergerakan
nasional Indonesia dikendalikan oleh Jepang, dengan menerapkan garis politik
dan sistem fasisme pemerintah sebagai satu-satunya aliran yang harus dianut.
Sebagai doktrin politiknya, Jepang memprogandakan “Gerakan Tiga A”, yaitu :
Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Jepang menganggap dirinya sebagai “saudara tua” dan menganggap
Indonesia sebagai “saudara muda”. Akan tetapi, gerakan yang dipimpin oleh Mr.
Syamsudin dan Shimizu ini tidak berhasil mendapatkan simpati dari rakyat
Indonesia. Hal ini di antaranya disebabkan
|
|
rakyat Indonesia sudah melihat
kesombongan dan tingkah laku tentara Jepang yang menyakitkan perasaan bangsa
Indonesia.
Pada tanggal 16 April 1943 (sumber lain
menyebutkan 9 Maret 1943), Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
sebagai pengganti Gerakan 3 A. Organisasi ini dipimpin oleh empat serangkai
tokoh nasionalis, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki
Hajar Dewantara. Putera ini didirikan untuk memusatkan seluruh kekuatan rakyat
dalam rangka mengabdi kepada usaha perang Jepang. Tetapi kemudian Jepang
mengetahui, bahwa organisasi ini lebih menguntungkan pihak Indonesia daripada
pihak Jepang. Oleh karena itu, Jepang mendirikan organisasi baru, yaitu Jawa
Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) pada awal tahun 1944, yang dipimpin langsung oleh aparat pemerintah militer Jepang.
Pembentukan Jawa Hokokai ini didorong oleh situasi perang yang semakin gencar.
Semangat kebaktian (Bushido) yaitu kesediaan untuk mengorbankan diri,
mempertebal persaudaraan dan melaksanakan tugas suci (untuk Jepang) makin
dipupuk.
Di
balik pengekangan terhadap kaum nasionalis, pemerintah Jepang masih memberikan
kelonggaran terhadap golongan nasionalis Islam. Organisasi Islam yang masih
tetap berdiri pada waktu itu adalah MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia).
Bagaimanapun, umat Islam di Indonesia merupakan golongan
mayoritas, mereka memiliki rasa antipati terhadap pemerintah Kolonial Belanda.
Mereka dipimpin oleh para kyai, ulama,
yang memiliki pengaruh besar pada umatnya, meskipun para pemimpin ini tidak
cakap dalam kemampuan akademik dan pengetahuan ilmiah. Pemimpin dan yang
dipimpinnya itu bagi Jepang merupakan modal yang sangat berpotensi bagi
dukungan terhadap Jepang dalam rangka Perang Asia Timur Raya. Tetapi pada bulan
Oktober 1943, MIAI dibubarkan oleh Jepang, dengan alasan dua organisasi
terpenting yaitu NU dan Muhammadiyah tidak masuk menjadi anggota MIAI. Sebagai
penggantinya, dibentuklah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
yang dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Mas Mansur. Tujuan organisasi
ini ialah memperkuat kesatuan semua organisasi Islam dan membantu Dai Nippon dalam kepentingannya di Asia
Timur Raya.
2) Pembentukan Organisasi Semi
Militer dan Militer
Kedudukan
Jepang dalam Perang Pasifik pada tahun 1943 sudah berubah. Jepang yang
awalnya ofensif kemudian berubah menjadi defensif. Jepang menyadari bahwa
untuk mempertahankan pendudukannya harus memerlukan dukungan dari penduduk
yang didudukinya. Pada tanggal 9 Maret 1943, dibentuk Seinendan
(Barisan Pemuda), Tujuannya ialah untuk mendidik dan melatih para pemuda
untuk dapat mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Tetapi
tujuan sebenarnya ialah mempersiapkan para pemuda Indonesia membantu Jepang
menghadapi serbuan Sekutu. Bulan Agustus 1943, dibentuk Fujinkai
(Himpunan Wanita).
|
.
|
Untuk
membantu tugas-tugas kepolisian dibentuklah Keibodan (Barisan Bantu
Polisi). Pada bagian Jawa Hokokai, dibentuk Jawa Sentotai (Benteng
Perjuangan Bangsa) yang membawahi lagi Suisyintai atau Barisan Pelopor
dibawah pimpinan Ir. Soekarno, R.P. Soeroso, Otto Iskandardinata, dan dr.
Buntaran M. Persenjataan yang digunakan oleh Barisan Pelopor ini adalah senapan
kayu dan bambu runcing.
Pada
bulan April 1943, Jepang memberikan kesempatan kepada para pemuda untuk menjadi
Pembantu Prajurit Jepang (Heiho). Mereka ini di antaranya ikut bertempur
di Solomon (kawasan Lautan Pasifik), Irian, dan Birma. Pada tanggal 3 Oktober
1943, Letjen Kumakichi Harada memaklumkan pembentukan Pembela Tanah Air (PETA).
Sebagai tindak lanjutnya, kemudian mulai dilatih para calon perwira Indonesia
di Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Perwira Tentara
Sukarela PETA) di Bogor. Setelah lulus, mereka diangkat menjadi daidanco
(komandan batalyon), cudanco (komandan kompi), dan syodanco
(komandan peleton), serta budanco (komandan regu).
Dengan
adanya organisasi militer maupun semi militer, Jepang mengharapkan
organisasi-organisasi tersebut dapat membantu Jepang dalam Perang Asia Timur
Raya. Namun harapan tersebut tidak terlaksana karena para pemimpin Indonesia
berhasil menanamkan semangat nasionalisme di kalangan pemuda.
3) Pemerahan Bahan Makanan dan
Tenaga Manusia
Selain
mengadakan pengerahan terhadap masyarakat Indonesia, pemerintah Pendudukan
Jepang juga mengadakan pemerahan atau pemerasan terhadap ekonomi Indonesia.
Untuk ini, Jepang menempuh dua tahap. Tahap pertama adalah penguasaan, dan
tahap kedua adalah penyusunan kembali ekonomi daerah jajahan untuk memenuhi
kebutuhan bahan-bahan perang. Wilayah-wilayah yang dikuasai harus sanggup
memenuhi kebutuhannya sendiri (autarkhi). Untuk
keperluan-keperluan pembuatan pesawat terbang tempur, Jepang telah mengeruk 1,4
juta ton bauksit dari Kepulauan Riau; minyak mentah telah diambil sebanyak 16,5
juta ton; bijih nikel telah diangkut ke Jepang sebanyak 65 ribu ton yang
berasal dari Sulawesi. Dan sebagai contoh tentang kebutuhan beras, Jepang di
Kalimantan saja mencapai 75.600 ton yang harus diperoleh dari setoran wajib
petani, belum lagi yang di Pulau Jawa. Di Sumatera, perkebunan tembakau banyak
yang dimusnahkan dan diganti dengan tanaman jarak. Sedangkan tanaman yang
ditingkatkan pengusahaannya adalah kina, karet, dan tebu.
Pemerintah Pendudukan
Jepang pada waktu itu hanya memeras hasilnya saja, tanpa melakukan modernisasi
sistem pertanian. Makanya, produksi beras terus-menerus merosot. Dengan
menurunnya produksi pangan, kehidupan rakyat semakin sulit, makanan berkurang,
penyakit merajalela, ditambah lagi dengan adanya peraturan bahwa rakyat harus
menyetor 70% hasil panennya. Selain harus menyetorkan hasil buminya, rakyat
juga dipaksa untuk menyerahkan barang-barang berharganya, seperti emas, perak,
dan sebagainya. Pada masa ini banyak sekali muncul apa yang disebutnya sebagau
kaum kere atau jembel.
Pemerahan tenaga manusia
juga dilakukan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Semuanya diperah untuk
usaha perang Jepang. Golongan yang paling sengsara hidupnya ialah golongan romusya.
Golongan ini dipekerjapaksakan, terutama di obyek-obyek militer atau
perkebunan. Tiap-tiap desa harus menyediakan tenaga romusya menurut jatah
tertentu. Panitia pengerahan romusya di setiap daerah disebut romukyokai.
Untuk memudahkan pemerahan tenaga manusia maupun pengawasan terhadap
penduduk, Jepang membentuk tonarigumi atau rukun tetangga.
|
|
c. Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang
Pendudukan
Jepang yang telah mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia,
menimbulkan beberapa perlawanan rakyat. Perlawanan ini diantaranya disebabkan
oleh faktor agama yaitu adanya keharusan rakyat Indonesia untuk melakukan
upacara penghormatan kepada Tenno atau Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan
dan berkiblat ke arah Tokyo (Timur Laut) yang disebut seikerei, dianggap
oleh umat Islam sebagai perbuatan syirik. Makanya muncullah beberapa
penentangan di daerah yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama (Islam). Perlawanan
itu di antaranya adalah perlawanan rakyat Singaparna yang dipimpin oleh K.H.
Zaenal Mustafa tanggal 25 Februari 1944, perlawanan rakyat Indramayu dibawah
pimpinan H. Madriyas, H. Kartiwa, dan sebagainya pada bulan Juli 1944.
Perlawanan
terbesar terhadap Jepang dilakukan oleh anggota-anggota PETA. Pemberontakan
PETA terbesar terjadi di Blitar dibawah pimpinan Syodanco Supriyadi
pada tanggal 14 Februari 1945. Pemberontakan ini disebabkan, anggota PETA
sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan dan kesengsaraan rakyat di
daerahnya maupun banyaknya romusya yang meninggal dipekerjapaksakan. Meskipun
pemberontakan ini tidak berhasil, namun mempunyai pengaruh besar terhadap
semangat kemerdekaan rakyat Indonesia.
|
|
Disamping
perlawanan yang bersifat fisik, ada juga perlawanan yang non fisik, yaitu
perlawanan dalam bentuk politik khususnya mereka yang bergerak “di bawah tanah”
(underground). Golongan tersebut di antaranya yaitu golongan Amir
Syarifuddin, golongan Sutan Syahrir (golongan terpelajar), golongan Sukarni,
dan golongan Kaigun (dipimpin Achmad Subardjo).
d. Dampak Pendudukan Jepang Bagi Rakyat
Indonesia
Zaman
pendudukan Jepang di Indonesia yang berlangsung hampir tiga setengah tahun
telah membawa dampak positif dan negatif. Dampak negatif yang dirasakan oleh
rakyat Indonesia pada masa pendudukan Jepang adalah :
1. Korban
jiwa. Kerja paksa dalam bentuk perekrutan romusya banyak sekali menelan korban
jiwa, baik tewas sebagai beratnya pekerjaan maupun tewas karena makanan dan
kesehatan yang tidak terjamin.
2. Hilangnya
harta benda. Hal ini terjadi karena adanya keharusan untuk menyerahkan segala
hak milik rakyat, dengan alasan untuk keperluan perang Jepang.
3. Munculnya
kemiskinan dan kelaparan. Meskipun waktunya lebih singkat dibandingkan dengan
penjajahan Belanda, pendudukan Jepang di Indonesia betul-betul telah
mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Pengadaan pangan dan sandang
semakin berkurang, penyakit merajalela, ditambah munculnya bencana alam.
Selain
berdampak negatif, ada juga dampak positifnya, yaitu :
1. Bidang
politik. Pembentukan organisasi-organisasi seperti Putera, Cuo Sangi In (Badan
Pertimbangan Pusat), Syuisintai, dimanfaatkan oleh para pemimpin Indonesia
untuk menggalang kekuatan pergerakan nasional secara terselubung.
2. Pendidikan
bangsa Indonesia. Banyak sekolah yang dibuka bagisemua anak tanpa ada
diskriminasi seperti halnya pada masa penjajahan Belanda.
3. Perkembangan
bahasa Indonesia. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa resmi di kantor maupun
disekolah, dan banyak buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menggantikan
bahasa Belanda.
4. Pendidikan
militer. Para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi militer buatan
Jepang, merupakan modal yang sangat besar dalam merebut kemerdekaan.
0 comments:
Post a Comment