a. Usaha Swasta Asing di Indonesia
Sesuai
dengan tuntutan kaum liberal, maka pemerintah kolonial Belanda segera
memberikan peluang kepada usaha dan modal swasta untuk sepenuhnya menanamkan
modalnya dalam berbagai usaha dan kegiatan di Indonesia. Selama periode tahun
1870-1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta asing. Masa ini dikenal sebagai
masa liberalisme.
Selama
masa itu, modal swasta asing khususnya Belanda telah membuka
perkebunan-perkebunan seperti kopi, gula, teh, dan kina yang cukup besar di
Jawa dan Sumatera. Pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut didukung dengan
keluarnya Undang-Undang Agraria 1870. Berdasarkan UU tersebut, jenis tanah yang
dapat disewa dapat dibedakan atas dua golongan tanah, yaitu :
1) Tanah-tanah milik negara, yaitu tanah yang tidak secara langsung
menjadi milik penduduk peribumi. Misalnya hutan-hutan dan semua tanah yang ada
di luar wilayah, milik desa dan penduduknya, dapat disewa oleh swasta asing
selama 75 tahun.
2) Tanah-tanah milik penduduk pribumi, misalnya semua sawah-ladang
dan yang sejenis yang dimiliki langsung oleh penduduk peribumi. Tanah ini dapat
disewa oleh swasta asing selama 5 tahun.
Semua
penyewaan dilakukan dengan perjanjian (kontrak) dan didaftarkan kepada
pemerintah. Dengan adanya penetapan hak milik atas tanah penduduk secara jelas,
maka penetapan pajak tanah pun dapat dilakukan secara pasti. Untuk melancarkan
perkembangan produksi tanaman ekspor, maka pemerintah Hindia-Belanda membangun
sarana dan prasarana infrastruktur, seperti waduk-waduk dan saluran irigasi.
Selain itu juga dibangun jalan-jalan raya, jembatan, dan jalan kereta api.
Untuk melancarkan pembukaan perkebunan di luar Jawa,
diperlukan tenaga kerja. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang
hubungan kerja. Para pekerja banyak didatangkan dari Pulau Jawa yang
dilakukan secara kontrak yang kemudian dikenal sebagai Kuli Kontrak. Ancaman
hukuman yang dikenakan terhadap para kuli kontrak yang melanggar
ketentuan-ketentuan kontrak dikenal dengan Poenale Sanctie. Praktek dari sistem kerja kontrak ini telah
membawa kehidupan yang sangat buruk bagi para pekerja melalui
tindakan-tindakan pemerasan dan penekanan.
|
|
b. Politik Balas Budi (Politik Etis)
Salah
seorang yang berjasa dalam memperjuangkan Politik Etis adalah tokoh liberal,
yaitu Conraad Theodore Van Deventer. Dalam bukunya Een Ereschuld (Hutang Budi) atau Debt of Honour (Hutang Kehormatan), ia berpendapat bahwa bangsa
Belanda mempunyai “hutang budi” kepada rakyat Indonesia. Hutang budi itu harus
dibayar oleh Negeri Belanda dengan jalan memajukan rakyat Indonesia dalam
segala bidang. Van Deventer kemudian mengajukan proposalnya yang disebut
Trilogi Van Deventer, yaitu Edukasi, Irigasi, dan Transmigrasi.
Tetapi
dalam kenyataannya, pelaksanaan politik etis dalam bidang edukasi (pendidikan),
Irigasi, dan transmigrasi tersebut hanya menguntungkan kaum pengusaha saja,
karena :
1) Edukasi
Diperlukannya pendidikan secara Barat,
menghasilkan golongan buruh yang sangat murah. Untuk keperluan buruh rendah dan
menengah tidak perlu didatangkan tenaga yang mahal dari Eropa, cukup dari kaum
pribumi saja. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi liberal.
2) Irigasi
Pemerintah kolonial membangun irigasi untuk
sawah-sawah, sehingga produktivitasnya bertambah, tetapi sebagian besar sawah
itu disewa oleh pengusaha-pengusaha Belanda. Jadi yang untung adalah bangsa
Belanda semata.
3) Transmigrasi
Meskipun alasan diadakannya transmigrasi adalah
untuk upaya pemerataan penduduk. Tetapi dalam kenyataannya adalah mencari
tenaga-tenaga kerja yang murah untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan.
0 comments:
Post a Comment