Blogroll

Akrab Senada, adalah Aktif dan rajin belajar sejarah nasional dan dunia. merupakan kumpulan pemikiran, program, dan materi pelajaran dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Sejarah khususnya tingkat SMA.

Wednesday, August 28, 2013

Perkembangan Politik setelah 21 Mei 1998


Perkembangan Politik setelah 21 Mei 1998

Jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 sebagai tanda jatuhnya pemerintahan Orde Baru menandai era baru dalam kehidupan politik di Indonesia. Setelah 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto harus rela menyerahkan tahtanya kepada wakilnya, B.J. Habibie, Kehidupan politik pertama yang paling menonjol pada pemerintahan B.J. Habibie adalah diselenggarakannya Pemilu pada 7 Juni 1999. Untuk pertama kalinya, bangsa Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu secara demokratis setelah tahun 1955. Pemilu tersebut diikuti oleh 44 partai politik yang memenuhi syarat untuk ikut serta dari sekitar 1421 parpol yang mendaftar.
          Pemilu tersebut dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarnoputri, anak sulung mantan Presiden Soekarno, dengan jumlah suara. 33,73 persen suara atau memperoleh 153 kursi di parlemen; diikuti oleh Golongan Karya (Golkar dengan 22,43 persen suara atau 120 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 12,60 persen suara atau 51 kursi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 10,70 persen suara atau 58 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 7,11 persen suara atau 34 kursi dan partai-partai baru lainnya. Dengan demikian, untuk pertama kalinya sejak pemilu pertama Orde Baru pada 1971, Golkar mengalami kekalahan.
.
Banyaknya partai pada masa reformasi ternyata tidak diikuti dengan terjadinya ketenteraman dalam kehidupan politik bangsa. Konflik terjadi, bukan hanya antar-partai, melainkan juga dalam tubuh partai itu sendiri. Golkar, PPP, dan PDIP pun tidak luput dari konflik dalam tubuhnya sendiri. Demikian juga partai baru yang mengklaim diri sebagai partai reformis mengalami hal yang sama seperti terjadi dalam tubuh PKB, PAN, PDIP dan lain-lain.
Kehidupan parpol yang semakin marak tersebut ditandai pula dengan masuknya para pensiunan militer ke dalam tubuh parpol. Fenomena tersebut sebenarnya sudah dimulai pada masa Orde Baru. Pada Mei 1991, misalnya, sejumlah 40 orang purnawirawan ABRI masuk menjadi anggota PDI pimpinan Suryadi. Pada masa reformasi, jumlah pensiunan ABRI yang masuk parpol semakin banyak. Fenomena seperti ini dilihat oleh pengamat Indonesia, Prof. William Liddle, dari Ohio State University, merupakan salah satu kelemahan politisi sipil Indonesia dalam menegakkan supremasi sipil. Fenomena seperti ini bisa memberi peluang kepada militer untuk tampil sebagai power behind the throne, atau “kekuatan di belakang singgasana”, yang merupakan ancaman bagi tegaknya demokrasi.
Anggota DPR yang tidur ketika sedang berlangsung sidang DPR.
          Harapan rakyat terhadap wakil-wakilnya yang telah mereka pilih dalam Pemilu 1999 dan sudah duduk sebagai anggota DPR agar mereka membawa aspirasi masyarakat ternyata masih merupakan impian yang panjang. Harapan rakyat agar anggota DPR lebih banyak berperan dan berpihak pada mereka, ternyata tidak terwujud. DPR hasil Pemilu 1999 ini memang dianggap lebih baik dibandingkan dengan anggota DPR pada masa Orde Baru. Pada masa reformasi ini sejumlah undang-undang yang sifatnya reformis telah dikeluarkan. Namun prestasi mereka tidak seperti yang diharapkan rakyat. Bahkan, menurut beberapa poling, citra anggota DPR mengalami penurunan yang sangat tajam selama 2000-2002.
Kehidupan politik yang menonjol di Era Reformasi ini ditandai pula dengan penegakan hukum yang tidak berjalan, baik pada masa pemerintahan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, maupun Megawati Soekamoputri. Pada pemerintahan ketiga presiden tersebut, KKN tetap berjalan, bahkan beberapa pengamat politik mengatakan bahwa tingkat korupsi di Era Reformasi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan era sebelumnya. Ketiga presiden tersebut dianggap tidak mampu menyeret para penguasa yang menyalahgunakan wewenangnya (KKN) serta para pengusaha besar (konglomerat) yang menerima kucuran dana dari pemerintah dan tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang jumlahnya trilyunan rupiah yang dikucurkan oleh Presiden Soeharto kepada para bankir tetap merupakan masalah yang terkatung-katung. Di era reformasi ini, banyak bankir yang menyalahgunakan bantuan BLBI tetap bebas dari jeratan hukum.
          Berbagai ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah di Era Reformasi terlihat dari maraknya demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan mahasiswa, buruh, dan organisasi profesi. Dalam pelaksanaan demonstrasi di hampir semua kota di Indonesia, para demonstran yang mengaku diri reformis dan demokrat tersebut mendapat dukungan dari masyarakat. Akan tetapi, setelah beberapa demonstrasi tersebut didanai oleh kelompok tertentu dan para pengikutnya ialah orang-orang bayaran, maka simpati masyarakat mulai berubah. Mereka mulai bosan dengan berbagai aksi demo yang dalam pelaksanaannya sering kali mengganggu aktivitas kelompok masyarakat lainnya.  Misalnya,  banyak pedagang di pasar yang  tidak


bisa berjualan akibat jalanan macet yang disebabkan aksi demo. Banyak pula pengguna angkutan kota yang marah karena sopir angkot melakukan mogok kerja. Sebagian masyarakat yang mulai bosan dengan aksi-aksi demo tersebut mulai bernostalgia dengan suasana "damai" pada masa Orde Baru.
Kehidupan politik pada masa reformasi ditandai dengan aksi-aksi demo yang terjadi hampir setiap hari dengan berbagai tuntutan. Tuntutan yang mereka lakukan bervariasi dari masalah tuntutan mundumya pejabat tertentu, penurunan harga, pemberantasan KKN, aksi keprihatinan sampai turunnya presiden yang berkuasa.
         Pada awal 2003, setelah Presiden Megawati Soekarnoputri berusaha menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan telepon, yang berakibat pada kenaikan ketiga komponen barang tersebut, para mahasiswa segera turun ke jalan menuntut pembatalan kenaikan tarif tersebut. Setelah pemerintah memenuhi tuntutan mereka, tuntutan segera bergeser dari penurunan harga menjadi penurunan presiden yang sedang berkuasa. Kelompok yang dijadikan sasaran demo, sering kali membalasnya dengan aksi demo tandingan. Caranya, dengan menyewa kelompok masyarakat yang menganggur untuk membawa spanduk atau poster sesuai dengan yang ditulis oleh pemasok dana.   

Keadaan seperti ini tentu saja merupakan hal yang berlawanan dengan kondisi masyarakat madani (civil society) seperti yang dicita-citakan kaum reformis pada awal reformasi 1997/1998.
Era keterbukaan pada zaman reformasi ini ditandai pula dengan gerakan disintegrasi oleh beberapa daerah, seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur. Daerah-­daerah tersebut merasa tidak puas dengan pemerintah pusat yang mengalokasikan anggaran pembangunan tidak sebesar sumbangan daerah tersebut terhadap pemerintah pusat. Tokoh-tokoh di daerah merasa bahwa kekayaan alam mereka telah lama dieksploitasi oleh pemerintah pusat, sedangkan sebagian besar rakyatnya tetap miskin. Untuk itu, mereka menuntut melepaskan diri dari pemerintah pusat, otonomi khusus, bahkan merdeka dari RI.
          Provinsi Timor Timur sebagai daerah bekas jajahan Portugal yang oleh pemerintah Orde Baru dijadikan sebagai provinsi ke 27 berhasil melepaskan diri dari RI dan membentuk negara tersendiri. Lepasnya provinsi tersebut terjadi pada masa pemerintahah Presiden B.J. Habibie melalui jajak pendapat pada 30 Agustus 1999. Hasil jajak pendapat yang disponsori oleh Unamet, sebuah badan PBB untuk Timor Timur, diperoleh 78,5 persen suara menyatakan ingin merdeka. Kelompok yang pro RI merasa kecewa dan melakukan pemberontakan sehingga menimbulkan kerusakan.


Setelah itu, Timtim berada di bawah pengawasan pasukan multinasional PBB (Interfet) serta penguasaan PBB sampai terpilihnya Xanana Gusmao, tokoh Fretilin yang pernah ditawan RI di Jakarta, terpilih sebagai presiden, dan  20 Mei 2002 dinyatakan sebagai hari Kemerdekaan Timor Lorosae.


        Berbeda dengan sikap terhadap Timor Timur, sikap pemerintah di era reformasi terhadap Irian Jaya (Papua) dan Aceh, ditunjukkan dengan cara memberikan otonomi. khusus pada dua daerah tersebut. Di samping itu, dunia intemasional sangat mendukung RI untuk tetap mempertahankan kedua daerah yang kaya dengan somber daya alam tersebut. Provinsi Irian Jaya diberi nama Papua serta otonomi khusus pada Oktober 2001, melalui persetujuan DPR atas RUU Otonomi Khusus bagi provinsi tersebut. Dengan demikian,  sebagian aspirasi warga setempat dapat direspon oleh pemerintah pusat, walaupun setelah itu masih terjadi gerakan pemisahan diri serta  pembunu-
han terhadap Theys H. Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua pada 11 November 2001 yang dilakukan oleh beberapa oknum TNI dari Satgas Tribuana X.
Tuntutan merdeka bagi Aceh telah menimbukan banyak korban, baik pada pihak tentara RI, tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun warga sipil serta rusaknya sarana dan prasarana seperti sekolah dan kantor pemerintahan yang dirusak oleh GAM. Tuntutan tersebut sebenarnya sudah lama dilakukan sejak pemerintahan Orde Baru. Presiden B.J.Habibie pada 26 Maret 1999, pernah mengakui adanya operasi militer Orde Baru yang banyak memakan korban jiwa dan meminta maaf kepada seluruh warga Aceh. Permintaan maaf tersebut segera diikuti dengan tuntutan referendum oleh GAM untuk melepaskan diri dari RI.


Pada 9 Agustus 2001 Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani UU Nomor 18 tentang otonomi daerah tersebut. Melalui diplomasi internasional, akhirnya RI dan GAM mencapai kesepakatan damai pada 9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss atas sponsor Henry Dunant Center (HDC) .
Ketidakpuasan terhadap Pemerintah Pusat tidak hanya berasal dari tiga daerah tersebut, melainkan juga dari daerah lainnya terutama daerah yang selama pemerintahan Orde Baru merasa dieksploitasi. Daerah-daerah di Kalimantan, misalnya, sebagai penghasil kayu dan minyak bumi merasa tidak memperoleh imbalan yang memadai dari pemerintah pusat. Di daerah yang kaya tersebut ternyata kehidupan sosial ekonomi warganya tetap buruk. Tuntutan yang mereka ajukan kepada pemerintah pusat, yaitu desentralisasi atau otonomi daerah. Dalam otonomi tersebut, daerah merasa berhak mengelola sumber daya alamnya sendiri dan digunakan untuk pembangunan daerah setempat. Semangat otonomi juga diikuti dengan semangat pemekaran daerah kabupaten. Sampai September 2002,,terdapat 287 kabupaten dan 88 kota baru di Indonesia. Dilihat dari segi ekonomi, pembentukan kabupaten yang terjadi pada masa krisis tersebut merupakan pemborosan sebab jumlah biaya yang diperlukan untuk itu cukup besar.
          Perkembangan politik di Era Reformasi juga ditandai dengan teror bom. Sejak Juli 1997 sampai Oktober 2002, terjadi lebih dari 60 kali ledakan bom di berbagai daerah. Ledakan-ledakan tersebut terjadi di pusat keramaian, seperti mall, gedung pemerintah, rumah ibadah, serta tempat hiburan. Ledakan tersebut telah menimbulkan kerusakan pada sasaran ledakan serta sejumlah korban jiwa. Ledakan paling besar terjadi pada 12 Oktober 2002 di daerah wisata Jalan Legian, Kuta, Bali, yang menewaskan lebih dari 180 orang korban jiwa terutama turis Australia serta lebih dari 130 orang luka-luka. Kerugian yang ditimbulkan oleh teror tersebut tidak terhitung juml

terutama kerugian dalam aspek ketenangan dan rasa aman yang sangat didambakan masyarakat sejak runtuhnya Orde Baru.
Ledakan bom yang terjadi di Bali dan beberapa daerah lainnya telah menimbulkan kerugian materi yang besar. Sektor pariwisata yang menjadi andalan pemerintah untuk mengatasi krisis ini mengalami kehancuran, serta devisa yang diperoleh dari sektor ini mengalami penurunan yang sangat tajam. Citra Bali sebagai salah satu tujuan wisata internasional paling aman telah pupus. Beberapa negara telah melarang warganya untuk tidak bepergian ke Bali dan daerah wisata lainnya di Indonesia. Citra Indonesia di mata internasional semakin buruk akibat teror bom tersebut.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More